2012-01-10 Pengantar Kebebasan Wanita (1)
Dilihat dari hitungan banyaknya, jumlah wanita mencapai separuh dari jumlah masyarakat dunia. Namun, dilihat dari pengaruhnya terhadap suami, anak-anak, dan lingkungan jumlah tersebut lebih dari separuh jumlah masyarakat dunia. Seorang pujangga berkata:
Seorang ibu ibarat sekolah …
apabila kamu siapkan dengan baik…
berarti kamu menyiapkan satu bangsa yang harum namanya
Begitu juga, orang-orang bijak banyak yang mengaitkan keberhasilan para tokoh dan pemimpin dengan peran dan bantuan kaum wanita lewat ungkapan: “Di balik keberhasilan setiap pembesar ada wanita!”
Di sisi lain, banyak kita lihat para filosof yang menganggap wanita sebagai sumber atau biang terjadinya berbagai bentuk bencana dan tindak kriminalitas di dunia. Bahkan, jika terjadi musibah atau tindak kriminal, ada yang mengatakan: “Coba periksa kaum wanitanya!”
Manusia, baik dahulu maupun sekarang, terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang pro dan berbaik sangka terhadap wanita. Kedua, kelompok yang menjadi musuh wanita. Karena itu, seorang pujangga pernah berkata:
Kaum wanita itu bagaikan minyak kesturi…
yang diciptakan untuk kita …
setiap kita tentu senang mencium aromanya
Tetapi ada pula pujangga yang berkata:
Kaum wanita itu bagaikan setan …
yang diciptakan untuk kita…
kita berlindung kepada Allah dari kejahatan setan
Kita menemukan sebagian filosof mendukung keberadaan wanita, menyanjung, serta menyebut-nyebut kelebihan dan keutamaannya dalam keluarga atau masyarakat. Namun, ada juga mereka yang melihat kaum wanita lewat kacamata hitam pekat sehingga wanita dilihat bagaikan kuman penyakit dan kejahatan di dunia. Bahkan orang-orang yang pesimistis menganggap bahwa ilmu yang dapat memberi petunjuk kepada orang yang sesat dan meluruskan orang yang bengkok dianggap tidak berguna bagi kaum wanita. Ada di antara mereka yang berpendapat bahwa wanita hanya cukup belajar menulis. Menurut mereka, bagaimana pun ular dapat menularkan racun. Lebih dari itu, mereka memikulkan ke atas pundak wanita beban penderitaan yang telah dan akan dialami umat manusia sejak Adam diciptakan sampai kiamat nanti. Menurut keyakinan mereka wanitalah yang telah merayu Adam agar memakan buah (pohon yang ada di surga) dan melanggar apa yang ditetapkan Allah, sehingga Adam beserta anak cucunya dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi hingga mereka merasakan pahit getirnya kehidupan.
Di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama –kitab suci penganut Kristen dan Yahudi– mereka membenarkan dalil-dalil tuduhan tersebut yang dibebankan ke atas pundak kaum wanita. Namun, apabila penelusuran kita sudah sampai pada Islam, kita akan menemukan bahwa Islam mengangkat harkat dan martabat wanita dengan memandangnya sebagai anak, istri, ibu, dan anggota masyarakat. Dengan demikian, Islam memandang wanita sebagai seorang manusia.
Wanita diberi tugas dan kewajiban seperti halnya laki-laki; Kepadanya disampaikan perintah dan larangan Allah seperti halnya kepada laki-laki, kepadanya diberikan pahala atau siksaan seperti halnya kepada laki-laki. Pertama kali, tugas dari Allah dikeluarkan dan disampaikan kepada laki-laki dan wanita secara bersamaan (ketika keduanya diperintah untuk menetap di surga). Kepada mereka berdua Allah berfirman:
“Dan Kami berfirman: ‘Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (Al Baqarah: 35)
Di dalam Al Qur’an –begitu juga di dalam Taurat– tidak ditemukan nash yang mengatakan bahwa wanita harus bertanggung jawab terhadap kesalahan yang dilakukan oleh Adam. Sebenarnya, Adamlah penanggung jawab utamanya, sementara wanita hanya sebagai pengikut. Allah SWT berfirman:
“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka dia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.” (Thaha: 115)
“… dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk.” (Thaha: 121-122)
Dalam pandangan Islam, wanita bukanlah musuh atau lawan kaum laki-laki. Sebaliknya, wanita adalah pelengkap laki-laki dan laki-laki adalah pelengkap wanita. Wanita adalah bagian dari laki-laki dan laki-laki adalah bagian dari wanita. Karena itulah Al Qur’an mengatakan: “… sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain …” (Ali Imran: 195) Rasulullah saw. pun bersabda: “Sebenarnya wanita adalah saudara kandung laki-laki.” Di dalam Islam tidak pernah dibayangkan adanya pengurangan atas hak wanita atau penzaliman atas wanita demi kepentingan kaum laki-laki sebab Islam adalah syariat Allah SWT yang diturunkan untuk laki-laki dan wanita sekaligus.
