2012-01-20 Ulumul Qur’an dan Sejarah Perkembangannya
Al Qur’an adalah mukjizat Islam yang abadi di mana semakin maju ilmu pengetahuan, semakin tampak validitas kemukjizatannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkannya kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, demi membebaskan manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya ilahi, dan membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah menyampaikannya kepada para sahabatnya sebagai penduduk asli Arab yang sudah tentu dapat memahami tabiat meraka. Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas bagi mereka tentang ayat-ayat yang mereka terima, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah.
Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu, bahwa ketika turun ayat,
ﺂلَّذِﯾنَءَ١ﻣنُوْ١وَلَمْﯾَلْبِﺴوْٓ١إِﯾمٓنَﮫﻢبِﻆُلْﻢٍٲُوْﻟٓءِكَ لَﻬُمُ آﻸَمَنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan merekalah orang-orang yang mendapat hidayah” (Al An’am:82).
Orang-orang yang merasa keberatan dengan ayat tersebut. Lalu mereka bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah mana ada orang yang tidak menzhalimi dirinya?” Beliau menjawab, “Pemahamannya tidak seperti yang kalian maksudkan, tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan seorang hamba yang saleh kepada anaknya”.
ٳِنَّ آلثِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمُ
“Sesungguhnya syirik itu adalah kezhaliman yang besar” (Luqman:13).
Adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, memberi tafsiran kepada mereka tentang beberapa ayat. Imam Muslim dan lainnya mengeluarkan hadits yang diriwayatkandari Uqbah bin Amir, dia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah membaca di atas mimbar,
وَأَعِدُّواْلَهُمْ مَّاآسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّۃ﴿اﻷﻧﻔال:٦٠
“Dan persiapkanlah segala jenis kekuatan yang dapat kamu sediakan untuk menghadapi mereka….” (Al Anfal:60)
Lalu, Beliau bersabda,
ٲَﻻَٳِنَّ اﻟْقُوَّۃَ اﻟرَّﻣْﻲُ
“Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan (al quwwah) tersebut adalah memanah”. (Al Hadits)[1]
Para sahabat sangat bersemangat untuk mendapatkan pengajaran Al Qur’an Al Karim dari Rasulullah. Mereka ingin menghafal dan memahaminya. Bagi mereka, ini merupakan sesuatu kehormatan.
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Ada seorang laki-laki di antara kami yang apabila membaca surat Al Baqarah dan Ali Imran, ia begitu antusias”. (HR Ahmad)
Seiring dengan itu, mereka juga bersungguh-sungguh mengamalkannya dan menegakkan hukum-hukumnya.
Abu Abdirrahman As Sulami meriwayatkan, bahwa orang-orang yang biasa membaca Al Qur’an kepada kami, seperti Ustman bin Affan dan Abdullah bin Mas’ud, serta yang lainnya; apabila mereka belajar spuluh ayat dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, mereka enggan melewatinya sebelum memahami dan mengamalkannya. Mereka mengatakan, “Kami mempelajari Al Qur’an, ilmu dan amal sekaligus.”[2]
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengijinkan mereka menulis apa pun selain Al Qur’an, sebab ditakutkan dapat tercampur aduk dengan yang lain.
Muslim meriwayatkan dari Abu Said Al Khudri, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
ﻻَتَکْتُبُواعَنِّي وَﻣنْکَتَبَ عَنِّي غَيْرَالْقُرْآنِ فَﻠْﯿَﻤْﺣُﻪُوَﺣَدِّثُواعَنِّي وَﻻَﺣَرَجَ وَمَنْ کَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًافَلْيَتَبَوَّأْمَقْعَدَہُمِنَ النَّارِ
“Janganlah sekali-kali menulis apa pun dariku. Barangsiapa menulis sesuatu selain Al Qur’an dariku maka hapuslah. Sampaikanlah haditsku, tidak masalah. Namun, barangsiapa mendustakan aku dengan sengaja, maka nerakalah tempatnya”.
Sekalipun Rasulullah pernah mengijinkan sebagian sahabatnya setelah itu untuk menulis hadits, sesungguhnya hal-hal yang berkaitan dengan Al Qur’an masih tetap bersandar pada riwayat, yaitu melalui talqin.[3] Demikianlah yang terjadi masa Rasul, masa Khalifah Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu Anhuma.
