Skip to main content

2012-01-30 Pengantar Fikih Sunnah Edisi Terjemah

Sayyid-Sabiq.jpg

Bismillahir rahmaanir rahiim. Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Fiqih adalah sekumpulan hukum yang dipahami dari dalil-dalil. Adalah hak kita untuk selalu bertanya apa dalil yang melandasi suatu kesimpulan fiqih. Memahami masalah fiqih dengan mengetahui dalil yang menjadi landasannya menjadikan kita tenang dalam beragama, terutama dalam beribadah. Kita lebih merasa mengikuti petunjuk-petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

Buku Fiqih Sunah yang dikarang pada tahun 1356 H atau 1946 M merupakan buku fiqih sederhana yang memakai metode “Fiqih dalil”. Setiap permasalahan fiqih akan disertai dalil baik dari Al Qur’an, As Sunnah, Al Ijma’ atau dalil-dalil fiqih yang lain seperti Al Qiyas, Qaul Shahabi dan lainnya.

Walaupun sederhana buku ini mencakup berbagai masalah fiqih yang biasa kita hadapi dalam keseharian. Mungkin tidak berlebihan kalau kita mengatakan bahwa dengan membaca buku Fiqih Sunah kebutuhan kita tentang fiqih sudah terpenuhi.

Di samping itu, masalah-masalah fiqih dalam buku ini dipaparkan dengan gaya bahasa yang mudah dicerna dan lengkap. Lebih dari itu, sang penulis berusaha untuk tidak mengangkat perbedaan pendapat yang terjadi di antara para ulama. Namun, jika situasi mengharuskan, maka Sayyid Sabiq mengemukakannya dengan sekilas.

Fiqih Sunah diterbitkan judul perjudul, tidak diterbitkan dalam bentuk buku tiga jilid sekaligus. Sejak mulai diterbitkan, buku ini tidak mengalami revisi. Sayyid sabiq meninggal tanggal 23 Zulqa’dah 1420 H atau 27 Februari 2000 M tidak pernah menarik pendapat-pendapatnya dalam buku ini. Hal ini menunjukkan bahwa pengarang Fiqih Sunah tidak menemukan dalil yang mengharuskan beliau untuk menarik pendapatnya dan menggantikannya.

Sambutan masyarakat Indonesia terhadap buku ini sangat mengembirakan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya usaha penerjemahan yang dilakukan oleh berbagai penerbit yang berbeda-beda dengan tim penerjemah yang berbeda pula.

Perhatian ulama terhadap buku ini cukup besar. Beberapa kritik pun dilontarkan. Di antara kritik terhadap buku ini adalah “buku ini tidak bermadzhab.” Namun, sesungguhnya, buku ini tidak bisa dikatakan tidak bermadzhab karena buku ini tidak menyerang mazhab dan tidak menyatakan setuju dengan mazhab.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, seorang Muhaddits yang terkenal, mengkritik buku ini dengan mengarang buku dengan judul Tamamul Minnah bit Ta’liq Ala Fiqhis Sunnah. Inti dari kritikan beliau tercakup dalam dua hal:

Pertama, berkenaan dengan hadits yang ia pakai berasal dari buku para ulama terdahulu. Ia tidak berusaha untuk men-tahqiq dan memilahnya karena berprinsip pada kaidah “Setiap ilmu yang diambil dari ahlinya bisa diterima”. Syaikh Al Albani berbeda pendapat dengan Syaikh Sayyid Sabiq dalam hadits tentang kewajiban zakat perdagangan. Menurut Syaikh Al Albani hadits tersebut dhaif.

Kedua, perbedaan sumber fiqih antara keduanya. Syaikh Al Albani cenderung mengikuti makna tersurat (zhahiru an nash) dari teks hukum, sedangkan Syaikh Sayyid Sabiq lebih dekat pada maqashid nash (tujuan makna nash -red). Syaikh Al Albani tidak segan berbeda pendapat dengan jumhur ulama terdahulu, seperti dalam pengharaman emas bagi wanita, sedangkan Syaikh Sayyid Sabiq biasanya menghormati pendapat jumhur ulama.

Berbeda pendapat dalam fiqih suatu hal yang wajar. Mengumpulkan umat dalam satu fiqih merupakan suatu hal yang mustahil. Solusi dari ini semua adalah saling menghormati dalam hal perbedaan pendapat dalam fiqih selama ada dalil yang dipegang. Imam Malik beberapa abad yang lalu sudah memahami hal ini. Beliau pernah menolak keinginan Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk memaksa umat untuk berpegang pada satu madzhab, menghapus madzhab fiqih yang lain dan menjadikan mazhab Malik dan kitab Al Muwaththa’ sebagai satu-satunya madzhab dan satu-satunya kitab fiqih.

Hal ini disebabkan karena ruang lingkup fiqih adalah masalah-masalah ijtihad. Tidak ada kepastian kebenaran dalam masalah-masalah ijtihad. Ijtihad seorang mujtahid bukanlah suatu kebenaran (al haq) yang mutlak. Oleh karena itu, dalam wacana ijtihad yang dipakai bukan kalimat al haq dan al bathil. Namun ash shawab dan al khata’.

“Seorang Hakim apabila menghukumi sesuatu dan berijtihad kemudian tepat, maka ia mendapatkan dua pahala, kalau salah mendapat satu pahala.” (Sunan At Tirmidzi)

Ash shawab mengandung makna tepat sasaran. Sasaran yang dimaksud adalah sesuai dengan yang Allah inginkan, sedangkan al khata’ tidak mengenai sasaran.

Para Imam Al Mujtahidin menolak kalau pendapat mereka adalah al haq yang sudah pasti, Imam Abu Hanifah pernah ditanya, “Apakah hasil ijtihadmu ini sebuah kebenaran yang sudah pasti dan tidak ada keraguan di dalamnya?”

Al Imam Al Mukhlis menjawab, “Saya tidak tahu, mungkin saja kebatilan yang tidak diragukan lagi.”

Secara jujur kita mengatakan bahwa buku Fiqih Sunnah bukanlah buku fiqih yang paling benar. Mungkin saja terdapat kekeliruan di dalamnya. Apabila kita mendapatkan dalil yang lebih kuat atau mendapatkan hadits yang dipakai lemah, maka kita berhak untuk tidak mengambil pendapat tersebut. Sebab, niat syiar kita dalam fiqih adalah

“Hai orang-orang yg beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama.”

(An Nisa’ : 59)

Wallahu ‘Alam.

DR. Mohamad Taufik Hulaimi, M.A. M.Ed.


sumber: hasanalbanna.id