2012-01-11 Pengantar Kebebasan Wanita (2)
Ketika membaca buku Muhadharutul Udaba’ karangan Ar Raghib Al Ashfahani, saya menemukan keterangan bahwa beliau menyediakan bab khusus mengenai anak perempuan dengan judul Fa’idatu Mautiha wa Tamanihi (Manfaat Kematian Anak Perempuan dan Mendambakan Kematiannya). Beliau memulai pembahasan dengan perkataan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik mertua/ipar adalah kubur,” dan “Menguburkan anak-anak perempuan merupakan salah satu kemuliaan.” Kedua hadits tersebut tergolong pada sebagian dari hadits-hadits maudhu’ dan mendustakan Rasulullah saw. Pada dasarnya, buku-buku sastra tidak dapat dijadikan sumber pengambilan hadits-hadits Nabi saw. Hanya saja, sebagian orang tidak mampu melakukan evaluasi atau penilaian terhadap sumber rujukan, sekaligus tidak mampu membedakan satu riwayat dengan yang lainnya. Mereka mengira bahwa semua yang terdapat dalam buku adalah keterangan yang dapat dipercaya. Apalagi jika ternyata penulisnya adalah orang yang ternama dan populer dalam dunia ilmu pengetahuan dan pemikiran seperti halnya Ar Raghib Al Ashfahani. Beliau adalah penulis buku Mufradatul Qur’an, Ad Dzrari’ah ila Makarimisy Syariah, dan lain-lain. Namun, ada yang mereka lupakan bahwa seseorang itu dapat saja menjadi figur dalam salah satu bidang ilmu pengetahuan, tetapi dalam bidang yang lain dia buta atau semibuta. Banyak di antara mereka yang tidak memperhatikan hal itu, sebagaimana telah diingatkan oleh Imam Al Ghazali dalam bukunya yang berjudul Al Munqidz minadh Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan).
Mereka yang berhaluan keras menjadikan kehidupan wanita bagaikan penjara yang tidak tembus ke dalamnya walaupun seberkas cahaya. Karena itulah, wanita tidak boleh keluar rumah, pergi ke masjid, tidak dianjurkan berbicara dengan kaum laki-laki –meskipun dengan cara yang sopan. Muka dan telapak tangannya adalah aurat, begitu pula suara dan pembicaraannya. Bahkan sampai pada pelarangan menggunakan pakaian putih yang biasa dilakukan oleh wanita-wanita Mesir sejak dahulu ketika mereka menunaikan ibadah haji dan umrah. Ketika ditanyakan alasan pelarangannya, mereka menjawab bahwa perbuatan tersebut menyerupai laki-laki! Padahal, dalam soal berpakaian, Allah memberikan kelonggaran bagi wanita dalam hal yang tidak diperbolehkan bagi kaum laki-laki, misalnya pengharaman memakai perhiasan emas dan mengenakan pakaian yang terbuat dari sutera bagi kaum laki-laki.
Kebalikan dari mereka yang menyia-nyiakan, menyepelekan, dan mempecundangi hak wanita, kita temukan pula kelompok lain yang berlebihan dalam urusan wanita, sehingga melangkahi hukum Allah serta melampaui garis fitrah dan akhlak mulia yang telah ditetapkan agama. Jika kelompok pertama tadi menjadi tawanan tradisi Timur yang diwarisi turun-temurun, maka kelompok kedua ini menjadi tawanan tradisi Barat.
Saya melihat kelompok kedua ini ingin mengikis semua bentuk perbedaan antara laki-laki dan wanita sebab keduanya sama-sama manusia, hanya yang satu dilahirkan sebagai laki-laki dan yang satu lagi sebagai wanita. Menurut mereka, mengapa harus ada perbedaan antara keduanya? Mereka telah lupa bahwa Allah menciptakan kedua insan dengan perbedaan dalam struktur fisik untuk suatu tujuan yang sangat besar dan mulia. Mereka memiliki misi dalam kehidupan ini yang sesuai dengan tabiat dan keahlian masing-masing. Menjadi ibu dengan segala ciri, kelebihan, dan beban deritanya merupakan inti misi kaum wanita. Inilah yang membuat wanita lebih banyak tinggal di rumah dibandingkan dengan kaum laki-laki.
