Skip to main content

2012-02-06 Perspektif Buruk dalam Penulisan Sejarah Khilafah Turki Utsmani

Ali-Muhammad-Ash-Shalabi.jpg

Prolog

Para ahli sejarah Eropa, Kristen, dan Yahudi serta orang-orang sekuler yang pendengki telah melakukan serangan dengan sangat subyektif terhadap sejarah Khilafah Utsmaniyah. Mereka telah melakukan berbagai cara untuk menohok, mengaburkan, dan meragukan apa yang telah dilakukan oleh Bani Utsmani ini dalam pengabdiannya terhadap Islam.

Mayoritas sejarawan asal Arab dalam berbagai aliran dan afiliasi, baik dari kalangan nasionalis atau sekuler, juga ikut menapaki metode mereka. Demikian pula para sejarawan asal Turki yang terpengaruh pemikiran sekuler yang dikomandani Kamal At Taturk. Maka tidak heran jika mereka meremehkan masa-masa pemerintahan Khilafah Utsmani dan menjadikan apa saja yang ditulis para sejarawan Kristen dan Yahudi sebagai sumber acuan utama untuk membangun sistem sekularisme di Turki, pasca Perang Dunia II.

Sikap negatif sejarawan Eropa terhadap sejarah Khilafah Utsmaniyah ini, tidak lepas dari rasa dendam sejarah mereka atas penaklukan yang dicapai oleh Khilafah Utsmaniyah; khususnya setelah peristiwa runtuhnya ibukota Negara Byzantium, Konstantinopel, yang kemudian dijadikan sebagai Negara Islam oleh Bani Ustmani dengan nama baru “Islambul” (maknanya, Darul Islam, dan kemudian menjadi Istambul –penj.). Orang-orang Eropa yang dirasuki penyakit dengki dan mewarisi dendam sejarah masa lalu terhadap Islam, mengungkapkan kebencian mereka melalui ucapan, tindak-tanduk, serta tulisan-tulisan mereka.

Bani Utsmani di masa itu terus berusaha melanjutkan penaklukan negeri-negeri, menjadikan Romawi Timur sebagai bagian dari negeri Islam, serta melanjutkan jihad hingga kekuasaan mereka berdiri tegak di tengah-tengah benua Eropa dan sampai ke Andalusia demi menyelamatkan kaum muslimin di sana. Eropa saat itu merasa sangat ketakutan dan diliputi kengerian. Hati mereka tidak tenang sebelum wafatnya Muhammad Al Fatih.

Sedangkan pemimpin-pemimpin Kristen di Eropa, baik pendeta atau raja-rajanya, mereka keluar ke jalan-jalan dengan mendengungkan permusuhan terhadap Islam dan kaum muslimin. Pemuka-pemuka Kristen berusaha menghimpun dana (donasi) untuk menyerang kaum muslimin (orang-orang kafir menurut pandangan mereka) Barbar. Setiap kali kaum muslimin meraih kemenangan di sebuah negeri, usaha mereka semakin gencar dan kebencian di dada mereka semakin kental. Oleh karena itu, mereka menuduh kaum muslimin sebagai pembegal, bengis, dan biadab. Mereka berusaha menanamkan kebencian ini di dasar otak orang-orang Eropa.

Serangan-serangan gencar dari kalangan pemimpin Kristen melalui berbagai media, merupakan usaha untuk menjaga posisi politik dan sumber ekonomi mereka, serta akibat rasa dendamnya terhadap Islam dan pemeluknya. Sebagian penguasa-penguasa politik di Eropa mampu mengangkangi kekuasaan dalam beberapa waktu lamanya, mereka berhasil menghimpun dana besar, membangun tembok-tembok besar yang kemudian mereka jadikan benteng; kesemuanya itu mereka ambil dari jalan sesat dan menyesatkan.

