Skip to main content

2011-12-07 Problematika Umat

Musthafa-Muhammad-Thahan.jpg

Kita tidak akan menganggap berlebihan orang yang mengatakan bahwa kita adalah ummat yang terbelakang dalam pentas peradaban dunia, yang konsumtif dan tidak produktif, mengekor dan tidak kreatif, dan menyerahkan urusan kita kepada orang lain, serta bahtera kita dikemudikan orang lain ke arah kepentingan yang ia inginkan.

Para pemikir yang menganalisa sebab-sebab keterbelakangan ini terbagi menjadi dua kelompok:

  1. Kelompok yang menyatakan bahwa penjajahan sebagai biang seluruh keterbelakangan ummat.
  2. Kelompok yang memandang bahwa kebodohan di tengah ummat, kerusakan akhlak, dan kondisi jumud dalam pemikiran serta keilmuan, itulah penyebab kehancuran peradaban, kemudian datanglah penjajah menambah keterbelakangan ini dan mengambil kesempatan di tengah kelemahan ummat. Kelompok ini meyakini seandainya ummat Islam menghadapi serangan penjajah dalam kondisi berpegang teguh dengan dien dan akhlaknya, kreatif dalam bidang ilmu pengetahuan, maju dalam pemikiran dan peradaban, niscaya penjajah tersebut gagal total dalam mempengaruhi ummat, bahkan bisa jadi justru merekalah yang terpengaruhdengan kepribadian ummat sebagaimana terjadi pada pasukan Tatar (Mongol) dan pasukan Salib.

Sedangkan serangan penjajah Barat yang terakhir sejak awal abad ke-X Hijriyah dan berlangsung selama empat abad, baru berhasil menguasai negeri-negeri Islam sesudah Perang Dunia I. Negeri-negeri Islam dijajah dengan menggunakan kekerasan yang paling keji dan dipecah belah menjadi beberapa kabilah, kelompok, atau negeri kecil. Fikrah Islamiyyah yang merupakan asas kesatuan ummat pun diperangi, sambil ditanamkan dalam otak pemikir-pemikir muslim khususnya, dan ummat secara umum, bahwa dunia Timur (Islam) tidak akan bangkit dari keterbelakangan kecuali bila ummat membuang agama mereka sebagaimana Barat melakukannya. Dan, peradaban Barat yang “ilmiyah” harus diterima sepenuhnya, karena di dalamnya terdapat solusi bagi problematika masyarakat dulu dan kini.

Kisah Barat dan Agama

Kekuasaan saat itu ada di tangan gereja, semua tunduk kepadanya, termasuk para penguasa. Tokoh-tokoh gereja membangun istana keyakinan mereka di atas kumpulan teori filsafat ilmiah Yunani. Ketika zaman kebangkitan  muncul, dan para ilmuwan mulai melakukan analisa dan uji coba, barulah mereka mengetahui betapa jauhnya kerancuan teori ilmu dan falsafah gereja tersebut.

Di sisi lain gereja tidak mungkin menarik kembali keyakinannya, atau berkompromi, atau menerima kritik obyektif dari para ilmuwan, apalagi menguji kembali secara ilmiah doktrin-doktrin yang diajarkannya. Bahkan gereja berkeyakinan bahwa jika asas keyakinan mereka terbongkar kepalsuannya, pasti seluruh bangunan keyakinan itu akan hancur, dan itu berarti kehancuran agama Nasrani. Oleh karena itu, mereka memerangi para ilmuwan dengan seluruh kekuatan yang mereka miliki: memenjarakan, membunuh, dan membakar para ilmuwan. Maka jurang pemisah antara gereja dan para ilmuwan semakin besar.