Kalau memang sudah diciptakan dalam bentuk yang berbeda dari segi ciptaannya, hal itu tidak boleh kita abaikan, terutama dalam merancang pendidikan dan pekerjaan bagi wanita, dan hal seperti itu telah mendapat perhatian dari ilmu modern pada zaman sekarang ini. Kita lihat, sebagian orang secara membabi buta menolak nash-nash sahih yang sudah mapan tanpa penjelasan, seperti yang dilakukan oleh seorang satrawan wanita terkenal. Ketika menyampaikan ceramah di Qatar, dia menolak mentah-mentah hadits: “Tidak akan berhasil suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita.” Padahal hadits itu adalah hadits sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitabnya dan diterima secara bulat oleh para ulama dan tidak ada yang mempermasalahkannya sejak beberapa abad yang silam. Lebih aneh lagi, salah seorang penulis menolak hadits ini dan menganggapnya sebagai hadits bohong dan palsu, sebab menurut pandangannya hadits ini berlawanan dengan hadits sahih yang berbunyi: “Ambillah separuh agamamu dari wanita yang pipinya merah ini (maksudnya Aisyah r.a.)”
Bayangkan bagaimana dia menolak hadits sahih yang telah diterima secara bulat demi mempertahankan suatu hadits bohong dan batil yang tidak ada nilai dan bobotnya menurut neraca ilmu pengetahuan! Ada pula kita temukan orang yang ingin mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagi laki-laki, yaitu kawin kepada lebih dari seorang wanita bagi orang yang berkeinginan untuk itu atau merasa dirinya mampu dan yakin bahwa dia akan bisa berbuat adil. Mereka menyalahi apa yang sudah tetap dalam Al Qur’an dan perbuatan Rasulullah saw. beserta para sahabat dan Khulafaur Rasyidin. Begitu juga perbuatan generasi salaf pada zaman-zaman keemasan umat Islam, serta generasi khalaf (berikutnya) di berbagai belahan dunia dan berbagai masa, atau dalam semua mazhab umat sampai masa sekarang ini.
Bahkan adapula yang menghimbau agar diciptakan sistem yang membagi-bagikan harta warisan kepada wanita sama dengan bagian saudara laki-lakinya, menolak bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan, serta secara terang-terangan menyalahi nash Kitabullah, Sunnah Rasulullah saw., dan Ijma’ para ulama, baik dari segi fiqih maupun dalam bentuk perbuatan selama empat belas abad. Yang lebih mengherankan lagi, arus pemikiran tersebut telah melanda orang yang mengaku sebagai ahli agama. Mereka membuat keadaan menyimpang dari jalan yang benar. Mereka berbicara dengan mengatasnamakan Islam melalui pers dan media massa, lalu mereka berbicara mengenai Allah tanpa didasari ilmu pengetahuan yang benar. Di antara mereka itu ada yang tidak tahu atau berpura-pura tidak tahu mengenai hadits-hadits yang sahih dan jelas, dengan tujuan agar mereka dapat mengeluarkan fatwa yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh syariat Allah dan melegitimasi keadaan yang sedang berlaku, atau guna menghalalkan kebijakan-kebijakan penguasa yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Karena itu, Anda lihat mereka diam saja ketika muncul undang-undang yang memperbolehkan zina dan mereka ikut-ikutan menentang poligami.
Kita juga menemukan ulama yang memfatwakan bolehnya wanita memakai rambut palsu, padahal ada riwayat hadits sahih dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Aisyah, Asma, dan Mu’awiyah r.a. yang mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda: “Allah melaknat wanita yang menyambung dan minta disambung rambutnya.” Perbuatan menyambung rambut ini disebut oleh Rasulullah saw. sebagai pemalsuan, sebab si pelaku telah memalsukan keadaan yang sebenarnya, dan beliau mengisyaratkan bahwa yang demikian itu adalah perbuatan orang-orang Yahudi.