Walaupun rakyat Eropa melakukan perlawanan terhadap kelompok penguasa ini setelah mereka mengetahui kesesatan dan penyesatan mereka di awal-awal masa Renaisan (Renaissance) dan di awal perjalanan sejarah baru Eropa. Namun demikian perasaan masyarakat Eropa tidak mampu melepaskan diri dari warisan opini jahat yang telah dihembuskan oleh para pemuka Kristen dan penguasa politik terhadap dunia Islam atau secara khusus pemerintahan Bani Utsman.

Akibat dari semua itu, bangsa Eropa menyiapkan kekuatan militer yang dilengkapi teknologi canggih untuk melakukan balas dendam terhadap Islam kaum muslimin. Mereka berusaha menguras kekayaan umat Islam yang didorong oleh motivasi agama, ekonomi, politik, dan budaya. Tindakan ini didukung oleh penulis-penulis dan sejarawan mereka yang terus intensif menebarkan pengaburan dan keraguan tentang Islam, akidah, dan sejarahnya. Serangan gencar seperti ini banyak menimpa Khilafah Utsmaniyah.

Kejahatan yang dilakukan di atas, diikuti oleh orang-orang Yahudi Eropa yang menulis dengan tinta-tinta beracun, menyebarkan pemikiran-pemikiran berbisa dalam rangka terus-menerus melawan Khilafah Utsmaniyah dan dunia Islam sekaligus. Permusuhan orang-orang Yahudi terhadap pemerintahan Utsmani semakin menjadi-jadi tatkala semua strategi mereka gagal untuk merampok sejengkal tanah dari wilayah yang berada di bawah kekuasan Khilafah Utsmaniyah. Mereka gagal membentuk entitas politik dalam waktu seperempat kurun usia pemerintahan Khilafah Utsmaniyah yang beraliran Sunni ini.

Orang-orang Yahudi baru berhasil merealisasikan tujuan-tujuan mereka atau bantuan organisasi-organisasi Salibis Internasional dan negara-negara kolonialis Barat. Dukungan terhadap Yahudi juga diperkuat dengan gerakan Freemasonry yang berurat-akar di Negara-negara Barat dan eksis di dunia Islam dengan mengemas dirinya sebagai gerakan modernitas dan peradaban.

Pada saat yang sama mereka mempropagandakan tuduhan-tuduhan busuk terhadap Khilafah Utsmani-dalam masa yang panjang-bahwa mereka terbelakang, kolot, jumud, dan lainnya. Gerakan Freemasonry dan organisasi-organisasi bawah tanah yang berafiliasi kepada Yahudi dan kekuatan-kekuatan anti Islam dunia, beranggapan bahwa pengaburan sejarah dan peran historis Bani Utsman ini merupakan tujuan utama yang harus mereka capai.

Sedangkan para sejarawan Arab di dunia Islam telah menempuh metode penulisan sejarah yang juga ikut menyerang peran sejarah Khilafah Utsmani. Mereka terpaksa menempuh cara seperti itu karena dilatarbelakangi beberapa alasan; dan alasan yang paling utama adalah karena tindakan orang-orang Turki di bawah pimpinan “Musthafa Kamal At Taturk” dalam meruntuhkan Khilafah Islam pada tahun 1924, lalu digantikan dengan pemerintahan yang mengadopsi sistem sekuler dalam masalah sosial, ekonomi, dan politik dengan mengorbankan syariat Islam yang sejak lama eksis di Turki.

Pemerintahan Mushtafa Kamal berkolaborasi dengan Eropa dalam memusuhi negara-negara Islam dan Arab. Dia juga aktif turut serta dalam berbagai pakta koalisi militer dengan sekutu-sekutu Eropa, sejak berakhirnya Perang Dunia II, yang banyak ditentang bangsa Arab dan Islam serta sebagian pemerintahan mereka. Turki saat itu menjadi salah satu negara yang terang-terangan mendukung berdirinya Negara Israel di Palestina pada tahun 1948. Satu tindakan yang telah menyebabkan bangsa-bangsa Arab  dan Islam ikut berjalan di belakang pemerintahan nasionalis, setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah yang pada masanya selalu berjuang mempertahankan setiap jengkal tanah yang menjadi milik kaum muslimin.

