Skip to main content

2012-01-13 Misi Peradaban dalam Terminologi

Muhammad-Imarah.jpg

Terdapat ungkapan yang beredar di kalangan kaum terpelajar dan di dalam berbagai tulisan para ilmuwan bahwa:

“Pemakaian terminologi dan kata tidak boleh digugat.”

Maksud ungkapan ini adalah bahwa bagi peneliti, penulis atau cendikiawan boleh menggunakan terminologi apa saja tanpa memandang lingkungan kebudayaan, kerangka berpikir, epistimologi, filsafat atau ideologi yang melahirkan dan menimbulkan terminologi-terminologi ini. Karena terminologi dan kata menunjuk pada pengertian terminologis bagi setiap peradaban yaitu warisan bagi setiap peradaban, semua macam disiplin ilmu, dan semua masyarakat.

Ungkapan ini sepenuhnya benar, tetapi memerlukan pelurusan pengertian agar tidak menjadi rancu atau bahkan memperdaya sebagaimana yang terjadi sekarang di dunia pemikiran akibat membiarkannya tanpa meluruskan dan memberi batasan makna secara definitif.

Jika dicermati bahwa peran terminologi berfungsi sebagai “wadah” yang diisi dengan “muatan” tertentu, atau sebagai “alat” yang membawa misi makna maka akan ditemukan keabsahan banyak terminologi atau ungkapan-ungkapan idiomatik untuk menyampaikan peran sebagai “wadah” dan “alat” sepanjang perjalanan semua peradaban yang berbeda-beda, dan interaksi pemikiran-pemikiran yang berlainan, ideologi dan aliran yang bermacam-macam. Di sini kita akan melihat kebenaran makna mendalam dan tepat untuk ungkapan: “Pemakaian terminologi dan kata tidak boleh digugat.” Sedangkan apabila sebuah kata dan terminologi dilihat dari sudut “kandungan” yang dimuatkan dalam “wadah”-nya dan sebagai “tugas pengemas gagasan” yang dibawa oleh “alat-alat” atau “terminologi-terminologi” itu maka akan dihadapkan pada tuntutan mendesak untuk meluruskan ungkapan ini, memberi batasan-batasan kemutlakannya, memagari wilayah keabsahan yang berlaku bagi kandungan pengertian ungkapan-ungkapan tersebut.

Di sini, disadari bahwa ketika meneliti dan mendalami berbagai terminologi, seringkali dihadapkan pada “wadah-wadah” umum dan “alat-alat” bersama antar peradaban, paradigma, ideologi, dan aliran, dan pada saat yang sama juga berhadapan dengan “kandungan” khusus, dan “fungsi-fungsi” tertentu yang berbeda satu sama lainnya. “Wadah-wadah” umum dan “alat-alat” milik bersama ini berbeda dari satu kebudayaan ke kebudayaan yang lainnya; atau pemikiran dengan pemkiran lainnya; atau aliran, ideologi, sistem sosial, sistem agama yang satu dengan yang lainnya, khususnya yang memiliki karakter khusus yang berbeda.

Contoh pertama, umpamanya dalam bidang terminologi perundang-undangan hukum, di sana terdapat terminologi syari’ (legislator) untuk orang yang membuat undang-undang, baik individu maupun kelompok atau lembaga. Jadi terminologi syari’ digunakan untuk legislator yang meletakkan undang-undang atau dewan perwakilan yang mewakili kekuasaan rakyat

dalam pembuatan undang undang, yaitu dewan legislatif (legislative assembly) yang meletakkan perundang-undangan. Di sini penggunaan terminologi syari’, legislator dan legislative assembly, semuanya adalah untuk manusia baik individu maupun kolektif dalam bentuk dewan atau lembaga. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Apakah terminologi-terminologi ini dapat berlaku umum, jika terminologi dipandang sekedar beperan sebagai “wadah” tanpa pertimbangan isi kandungan? Tentu disana terdapat pengertian khusus dari terminologi ini sesuai dengan kebudayaan dan ideologi, atau kebudayaan masyarakat tertentu, sebab ia berperan sebagai alat penyampai kandungan pengertian makna.