Lalu, pada masa Khalifah Utsman[4]Radhiyallahu Anhu, sesuai dengan tuntutan kondisi -seperti yang akan dijelaskan kemudian[5]membuat suatu terobosan ijtihad mulia, yaitu demi menyatukan kaum muslimin dengan pedoman satu mushaf yang kemudia diberi nama mushaf Al Imam. Selanjutnya, mushaf tersebut dikirim ke berbagai negeri saat itu. Adapun tulisan huruf-hurufnya disebut rasm Utsmani, yang dikaitkan dengan nama Khalifah Utsman. Langkah ini adalah awal munculnya ilmu penulisan rasm Al Qur’an.
Kemudian, Khalifah Ali Radhiyallahu Anhu menyuruh Abul Aswad Ad-Duali untuk menggagas kaedah nahwu, demi menjaga adanya kekeliruan dalam pengucapan dan untuk lebih memantapkan bagi pembacaan Al Qur’an. Hal ini dianggap sebagai cikal bakal dari munculnya ilmu i’rab Al Qur’an.
Para sahabat pun meneruskan tradisi memahami makna-makna Al Qur’an dan tafsirnya sesuai dengan kondisi mereka masing-masing; baik kemampuan yang berbeda dalam memahami maupun intensitas dalam kedekatannya dengan Rasulullah. Selanjutnya, dalam kondisi demikianlah murid-murid para sahabat dari kalangan tabi’in mengambil ilmu dari mereka.
Di antara para mufassir terpopular di kalangan sahabat Nabi adalah; empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al Asy’ari dan Abdullah bin Zubair.
Cukup banyak riwayat-riwayat tentang tafsir yang diriwayatkan dari beberapa sahabat semisal; Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab. Dan biasanya apa yang diriwayatkan dari meraka tidaklah selalu mengandung tafsir Al Qur’an secara utuh, tetapi masih berkisar tentang makna-makna beberapa ayat, serta penjelasan ayat yang masih samar dan global.
Adapun dari kalangan tabi’in, tidak sedikit yang menimba ilmu dari sahabat dan kemudian melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat.
Di antara murid-murid Ibnu Abbas yang cukup termasyhur adalah Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Thawus bin Kisan Al Yamani, dan Atha’ bin Abi Rabah.
Murid Ubay bin Ka’ab yang terpopular di Madinah adalah Zaid bin Aslam, Abul Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab Al Qurazhi.
Di Irak terdapat beberapa murid Abdullah bin Mas’ud yang juga terkenal sebagai mufassir. Meraka yaiti; Alqamah bin Qais, Masruq bin Al Ajda’, Aswad bin Yazid, Amir Asy Sya’bi, Hasan Al Bashri, dan Qatadah bin Di’amah As-Sadusi.
Adapun jenis ilmu yang diriwayatkan dari mereka itu mencakup; ilmu tafsir, ilmu gharib Al Qur’an, ilmu asbab an nuzul, ilmu Makkiyah-Madaniyah, dan ilmu-ilmu nasikh-mansukh. Tetapi, semua ini diriwayatkan dengan cara talqin (belajar langsung dari guru).
Abad kedua hijriyah adalah masa kodifikasi. Mula-mula kodifikasi hadits dengan metode penggunaan bab-bab yang kurang sistematik. Semuanya mencakup segala yang berkaitan dengan tafsir. Sebagian ulama menyatukan tafsir yang diriwayatkan tanpa melihat apakah itu bersal dari Nabi, sahabat atau tabi’in.
Tokoh-tokoh yang melakukan kodifikasi itu diantaranya Yazid bin Harun As-Sulami (wafat 117 H), Syu’bah bin Al Hajjaj (wafar 160 H), Waki’ bin Jarrah(wafat 197 H), Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H), dan Abdul Razzaq bin Hammam (wafat 211 H). Kesemua ulama itu pada dasarnya termasuk ulama hadits. Hingga sekarang kita belum menemui penjelasan-penjelasan tafsir mereka dalam berbagai kitab.
Pada masa selanjutnya, sekelompok ulama melakukan penafsiran secara komprehensif terhadap Al Qur’an sesuai tertibnya ayat yang ada dalam mushaf. Di antara mereka yang terkenal adalah Ibnu Jabir Ath Thabari (wafat 310 H).
Demikianlah, pertama kali tafsir dilakukan dengan metode dari mulut ke mulut dan periwayatan, lalu melalui proses kodifikasi, tapi masih masuk dalam bab-bab hadits. Lalu pada tahap berikutnya dikodifikasikan secara mandiri. Kemudian muncul tafsir bil ma’tsur (yang menggunakan dalil-dalil Al Qur’an, hadits Nabi, serta perkataan para sahabat, dan salafush shalih), dan tafsir bir ra’yi (yang menggunakan akal atau pendapat pribadi).
