2011-11-20 Keberanian
Saudara yang paling dekat dari naluri kepahlawanan adalah keberanian. Pahlawan sejati selalu merupakan seorang pemberani sejati. Tidak akan pernah seseorang disebut pahlawan, jika ia tidak pernah membuktikan keberaniannya. Pekerjaan-pekerjaan besar atau tantangan-tantangan besar dalam sejarah selalu membutuhkan kadar keberanian yang sama besarnya dengan pekerjaan dan tantangan itu. Sebab, pekerjaan dan tantangan besar itu selalu menyimpan risiko. Dan, tak ada keberanian tanpa risiko.
Naluri kepahlawan adalah akar dari pohon kepahlawanan. Tetapi, keberanian adalah batang yang menegakkannya. Keberanian adalah kekuatan yang tersimpan dalam kehendak jiwa, yang mendorong seseorang untuk maju menunaikan tugas, baik tindakan maupun perkataan, demi kebenaran dan kebaikan, atau untuk mencegah suatu keburukan dan dengan menyadari sepenuhnya semua kemungkinan risiko yang akan diterimanya.
Cobalah perhatikan ayat-ayat jihad dalam Al-Qur’an. Perintah ini hanya dapat terlaksana di tangan para pemberani. Cobalah perhatikan betapa Al-Qur’an memuji ketegaran dalam perang, dan sebaliknya membenci para pengecut dan orang-orang yang takut pada risiko kematian. Apakah yang dapat kita pahami dari hadits riwayat Muslim ini, “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan pedangl” Adakah makna lain, selain dari kuatnya keberanian akan mendekatkan kita ke surga? Maka, dengarlah pesan Abu Bakar kepada tentara-tentara Islam yang akan berperang, “Carilah kematian, niscaya kalian akan mendapatkan kehidupan.“
Sebagian dari keberanian itu adalah fitrah yang tertanam dalam diri seseorang. Sebagian yang lain biasanya diperoleh melalui latihan. Keberanian, baik yang bersumber dari fitrah maupun melalui latihan, selalu mendapatkan pijakan yang kokoh pada kekuatan kebenaran dan kebajikan, keyakinan dan cinta yang kual terhadap prinsip dan jalan hidup, kepercayaan pada hari akhirat, dan kerinduan yang menderu-deru untuk bertemu Allah. Semua itu adalah mata air yang mengalirkan keberanian dalam jiwa seorang mukmin. Bahkan, meskipun kondisi fisiknya tak terlalu mendukungnya, seperti jenis keberanian Ibnu Mas’ud dan Abu Bakar. Sebaliknya, ia bisa menjadi lebih berani dengan dukungan fisik, seperti keberanian Umar, Ali, dan Khalid. Akan tetapi, Islam hendak memadukan antara keberanian fitrah dan keberanian iman. Maka, beruntunlah ajaran-ajarannya menyuruh umatnya melatih anak-anak untuk berenang, berkuda, dan memanah. Dengarlah sab-da Rasulullah saw, “Ajarilah anakmu berenang sebelum menulis. Karena ia bisa diganti orang lain jika ia tak pandai menulis, tapi ia tidak dapat diganti orang lain jika ia tak mampu berenang.“
Dengar lagi sabdanya, “Kekuatan itu pada memanah, kekuatan itu pada memanah, kekuatan itu pada memanah.” Itu semua sekelompok keterampilan fisik yang mcndukung muneulnya keberanian fitrah. Tinggal lagi keheranian iman. Maka, dengarlah nasehat Umar, “Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani.“
Dan kepada orang-orang Romawi yang berlindung di balik benteng di Kinasrin, Khalid berkata, “Andaikata kalian bersembunyi di langit, niscaya kuda-kuda kami akan memanjat langit untuk membunuh kalian.Andaikata kalian berada diperut bumi, niscaya kami akan menyelami bumi untuk membunuh kalian.” Roh keberanian itu pun memadai untuk mematikan semangat perlawanan orang-orang Romawi. Mereka takluk. Mungkinkah kita mendengar ungkapan itu lagi hari ini?
sumber: hasanalbanna.id