2012-01-07 Mukadimah Tazkiyatun Nafs (1)
Para rasul, semoga rahmat dan salam tercurahkan kepada mereka, diutus untuk memperingatkan manusia akan ayat-ayat Allah, mengajarkan hidayah Allah. Pengajaran, peringatan, penyucian jiwa, termasuk tugas-tugas terpenting para rasul. Lihatlah hal itu pada doa Ibrahim ‘alaihis salam.
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al Hikmah (As Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (Al Baqarah: 129)
Lihatlah pengabulan doa ini serta karunia yang dikaruniakan kepada umat ini dalam firman-Nya.
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (Al Baqarah: 151)
Nabi Musa berdialog bersama Fir’aun.
“Dan katakanlah (kepada Fir’aun), ‘Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya.’” (An Nazi’at: 18-19)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya.” (Al Lail: 17-18)
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy Syams: 9-10)
Jelaslah bahwa penyucian jiwa termasuk tugas-tugas para rasul sekaligus merupakan target bagi orang-orang yang bertakwa. Tergantung kepada penyucian jiwalah keselamatan dan kebinasaan manusia di sisi Allah. Kata tazkiyah ‘penyucian’ dalam bahasa Arab memiliki banyak arti, di antaranya adalah ‘penyucian’ dan ‘pertumbuhan’. Kata itu dalam istilah juga berarti begitu, yaitu ‘penyucian’ dan ‘pertumbuhan’.
Zakaatun nafs ‘penyucian jiwa’ berarti penyucian dari segala penyakit, penguatannya dengan penyokong dan penghiasannya dengan nama-nama dan sifat-sifat. Tazkiyah ‘penyucian’ pada akhirnya berarti penyucian, penguatan, dan penghiasan.
Oleh karena itu, sarananya diatur syariat Islam dan inti serta buahnya juga bersifat syar’i (sesuai dengan syariat Islam). Semua pengaruh itu akan tampak pada pola dan tingkah laku dalam berinteraksi dengan Allah yang Mahaperkasa dan Mulia, juga dalam berinteraksi dengan sesama makhluk. Selain itu, akan tampak pula pengaruhnya pada pengendalian anggota tubuh untuk menjalani perintah Allah. Semoga isi buku dapat menjelaskan secara detail tentang hal itu.
***
Sesungguhnya penyucian hati dan jiwa hanya dapat terlaksana dengan banyak ibadah dan amal. Jika seseorang mengerjakannya dengan sempurna, maka saat itu hatinya menjadi kuat dengan nilai-nilai yang dapat menyucikan jiwa dan akan tampak pengaruh serta hasilnya pada seluruh anggota tubuhnya, seperti lidah, mata, telinga, dan anggota tubuh lainnya. Hasil yang paling tampak dari jiwa yang suci adalah adab yang baik dalam berinteraksi dengan Allah dan sesama manusia. Terhadap Allah dengan cara melaksanakan hal-hakNya, termasuk di dalamnya mencurahkan jiwa untuk berjihad di jalan-Nya, dan terhadap manusia sesuai dengan apa yang biasa berlaku, sesuai juga dengan tuntutan keadaan dan pembebanan Tuhan.
***
Penyucian jiwa memiliki berbagai sarana, seperti shalat, infak, puasa, haji, zikir, berpikir, membaca Al Quran, meditasi, instropeksi diri, dan mengingat mati dengan syarat dikerjakan dengan baik dan sempurna.
Hal-hal yang termasuk hasil penyucian jiwa adalah hati menjadi kuat dengan tauhid, keikhlasan, kesabaran, kesyukuran, rasa takut, harapan, kelemahlembutan, jujur kepada Allah, dan cinta kepadaNya, serta hati menjadi bersih. Lawannya adalah sifat suka pamer dan tidak ikhlas, egois, tertipu, dan marah karena nafsu atau setan. Dengan penyucian, jiwa menjadi suci dan hasilnya tampak pada pengendalian anggota tubuh untuk kepada perintah Allah dalam berinteraksi dengan keluarga, tetangga, masyarakat, dan semua orang.
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baikseperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (Ibrahim: 24-25)
***
Tetapi, yang terjadi adalah penyucian jiwa mengalami kelesuan dari generasi ke generasi, sehingga mengharuskan pembaruan yang berkesinambngan. Seperti halnya setiap hari terdapat pada umat ini jiwa-jiwa baru, maka penyucian jiwa harus menggungguli jiwa-jiwa itu. Mungkin kelesuan penyucian pada masa sekarang ini lebih banyak terjadi dibanding masa-masa sebellumnya, maka diperlukan pembahasan khusus dalam masalah penyucian. Inilah yang menjadi motivasi kerja keras penulisan buku ini. Maka saya fokuskan pembahasan pada sarana-sarana penyucian jiwa dan bagaimana pelaksanaannya secara sempurna, juga pada tingkatan-tingkatan hati, penyakit-penyakitnya, perangai-perangainya yang baik, dan adab berinteraksi. Semua itu berkaitan langsung dengan penyucian jiwa.
Dalam pengambilan intisari nilai-nilai ini, kami memilih kitab Ihya’ Ulumuddin karya Hujjatul Islam Imam Al Ghazali karena sebab-sebab berikut ini:
- Imam Al Ghazali menghadapi kelesuan kehidupan ruhani pada masanya, seprti kelesuan ruhani yang kita hadapi pada masa kita. Penyakitnya hanya satu dan beliau telah memberikan resep obat, lalu berhasil.