Sifat mengekor dalam metode penulisan sejarah kepada metode Barat ini, menjadi sebab utama penyerangan terhadap Khilafah Utsmani, khususnya tatkala ada titik-temu antara pandangan sejarawan Eropa dan Arab dalam mengaburkan peran historis Khilafah Utsmaniyah.

Sebagian besar sejarawan Arab terpengaruh pemikiran materialistik Barat. Oleh sebab itulah mereka seringkali menisbatkan kecemerlangan sejarah negeri mereka setelah adanya interaksi dengan peradaban Barat yang sangat jauh dari manhaj Rabbani itu. Mereka beranggapan bahwa awal sejarah Arab modern dimulai sejak kedatangan orang-orang Perancis ke Mesir dan Syam yang berhasil menghancurkan isolasi Barat dan Timur; kemudian disusul munculnya sebuah Negara nasionalis di Mesir  di bawah pimpinan Muhammad Ali. Saat itu muncul pandangan yang meremehkan jasa-jasa Khilafah Utsmani yang di masa sebelumnya telah melakukan pembelaan yang begitu hebat terhadap akidah dan ajaran Islam, dari serangan keji orang-orang Kristen Eropa.

Kekuatan-kekuatan Eropa telah menyuburkan pandangan-pandangan yang berseberangan dengan Khilafah Islam dan mereka sangat aktif mendukung kerja para sejarawan dan pemikir Mesir atau Syam yang seringkali mendengung-dengungkan ide pencarian orisinalitas nasionalisme mereka. Seperti yang dilakukan oleh Al Bustani, Al Yaziji, George Zaidan, Adib Ishaq, Salim Niqasy, Farah Anton, Syibli Syamil, Salamat Musa, Henry Corel, Halil Spartez, dan lain-lain. Jika kita teliti lebih cermat, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Kristen dan Yahudi; dan mayoritas mereka-kalau bukan semuanya- adalah anggota gerakan Freemasonry, yang masuk ke dalam dunia Islam sejak masa pemerintahan Muhammad Ali, sedangkan bibitnya sendiri sudah mulai disemai sejak kedatangan Napoleon. Musuh-musuh Islam melihat bahwa dengan membantu orang-orang beraliran nasionalis sudah cukup untuk melemahkan potensi umat Islam dan menghancurkan Khilafah Utsmaniyah.

Gerakan Freemasonry juga telah berhasil menekuk-lututkan pikiran orang-orang yang berpaham nasionalis di tengah-tengah umat Islam. Orang-orang itu jauh lebih tunduk kepada kepentingan gerakan Yahudi daripada kepentingan umat Islam. Sikap mereka kepada  umat Islam merupakan gambaran hakiki dari peradaban muslim, budaya, dan pengetahuannya.

Metode yang menyimpang ini sama sekali tidak mengalami perubahan di kalangan Arab sejak terjadi kudeta militer di Mesir tahun 1952. Di mana pemerintahan militer di Mesir saat itu juga berdiri di atas pandangan yang sama dalam mendukung nasionalisme sejak berdirinya.

Negara-negara yang dikuasai junta militer, kebanyakan mendukung nasionalisme dan pada saat yang sama pemerintahan-pemerintahan tersebut mendasarkan pondasi negaranya di atas sekularisme dalam semua bidang kehidupan, termasuk di dalamnya sisi budaya dan pemikiran. Sehingga mereka memandang Khilafah Utsmani dan pemerintahannya sebagai penjajahan kepada bangsa Arab muslim. Mereka menimpakan semua keterbelakangan, kelemahan, dan kejumudan yang menimpa Negara-negara Arab akibat pemerintahan Utsmani ini.