Dalam bidang ilmu tafsir muncul karya-karya tematik yang berkaitan dengan tafsir Al Qur’an yang cukup penting bagi seorang mufassir.
Ali bin Al Madini, guru imam Al Bukhari (wafat 234 H), menulis tentang asbab an nuzul. Abu Ubaid Al Qasim bin Sallam (wafat 224 H) melahirkan karya tentang nasikh-mansukh dan masalah qiraat.
Ibnu Qutaibah (wafat 275 H) menulis masalah problema Al Qur’an (Musykil Al Qur’an). Mereka itu merupakan para ulama abad ketiga Hijriah.
Pada abad keempat Hijriah, juga tidak sedikit yang menulis tentang masalah terkait; Muhammad bin Khalaf bin Al Marzuban (wafat 309 H), menulis sebuah kitab “Al Hawi fi ‘Ulumi Al Qur’an,” Abu Bakar Muhammad bin Al Qasim Al Ambari (wafat 309 H) menulis kitab “Ulum Al Qur’an” Abu Bakar As-Sijistani (wafat 388 H) karyanya adalah “Gharib Al Qur’an,” dan Muhammad bin Ali Al Afudi (wafat 388 H) menulis kitab “Al Istighna’ fi ‘Ulum Al Qur’an.”
Kemudian banyak karya-karya ulama yang muncul melanjutkan pengkajian dalam disiplin ulumul Qur’an. Abu Bakar Al Baqillani (wafat 403 H) menulis kitab “I’jaz fi ‘Ulum Qur’an”, Ali bin Ibrahim bin Said Al Hufi (wafat 430 H) memunculkan kitab “I’rab Al Qur’an” Al Mawardi (wafat 450 H) menulis tentang “Amtsal Al Qur’an”, Izzuddin bin Abdissalam (wafat 660 H) menulis “Fi Majaz Al Qur’an” dan ‘Alamuddin As Sakhawi (wafat 751 H) menulis “Ilmu Al Qira’at”. Tak ketinggalan, Ibnul Qayyim (wafat 751 H) melahirkan kitab “Aqsam Al Qur’an”. Inilah sejumlah karya ulama yang telah mengkaji ilmu-ilmu Al Qur’an yang saling terkait antara satu dengan lainnya.
Karya-karya ulama itu telah dirangkum dalam satu karya besar sebagaimana yang disinyalir oleh Az Zarqani dalam kitabnya “Manahil Al ‘Irfan fi ‘Ulum Al Qur’an”[7] bahwa di dalam Dar Al Kutub Al Mishriyah ada sebuah kitab karya Ali bin Ibrahim bin Said, terkenal dengan sebutan Al Hufi. Nama kitab tersebut “Al Burhan fi ‘Ulumi Al Qur’an”, terdiri dari 30 jilid. Di dalamnya terdapat 15 jilid yang mana di sana penulisnya menyebut ayat-ayat Al Qur’an sesuai dengan tertib mushaf yang mencakup pembahasan ulumul Qur’an. Di satu sisi penulis memberikan tajuk yang terkait dengan masalah i’rab, pembahasan di dalamnya menyangkut tentang gramatika (nahwu) dan kebahasan. Dalam masalah makna dan tafsir, ia menjelaskan dengan metode tafsir bil ma’tsur dan ma’qul. Kemudian ia membahas masalah Al waqf dan at tamam, terkadang ia membahas masalah qiraat ini di dalam topik tersendiri. Di sisi lain ia juga membicarakan tentang masalah hukum yang diistinbathkan dari ayat-ayat yang dijelaskannya.
Dengan metodologi semacam ini, Al Hufi bisa dianggap sebagai orang pertama yang merumuskan kodifikasi ilmu-ilmu Al Qur’an, walaupun kodifikasi ini termasuk dalam model yang khusus, sebagaimana telah disebutkan.
Lalu, Ibnul Jauzi (wafat 597) mengikuti jejak Al Hufi. Ia menulis kitab “Funun Al Afnan fi ‘Aja’ibi ‘Ulum Al Qur’an.[8] Badruddin Az Zarkasyi (wafat 794 H) menulis “Al Burhan fi ‘Ulum Al Qur’an.”[9]Jalaluddin Al Balqini (wafat 824 H) menulis “Mawaqi’Al ‘Ulum min Mawaqi’ An-Nujum,” menambahi sedikit kitab Az Zarkasyi. Kemudian, Jalaluddin As Suyuthi (wafat 911 H) dengan kitabnya yang cukup terkenal yaitu “Al Itqan fi ‘Ulum Al Qur’an.”
