Skip to main content

2012-01-26 Firasat

Muhammad-Anis-Matta1.jpg

Ketika perang dunia kedua meletus tahun 1942, Soekarno meramalkan bahwa kawasan Pasifik pasi akan menjadi medan tempur yang sengit. Semua pihak pasti  lelah. Belanda dan  Jepang  tidak  akan  mampu  mengurus  tanah  jajahannya.  Dan,  inilah  kesempatan emas  untuk  merdeka.  Tahun  1945,  Soekarno  memproklamasikan  kemerdekaan Indonesia, dan Bangsa Indonesia pun menobatkannya sebagai pahlawan nasional.

Menjelang  setiap  momentum  kepahlawanan  selalu  akan  ada  sebuah  pekerjaan  berat: pengambilan  keputusan.  Kelihatannya  mudah  untuk  mengatakan  bahwa  keputusan dapat diambil secara  tepat manakala ada  informasi yang cukup dan akurat. Namun,  itu dalam  situasi  normal,  sedang  momentum  kepahlawanan  biasanya  justru  muncul dalam  situasi  tidak  normal.  Dalam  keadaan  seperti  ini,  rasionalitas  menjadi  tidak mandiri.  Ada  kekuatan  lain  yang  lebih  menentukan:  firasat.  la  hadir  di  ujung rasionalitas,  dan  tangannyalah  yang  akan  mengetuk  palu,  setelah  itu:  Anda  jadi pahlawan atau tidak sama sekali.

Maka, di sini tersembunyi sebuah perjudian, sebuah spekulasi: sebab firasat menyerupai usaha peramalan yang  tidak mempunyai “dalil” selain dari keyakinan yang menumpuk dalam hati, kukuh, dan kuat. Dalam ruang hati  itu tidak ada  lagi tempat bagi keraguan, kegamangan,  dan  kekhawatiran.  Nasib  digariskan  di  sini,  dan  sejarah  hanya  akan memotret dan mencatatnya. Tidak lebih.

Peramalan, dalam situasi tidak normal, tentulah tidak sepenuhnya merupakan pekerjaan intuisi  yang melahirkan  firasat. Kecukupan  dan  akurasi  informasi  tetap  akan menjadi faktor yang menentukan. Akan  tetapi,  ia hanya menentukan di awal peramalan, ketika seorang  pahlawan  sedang  membangun  kerangka  pemahamannya  tentang  situasi  dan masa  depan.  Sisanya,  firasat  akan menjadi  referensi  terakhir  saat  di mana  seseorang harus menentukan pilihan akhir.

Maka,  ketika  Abu  Bakar  memutuskan  untuk  memerangi  orang-orang  murtad,  beliau menghadapi penolakan dari  semua  sahabat Rasulullah  saw. Dan  yang paling keras menolak adalah Umar Bin Khattab. Akan  tetapi,  beliau  tetap  kukuh  dengan  keputusannya. Alasannya sederhana: dengan firasatnya yang tajam, gerakan murtad  ini, walaupun hanya bermula dari  penolakan membayar  zakat,  akan menjadi  cikal  akan  lepasnya  ikatan  Islam,  baik secara ideologi maupun struktural, yang akan sangat membahayakan.

Ketika  Umar  terus  memintanya  bersikap  lebih  lembut  dengan  alasan  persatuan  dan stabilitas  seteiah wafatnya Rasulullah  saw,  beliau mengatakan.  “Apakah  ajaran  Islam akan  berkurang  padahal  saya  masih  hidup?”  Maka,  Umar  pun  terdiam,  kemudian berkata, “Tampaknya Allah telah melapangkan dadanya dengan ilham tertentu.”

Ternyata  Abu  Bakar  benar.  Jazirah  Arab  menjadi  basis  kekuatan  Islam  seteiah  itu, karena  sumber  keretakan  internal  telah  dilenyapkan.  Dengan  demikian,  firasat merupakan  simpul  akhir  dari  keseluruhan  kualitas  kepribadian  kita,  sekaligus merupakan  “bantuan  Allah”  yang  kemudian  kita  sebut,  “taufik”  (sesuatu  yang membuatnya tepat).


sumber: hasanalbanna.id