Orang yang mewarisi peradaban Barat sekuler tidak mempercayai adanya undang-undang Tuhan (Divine Law) yang mengatur bidang sipil, sosial, ekonomi, dan politik bagi negara dan komunitas manusia serta peradaban umat manusia, tetapi mempercayai bahwa manusia, baik individu maupun kolektif adalah sumber satu-satunya bagi hukum perundang-undangan. Maka manusia didefinisikan sebagai syari’ atau legislator (pembuat hukum dan undang-undang), baik dalam kerangka dasar-dasar hukum yaitu prinsip-prinsip hukum alamiah sebagaimana yang dikenal dalam peradaban Barat atau dalam kerangka cabang-cabang turunan hukum perundang-undangannya. Maka terminologi syari’ (legislator) dalam pengertian ini secara wajar dapat diterima dalam kerangka peradaban Barat, yang mempercayai hanya manusia adalah sumber pembuat undang-undang. Sebab filsafat yang berkembang dan dianut oleh Barat bersifat materialistik dan turunan peradabannya pun bersifat materialistik yang menolak otoritas Tuhan yang bersifat metafisik (non-materi). Oleh sebab itu, peran Tuhan “disingkirkan” dari urusan negara, sosial, dan peradaban.

Dikarenakan peradaban Barat ini memiliki sifat dan karakter sekuler, sekalipun semua peradaban memiliki sifat dan karakter demikian, maka ketika terminologi ini dikenakan pada peradaban lain yang berbeda sifat dasarnya akan ditemukan kekurangtepatan pengertian, sehingga dalam kasus ini tidak mungkin ungkapan “tidak boleh digugat” dikenakan pada peradaban lain.

Dalam peradaban Islam yang menampilkan aqidah Islam, mewakili ideologinya serta jalan pikiran umatnya sejak ia menjadi ruh dalam setiap peradabannya yang mencakup politik, sosial, ekonomi, negara, arsitektur, dan lain sebagainya, terminologi syari’ menunjuk pada pembuat dasar-dasar syari’ah dan mempunyai pengertian khusus, sebab prinsip-prinsip syari’ah bukan ciptaan manusia seperti halnya aturan hukum sipil yang berlaku dalam peradaban Barat, melainkan ia adalah buatan Tuhan melalui wahyu; merupakan ajaran agama yang dianut oleh manusia peradaban ini, sebagaimana firman Allah:

“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama yang telah diwasiatkan oleh Allah kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada lbrahim, Musa, dan lsa yaitu: Tegakkan-lah agama dan janganlah berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya …”(Asy Syura’: 13)

Dikarenakan syari’ah Tuhan ini adalah syari’ah terakhir bagi umat manusia, maka syari’ (pembuat undang-undang) ini, yaitu Allah, memberi penjelasan prinsip-prinsip dan kaidah yang membatasi jalan yang berkaitan dengan hal-hal yang berubah dan berkembang mengenai urusan dunia disertai penjelasan elaboratif mana yang bersifat agama yang tidak berubah atau berkembang, atau mana hal-hal yang menyangkut keduniaan yang senantiasa berubah sesuai dengan perubahan zaman.

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikuti-lah syari’at itu.” (Al Jatsiyah: 18)

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang …” (Al Ma’idah: 48)

Oleh sebab itu, manusia yang lahir dari kandungan peradaban Islam ini tidak dapat — ketika telah mengimani agamanya — memberi otoritas pembuatan undang-undang atau memandang disana ada syari‘ (pembuat undang-undang) selain Allah. Sedangkan upaya manusia Muslim ini dalam merekonstruksi hukum Islam dan deduksi rincian furu’iah dari prinsip-prinsip syari’ah berpijak pada acuan sesuai dengan perkembangan dan perbuahan zaman selama tidak bertentangan dengan teks-teks serta batasan-batasan yang telah ditentukan dalam prinsip-prinsip Tuhan yang merupakan wilayah fiqih muamalat. Dari sini terdapat perbedaan antara fiqih dengan syari’ah dalam peradaban lslam, dimana Allah-lah yang mempunyai posisi Syari’ (legislator) yang hakiki, bukan manusia, sedangkan manusia adalah faqih (orang yang mengkodifikasi pemahaman syari’at).

Di sini kita dihadapkan pada satu contoh bahwa fungsi ungkapan dan terminologi tidak hanya berperan sebagai “wadah kandungan makna” saja dan tidak juga sebagai pembawa “pesan” saja, melainkan pada saat yang sama juga mempunyai fungsi dalam: “ungkapan, wadah dan alat”.