Mereka beranggapan bahwa gerakan separatisme dan pemberontakan yang muncul di masa pemerintahan Utsmani, yang semuanya tak lebih karena adanya dorongan dan ambisi pribadi, atau didorong oleh kekuatan asing yang memusuhi Khilafah Islam; semua itu diklaim sebagai gerakan kemerdekaan berlandaskan nasionalisme. Seperti yang dilakukan Ali Baek Al Kabir di Mesir, orang-orang Qarmanal di Libya, Zhahir Al Umar di Palestina, pengikut Husein di Tunisia, Maknayin, dan Syihibayin di Lebanon, dan lain-lain. Yang semuanya menyatakan pemberontakan itu dilakukan demi nasionalisme yang sedang mereka perjuangkan.

Mereka juga beranggapan, sosok Muhammad Ali adalah pemimpin nasionalis yang berusaha menyatukan dunia Arab. Realitanya, dia gagal melakukan penyatuan bangsa Arab karena dia bukan berasal dari bangsa Arab. Mereka lupa, bahwa Muhammad Ali menyimpan ambisi pribadi yang membuatnya bisa bekerjasama dengan kekuatan-kekuatan kolonial yang mendukung posisinya dan mampu merealisasikan ambisi jahat mereka untuk menghantam kerajaan Saudi yang beraliran Salafi  dan melemahkan Khilafah Utsmani. Muhammad Ali banyak membantu gerakan Freemasonry  dalam menghajar kekuatan-kekuatan Islam di wilayah itu, serta telah berhasil melicinkan jalan bagi kolonialisme Barat-Kristen.

Gerakan Freemasonry-Yahudi telah berkolaborasi dengan kolonialis Barat dan kekuatan-kekuatan lokal yang mau menjadi budak-budak mereka. Semua kekuatan itu bertemu dalam satu titik untuk menghancurkan kekuatan Islam dan merenggut kemerdekaan rakyatnya, merampas sumber-sumber kekayaannya, serta untuk membentuk tatanan pemerintahan diktator yang dibantu aneka persenjataan Barat modern. Inilah yang dilakukan Muhammad Ali.

Sebagian ahli sejarah dari kalangan Salafi di wilayah Arab bagian timur, telah ikut partisipasi menyerang Khilafah Utsmani karena adanya faktor permusuhan Khilafah Utsmani terhadap gerakan Salafiyah di Saudi; ternyata hal itu muncul tak lain karena adanya konspirasi negara-negara Barat yang mendorong para sultan pemerintahan Utsmani agar memerangi kekuatan-kekuatan Islam di Nejed, di basis gerakan Salafiyah. Selain itu juga karena sikap Khilafah Utsmani yang mendukung gerakan tasawuf dan fenomena tercerabutnya ajaran tasawuf dari asas-asas syariah Islam. Lebih dari itu semua, pemerintahan Utsmani di akhir-akhir kekuasaanya telah didominasi oleh para pendukung nasionalisme Turki, yang telah menjauhkan pemerintahan Utsmani dari manhaj Islam; padahal sebelumnya menjadi pembela Khilafah Utsmaniyah selama beberapa abad perjalanan sejarahnya, di mana hal itu membuat kaum muslimin terdorong untuk menggabungkan diri dengan Khilafah dan sekaligus mendukungnya.

Sedangkan sejarawan dari kalangan Marxis mereka telah menyatakan perang terbuka terhadap kekuasaan pemerintahan Khilafah Utsmani. Mereka menganggap bahwa masa-masa pemerintahannya adalah bentuk hegemoni sistem feodalisme yang mendominasi sejarah Arab pertengahan. Mereka mengatakan bahwa pemerintahan Utsmani tidak melahirkan sesuatu yang baru dalam hal teknologi dan produksi. Sejarah modern-dalam pandangan mereka-dimulai sejak munculnya golongan borjuis, kemudian kapitalisme yang telah merombak dunia ekonomi-sosial di awal abad ke-19 M. Pandangan ini memiliki kesamaan dengan pandangan para sejarawan Eropa beraliran liberal dan para pengagum nasionalisme.

