Skip to main content

2012-02-01 Ath Thariqah Al Hashafiyah

Hasan-Al-Banna.jpg

Di sebuah masjid kecil saya melihat Al Ikhwan Al Hashafiyah (para pengikut tarekat Hashafiyah) melakukan dzikir setiap malam usai shalat ‘isya. Saya sendiri secara tekun menghadiri kajian Syaikh Zahran rahimahullah, antara maghrib dan isya’. Saya sungguh dibuat terpesona oleh halaqah dzikir dengan suaranya yang teratur, nasyid-nya yang bagus, dan semangat ruhiyah yang menggelora. Saya juga terpikat oleh toleransi dan sikap rendah hati orang-orang yang berdzikir, yang terdiri dari para sesepuh yang mulia dan para pemuda yang shalih. Mereka begitu toleran dan rendah hati menghadapi anak-anak kecil yang ikut meramaikan majelis mereka untuk berdzikir. Akhirnya, saya pun ikut bergabung bersama mereka. Hubungan saya dengan para pemuda Al Ikhwan Al Hashafiyah pun terjalin dengan eratnya.

Tiga dari kalangan senior mereka adalah Syaikh Syalbi Ar Rijal, Syaikh Muhammad Abu Syausyah, dan Syaikh Sayyid Utsman. Sedangkan dari kalangan pemuda, yang kurang lebih seusia dengan saya, adalah Shawi Afandi Ash Shawi, Abdul Muta’al Afandi Sankal, Muhammad Afandi Ad Dimyati, dan lain-lain. Di arena yang penuh berkah inilah untuk pertama kali saya bertemu dengan Ustadz Ahmad As Sukri –dikemudian hari menjadi wakil ketua Ikhwanul Muslimin-. Pertemuan ini menggoreskan kenangan yang sangat dalam pada kehidupan kami berdua.

Sejak saat itu nama Syaikh Al Hashafi (pemimpin tarekat Al Hashafiyah) terus menggiang di telingaku. Beliau meninggalkan pengaruh yang demikian dalam pada jiwaku. Kerinduan untuk dapat melihat Syaikh, duduk mendampinginya, dan  mengambil manfaat darinya, terus mewarnai pikiran saya dari waktu ke waktu. Saya mulai tekun mengamalkan wirid Al Wazhifah Az Zuruqiyah pada pagi dan sore hari. Yang lebih menambah ketakjuban saya, ternyata Ayah telah menulis komentar singkat dengan memaparkan argumentasi yang berdasarkan hadits-hadits shahih. Risalah ini dinamakan Tanwirul Af’idah Az Zakiyah bi Adillati Adzkar Az Zuruqiyah. Wazhifah (wirid) ini tidak lebih dari ayat-ayat Al Qur’an Al Karim dan hadits-hadits Nabi mengenai doa-doa pagi dan petang yang ditulis dalam kitab-kitab Sunah (buku-buku hadits). Tidak ada tambahan ucapan-ucapan asing sama sekali, tidak juga ungkapan filsafat, atau kata-kata yang mirip mantera. Semua berupa doa.

Ketika itu saya mendapatkan kitab  Al Manhaj Ash Shafi fi Manaqib Hasanain Al Hashafi. Hasanain Al Hasyafi adalah syaikh pertama tarekat ini dan ayah dari syaikh tarekat yang sekarang, yaitu yang mulia Syaikh Abdul Wahhab Al Hashafi – semoga Allah berkenan memanjangkan umurnya dan menjadikannya bermanfaat-. Syaikh Hasanain Al Hashafi sudah meninggal dan saya belum pernah melihatnya. Beliau meninggal pada hari Kamis, 17 Jumadil Akhir 1382 H. Ketika itu saya baru berusia empat tahun. Saya tidak sempat berkumpul dengan beliau, karena beliau sering pergi ke berbagai daerah. Akhirnya saya hanya dapat mengenal beliau melalui buku tentang riwayat hidup beliau.