Serupa dengan itu orang yang memfatwakan bahwa pakaian yang memperlihatkan kedua siku dan betis atau rambut, atau pakaian tipis yang menerawang atau menampilkan bentuk dan lekuk-lekuk tubuh –seperti pakaian budaya bangsa Barat yang menyusup ke dalam masyarakat Islam–hanyalah dosa kecil yang bisa dihapuskan dengan melakukan shalat atau ibadah lainnya. Bodoh sekali orang yang berkata begitu. Sebab, Nabi saw. sendiri memasukkan wanita-wanita seperti itu ke dalam kelompok penghuni neraka yang “berpakaian telanjang”. Beliau pun memutuskan bahwa mereka tidak akan masuk surga bahkan tidak bisa mencium bau surga, padahal bau surga itu dapat dicium dari jarak yang sangat jauh. Wanita-wanita yang berpakaian telanjang adalah wanita yang pakaiannya tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan agama. Artinya mereka memakai pakaian yang masih menerawang dan menampilkan lekuk-lekuk dan bentuk tubuh, atau tidak menutupi bagian-bagian tubuh yang harus ditutupi. Jika dikatakan bahwa yang mereka lakukan itu hanya dosa kecil, tentu Nabi saw. tidak memutuskan mereka masuk neraka atau mengharamkan mereka dari surga walaupun sekadar mencium baunya.
Sekarang katakanlah kita menerima bahwa memakai pakaian yang tidak menutup aurat itu hanyalah dosa kecil. Apakah mungkin mereka tidak tahu bahwa berketerusan melakukan dosa kecil akan mengantarkan pelakunya pada dosa besar sebagaimana yang telah ditetapkan oleh ulama, sehingga mereka berkata: “Tidak ada dosa yang kecil kalau dilakukan secara terus-menerus dan tidak ada dosa yang besar jika disertai dengan istighfar.” Yang tepat dikatakan adalah bahwa sebagian besar dari orang-orang yang bersikap ekstrem dan berlebihan dalam meniru Barat adalah sebagai reaksi terhadap orang-orang yang bersikap ekstrem dan keterlaluan dalam meniru Timur, atau dengan kata lain mereka menjadi tawanan zaman kuno dan zaman modern. Sementara yang dituntut dari kita hanyalah tunduk dan patuh kepada petunjuk dan bimbingan Dinul Haq yang dibawa oleh Nabi kita, Muhammad saw. Karena itu, yang harus diambil adalah sikap yang mencerminkan sifat atau karakter pertengahan Islam yang tidak keterlaluan dan tidak pula menyepelekan suatu masalah, tidak melebihi dan tidak pula mengurangi. Itulah yang diisyaratkan Allah SWT dalam firman-Nya:
“Supaya kamu jangan melampaui batas dalam neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (Ar Rahman: 8-9)
Buku yang saya antarkan untuk pembaca sekarang ini dapat menjelaskan karakter pertengahan Islam tersebut dan menampilkan sikap Islam yang sebenarnya mengenai masalah yang sangat penting ini. Dalam masyarakat Islam masih bercampur aduk antara yang hak dan yang batil, jelasnya mengenai masalah wanita serta perannya dalam rumah tangga, masyarakat, dan kehidupan.
Penulis buku ini mulai menekuni masalah wanita muslimah sejak bertahun-tahun, ketika dia banyak sekali menemukan nash-nash yang berlawanan dengan sikap sebagian besar kaum muslimin yang keras dan kaku mengenai wanita. Semakin dalam kajian yang dia lakukan terhadap masalah ini, semakin bertambah kuat keyakinannya mengenai keluasan pandangan Islam terhadap wanita, kedudukan, dan peranan pentingnya di tengah keluarga dan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Beliau semakin serius menangani masalah ini karena melihat sikap berlebihan dari sekelompok umat Islam dan sebagian para da’i dalam mengenali kaum wanita. Hal-hal itu menyebabkan kaum laki-laki dan wanita semakin jauh dari tuntunan Islam. Itu sama artinya dengan menyerahkan kepada orang-orang sekuler dan antiagama senjata yang dapat mereka gunakan untuk menghalangi para da’i dalam memecahkan berbagai problem kehidupan secara islami.