Contoh kedua barangkali mendukung makna yang diyakini secara tegas oleh manusia Muslim ketika menghadapi berbagai terminologi perekonomian atau pertanian, umpamanya terhadap terminologi “penanam” (grower). Manusia peradaban Barat, yang tidak mengembalikan efek-efek materiil kecuali hanya kepada faktor-faktor materiil, baik karena sifat materialistiknya, atau ateis yang mengesampingkan peran Tuhan, atau karena metodologinya, tidak melihat dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman kecuali faktor-faktor material dan alamiah serta pengaruh manusia. Oleh sebab itu, manusia di mata peradaban Barat  adalah penanam hakiki, dan tidak ada penanam selain manusia ini. Sedangkan manusia peradaban Islam yang aqidah agamanya telah menjadi ruh dalam ilmu-ilmu yang dimiliki oleh peradabannya, meyakini adanya faktor-faktor materiil yang merupakan kekuatan aktif terhadap efek dari penyebabnya, akan tetapi ia juga meyakini bahwa faktor-faktor materiil aktif ini hanya dapat berperan karena adanya pencipta faktor-faktor tersebut yaitu Allah yang berkuasa menghilangkan atau menghentikan efektifitasnya, disamping berkuasa menggantikan dengan yang lainnya, jika Dia menghendaki. Manusia Muslim ini juga meyakini bahwa perbuatan manusia mempunyai horizon terbatas dengan keterbatasan keabsahan dan kemampuannya sebagai khalifah Allah dalam tugas memakmurkan bumi. Disamping itu pelaku di balik horizon ini — yaitu horizon khilafah manusia — adalah Yang Maha pemberi khilafah: yang memiliki alam semesta, Pencipta dan Pemeliharanya. Oleh sebab itu, manusia dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman mempunyai peran, perbuatan dan penciptaan, akan tetapi tidak melebihi batasan wilayah horizon ini, sebab di luar batas ini merupakan wilayah perbuatan Allah.

Jadi, dalam menanam di sana terdapat perbuatan manusia; seperti, penggarapan tanah, penyemaian, pengairan, pemupukan, dan begitu seterusnya yang mampu dilakukan oleh manusia sehingga ia dapat dikatakan sebagai penanam (grower) dengan sebutan “Az Zarra”. Dari sini dapat ditemukan bahwa hakekat menanam adalah menumbuhkembangkan, yang sifat ini hanya dimiliki oleh Allah, sedangkan penyemaian, pengairan dan pemupukan serta usaha-usaha manusia yang lain dinisbahkan kepada pelakunya; yaitu manusia. Sementara, perbuatan seperti menumbuhkan benih, mengembangkannya serta memberinya perlindungan — yaitu hal-hal yang tidak mampu dilakukan manusia — adalah atribut yang hanya berhak diberikan kepada Allah sebagai penanam yang diterminologikan dalam bahasa Arab dengan Az Zari’. Sebab dalam proses penanaman, manusia berfungsi sebagai pelaku, akan tetapi menurut iman yang dipegang dan peradaban keimanannya, manusia bukan satu-satunya pelaku. Dari sini dapat dipahami makna ayat Al Qur’an yang menyatakan:

Maka terangkanlah kepada-Ku tentang yang kamu tanam, kamukah yang menumbuhkannya, ataukah Kami yang menumbuhkannya?” (Al Waqi’ah: 63-64)

Di sini sekali lagi, karakter manusia yang meyakini peradaban iman (hadharah imaniyah) membuahkan satu sikap yang berbeda yang menunjuk pada kesimpulan bahwa “ungkapan dan terminologi” mempunyai fungsi.

Contoh ketiga, bahwa “perbuatan dan terminologi” mempunyai fungsi adalah terminologi “tuan tanah.” Dalam peradaban Barat yang filsafat keuangannya menjadikan pemilikan mutlak sebagai pemilikan hakiki (real ownership) dalam masalah kekayaan manusia baik individu, dalam model masyarakat liberal maupun model masyarakat sosialis, ditemukan terminologi tuan tanah yang dipahami sebagai pemilikan penuh kaum borjuis atas sarana-sarana produksi — tanah pertanian — dengan pemilikan terbatas bagi penggarapnya — kaum “budak.”