Saya pun menjadi tahu bahwa beliau adalah salah seorang ulama Azhari (alumni  Al Azhar, pent) yang telah mendalami fiqih menurut Madzhab Al Imam Syafi’i serta mendalami ilmu – ilmu agama secara luas. Beliau menimba tarekat dari para syaikh di masa itu. Beliau adalah seorang yang sangat taat, selalu bersungguh-sungguh, serta tekun dalam ibadah dan dzikir. Sampai – sampai beliau menunaikan haji tidak hanya sekali, dan beliau menunaikan umroh setiap kali berhaji. Ini lebih sering beliau lakukan dari pada sekedar melakukan umroh saja. Orang-orang yang dekat dengan beliau berkomentar, “Kami tidak pernah melihat orang yang lebih kuat dalam menaati Allah, menunaikan kewajiban-kewajiban dan memelihara sunah-sunah melebihi beliau rahimahullah. Ini diistiqomahi oleh beliau hingga hari-hari akhir kehidupannya yang sudah cukup tua (lebih dari enam puluh lima tahun). Beliau menyeru kepada Allah dengan menggunakan cara ahli tarekat, tetapi tetap berada dalam ‘cahaya’ serta berdasarkan kaidah-kaidah yang benar dan lurus. Dakwah beliau dibangun di atas fondasi ilmu, ibadah, ketaatan, dan dzikir. Beliau memerangi berbagai bid’ah dan khurafat yang merajalela di tengah pengikut tarekat; membela Kitab dan Sunah dalam kondisi apapun; memelihara ilmu dan berbagai ta’wil yang merusak; beramar ma’ruf nahi mungkar; serta menyampaikan nasihat kapan dan di mana saja berada, sehingga beliau berhasil mengubah banyak hal yang diyakini bertentangan dengan Kitab dan Sunah, yang banyak dijadikan pegangan oleh syaikh pengikut beliau”.

Hal yang sangat melekat dalam jiwa saya dari riwayat hidup beliau adalah ketegasan beliau dalam beramar ma’ruf nahi mungkar. Dalam melaksanakan hal ini, beliau tidak pernah merasa takut terhadap celaan orang. Beliau tidak pernah meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar, sekalipun terhadap pembesar atau penguasa.

Sebagai salah satu contoh, beliau pernah mengunjungi Rayyadh Pasha yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri. Dalam waktu yang bersamaan salah seorang ulama juga mengunjungi Rayyadh Pasha. Ulama ini mengucapkan salam kepada Rayyadh Pasha dengan membungkukkan badan hingga hampir seperti ruku’. Melihat hal itu, Syaikh langsung berdiri dengan marah dan menampar pipinya serta membentak dengan keras,”Hai lelaki, berdiri kau! Ruku’ itu tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah. Jangan hinakan agama dan ilmu sehingga Allah nanti akan menghinakan kalian!” Ulama tersebut maupun Pasha tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak menghukumnya.

Saat itu pula, salah seorang bangsawan Pasha lainnya – yang juga seorang teman Rayyadh Pasha – datang berkunjung. Ia mengenakan cincin emas dan memegang tongkat yang pegangannya terbuat dari emas pula. Syaikh kemudian menoleh kepadanya seraya berkata, “Apa-apaan ini? Menggunakan emas untuk perhiasan seperti ini adalah haram bagi laki-laki, sekalipun ia halal bagi wanita. Berikan saja keduanya kepada istri-istrimu. Janganlah menyelisihi perintah Rasulullah saw.!” Ia hendak membantah, namun akhirnya Rayyadh Pasha melerai keduanya. Meski demikian Syaikh tetap berpendirian bahwa orang itu harus melepas pegangan tongkat dan cincin emas itu sehingga tidak ada lagi kemungkaran.

Suatu ketika beliau menghadiri pertemuan yang diadakan oleh Gubernur Taufiq Pasha bersama para ulama. Beliau mengucapkan salam kepada Gubernur dengan suara yang cukup dapat didengar, namun Gubernur hanya membalas dengan isyarat tangan saja. Maka beliau akhirnya dengan tegas mengatakan kepadanya, “Membalas salam itu paling tidak harus sama atau lebih baik lagi. Maka katakanlah,’Wa’alaikumussalaam wa rahmatullahi wa barakatuh’. Menjawab salam hanya dengan isyarat tidaklah dibenarkan.” Sang Gubernur pun tidak punya pilihan lain kecuali harus menjawab salam Syaikh dengan lafal yang diperintahkan oleh Syaikh tersebut, bahkan ia memuji pendirian Syaikh dan sikap istiqomahnya pada agama.