Keadaan berpihak kepada para ilmuwan dan tokoh-tokoh pencerahan hingga akhirnya kekuasaan gereja tersingkir dan runtuh. Tetapi gelombang perlawanan tidak hanya terjadi pada gereja dan agama Nasrani saja, melainkan menimpa seluruh agama. Jadilah agama dalam pandangan mereka kebohongan dan kepalsuan yang bertentangan dengan akal sehat. Keyakinan agama hanyalah ketundukan buta tanpa dalil dan argumentasi ilmiah, sehingga tokoh-tokoh agama khawatir dengan kebangkitan ilmu pengetahuan yang bisa membongkar kepalsuan mereka.

Pengaruh yang Ditimbulkan

Peristiwa di atas memberikan pengaruh yang sangat besar pada visi peradaban Barat terutama dalam menciptakan teori filsafat dan teori sosial sebagai pengisi otak dan jiwa masyarakat yang kosong yang telah ditinggalkan oleh agama. Di antara pengaruh yang ditimbulkan adalah:

  • Munculnya pendapat bahwa agama hanyalah urusan hati dan pribadi seseorang, tidak ada hubungannya dengan masalah sosial, politik, atau ekonomi sama sekali.
  • Terus berlangsungnya permusuhan antara agama dengan ilmu, seni, serta sastra sejak lahirnya masa pencerahan ilmiah, sehingga muncullah peradaban sekuler yang bebas dari nilai-nilai dan batas-batas. Jika agama memiliki persepsi tertentu tentang eksistensi manusia, maka peradaban sekuler pun mencoba membuat persepsi tentang eksistensi manusia dan alam. Persepsi itu adalah: “Bahwa manusia ada begitu saja di atas muka bumi, tidak bertanggung jawab kepada siapapun, tidak menerima arahan dan petunjuk dari siapapun, hanya pengalaman dirinya dan pengalaman generasi sebelumnya yang menjadi sumber petunjuk hidup.”

Adapun keberadaan manusia dan keterikatannya dengan alam dan kehidupan, maka peradaban hari ini memiliki persepsi dan teori filsafat tentangnya berdasarkan pada dua hal:

  1. Bahwa kehidupan adalah materi, manusia tidak boleh percaya dengan sesuatu di luar hukum sebab-akibat atau uji coba ilmiah.
  2. Bahwa hidup adalah pertarungan.

Heigel Memimpin Pertarungan

Dalam samudera pertarungan, Heigel, salah seorang filosof mengatakan, “Bahwa setiap masa memiliki peradaban, dan peradaban ini kokoh lewat pertarungan melawan nilai-nilai sebelumnya. Nilai-nilai itu jatuh di tengah jalan, sedangkan yang tetap bertahan bergabung bersama peradaban baru. Kemudian jika masa dan peradaban tersebut sudah tua, akan lahir kelompok dan pemikiran baru yang kontradiktif dan melanjutkan pertarungan sehingga melahirkan peradaban baru untuk zaman yang baru.”

Filosofi inilah yang menjadi tulang punggung alfikru al gharbi (pemikiran Barat). Secara singkat, ia mengandung arti bahwa tidak ada sesuatu yang bernilai di masa lalu yang dapat dijadikan petunjuk di dalam kehidupan.

Artinya, tidak ada kesempatan —dalam pandangan teori ini— untuk menunggu atau mencari hidayah agama-agama, karena agama telah berlalu sekian abad lamanya.

Teori Darwin

Sedangkan Darwin memandang bahwa kehidupan adalah medan pertarungan antara yang kuat melawan yang lemah. Bahwa yang kuat akan menang dan bertahan karena ia berhak hidup, sedangkan yang lemah akan mati karena dengan kelemahannya ia tidak berhak hidup. Teori ini diterapkan oleh penjajah di seluruh negeri jajahan mereka, bahkan hingga pemikir-pemikir dan penulis-penulis mereka menegaskan bahwa kaum kulit berwarna tidak berhak hidup kecuali sebagai “jongos” bagi “tuan-tuan” kulit putih.