Akan tetapi, ada beberapa pemikiran keliru mengenai wanita menyusup ke dalam benak sekelompok umat Islam sehingga mereka senantiasa memiliki persepsi negatif terhadap watak dan peran wanita.
Persepsi tersebut diiringi dengan perlakuan yang tidak baik terhadap kaum wanita. Karenanya, mereka digolongkan sebagai kaum yang telah melangkahi hukum-hukum Allah. Mereka digolongkan ke dalam kaum yang menzalimi diri wanita sekaligus dirinya sendiri. Hal itu sering terjadi pada zaman keterbelakangan ketika umat Islam sudah jauh dari tuntunan Nabi saw, sikap pertengahan Islam, serta manhaj generasi salaf yang mudah dan seimbang.
Pada masa sekarang ini, di tengah-tengah kita, akan kita temukan penyakit ganas yang melanda alam pemikiran manusia. Banyak kasus atau peristiwa yang dipecahkan tidak didasarkan pada jalan tengah yang di dalam terminologi Islam dikatakan sebagai ash shirat al mustaqim. Lazimnya, sebagian besar masyarakat mengambil keputusan dengan ekstrem atau berlebih-lebihan, bahkan ada pula kecenderungan pada penyia-nyiaan. Padahal, kita sendiri sering membaca firman Allah berikut ini:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan (yang adil dan pilihan) …” (Al Baqarah: 143)
Selain itu, kita juga sering mendengar kata mutiara yang mengatakan: “Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan.” Ali r.a. juga pernah mengatakan: “Hendaklah kalian mengambil model atau contoh yang pertengahan. Yang terlanjur hendaklah surut dan yang tertinggal hendaklah menyusul.”
Kasus wanita dalam masyarakat kita –yang dikenal dengan sebutan masyarakat Islam– menjadi contoh yang gamblang tentang sikap keterlaluan dan berlebihan, atau menyepelekan dan menyia-nyiakan wanita. Orang-orang yang menyepelekan hak wanita memandang wanita dengan sikap angkuh dan pandangan hina. Menurut mereka, wanita ibarat jerat setan dan perangkap iblis untuk menggoda dan menyesatkan manusia. Wanita dianggap makhluk yang kurang akal dan agama serta tidak mempunyai keahlian apa pun. Wanita dianggap budak atau setengah budak oleh laki-laki, dikawini untuk melampiaskan keinginan kaum laki-laki, tubuhnya dimiliki dengan bayaran uang, serta bisa diceraikan kapan pun diinginkan. Wanita tidak memiliki wewenang untuk menolak dan tidak berhak menuntut imbalan atau ganti rugi. Bahkan sebagian orang menganggapnya seperti sandal yang bisa dipakai atau dilepaskan kapan pun diinginkan.