Dalam kajian ini, penulis buku ini tidak berpegang pada ucapan si fulan atau orang tertentu, tetapi membiarkan nash-nash berbicara dan menentukan hukum sendiri. Karena itu, banyak terdapat nash dalam buku ini yang secara sengaja dikemukakan begitu saja, sehingga nash itu sendiri dengan bahasa dan gayanya akan menjelaskan, menegaskan, dan menentukan nilai dan maksud yang dituju. Beliau tidak menukil/menyadur ucapan para ulama atau para pensyarah kecuali dalam batas yang wajar untuk sekadar menjelaskan hal-hal yang kurang jelas, samar-samar, atau ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai nash tersebut.
Kita benar-benar sedang menekuni suatu kajian ilmiah yang dapat dipercaya karena didukung oleh nash-nash yang sahih, diambil dari sumber-sumber yang paling dipercaya dan betul-betul dikuasai oleh penulisnya. Beliau mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, hati, ilmu, dan pengalaman sehingga membuahkan keberhasilan sampai ke tingkat yang begitu matang. Bahkan pada kenyataannya kita sedang menghadapi sebuah ensiklopedia yang sarat dengan masalah-masalah penting mengenai wanita muslimah, baik menyangkut kepribadian dan kedudukannya, pakaian dan perhiasannya, perannya di tengah keluarga dan masyarakat, pertemuannya dengan kaum laki-laki, hingga pada keterlibatannya dalam kehidupan sosial dan politik menurut pandangan nash-nash Al Qur’an, hadits, dan pemahaman ulama salaf terhadap nash-nash yang me-nyangkut masalah wanita tersebut.
Penulis buku ini, Profesor Abdul Halim Muhammad Abu Syuqqah, adalah seorang tokoh yang belum begitu dikenal di kalangan cendekiawan. Sebab, beliau belum banyak membuat tulisan yang membuat beliau dikenal orang atau dengan kata lain, belum banyak menurunkan tulisan yang dapat mempublikasikan siapa dirinya kepada orang lain. Tulisan beliau masih terbatas dalam bentuk artikel-artikel yang dimuat dalam beberapa majalah Islam. Padahal sebenarnya beliau banyak menulis dan merekam buah pikirannya dalam berbagai bidang. Tulisan-tulisan beliau mengandung ide-ide yang cemerlang dan teori-teori reformasi yang unggul. Hanya saja, ide-ide beliau sering seperti mutiara yang masih berserakan di sana sini dan belum ditata dalam satu ikatan. Beliau masih terus mengulur-ulur waktu sehingga menemukan tali pengikat yang diidam-idamkan.
Di samping itu sikap hati-hati dalam menyusun buku ini –sikap pelan dan hati-hati disenangi oleh Allah dan Rasul-Nya menurut nash yang sahih– membuat beliau membaca berulangkali pemikiran yang telah dituangkan ke dalam bentuk tulisan, dan mendiskusikannya dengan teman-teman dekat beliau, sehingga beliau betul-betul yakin akan kebenaran yang ditulis. Mungkin juga beliau melakukan ralat dan perbaikan sehingga beliau betul-betul merasa mantap dan puas dengan tulisannya.
Meskipun Prof. Abdul Halim yang juga dijuluki Abu Abdurrahman ini tidak begitu dikenal di kalangan luas, kalangan yang mengenalnya merasa kagum dan mengakui kemampuannya dalam berpikir secara tenang dan mendalam; pandangannya yang kritis, reformis, dan berani mengemukakan apa yang diyakininya benar; sampai pada kejujuran dan sikap istiqamahnya sehingga lahir dan batinnya tetap seirama.