Suatu ketika beliau mengunjungi salah seorang murid beliau yang menjadi pekerja bangunan. Beliau melihat sebuah patung yang terbuat dari gypsum (batu kapur) di atas meja pekerja itu. Beliau kemudian bertanya, “Apa ini, hai Fulan?”, “Ini adalah patung yang kami butuhkan dalam pekerjaan kami.” jawabnya. Beliau lalu mengatakan, “Itu haram hukumnnya.” Beliau kemudian mengambil patung itu dan mematahkan lehernya. Pada waktu yang sama, seorang Inspektur Inggris masuk ke ruangan dan melihat kejadian itu. Sang Inspektur meminta keterangan Syaikh mengenai tindakan tersebut. Syaikh lalu memberikan jawaban dan penjelasan yang bijak dan memahamkan sang Inspektur bahwa Islam datang untuk menegakkan tauhid yang murni dan mematikan paham paganisme dalam segala bentuknya. Oleh karena itulah Islam mengharamkan patung, karena keberadaannya dapat membuka jalan bagi praktek penyembahan. Penjelasan yang bijak ini membuat sang Inspektur merasa senang, padahal sebelumnya ia menyangka bahwa Islam berisi kebodohan yang berasal dari paganisme. Ia akhirnya mengucapkan salam kepada Syaikh serta memberi pujian kepadanya.

Suatu ketika beliau mengunjungi Masjid Al Husain dengan diikuti oleh sebagian muridnya. Beliau berhenti sejenak di kuburan untuk memanjatkan doa mat’sur (ada riwayatnya dari Rasulullah saw.) “Assalaamu’ala ahlid diyar minal mu’minin…”  Salah seorang pengikut berkata kepada beliau, “Wahai Syaikh, mohonkanlah pada Tuan Husain agar berkenan meridhaiku.” Mendengar permintaan ini beliau menatapnya dengan murka seraya berkata, “Yang dapat meridhai kami, meridhaimu, dan meridhainya hanya Allah.” Usai melakukan  ziarah itu, beliau menjelaskan kepada para muridnya mengenai hukum dan etika berziarah, menerangkan kepada mereka tentang perbedaaan antara ziarah kubur yang bid’ah dan ziarah kubur yang syar’i (dibenarkan secara syariat).

Ayah pernah bercerita kepada saya bahwa ia pernah berkumpul dengan Syaikh Al Hashafi rahimahullah di rumah salah seorang pembesar kota Mahmudia, yaitu Hasan Bek Abu Sayyid Hasan rahimahullah bersama para muridnya. Seorang pelayan wanita yang sudah cukup dewasa keluar untuk menghidangkan kopi kepada Syaikh, sementara kedua tangannya –mulai dari siku hingga ujung jari- dan kepalanya terbuka. Syaikh melihatnya dengan murka dan langsung memerintahkannya dengan tegas agar segera pergi dari ruangan itu untuk mengenakan penutup atau hijab. Syaikh enggan meminum kopi. Setelah itu Syaikh pun menyampaikan ajaran mengenai wajibnya menyembunyikan anak-anak wanita, sekalipun ia adalah pembantu, dan agar jangan sampai ada laki-laki asing yang melihat mereka.

Mengenai hal semacam itu beliau mempunyai banyak pengalaman dan memang demikianlah yang selalu beliau lakukan. Aspek inilah yang melahirkan perasaan kagum luar biasa dalam jiwa saya. Para murid beliau sering membicarakan tentang karamah (kekeramatan) Syaikh yang terlihat nyata, namun saya sendiri tidak pernah mendapati karamah yang mereka maksudkan itu. Yang kami dapati pada diri beliau adalah sudut-sudut amaliah seperti di atas. Saya sendiri meyakini bahwa karamah paling agung yang diberikan oleh Allah swt kepada beliau adalah taufiq dan hidayah-Nya untuk menyebarkan dakwah Islam berdasarkan fondasi-fondasi yang lurus dan benar, rasa benci kepada hal-hal yang diharamkan oleh Allah swt, dan senantiasa beramar ma’ruf nahi mungkar. Semua itu saya rasakan ketika usia saya belum lebih dari dua belas tahun.