- Ia telah membahas tuntas tema-tema yang dibahas kurang sempurna oleh ulama sebelumnya, maka pada buku Imam Al Ghazali tercantum apa yang tidak tercantum pada kitab pengarang lain.
- Rasio dan penjelasan terpau dalam kitab Ihya’nya itulah tanda ketelitian terhadap apa yang ia yakini dan tulis. Karena itulah penjelasan Imam Al Ghazali lebih mengenai sasaran dan tidak dapat dibandingkan dengan penjelasan pengarang lain. Setiap orang yang berinteraksi dengan bukunya akan merasakan hal itu. Akan tetapi, bukunya itu sendiri seperti layaknya kitab karangan manusia biasa, begitulah isinya. Maka sebagian peneliti mengkritisi beberapa bagian dari buku itu, kemudian pembahasannya dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian. Ada bagian yang lebih dekat dengan pembahasan fiqih, ada yang lebih dekat dengan nasihat, ada pula yang lebih dekat dengan penelitian dan pemecahan masalah. Ada pula yang lebih dekat dengan ilmu-ilmu syariat dan rasio, dan ada yang lebih dekat dengan ilmu penyucian jiwa. Inilah yang kita kehendaki. Oleh karena itu, saya mencurahkan kerja keras hanya untuk meringkas ilmu-ilmu penyucian jiwa.
Namun begitu, pada bagian yang khusus membahas penyucian jiwa ini juga terdapat pembahasan yang tidak disetujui sebagian ulama, ada yang terlalu panjang pembahasannya, ada juga yang terlalu rumit, maka sebagianpenjelasan Imam Al Ghazali yang tidak dirasa perlu , saya potong. Jadi, saya memperhatikan dalam menyeleksi pembahasan-pembahasan dengan landasan sebagai berikut:
- Pembahasan yang diperlukan pada zaman kita sekarang saja karena sedikit peringatan akan hal itu.
- Berdasarkan pembahasan tersebut, saya hilangkan pembahasan yang dapat menimbulkan perdebatan, sebagaimana saya hilangkan juga pembahasan yang terlalu rumit dan panjang agar pembaca tidak merasa bosan dan agar mudah dipahami oleh seluruh kalangan. Saya juga menghilangkan hadits dha’if dan kesimpulan-kesimpulan yang berdasarkan padanya, walaupun hadits dha’if itu tidak berarti hadits palsu, tetapi mungkin saja itu sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan nash-nash sunnah yang saya cantumkan. Saya juga menyertakan komentar-komentar Imam Al Iraqi terhadapnya setelah komentar-komentar itu saya ringkas agar pembaca dapat mengetahui derajat riwayat itu dan tempat keberadaanya dengan perubahan pada penomoran. Tetapi ada beberapa riwayat dari para imam hadits yang derajat kuatnya tidak disebutkan Imam Al Iraqi tetapi maknanya shahih, maka sebagian riwayat-riwayat ini saya cantumkan dan saya anggap hal itu boleh-boleh saja. Saya juga menghilangkan riwayat-riwayat yang dinisbatkan kepada rasul terdahulu selain rasul kita shahallahu ‘alaihi wasallam karena riwayat-riwayat ini perlu penelitian ualng yang tidak mungkin kita lakukan, walaupaun ada beberapa pendapat yang memnolehkan periwayatannya. Saya juga menghilangkan pembahasan tentang hal-hal ghaib, baik yang berkaitan dengan masalah-masalah akhirat atau alam ghaib, apabila tidak terdapat dasarnya dalam Al Quran dan As Sunnah yang shahih. Saya juga menghilangkan pembahasan yang sekiranya dapat dibantah oleh sebagian peneliti.
Penyeleksian terhadap suatu kitab tidak menciptakan konsep baru yang sempurna, di samping kehilangan mata rantai, relevansi, dan alur. Padahal saya ingin mempersembahkan konsep yang sempurna tentang penyucian jiwa yang berdasarkan pada kajian Imam Al Ghazali. Hal ini menuntut saya untuk menyusun bab-bab, sistematika, dan pendahuluan bagi setiap bab, pasal, dan paragraf. Dengan begitu, buku ini menjadi seperti kalung yang rapi atau batangan emas murni.
***
Banyak orang yang bergantung kepada buku Ihya’ dan menghargainya sebagai buku yang tiada tandingannya dalam Islam, sebagaian lagi fanatik sehingga hampir mengharamkan upaya peninjauan terhadapnya.
Apabila kita tinggalkan kritik para peneliti dan sisi-sisi kesamaan antara buku tersebut dengan kitab lain, maka sesungguhnya isi buku Ihya’ hampir merupakan obat yang dijadikan terapi berbagai problematika pada masa kita yang wujud utamanya adalah kekosongan spiritual dan kekuasaan syahwat. Kami telah berusaha untuk meringkas hal-hal seperti itu yang dapat dijadikan obat bagi berbagai penyakit zaman sekarang, bahkan setiap zaman, kita berharap semoga mendapat pahala para mujtahid (ahli ijtihad).
sumber: hasanalbanna.id