Jika seorang wanita menikah dan tidak senang kepada suami, dia tidak bisa benci atau lari. Yang dapat dia lakukan hanyalah sabar meneguk derita dan pahitnya kehidupan, sampai suami berkenan menalak atau dia meminta diceraikan (khuluk). Di luar itu, wanita tidak mempunyai jalan atau cara untuk lepas dari neraka perbudakan laki-laki. Ada lagi kalangan masyarakat yang kembali ke zaman jahiliah sebelum datangnya Islam. Anak-anak wanita tidak diberi hak untuk mendapatkan warisan. Seluruh harta peninggalan ditetapkan sebagai barang jual-beli bagi anak-anak laki-laki, sementara anak-anak wanita tidak diberi bagian sedikit pun. Mereka mengurung anak-anak perempuan di dalam rumah, tidak boleh keluar untuk belajar atau bekerja, tidak boleh mengikuti kegiatan yang bermanfaat untuk masyarakat, apapun jenisnya, sehingga sebagian mereka berpandangan bahwa wanita yang baik atau salehah tidak keluar rumahnya kecuali dua kali, yaitu dari rumah orang tuanya ke rumah suaminya dan dari rumah suaminya ke liang kubur. Padahal Al Qur’an hanya menjadikan “pengurungan wanita dalam rumah” sebagai hukuman bagi wanita yang melakukan perbuatan zina dengan kesaksian empat orang laki-laki dari kaum muslimin. Hal itu diterapkan sebelum syariat menetapkan had (hukuman) bagi perbuatan zina yang sudah dikenal sekarang ini. Mengenai pengurungan wanita yang melakukan zina itu Al Qur’an menyebutkan:
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberikan kesaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemai ajalnya atau Allah memberi jalan yang lain kepadanya.” (an-Nisa’: 15)
Mereka melarang wanita keluar rumah untuk menuntut ilmu dan mendalami agama dengan alasan ada orang tua atau suaminya yang berhak dan berkewajiban mendidik serta memberikan pelajaran. Akibatnya, mereka menghambat wanita dari pancaran nur ilmu pengetahuan dan memaksanya tetap hidup dalam kegelapan dan kebodohan. Padahal, orang tua dan suaminya pun tidak dapat mengajarinya, sebab mereka masih membutuhkan pengajar. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak memiliki sesuatu dapat memberi? Sudah banyak wanita yang sesat karena yang membimbingnya adalah orang-orang yang buta! Di sisi lain, mereka paham bahwa menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim dan muslimah. Sesungguhnya, istri-istri Nabi saw. serta istri-istri para sahabat dan generasi salaf telah sampai ke satu posisi terhormat dalam bidang ilmu, fiqih, dan periwayatan hadits, di samping mengenal syair, sastra, dan retorika berbicara. Pernah saya temukan salah seorang ulama kita berkata: “Seorang ulama wanita yang dipercaya dan salehah, fulanah binti fulan, menceritakan kepadaku.” Karimah binti Ahmad Al Marwaziyyah adalah seorang wanita periwayat sahih Bukhari. Buku riwayatnya dijadikan salah satu buku pegangan yang dipercaya dan sering disebut-sebut oleh Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab Fathul Bari. Hingga ke masalah masjid, mereka melarang wanita pergi, baik untuk shalat maupun menghadiri pengajian. Padahal mereka tahu bahwa kaum wanita ikut shalat berjamaah pada zaman Nabi saw., bahkan untuk shalat isya dan subuh. Nabi saw. mengatakan dengan tegas dalam sabda beliau: “Janganlah kalian melarang hamba-hamba wanita Allah ke masjid-masjid Allah.” (HR Muslim) Anehnya, sampai saat ini, wanita masih diharamkan menikmati hak yang sama dimiliki wanita pemeluk agama lain selain Islam. Wanita Yahudi, misalnya, mereka boleh pergi ke sinagog, wanita Nasrani boleh pergi ke gereja, dan wanita Budha atau Hindu boleh pergi ke biara mereka. Hanya wanita muslimah saja yang dilarang pergi ke masjid.
Mereka melarang wanita mengikuti bapak atau suaminya untuk melakukan berbagai macam aktivitas kehidupan yang sebenarnya sanggup dia lakukan dan diperbolehkan oleh agama. Padahal, hal itu didukung oleh riwayat sahih yang mengatakan bahwa sebagian istri para sahabat pernah melakukannya, seperti Asma yang dijuluki sebagai wanita pemilik dua ikat pinggang dengan suaminya Zubair ibnul Awwam.
Lebih jelasnya, hal itu diceritakan dalam Al Qur’an berkaitan dengan dua anak gadis seorang laki-laki tua dalam surat Al Qashash ketika keduanya menggembala dan memberi minum kambingnya. Kedua gadis itu berbicara dengan Musa a.s. dan begitu pula sebaliknya. Salah satu dari dua gadis itu dengan berterus terang dan berani berkata kepada bapakaya sebagaimana tercantum dalam ayat berikut ini:
“… Ya bapakku, ambillah dia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orangyang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al Qashash: 26)
Perkataan ringkas gadis itu telah dijadikan dasar bagi laki-laki untuk memilih berbagai pekerjaan.