Dalam konteks modern, studi ilmu-ulmu Al Qur;an tetap tidak kalah menarik dengan ilmu-ilmu yang lain. Orang-orang yang berkompeten dengan gerakan pemikiran Islam terus berupaya menemukan rumusan kajian-kajian Al Qur’an yang relevan dengan perkembangan zaman, seperti kitab “I’jaz Al Qur’an” karya Musthafa Shadiq Ar Rafi’i, kitab saya sendiri, “At Tashwir Al Fanni fi Al Qur’an, “Masyahid Al Qiyamah fi Al Qur’an” karya Sayyid Quthb, “Tarjamah Al Qur’an” karya Syaikh Muhammad Musthafa Al Maraghi, termasuk pembahasan tentang buku tersebut oleh Muhibbuddin Al Khatib, “Mas’alatu Tarjamah Al Qur’an” oleh Musthafa Shabri, “An-naba’ Al’Azhim” karya DR. Muhammad Abdullah Darraz dan buku pengantar tafsir “Mahasin At-Ta’wil” yang ditulis oleh Muhammad Jamaluddin Al Qasimi.
Juga, Syaikh Thahir Al Jazairi menulis satu buku “At-Tibyan fi ‘Ulum Al Qur’an”, Syaikh Muhammad Ali Salamah menerbitkan “Manhaj Al Furqan fi ‘Ulum Al Qur’an”, Syaikh Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqani sendiri menulis “Manahil Al ‘Irfan fi ‘Ulum Al Qur’an”, kemudian Syaikh Ahmad Ahmad Ali memunculkan buku “Mudzakkirah fi ‘Ulum Al Qur’an”. Buku ini dijadikan buku pegangan di fakultas tempat dia mengajar, pada jurusan Dakwah dan Bimbingan (Qism Ad Da’wah wal Irsyad). Yang terakhir adalah karya Ustadz Ahmad Muhammad Jamal.
Inilah beberapa kajian yang dikenal sebagai studi ilmu-ilmu Al Qur’an. Sekarang, kita beralih kepada definisi singkat tentang ulumul Qur’an.
‘Ulum adalah bentuk plural dari ‘ilm. ‘Ilm sendiri maknanya Al fahmu wa Al idrak (pemahaman dan pengetahuan). Kemudian, pengertiannya dikembangkan kepada kajian berbagai masalah yang beragam dengan standar ilmuah.
Dan yang dimaksud dengan ‘Ulum Al Qur’an, yaitu suatu ilmu yang mencakup berbagai kajian yang berkaitan dengan kajian-kajian Al Qur’an seperti; pembahasan tentang asbab an-nuzul, pengumpulan Al Qur’an dan Penyusunannya, masalah Makkiyah dan Madaniyah, nasikh dan munsukh, muhkam dan mutasyabihat dan lain-lain.
Kadang-kadang Ulumul Qur’an ini juga disebut sebagai ushul at-tafsir (dasar-dasa/prinspi-prinsip penafsiran), karena memuat berbagai pembahasan dasar atau pokok yang wajib dikuasai dalam menafsirkan Al Qur’an.[10]
[1] Penulis tidak mentakhrij hadits ini. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ad-Darimi, dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu Anhu
[2] HR. Abdul Razaq dengan lafazh yang semakna. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Syakir
[3] Talqin disini, maksudnya yaitu belajar Al Qur’an langsung dari seorang Syaikh yang mempunyai sanad bersambung kepada Nabi. (Edt.)
[4] Al Qur’an pertama kali dikumpulkan adalah pada masa Abu Bakar paska peperangan Yamamah sebagaimana akan dijelaskan dalam pembahasan yang akan datang
[5] Lihat dalam pembahasan pengumpulan Al Qur’an pada masa Utsman.
[6] Muqaddimah Ibnu Taimiyah fi Ushuli At-Tafsir /15
[7] Lihat Manahil Al ‘Irfan fi ‘Ulum Al Qur’an, I/27 dan seterusnya
[8] Skripnya yang belum diterbitkan masih ada, tapi tidak lagi sempurna. Terdapat di perpustakaan Timuriah.
[9] Yang kemudian di edit dan dieterbitkan oleh Muhammad Abu Al Fadhl Ibrahim, ada 4 jilid
[10] Kami kira cukup dengan pemaparan historis di atas termasuk dengan pendefinisiannya secara global tentang Ulumul Qur’an yang dikenal sebagai satu disiplin ilmu.
sumber: hasanalbanna.id