Di bawah teori inilah hancurnya nilai-nilai dan akhlak yang diajarkan agama-agama, terutama Islam yang telah meninggikan dan membuktikan syi’arnya yang adil sepanjang sejarah.

Marx dan Pertarungan

Kari Marx tidak menambah teori konflik ini kecuali hanya membatasi konflik pada “konflik golongan (antar kelas)” dalam meraih tujuan materi. Sejauhmana ketajaman konflik berlangsung dan seberapa banyak darah yang mengalir, sebesar itu pula kedahsyatan dan kepentingan berlangsungnya revolusi kemanusiaan.

Inilah garis-garis besar filsafat peradaban Barat yang dibawa oleh para pemikir Eropa pada saat tentara mereka menguasai negeri-negeri Islam.

Dunia Islam menjadi sasaran penjajahan asing yang menginginkan bukan hanya penjajahan militer yang pasti berakhir cepat atau lambat, tetapi juga bentuk-bentuk penjajahan yang lain. Oleh karena itu berlangsunglah konfrensi-konfrensi yang  diikuti para petinggi militer yang berpengalaman beserta para ahli perencanaan strategi, pendidikan dan perundang-undangan, dan propagandis.

Berjalanlah para propaganda peradaban Barat di samping pasukan perang, dan ketika pasukan perang meninggalkan dunia Islam setelah separuh abad atau lebih, mereka meninggalkan problematika lain bagi ummat Islam. Para penjajah telah berhasil menggantikan nilai-nilai setempat dengan nilai-nilai penjajah, dan menganggap serta mengatakan kepada kita bahwa kedatangan mereka untuk memakmurkan negeri, bahwa mereka adalah kawan baik.

Lalu apa yang telah dilakukan oleh “kawan baik” ini?

Di Bidang Politik

Politik penjajah berdiri di atas:

1. Politik Pecah Belah (At Taj’i’ah).

Usaha pertama yang dilakukan penjajah terhadap dunia Islam adalah membaginya menjadi bagian-bagian atau negeri-negeri kecil. Langkah awal mereka adalah membuat bangsa Arab “dengan senang hati” memberontak terhadap Turki Utsmani dengan alasan mereka lebih berhak memegang khilafah, dan menjanjikan mereka dengan terbentuknya Imperium Arab yang menyatukan seluruh bangsa Arab, jika mereka mau melakukan pemberontakan.

Di antara hasil dari perang dunia pertama ini ialah Turki Utsmani terkepung dan terisolasi, sedangkan negeri-negeri Arab terbagi menjadi lebih dari dua puluh negara kecil. Perpecahan itu berlangsung hingga kini tidak hanya dalam batas teritorial, tapi juga perpecahan dalam mencapai kepentingan. Penjajah telah meninggalkan luka perpecahan yang tetap berlangsung dan mudah menganga kembali ketika terlihat mulai sembuh. Yang aneh justru Inggris menyatukan India ketika menjajahnya, dan sebaliknya memecah belah negeri Islam yang tadinya bersatu.

2. Sekularisme (Al I’adimyah)

Pena-pena eksternal dan internal ummat Islam mulai menjajakah peradaban sekuler: ada Kook Alab di Turki, Thoha Husein dan Qosim Amin serta ‘Ali Abdur Raziq di Mesir, Ahmad Khan di India, dan lain-lain, yang awalnya masih malu-malu menulis bahwa agama hanyalah hubungan seseorang dengan Tuhan-nya, tidak ada hubungan selain itu, jika ummat ingin meninggalkan kebodohan dan keterbelakangannya maka ia harus melewati fase agama (fase penuh khurafat) menuju fase ilmu dan materi atau uji coba ilmiyah. Jika seseorang ingin melaksanakan sholat dan berdo’a, maka itu adalah urusan pribadinya, di luar itu tidak ada peran agama baik di bidang politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan, sastra, seni, dan akhlak.