Sedangkan dalam peradaban Islam, dimana jalan tengah ditawarkan sebagai satu mazhab ekonomi secara tegas, menjadikan pemilikan mutlak dan hakiki atas harta kekayaan hanya kepada Allah dengan menetapkan hak pemilikan terbatas, yaitu pemilikan pemanfaatan secara

alegoris, yaitu pemilikan fungsi sosial bagi harta kekayaan: manusia sebagai pemilik amanat dan titipan (trustee) atau yang diterminologikan dengan mustakhlaf. Ia mendapat titipan dan pinjaman harta kekayaan ini dari Allah untuk dimiliki, dikembangkan, dalam kapasitasnya sebagai trustee — kemutlakan pemilikan relatif manusia yang diberi amanat pinjaman — bukan sebagai individu atau sebagai kelas masyarakat, dalam model peradaban sekuler Barat ini. Jadi terminologi “tuan tanah” mengandung muatan khusus jika dipahami dari sudut pandang peradaban Islam, yaitu memiliki untuk dimanfaatkan bukan untuk dijadikan alat untuk menguasai kelas masyarakat tertentu. Dalam aplikasi Islam, menguasai tanah yang dimaksud adalah cara menghidupkan tanah mati dan memanfaatkannya untuk kepentingan manusia atau umat manusia yang mendapat titipan amanat dari Allah berupa tanah dan harta kekayaan lain dalam bentuk apa saja.

Contoh keempat, dapat ditemukan terminologi monopoli (ihtikar). Dalam peradaban Barat, dengan berbagai trend sosialnya yang bermacam-macam, bahkan hingga bagi orang-orang yang mengetahui sisi-sisi buruk monopoli dalam dominasi sistem perekonomian suatu bangsa pun dapat ditemukan pandangan terhadap monopoli sebagai satu keniscayaan fase yang harus dilalui oleh masyarakat pada langkah-langkah perkembangan penguasaan terhadap sarana-sarana produksi. Maka monopoli menurut pandangan Barat adalah perkembangan alamiah dan satu keniscayaan meskipun dipandang oleh sebagian orang sebagai suatu bencana.

Sedangkan dalam pandangan ekonomi Islam, yang mengatur penguasaan manusia atas harta dengan ikatan sebagai pinjaman dari kekayaan Allah, Sang pemilik hakiki atas kekayaan, kepada manusia, maka monopoli itu dilarang dan tidak dapat diterima pada pokok dan asasnya dan tidak mungkin keberadaannya dapat berjalan seiring dengan pandangan Islam mengenai harta kekayaan, sebagaimana yang ditegaskan dalam sebuah hadits:

“Barangsiapa menimbun (kebutuhan bahan makanan) kaum Muslimin, Allah akan menimpakan kemelaratan dan kebangkrutan kepadanya.” (Ibnu Majah dan Ahmad)

Yang demikian itu adalah ancaman dan peringatan bagi masyarakat yang membiarkan praktik monopoli, yang mana akan mengantarkan pada kemiskinan umat dan kebangkrutan sistemnya serta tidak mampu rnewujudkan tujuan membudayakan manusia. Praktik monopoli ini yang dapat mematikan bangsa, ketika menyingkirkan keadilan dalam kehidupan ekonomi dan sosialnya, adalah yang dikatakan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang nasib yang akan dialami oleh pelakunya, dengan sabdanya:

“Para pelaku monopoli dan pembunuh dihimpun dalam satu kelompok kelas.” (Muslim, Ad Darimi, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad)

Terdapat perbedaan fungsi dalam terminologi “monopoli” sebagai satu terma yang lahir dari peradaban Barat dan terminologi “ihtikar” yang terdapat dalam bahasa Arab, sebagai bahasa Islam, bahkan dalam pengertiannya pun terdapat perbedaan. Sebab monopoli dalam peradaban Barat berkisar mengenai fase pertumbuhan konsentrasi pemilikan sarana-sarana produksi atau kepentingan bisnis dan perbankan pada sekelompok kecil pemilik modal. Sedangkan dalam

pandangan Islam, pelarangannya mencapai jenis monopoli yang paling sederhana seperti menimbun bahan makanan untuk mengharapkan kenaikan harga sebagaimana ditegaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

“Seburuk-buruk hamba (manusia) adalah orang yang melakukan praktik ihtikar: bilamana Allah menurunkan harga-harga, ia bersedih karenanya, tetapi apabila itu dinaikkan, ia lalu bergembira. Jika mendengar penurunan harga, ia memandang dirinya mengalami nasib buruk tetapi jika mendengar kenaikan harga, ia bergembira.”

Yang demikian itu karena:

“Orang yang tidak melakukan praktik monopoli (al jalib) mendapat karunia, sedangkan pelaku monopoli mendapat laknat.” (Ibnu Majah dan ad-Darami)

Contoh kelima, adalah satu terminologi yang dikenal secara luas dan jelas yaitu terminologi “kiri”. Sebagian orang memandang terminologi ini tidak mempunyai fungsi lain selain menunjuk pada: trend sosial yang menyerukan penggunaan konflik kelas masyarakat sebagai alat untuk mengangkat kelas Proletar dengan menyingkirkan kelas Borjuis sebagai tahap awal menghilangkan perbedaan kelas lalu membentuk masyarakat tanpa sistem kelas dimana semua bentuk pemilikan pribadi dilebur dan menghilang dari fenomena sosial.