Yang semakin membuat ikatan saya bertambah kuat dengan Syaikh yang mulia ini rahimahullah adalah pada waktu setelah berulang-ulang saya membaca buku Al Manhal. Saya bermimpi pergi ke kuburan kota. Saya melihat sebuah kuburan besar yang bergerak-gerak dan semakin menjadi-jadi hingga akhirnya terbuka. Darinya keluar api yang menjulang sampai menyentuh awan di langit, lalu perlahan membentuk seorang lelaki yang tinggi dan wajahnya mengerikan. Orang-orang pun berdatangan dari berbagai penjuru lalu mengelilinginya. Lelaki itu kemudian berteriak dan mengatakan kepada mereka, ”Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah menghalalkan segala yang pernah diharamkan-Nya atas kalian, maka berbuatlah sesuka kalian.” Saya pun lalu berteriak lantang di hadapannya, “Engkau dusta!” Setelah itu saya menatap wajah orang-orang yang berkumpul sembari berkata, ”Wahai manusia, ini adalah iblis terlaknat yang datang untuk menguji kalian berkenaan dengan urusan agama kalian dan untuk membisik-bisikkan kejahatan kepada kalian. Karena itu, janganlah kalian dengarkan perkataannya.” Ia marah besar seraya berkata kepadaku, ”Mari kita beradu cepat dihadapan orang-orang ini. Jika engkau dapat mengalahkan saya dan dapat kembali kepada mereka sedangkan saya tidak dapat menangkapmu, engkau berarti benar.” Saya pun menerima tantangan itu. Alhasil, saya berhasil melampauinya dengan kecepatan yang luar biasa jauh di depannya. Padahal langkah saya sangat kecil jika dibandingkan dengan langkahnya. Sebelum ia dapat menangkap saya, Syaikh rahimahullah muncul secara tiba-tiba lalu menggandeng tangan saya ke sebelah kirinya. Dengan mengangkat tangan kanan, ia terus berjalan ke hadapan siluman ini dan dengan berteriak beliau berkata kepadanya,”Enyahlah kamu, wahai terlaknat!” Akhirnya ia pun meninggalkan tempat dan hilang lenyap. Setelah itu Syaikh menyusul pergi. Saya kembali ke kerumunan orang dan saya berkata kepada mereka, “Tahukah kalian bagaimana si terlaknat itu menyesatkan kalian dari perintah-perintah Allah?” Seketika itu saya terbangun. Tiba-tiba saya telah diharu biru perasaan rindu kepadanya. Saya lalu menunggu-nunggu kehadiran As Sayyid Abdul Wahhab Al Hashafi, putra Syaikh Al Hashafi rahimahullah, lantaran saya ingin sekali dapat melihatnya dan segera mengambil amalan tarekat darinya. Akan tetapi dalam kesempatan itu beliau tidak hadir.

