Skip to main content

2011-12-19 Menilai Diri Sendiri

Muhammad-Anis-Matta1.jpg

Para pahlawan mukmin sejati selalu mengetahui kadar pahlawanan dari setiap perbuatan dan  karyanya.  Mereka  tidak  biasa  membesarkan-besarkan  nilai  perbuatan  dan karya mereka jika kadar kepahlawanan dalam perbuatan dan karyanya itu secara objektif memang tidak ada atau sedikit. Demikian pula sebaliknya. Merekajuga mengetahui  letak  sisi kepahlawanan mereka. Sebab,  tidak ada orang  yang bisa menjadi  pahlawan  dalam  segala  hal. Maka, mereka menempatkan  diri  pada  sisi dimana  mereka  bisa  menjadi  pahlawan.  Mereka  tidak  akan  pernah  memaksakan kehendak  dan  juga  tidak  akan  pernah melawan  kodrat mereka. Mereka  yang merasa hanya  bisa  menjadi  pahlawan  dalam  perang,  tidak  akan  pernah  memaksakan  diri menjadi  pahlawan  dalam  medan  ilmu  pengetahuan.

Menilai  diri  sendiri  adalah  seni  yang  paling  rumit  dari  sekian  banyak keterampilan  jiwa  yang  harus  dimiliki  seorang  pahlawan.  Sebab,  inilah  saat-saat yang  paling  menentukan  sejarah  kepahlawanan  mereka,  sekaligus  menentukan  jalan masuk mereka kepada sejarah sebagai pahlawan.

Seni  ini dimulai dari pengamatan yang mendalam  tentang peta diri sendiri. Setelah  itu, berlanjut  pada  penemuan  letak  kepahlawanan  mereka.  Sampai  di  tahap  ini,  seni  itu belum terlalu rumit. Seni itu akan menjadi rumit manakalia memasuki penilaian tentang karya  dan  perbuatan mereka. Sebab,  setap manusia mempunyai  kecenderungan  untuk membesarkan  dirinya  sendiri  melampaui  kadar  yang  sebenarnya.  Karenanya,  letak kerumitan  dari  seni  penilaian  ini  ada  pada  pertarungan  antara  kecenderungan membesarkan diri sendiri dengan keharusan bersikap objektif yang sudah menjadi sifat sejarah  yang  niscaya  dalam  menilai  para  pahlawan.  Inilah  pertarungan  antara megalomania  dengan  objektivitas.

Simaklah  firman  Allah  tentang  kecenderungan  ini, “Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang mereka  kerjakan  dan mereka  suka  akan  supaya  dipuji  terhadap  perbuatan  yang belum mereka kerjakan;  janganlah kamu menyangka bahwa mereka  terlepas dan siksa, dan bagi mereka siksaan yang pedih.” (Ali Imran: 188).

Para  ilmuwan mengalami pertarungan  ini, ketika mereka menilai manakah dari karya-karya  mereka  yang  paling  monumental  dan  dimanakah  letak  kedudukan  karya-karya ilmiah  mereka  itu  di  hadapan  para  ilmuwan  lain  yang  sejenis.  Para  sastrawan mengalami pertarungan  ini, ketika mereka menilai manakah karya-karya sastra mereka yang paling abadi dan dimanakah letak kedudukan karya sastra itu di antara karya-karya para sastrawan  lainnya? Para pemimpin perang  juga mengalami pertarungan  ini, ketika menilai  manakah  pertarungan  yang  telah  dimenangkannya  yang  paling  monumental, dan  dimanakah  letak  kehebatannya,  jika  dibanding  kehebatan  para  pemimpin  perang lainnya dalam  jenis-jenis perang yang mereka menangkan? Para pemimpin politik dan dakwah  juga  mengalami  pertarungan  ini  ketika  mereka  menilai  jejak-jejak kepemimpinan  mereka  tentang  dimanakah  letak  kehebatannya  dan  seperti  apa  nilai kehebatan  itu  dibanding  jejak-jejak  para  pemimpin  lain  dalam  bidang  politik  dan dakwah?

Mempertahankan objektifitas di depan godaan megalomania adalah pekerjaan jiwa yang paling  rumit  yang  senantiasa  akan  dirasakan  oleh  para  pahlawan. Cobalah  simak  cara seorang  Khalifah  dari  Zaman  Abbasiyah  menilai  dirinya,  “Saya  tidak  akan  pernah bangga pada setiap prestasi yang saya capai,  tapi sebenarnya  tidak saya rencanakan. Tapi saya juga tidak akan pernah menyesali setiap kegagalan yang saya alami, selama saya sudah merencanakan semuanya dengan baik sebelum melakukannya.”


sumber: hasanalbanna.id