Sebagian orang memandang terminologi yang lahir dari rahim peradaban Barat ini karena alasan “tidak ada fungsi dalam kata-kata dan terminologi” untuk dipakai, bahkan menyerukan untuk melakukan lslamisasi terminologi ini serta melakukan Islamisasi kandungan maknanya, dengan meyerukan pada “Islam kiri.” Sedangkan bagi Muslim, disana terdapat ketidaktepatan terminologi ini baik dalam pengungkapan kata maupun kandungan pengertiannya, jika dikenakan dalam pemikiran sosial Islam. Sebab kata “kiri” (Al Yasar) dalam Bahasa Arab (bahasa umat, Agama dan peradaban kita), berarti al yusr (mudah), yakni lawan kata al ‘usr (sulit); dan kaya (al ghani) sebagai lawan kata kemelaratan dan kesulitan (al faqr wa al I’sar) sebagaimana firman Allah:

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (Al Baqarah: 185)

“Dan jika orang (yang berhutang itu) dalam kesukaran maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” (Al Baqarah 280)

Oleh sebab itu, istilah golongan kiri (ahlal Yasar) dalam terminologi bahasa Arab adalah mereka yang kaya bukan yang miskin: aliran yang mendapat kemudahan bukan orang yang sengsara.

Pertanyaan yang patut diangkat adalah, bagaimana bahasa Islam (Arab) diperkosa menerima citra idiomatik yang berlawanan ini?!

Sebagaimana yang dilakukan oleh ulama dan cendikiawan Muslim abad ini seperti Imam Abdul Hamid bin Badis (1887-1940) — yang menegaskan makna ini — dalam doa munajatnya mengucapkan:

“Ya Allah, jadikanlah hamba di dunia termasuk orang yang mendapat kekayaan dunia (ahlul yasar) dan di akhirat termasuk orang yang mendapat kebahagiaan (ahlul yamin)!”

Sebab al yasar yang dimaksud adalah kekayaan atau kemudahan dunia. Begitu pula ahlul yamin, mereka adalah orang-orang yang mendapat kebahagiaan, yang menegakkan keadilan di dunia. Oleh sebab itu, mereka berhak menerima catatan amal perbuatan mereka yang adil itu dengan tangan kanan (al yamin) pada hari pembalasan. Demikian logika Bahasa Arab yang benar, tidak ada alasan, pada prinsipnya, untuk keluar dari logika ini, meskipun menggunakan alasan untuk menggeneralisasi “pemakaian terminologi dan kata tidak boleh digugat.”

Selanjutnya pandangan Islam tentang pemikiran ekonomi mempunyai aspek tersendiri yang tidak menolak perbedaan kelas sosial dalam masyarakat menjadi kelas-kelas tertentu, akan tetapi meletakkan persyaratan landasan perbedaan kelas tersebut berdasarkan pada sebab dan faktor yang ditetapkan oleh syari’ah. Pembatasan wilayah perbedaan ini dimaksudkan untuk menghindarkan kesewenang-wenangan yang diakibatkan oleh penguasaan individu atau kelompok minoritas atas pemilikan kekayaan. Maka dengan sendirinya Islam memandang perekonomian dalam multi kelas masyarakat sebagai hal yang wadjar dan alamiah dan Islam menyerukan kelangsungan hubungan antar kelas yang ada dalam kerangka keadilan, yaitu: keseimbangan sosial, bukan persamaan. Yang demikian itu agar hubungan saling melengkapi, saling membantu, dan saling membutuhkan, seperti halnya dengan organ tubuh manusia, dalam perbedaan masing-masing organ, tetapi saling membutuhkan dan mendukungnya. Apabila tidak ada keseimbangan sosial (social balance), dan kezaliman sosial menggantikan keadilan, maka jalan penyelesaian yang ditawarkan oleh Islam tidaklah melalui konflik kelas, dimana kelas masyarakat tertentu melakukan konflik dengan tujuan menyingkirkan dan agar kekayaan dan kekuasaan berada pada masyarakat tanpa kelas. Islam menawarkan jalan melalui “dorongan sosial” yang mengembalikan gerakan dan penggerakan posisi-posisi kelas dan tingkat ketidakadilan — yang kehilangan keseimbangan itu — ke tingkat keadilan yang merupakan perwujudan keseimbangan sosial antar kelas masyarakat, yang mana multi kelas tetap ada dan agar keseimbangan itu menjadi pengikat dan pemersatu dalam perbedaan kelas.