Saya tegaskan di sini bahwa saya sudah mengenalnya secara baik sejak seperempat abad silam, ketika kami sama-sama bekerja di kementerian pendidikan di Qatar. Sejauh yang saya tahu, beliau selalu berbicara jujur, benar, bersih, sopan, halus, jenius, dan kritis. Di dalam pergaulan hidup, saya mengenalnya sebagai seorang muslim yang sangat konsisten pada ajaran Islam serta senantiasa mempelajari hukum dan ajaran agama untuk diterapkan pada diri dan keluarganya. Beliau tidak belajar untuk pandai beretorika atau membangga-banggakan kehebatan dan kepintaran yang dimiliki, tetapi untuk dijadikan petunjuk dalam kehidupannya.
Kekonsistenan beliau tidak didasarkan pada Islam mazhab tertentu dari mazhab-mazhab yang lazim diikuti atau Islam suatu periode dari periode-periode sejarah terdahulu, dan bukan pula Islam suatu negara dari negara-negara Islam yang dikenal. Akan tetapi, Islam beliau adalah Islam Al Qur’an dan Sunnah semata. Karena itulah dia sangat hati-hati dalam membuat tulisan agar jangan berdasarkan pada pendapat ulama ini atau ulama itu. Sebab ulama mana pun di dunia ini pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya, bagaimana pun kehebatan ilmu pengetahuan dan fatwanya.
Saya mengenalnya sebagai seorang pendidik yang didukung bakat, studi, dan pengalaman. Beliau pernah menjadi guru sekolah lanjutan atas dan direktur sebuah SLTA di Doha. Karena itu, tidak mengherankan jika pada diri beliau sering terlihat semangat seorang pendidik yang senantiasa berupaya memberi dan mengajar dengan berbagai cara dan metode yang sangat menarik.
Saya juga mengenalnya sebagai seorang pemburu kebenaran yang ikhlas dalam mencarinya, tidak pernah merasa jemu dan bosan untuk mengetahui rahasianya, serta teliti dalam membaca dan mengkaji. Sifat tekun dan teliti serta berpikir dan mengamati merupakan beberapa keistimewaan yang cukup menonjol dan ciri yang sangat kentara dalam seluruh kehidupannya. Beliau tidak suka terburu-buru membuat keputusan dan kesimpulan, serta tidak suka meniru-niru. Keputusan dibuat melalui kajian yang teliti dan pemikiran yang mendalam. Setelah itu baru beliau menyusun catatan tentang pokok-pokok pikiran yang masih berserakan untuk dihimpun dan disusun secara rapi.
Beliau juga seorang yang sederhana dan rendah hati. Apabila diberi nasihat, beliau tidak cukup sekadar menerima. Lebih dari itu, beliau meminta nasihat lebih banyak dan lebih banyak lagi dari orang yang beliau percayai ilmu dan pendapatnya, sehingga beliau yakin betul dengan hasil yang disimpulkan. Beliau senantiasa lapang dada dalam menerima pendapat lain, tidak acuh bila menemukan suatu kebenaran. Beliau menampakkan wajah yang ceria, siap beradu pendapat, menghapuskan atau menambahkan, mendiskusikan dan memperbaiki, hingga beliau sampai kepada suatu kesimpulan yang betul-betul mantap.
Beliau selalu mendambakan perbaikan, tidak berhenti kalau sudah mengenal jenis penyakit, tetapi senantiasa berusaha menentukan obat dan menjelaskan cara perawatannya.
Beliau selalu mendukung semangat kemudahan dan keluwesan dalam menyampaikan dakwah Islam, khususnya mengenai kasus-kasus yang berkaitan dengan keluarga dan masyarakat. Beliau pun tidak mengada-ada mencari kemudahan dalam syariat Allah. Beliau hanya mengikuti saja kemana arah syariat itu berjalan. Hal itu tidaklah aneh sebab memberikan kemudahan merupakan roh dan darah daging syariat Islam.
sumber: hasanalbanna.id