Saya diingatkan kembali oleh kisah di suatu kuburan dengan saudara kami, Syaikh Muhammad Abu Syausyah, seorang pedagang di kota Mahmudia. Ia banyak memberikan tarbiyah ruhiyah kepada kami. Ia pernah mengumpulkan kami yang berjumlah sekitar sepuluh orang, untuk dibawa ke kuburan. Kami berziarah kubur dan duduk di masjid Syaikh An-Najili. Di sana kami membaca wirid (wazhifah). Selanjutnya Syaikh Muhammad Abu Syausyah menceritakan kisah orang-orang shalih dan perilaku hidup mereka kepada kami, kisah yang dapat melunakkan hati dan memberi berbagai hikmah dan pelajaran. Setelah itu beliau memperlihatkan kuburan yang terbuka kepada kami, serta mengingatkan kami bahwa suatu saat nanti kita akan masuk ke dalamnya. Beliau bahkan sempat menyuruh salah seorang di antara kami agar masuk ke liang kubur dan berbaring sebentar untuk mengingatkan diri bahwa itulah tempat kembali, selain juga agar kami menyadari kegelapan di alam kubur. Akhirnya ia pun menangis dan kami menangis pula menyertainya. Setelah itu kami memperbarui tobat dengan penuh kekhusyu’an, semangat, penyesalan, dan tekad. Banyak di antara kami ketika itu yang saling mengikatkan gelang di pergelangan masing-masing yang terbuat dari benang tebal yang dinamakan dubarah dengan maksud agar gelang ini menjadi kenang-kenangan taubat. Kami mendapatkan pesan bahwa jika salah seorang diantara kami berhasrat melakukan maksiat atau terkalahkan oleh setan, hendaklah ia segera memegang gelang ini dan mengingat kembali bahwa ia dahulu telah bertaubat kepada Allah, serta telah berjanji akan menaati-Nya dan meninggalkan maksiat kepada-Nya. Dari nasihat ini, kami mendapat faedah yang cukup banyak. Semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada beliau.

Hatiku benar-benar telah terpaut dengan Syaikh rahimahullah ini, hingga saya sekolah di Madrasah Mu’alimin Al Awwaliyah di Damanhur. Di sanalah terletak makam beliau dan bangunan masjidnya yang belum lagi selesai dibangun ketika itu. Namun tidak lama kemudian berhasil juga diselesaikan. Saya cukup tekun mengunjunginya, bahkan hampir setiap hari. Saya bersahabat dengan ikhwan-ikhwan Hashafiyah di Damanhur. Saya juga tekun datang ke masjid At Taubah setiap malam. Saya menanyakan siapa yang menjadi ketua ikhwan-ikhwan di sini. Ternyata ia adalah seorang lelaki shalih yang bertaqwa, Syaikh Basyuni, yang juga seorang pedagang. Saya memohon kepadanya agar ia mengizinkanku berbai’at kepadanya. Ia pun menyanggupi. Ia berjanji kepadaku bahwa ia akan membawa diriku ke hadapan As Sayyid Abdul Wahhab apabila nanti beliau sudah datang.

Hingga saat ini saya belum pernah berbai’at resmi kepada seorangpun dalam jamaah tarekat. Saya hanyalah salah satu dari muhibbun, menurut istilah mereka.

Akhirnya As-Sayyid Abdul Wahhab tiba di Damanhur dan para ikhwan pun memberitahuku soal kedatangan beliau. Saya gembira sekali dengan berita ini. Saya menghadap Syaikh Basyuni dan memohon agar dapat berguru kepada Syaikh. Ia pun mengabulkan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 4 Ramadhan 1341 H, usai shalat ashar. Apabila saya tidak salah ingat, peristiwa itu bertepatan dengan hari Ahad yang pada hari itulah saya mengambil tarekat Hashafiyah Syadziliyah dari beliau dan beliau mengizinkanku untuk melaksanakan daur  dan wazhifah (wirid) tarekat tersebut.

Semoga Allah berkenan memberikan balasan sebaik-baiknya kepada beliau atas kebaikan yang telah diberikan kepada kami. Saya beruntung sekali karena dapat berdampingan dengan beliau. Tidak ada yang kuketahui soal agama dan tarekat beliau selain kebaikan adanya. Sifat-sifat kebaikan yang melekat pada diri pribadi beliau merupakan keistimewaan beliau. Sifat-sifat yang kami maksudkan adalah hatinya bersih dari memiliki harta yang ada di tangan orang lain, serius dalam segala hal, dan tidak pernah menggunakan waktu kecuali dalam rangka menuntut ilmu, berdzikir, atau melakukan ibadah yang lain, entah ketika sedang sendirian maupun ketika sedang bersama para pengikutnya. Beliau juga selalu memberikan pengarahan yang baik kepada para pengikutnya serta mengajak mereka untuk senantiasa berukhuwah, menuntut ilmu dan meningkatkan ketaatan kepada Allah.