3. Nasionalisme (Al Qaumiyah Al Unshuriyah)

Nasionalisme yang mereka sebarkan di negeri kita ialah nasionalisme sekuler. Telah terjadi kesepakatan antara Asy Syarif Husein dengan Inggris dalam surat-suratnya bahwa negara Arab yang dicita-citakan adalah negara nasionalis, bukan agamis. Dan, nasionalisme yang lepas dari nilai-nilai Islam akan mencari syi’ar-syi’ar dan simbol-simbol lain untuk menyatukan rakyatnya, maka di Mesir ada Fir’aunisme, di Syiria ada Al Asyuriyyah. Kemudian jadilah setiap daerah memiliki simbol-simbol khusus seperti Libanon, Yordania, Syiria, yang masing-masing merasa memiliki peradaban sendiri.

4. Demokrasi Palsu (Ad Dimuqrathiyah Al Mu’ayafah)

Yaitu hukum rakyat untuk rakyat sebagai uslub/cara pemerintahan. Barat telah berhasil sampai batas tertentu merealisasikan sistem ini, dan manusia telah mencapai kebebasan yang cukup banyak di bawah naungannya. Sedangkan Dunia Ketiga atas nama demokratisasi mengalami banyak penindasan, dan di bawah nama demokrasi berdirilah lembaga-lembaga yang justru merendahkan kemerdekaan manusia.

Di Bidang Perundang-undangan

Bidang perundang-undangan adalah bidang yang paling dicermati oleh penjajah. Mereka tidak akan meninggalkan daerah jajahan kecuali jika telah yakin bahwa penduduknya siap memberlakukan undang-undang sekuler (Barat), sebagai ganti syari’at Islam.
Dalam peringatan lima puluh tahun Perjanjian Lousanne, televisi Turki mewawancarai Ismat Anino (utusan Turki pada perjanjian tersebut). Ketika televisi menanyakan tentang perjanjian yang telah berlalu 50 tahun itu, ia mengatakan: “Barat telah menyetujui tuntutan kemerdekaan kita (Turki) dan  menarik pasukannya dengan syarat-syarat. Syarat yang paling penting adalah penghapusan khilafah, menyingkirkan seluruh keluarga Utsman dari Turki, dan mengganti syari’at Islam dengan undang-undang Eropa. Mereka juga mengharuskan pengiriman utusan khusus mereka untuk mengawasi pelaksanaan syarat yang terakhir”.

Seluruh negeri-negeri muslim yang telah meraih kemerdekaan secara politis telah menyingkirkan syari’at Islam dan menggantikannya dengan undang-undang Barat, dan penerapan syari’at hanya terbatas pada urusanurusan pribadi, bahkan akhirnya itupun tidak diberlakukan lagi.

“Undang-undang memiliki hubungan erat dengan akhlak masyarakat. Apabila manusia menetapkan suatu undang-undang, pasti di balik itu ada filosofi perilaku kemasyarakatan, dan masyarakat pasti akan diarahkan untuk hidup sesuai filosofi tersebut. Demikian juga jika manusia menghapus sebuah undang-undang, berarti ia menghapus konsep akhlak dan filosofi kemasyarakatannya yang menjadi landasan undang-undang tersebut. Maka tatkala penjajah menghapus syari’at Islam dan menggantinya dengan undang-undang mereka, hal itu tidak berarti sebuah undang-undang telah digantikan oleh undang-undang lain saja, tetapi juga berarti bahwa di negeri itu sistem akhlak dan kemasyarakatan telah dihapus dengan sistem yang lain.” [Waqi’ Al Muslimin Wa Sabil An Nuhudhi Bihim (Realitas Ummat Islam dan Jalan Menuju Kebangkitannya), Al Maududi: hal. 177]

Di Bidang Tsaqafah

Sejak meletakkan kakinya di negeri muslim, penjajah telah berupaya mengganti struktur bangunan kebudayaan masyarakat Islam. Mereka menghapus sekolah-sekolah tradisionalnya, mengurangi harga universitas-universitas Islam di mata masyarakat, dan mengecilkan kualitas alumnusnya. Sedangkan mahasiswa-mahasiswa yang cerdas dikirim ke universitas-universitas Barat, kemudian lulus dengan membawa tsaqofah dan pemikiran Barat dalam kehidupan.