Beberapa sejarawan dan intelektual Kristen dan Yahudi, dengan gencarnya memasarkan dua pandangan ini-Barat dan Marxime- melalui buku-buku yang mereka tulis dan terjemahkan. Aksi mereka didukung sepenuhnya oleh gerakan Freemasonry yang memang sangat memusuhi semua usaha yang ingin menyatukan pandangan Islam. Mereka selalu mengedepankan nasionalisme dengan lokalnya, atau naionalisme Arab. Seperti proyek berdirinya Al Hilal Al Kashib di Syam, proyek penyatuan Mesir dan Sudan. Selain itu mereka gencar melakukan seruan nasionalisme terbatas seperti ingin menghidupkan Fir’aunisme di Mesir, Asyuriisme di Irak, dan Viniqiya di Syam, dan lain-lain.

Sedangkan sejarawan asal Turki yang muncul pada masa-masa gencarnya seruan nasionalisme Turki, telah melakukan pengaburan tehadap masa-masa Khilafah Utsmani, baik dalam arus pemikiran politik negerinya yang membebankan semua sisi kelemahan dan kehancuran kepada pemerintahan Utsmani, atau karena orang-orang Turki terpengaruh sikap jelek yang ditampakkan oleh pemerintahan Utsmani di mana setelah Sultan Abdul Hamid diturunkan pada tahun 1019, pemerintahan Utsmani hanya berbentuk sebuah formalisme. Pemerintahan Utsmani ini telah sering mengalami kekalahan berturut-turut dalam setiap kali terjun dalam Perang  Dunia I. Kekalahan  ini telah menimbulkan kerugian yang demikian besar dan harus kehilangan sejumlah wilayah kekuasaannya, serta sikap menyerah Turki saat melakukan Kesepakatan Sifir pada tahun 1918 yang tak lebih sebagai tanda kekalahan mereka atas orang-orang dari Persatuan dan Pembangunan.

Sementara itu gerakan nasionalisme yang dipimpin oleh Musthafa Kamal At Taturk telah mampu menyelamatkan Turki dari kehinaan ini dan mampu mengembalikan tanah-tanah wilayah Turki dan memasukkan wilayah Yunani ke dalamnya. Ini juga terjadi karena para pemikir Turki terpengaruh sikap sebagian orang Arab yang telah mendukung sekutu Barat pada saat terjadi Perang Dunia I dalam melawan pemerintahan Utsmani, serta pernyataan perang terhadapnya pada tahun 1916.

Walaupun ada perbedaan-perbedaan sebab, namun kebanyakan sejarawan sepakat untuk mengaburkan dan menyelewengkan sejarah Khilafah Islam Utsmani. Para sejarawan pendusta ini dalam melakukan aksinya sengaja memelintir fakta-fakta, melakukan kebohongan-kebohongan, menanamkan keragu-raguan. Buku-buku yang mereka tulis banyak diwarnai dengan kebenaran buta, dan dorongan-dorongan tidak sehat yang sangat jauh dari obyektif.

Apa yang mereka lakukan telah memunculkan reaksi dari kalangan Islam untuk membantah semua tuduhan dan syubhat yang ditodongkan kepada Khilafah Utsmani. Salah satu tulisan yang penting untuk membantah tuduhan itu adalah buku yang ditulis Dr. Abdul Aziz Asy Syanawi, yang dia tulis dalam 3 jilid besar dengan judul Ad Daulah Al Utsmaniyah Dual Islamiyah Muftara ‘Alaiha (Pemerintahan Utsmani, Negara Islam Tertuduh). Walaupun dia telah berusaha sebaik mungkin dengan didorong sifat keislaman dan obyektivitas dalam penulisan ini, namun ternyata dia tidak membahas semua sisi sejarah pemerintahan Utsmani. Ada catatan yang perlu diperhatikan dalam buku ini yang jauh dari obyektivitas ilmiah yang bersih.