Kiranya saya perlu menyebutkan salah satu diantara cara beliau yang bijaksana dalam men-tarbiyah. Beliau sama sekali tidak pernah memperkenankan para pengikutnya untuk memperbanyak debat dalam masalah-masalah khilafiyah dan mutasyabihat, atau menyitir pendapat kaum atheis, zindiq, maupun misionaris. Beliau menyarankan kepada mereka, ”Adakan hal semacam ini di majelis-majelis khusus kalian, di mana kalian sendiri bisa saling mempelajari dan mendiskusikannya. Adapun kepada masyarakat, hendaklah kalian berbicara dengan pengertian-pengertian yang secara nyata dapat memberikan pengaruh kepada mereka untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah. Karena kadang-kadang ada syubhat yang menimpa sebagian dari mereka, sementara mereka tidak tahu bagaimana harus mengatasinya, sehingga aqidahnya menjadi kacau tanpa tahu sebabnya; dan berarti kalianlah yang menjadi penyebabnya.”

Di antara kata-kata beliau yang masih terus saya ingat adalah apa yang disampaikan kepada saya dan Ustadz Ahmad As-Sukri dalam suatu majelis. Ungkapannya kurang lebih sebagai berikut: ”Sesungguhnya saya melihat suatu tanda bahwa Allah swt akan menggabungkan hati manusia dengan kalian, dan menghimpunkan banyak orang dengan kalian. Ketahuilah bahwa Allah akan menanyai kalian tentang waktu-waktu yang digunakan oleh orang-orang itu. Sudahkan kalian memberi sesuatu yang bermanfaat kepada mereka pada waktu-waktu itu, sehingga mereka memperoleh pahala, demikian juga kalian? Ataukah kalian justru membiarkan waktu itu sia-sia sehingga mereka hanya akan memperoleh siksa, demikian juga kalian?”

Demikian arahan beliau yang semuanya selalu diarahkan kepada kebaikan; dan yang saya tahu dalam diri beliau yang ada hanyalah kebaikan. Kami tidak menyatakan sesuatu kecuali yang kami ketahui dan kami tidak mengetahui hal yang ghaib.

Disela-sela kesibukan, saat di Mahmudia, kami mendirikan sebuah asosiasi yang bervisi ishlah (perbaikan), yakni Jam’iyatul Hashafiyah Al-Khairiyah. Ahmad Afandi As-Sukri, seorang pedagang di kota Mahmudia, terpilih sebagai ketuanya, sedangkan saya terpilih sebagai sekretarisnya. Asosiasi ini menitikberatkan kerjanya pada dua bidang penting.

Pertama, menyerbarkan seruan untuk berakhlak mulia, serta memberantas berbagai kemungkaran dan hal-hal haram yang telah merajalela seperti khamr, judi, dan berbagai tradisi bid’ah yang berkaitan dengan upacara pemakaman.

Kedua, membendung gerak misionaris yang dilakukan oleh penjajah Inggris yang telah menetap di berbagai wilayah. Pilarnya adalah tiga orang wanita yang diketuai oleh Mrs. Weit. Ia melakukan misi pengkristenan di bawah kedok kegiatan sosial dan kesehatan, pengajaran dan keterampilan seperti jahit-menjahit, dan melalui panti-panti asuhan untuk menampung anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Asosiasi ini menjalankan perjuangan misinya yang patut disyukuri dan di kemudian hari perjuangan ini terus dilanjutkan oleh Jamaah Ikhwanul Muslimin.

Hubungan kami dengan Syaikh As Sayyid Abdul Wahhab terus berlanjut dengan baik, sampai saya mendirikan Jamaah Ikhwanul Muslimin. Jamaah ini berkembang pesat. Mengenai ini, beliau mempunyai pandangan yang berbeda dengan pandangan kami. Masing-masing cenderung pada pendapatnya sendiri. Kami masih mengenang As Sayyid Abdul Wahhab – semoga Allah memberikan kebaikan kepadanya atas jasa baiknya kepada kami- dengan kenangan terindah yang pernah dialami oleh seorang murid, yang cinta dan tulus kepada gurunya, lantaran ia banyak beramal dan bertaqwa. Beliau selalu memberikan nasihat dengan tulus, serta menyampaikan petunjuk dan pengarahan dengan sebaik-baiknya.


sumber: hasanalbanna.id