Terminologi konflik (shira’) dalam Al Qur’an dipakai ketika satu pihak membanting pihak yang lain lalu membinasakannya:

“Maka kamu lihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan mereka itu tunggul-tunggul pohon kurma yang telah rapuh.” (Al Haaqqah: 7)

Sedangkan mendorong atau menolak (ad daf’) adalah penggerakan terhadap posisi-posisi pihak yang berbeda dan satu tingkat ke tingkat yang lain sebagai penyelaras hubungan antar pihak yang bermacam-macam, bukan untuk membinasakan yang lain agar ia sendiri yang menguasai arena dan fasilitas:

“Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah menjadi teman yang sangat setia.” (Fushshilat: 34)

Jadi tujuan dari menolak (ad daf’) di sini tidaklah membanting musuh dan membinasakannya, melainkan menyerahkan posisinya dari posisi permusuhan ke posisi berteman setia. Gerak sosial dalam pandangan Islam adalah penolakan atau pendorongan sosial (ad daf’ al ijtima’i) bukan konflik kelas (ash shira’ ath thabaqi).

“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini…” (Al Baqarah: 251)

“Seandainya Allah tidak menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah ibadah-rumah ibadah Yahudi dan masjid-masjid yang didalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Al Hajj: 40)

Tentang pesan kandungan pengertian epistemologisnya, Islam menolak — tidak hanya berbeda — yang ada dalam istilah “kiri” (left) dan terminologi “pertikaian” (conflict), suatu hal yang secara pasti terdapat ketidaktepatan pengertian dalam kedua terminologi tersebut jika dikenakan pada Bahasa Islam baik dalam isyarat bahasanya maupun pengertian epistemologisnya.

Karena melakukan ‘uzlah hadhariyah — di dunia Islam modern dan di bawah pengaruh revolusi media komunikasi — merupakan fiksi besar; karena kandungan pengertian epistemologis Barat dan asing yang ada dalam banyak terminologi Arab Islam telah menjadi bagian realitas pemikiran dan kebudayaan setempat mengingat keberhasilan pembaratan (westernization) dalam kehidupan pemikiran, budaya dan informasi; karena dialog antara kebudayaan Islam dan kebudayaan asing, begitu pula dialog antara trend pemikiran dan realitas kebudayaan Muslim, adalah upaya penyelamat dari pengambilan pemikiran secara buta yang menghancurkan. Maka membebaskan kandungan pengertian terminologi-terminologi itu, mengungkap wilayah-wilayah yang dapat diterima dan ditolak dalam makna dan konsepnya, khususnya terminologi-terminologi yang banyak beredar dan banyak mengundang polemik antar aliran pemikiran zaman sekarang ini, adalah merupakan tugas pokok dan menjadi prioritas utama dalam satu dialog pemikiran serius yang menyelamatkan kehidupan pemikiran Islam dari bahaya yang ditimbulkan oleh penjiplakan secara serampangan.

Karena buku ini diharapkan membawa tugas “membebaskan” dan meluruskan kandungan pengertian terminologi-terminologi penting yang beredar dan banyak menimbulkan polemik serta kontroversi dalam kehidupan pemikiran pada masa sekarang, maka untuk lebih meyakini keharusan meluruskan kandungan pengertian terminologi-terminologi ini sebagai prasyarat pokok adalah mengadakan dialog serius dan efektif, yaitu dialog seputar maksud-maksud syari’ah Islam yang diharapkan akan mengungkap keharusan membebaskan kandungan

pengertian dan konsep-konsep terminologi-terminologi epistemologis. Selanjutnya dikemukakan kepada para pembaca konsep-konsep terminologi yang menjadi fokus perdebatan antara peradaban Barat dan Islam dan antara kelompok sekular dan Islamis dalam kehidupan pemikiran modern.

Semoga Allah berkenan memberi kemudahan dalam upaya mencapai tujuan yang diharapkan dari upaya pemikiran ini: mengungkap wilayah yang mempunyai kesamaan dan juga wilayah-wilayah yang berbeda antara peradaban Islam dan peradaban Barat.


sumber: hasanalbanna.id