Salah satu karya yang patut kita syukuri dalam bidang ini adalah apa yang dilakukan oleh seorang penulis terkenal dan seorang mahaguru dalam sejarah Khilafah Utsmaniyah, Dr. Muhammad Harb. Dia telah menulis untuk umat Islam sejumlah buku khusus mengenai pemerintahan Utsmani. Antara lain Al Utsmaniyun Fit Tarikh Wal Hadharah (Bani Utsmani dalam Perspektif Sejarah dan Peradaban), As Sulthan Muhammad Al Fatih Fatihu Al Qasthathiyah Wa Qahiru Ar Ruum (Muhammad Al Fatih Pembuka Konstantinopel dan Penakluk Romawi), As Sulthan Abdul Hamid Akhir Salathin Al Utsmaniyin Al Kibar (Sultan Abdul Hamid, Sultan Terakhir Bani Utsman).

Di antara karya yang demikian baik dan berbobot mengenai sejarah pemerintahan Bani Utsmani, adalah yang ditulis oleh Dr. Muwaffaq Al Marjah yang dia beri judul Shahwah Ar Rajul Al Maridhaw As Sulthan Abdul Hamid (Bangkitnya Lelaki yang Sakit, atau Sultan Abdul Hamid). Sebuah tulisan yang dia ajukan untuk meraih gelar Master. Buku ini telah mampu memberikan gambaran banyak hal tentang hakikat dan fakta yang didukung manuskrip-manuskrip dan hujjah yang kuat.

Dan masih banyak penulis modern lain yang juga ikut memberikan kontribusinya. Namun, di sana ada beberapa sisi sejarah Khilafah Utsmani dan tarikh Islam di zaman modern ini, yang membutuhkan uji pandang dengan menggunakan perspektif Islam yang bisa memunculkan hakikat kebenaran, serta dapat menelan kebatilan-kebatilan yang diakibatkan cara penulisan dengan menggunakan kacamata nasionalisme sekuler, yang tak lain merupakan agen utama musuh-musuh Islam.

Sesungguhnya sejarah Islam modern dan klasik merupakan panji yang selalu dibidik oleh kekuatan yang memusuhi Islam. Sebab mereka menganggap bahwa sejarah merupakan wadah akidah, pemikiran dan pendidikan dalam membangun identitas kaum muslimin.[1]

Buku ini tak lebih dari upaya sederhana untuk mengkaji sejarah Khilafah Utsmaniyah secara berurutan, dan secara khusus menekankan pada perannya di Afrika Utara. Buku ini juga membahas akar-akar sejarah Khilafah Utsmaniyah hingga kejatuhan khilafah di tangan antek Inggris, dan seorang mulhid besar yang bernama Musthafa Kamal.

Di sela-sela bahasan ini penulis memaparkan sebab-sebab kekuatan yang ada pada Khilafah Utsmani dan sebab-sebab kelemahan mereka, sifat-sifat penguasa, dan para sultannya yang kokoh serta perhatian mereka yang besar terhadap para ulama dan dalam mengimplementasikan syariah Allah, serta perjuangan dan jihad mereka yang demikian besar untuk menyebarkan Islam dan membela negerinya melawan serangan orang-orang Kristen yang tidak pernah berhenti.

Penulis komitmen dengan manhaj ahli sunnah tatkala memaparkan peristiwa dan selalu berusaha untuk bersifat adil dan obyektif tatkala memberikan penilaian terhadap sebuah peristiwa. Semua itu diharapkan akan mampu memberikan kontribusi dalam meluruskan kesalahan pandangan dan persepsi yang selama ini ditimpakan pada Khilafah Islam Utsmani.

Allah-lah yang Maha Mengetahui segala maksud, dan Dia-lah yang menunjukkan pada jalan yang lurus.


[1] Qimat Jadidah fi Tarikh Al Utsmaniyin, oleh Dr. Zakariya Bayumi, hlm, 7-9 dan 16-17.


sumber: hasanalbanna.id