Dalam melakukan pengurungan wanita di rumah, mereka sering menyandarkan keputusan pada nash-nash yang mutasyabihat (kalimat yang mengandung beberapa arti, penj.) dan meninggalkan nash-nash yang muhkamat (tegas dan jelas maksudnya). Sebagai contoh kita lihat mereka berargumentasi dengan ayat-ayat yang terdapat dalam surat Al Ahzab mengenai istri-istri Nabi saw, yaitu:
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik …” (Al Ahzab: 32-33)
“… Apabila kamu meminta sesuatu keperluan kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir…” (Al Ahzab: 53)
Mereka pun kadang-kadang mengekang hak wanita dalam memilih pasangan hidupnya, atau setidaknya hak untuk mengatakan setuju atau tidak, ketika wali wanita memperkenalkan calon suaminya. Bahkan, kita menemukan kaum bapak yang mengawinkan anak gadisnya tanpa restunya, tanpa musyawarah atau memperhatikan pendapatnya; meskipun sekadar menduga-duga pendapatnya!
Namun, sungguh disayangkan, banyak masalah yang disebutkan dalam pendapat Syafi’i, Maliki, dan sebagian besar pengikut Hanbali didasarkan pada dalil-dalil yang tidak layak didiskusikan dan tidak akan tegar menghadapi argumentasi-argumentasi lawannya, sehingga ditolak oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah atau muridnya, Imam Ibnul Qayyim.
Betapa berlebihannya mereka melindas hak wanita. Mereka mengutip hadits-hadits sahih, tetapi tidak meletakkannya pada tempatnya, serta menjadikan hadits-hadits tersebut sebagai dalil walaupun maksudnya tidak sesuai. Sebagai contoh, hadits yang sering mereka jadikan pegangan untuk meloloskan pendapat mereka mengenai wanita adalah hadits yang menggambarkan wamta sebagai makhluk kurang akal dan kurang agama. Begitu juga dengan hadits: “Kalau aku ingin memerintahkan seseorang supaya sujud kepada yang lain, maka pastilah aku perintah wanita supaya sujud kepada suaminya.”
Tidak cukup sampai di situ, mereka bahkan mengemukakan hadits-hadits yang tidak jelas ujungpangkalnya, tidak jelas asal dan sanadnya, sangat lemah, atau hadits palsu dan berdusta terhadap Rasulullah saw., seperti hadits yang mengatakan bahwa Nabi saw. bertanya kepada putrinya, Fathimah Az Zahra: “Apa yang paling baik untuk wanita?” Fathimah berkata: “Bila wanita tidak melihat laki-laki dan laki-laki pun tidak melihatnya.” Lalu beliau mencium Fathimah seraya berkata: “Sebagian manusia adalah satu keturunan dengan bagian yang lain.” Hadits tersebut sangat lemah. Nilainya tidak sepadan sama sekali dengan harga tinta yang dipergunakan untuk menulisnya. Atau seperti hadits: “Bermusyawarahlah dengan mereka (perempuan) kemudian tentanglah pendapat mereka.” Hadits ini sama sekali tidak ada dasarnya sebab bertentangan dengan prinsip musyawarah sebagaimana yang terdapat dalam Al Qur’an untuk orang tua dalam soal menghentikan bayinya menyusu:
“… Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawarahan, maka tidak ada dosa atas keduanya …” (Al Baqarah: 233)
Hadits tersebut bertentangan dengan riwayat-riwayat yang sahih dari sunnah dan sirah (sejarah) kehidupan Rasulullah saw. Beliau pernah bermusyawarah dengan istri beliau, Ummu Salamah, ketika terjadi Perang Hudaibiyah. Nabi saw. mengambil pendapat Ummu Salamah yang dipandang lebih baik dan lebih tepat. Hal itu pun tergambar dalam riwayat mereka dari Ali bin Abi Thalib r.a. yang berbunyi:
“Wanita itu jelek keseluruhannya, dan yang lebih jeleknya lagi pada diri wanita itu bahwa dia harus memiliki kejelekan tersebut.”
Ketidakbenaran riwayat ini telah saya jelaskan dalam tulisan-tulisan saya terdahulu (lihat buku Fatawa Mu’ashirah). Atau seperti yang diriwayatkan oleh Al Hakim dalam kitab Mustadrak-nya dan dengan sanadnya: “Dan janganlah kalian suruh wanita tinggal dalam kamar dan jangan kalian ajarkan kepada mereka menulis!”
Hadits ini telah divonis oleh para kritikus hadits sebagai hadits maudhu’ (palsu) sebagaimana yang dikatakan oleh Hafizh Adz Dzahabi ketika beliau mengulas riwayat Al Hakim ini.
sumber: hasanalbanna.id