Saat ini, meskipun telah berlalu hampir satu abad, lembaga-lembaga pendidikan di negeri kita, juga para pelajar dan mahasiswa yang merupakan cadangan masa depan bangsa, masih tetap melahap budaya Barat, dan pemikirannya di bidang hukum, ekonomi, sosial, sejarah, dan pandangan manusia terhadap alam dan kehidupan. Dan, tokoh-tokoh pemikir Barat sering menyatakan bahwa mereka lebih mengandalkan lembaga pendidikan (untuk kepentingan mereka) daripada pasukan perang.

Dalam ceramahnya pada peringatan Hari Kemerdekaan Turki, Pemimpin Partai Refah, Prof. Dr. Najmuddin Arbakan mengatakan: “Sungguh bangsa kita telah mengalahkan pasukan Yunani dan mengusirnya dari negeri kita, dan kita selalu memperingati Hari Kemerdekaan ini sedap tahun. Tetapi, kita harus tahu bahwa Yunani yang telah kita usir pasukannya, pemikirannya masih dipelajari oleh para mahasiswa kita di kampus-kampus, dengan menganggapnya sebagai ideologi yang paling tinggi dan agung. Ummat harus tahu bahwa kemerdekaan hakiki adalah keluarnya tentara Yunani, ideologi, dan budaya mereka sekaligus dari negeri kita.”

Di Bidang Ekonomi

Kita dapat melihat dan menganalisa kondisi ekonomi negeri-negeri muslim di era penjajahan dengan cara yang sama, bagaimana mereka mampu mengubah sistem perekonomian masyarakat hingga sesuai dengan kepentingan mereka. Tangan-tangan penjajah menjadi kuat di negeri-negeri kita dengan atau tanpa kehendak kita. Masalah hutang negara-negara ketiga dan ketidakmampuan membayarnya atau bahkan membayar bunganya, adalah bentuk penjajahan baru yang mereka ciptakan untuk menjadikan negara-negara tersebut tergantung kepada mereka. Kekayaan yang dimiliki Dunia ketiga hanyalah angka-angka yang dititipkan kepada mereka tanpa mampu dimanfaatkan sedikitpun, “Sang Tuan lebih berhak menggunakannya.”

Demikian pula dengan kekayaan alam strategis milik Dunia Ketiga seperti minyak, atau lainnya, menjadi hak mereka untuk memanfaatkannya dan menumpuk kekayaannya. Tidak ada peran pemilik sahnya kecuali menjaganya, dan bagian kecil keuntungannya. Tanah di bumi ini telah menjadi kotak catur oleh Tatanan Dunia Baru yang dimainkan oleh Amerika.

Di Bidang Sosial

Demikian pula kondisi sosial terutama masalah wanita. Mereka berupaya agar masalah yang ada keluar dari proporsi yang sebenarnya, dan menafsirkannya dengan tafsiran yang bukan sebenarnya. Sangat disayangkan bahwa ummat Islam mengekor di belakang orang-orang Barat dalam kehidupan sosial mereka selangkah demi selangkah.

Siapa yang Akan Mengembalikan Bangunan yang Hilang?

Tidak hanya sampai di situ, ummat Islam sampai pada tingkat “mengingkari” akhlak dan kepribadian islami serta mencoba meminjam kepribadian yang lain. Tidak diragukan lagi hal ini merupakan kekalahan dari dalam, di samping kekalahan lain di seluruh sektor kehidupan. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah telah hilang, dibutuhkan orang-orang yang mampu mengembalikan bangunannya ke setiap individu muslim.


sumber: hasanalbanna.id