Skip to main content

2012-01-24 Tema Penulisan Kebebasan Wanita

Abdul-Halim-Abu-Syuqqah.jpg

Pada dasarnya, buku ini merupakan kajian sosial yang bernuansa fiqih mengenai wanita pada zaman kerasulan. Saya mengupayakan agar buku ini memuat semua nash yang mengindikasikan wanita, dari dekat ataupun jauh, dalam hal kehidupannya, baik yang bersifat pribadi maupun umum. Selain itu juga mengindikasikan sifat hubungan sosial wanita dan keanekaragaman kegiatannya. Karena agama Islam mengatur kehidupan perseorangan –laki-laki ataupun wanita– seperti halnya mengatur tatanan masyarakat, penggabungan antara kajian sosial dan kajian fiqih serta keterkaitan kegiatan sosial dengan dalil-dalil fiqihnya akan menjadi faktor yang sangat membantu dalam penyelidikan yang menyeluruh terhadap perilaku seorang individu muslim.

Bagaimanapun, ciri-ciri kajian sosial tidak hanya berpegang pada dalil-dalil dan nash-nash yang qath’i, tetapi juga mengambil nash-nash dan dalil-dalil yang tingkatannya zhanni dengan pertimbangan bahwa penetapan realita sejarah baru bisa terlaksana jika dua dalil tersebut diambil sekaligus. Jika hukum fiqih membutuhkan dalil yang qath’i atau yang rajih untuk menetapkannya, maka dalil yang mungkin dipakai sebagai dalil sudah cukup untuk menguatkannya. Artinya suatu dalil yang dimungkinkan itu dapat dijadikan dalil pendukung bagi dalil asli yang qath’i atau rajih.

Pembaca dapat memperhatikan bahwa beberapa nash yang dijadikan dalil untuk sesuatu perkara bersifat dimungkinkan. Sementara kaidah mengatakan bahwa apabila maksud suatu nash yang dijadikan dalil bersifat dimungkinkan (muhtamal), maka hal itu tidak dapat dijadikan dalil. Karena itu, yang dapat dijadikan pegangan untuk menetapkan hukum hanyalah nash-nash yang dalil/maksudnya adalah yang qath’i atau rajih. Sedangkan nash-nash yang lain dari itu hanya dapat dijadikan pelengkap kajian sosial.

Sesungguhnya setiap perbuatan dari perbuatan-perbuatan orang yang mukallaf mengandung sisi substansi dan formalitas. Sisi substansial tercermin dalam berbagai bentuk penerapan yang dipengaruhi oleh lingkungan, situasi, tempat, dan waktu sehingga sisi ini sangat perlu dipahami. Sesuatu yang mubah harus senantiasa berada dalam kemubahannya; dan sesuatu yang haram, harus terus berada dalam keharamannya. Adapun bentuk-bentuk penerapan yang substantif ini, seperti yang telah kita katakan, terus berkembang. Meskipun terjadi berbagai macam perubahan, semuanya tetap berpegang pada hukum yang substantif tersebut.

Pengetahuan atas perbedaan masalah ini penting sekali dan membantu kita dalam menerima dan mengetahui bentuk-bentuk penerapan baru, misalnya dalam masalah pendidikan wanita, tugas wanita, atau kegiatannya dalam bidang sosial dan politik. Semua permasalahan itu mengandung substansi yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. yang mulia. Namun, apakah bentuk-bentuk penerapan yang berlaku pada zaman Nabi saw. mengandung pewajiban bahwa kita harus terpaku pada bentuk penerapan seperti itu dan tidak boleh melangkahinya? Ataukah kita harus mempertimbangkan faktor-faktor baru yang berpengaruh, maksudnya gejala-gejala sosial baru, lalu bentuk-bentuk penerapannya kita format ulang berdasarkan gejala-gejala baru tersebut?

Dalam hal ini, penulis sudah berusaha memantau gejala-gejala sosial baru yang berpengaruh terhadap kegiatan wanita dan hubungannya, baik dalam keluarga atau dalam bidang profesi, sosial dan politik. Begitu juga gejala-gejala yang berpengaruh terhadap pakaian wanita dan perhiasannya. Semua itu dimaskudkan agar wanita muslimah dapat menyesuaikan diri secara benar dan dapat bermasyarakat secara modern sambil tetap berpijak pada substansi yang telah digariskan agama. Dengan demikian dia senantiasa konsisten terhadap perintah Allah.

Adapun tujuan kajian sosial yang bernuansa fiqih ini –dan yang menerangkan dengan jelas sekali bagaimana keikutsertaan wanita dalam kehidupan sosial pada zaman kerasulan– adalah dalam rangka ikut ambil bagian memberikan gambaran agar wanita-wanita muslimah modern dapat mengikuti langkah-langkah atau aktivitas wanita-wanita zaman kerasulan dengan pedoman petunjuk Nabi saw.

Tujuan tersebut mengalihkan perhatian penulis pada sebuah masalah besar dan penting yang menuntut kerjasama serta pengorbanan kalangan ulama dan cendekiawan, yaitu masalah emansipasi atau pembebasan pemikiran muslim modern. Dalam arti membebaskannya dari belenggu raksasa, ukuran-ukuran palsu, dan pemikiran-pemikiran rusak yang telah menguasainya selama beberapa kurun waktu sehingga dia menjadi lemah dan cacat. Jika pemikiran umat Islam modern sudah bebas dari semua belenggu tersebut, segala aktivitas dan pekerjaannya senantiasa sesuai dengan pancaran hidayah Ilahi.

Pembebasan pemikiran umat Islam merupakan jalan satu- satunya menuju kebebasan yang sempurna dan murni bagi wanita dan laki-laki muslim secara sekaligus. Bahkan, hal tersebut merupakan jalan satu-satunya menuju restrukturisasi masyarakat secara keseluruhan berdasarkan sendi yang benar dan kuat. Akal atau pikiran adalah pengarah/motor bagi gerakan manusia. Jika pemikiran atau akal seseorang bebas dan mendapat petunjuk, dia akan bergerak dengan bebas ke arah yang benar berdasarkan petunjuk dan arahan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

Masalah ini merupakan induk dari segala permasalahan. Setiap cacat yang terjadi akan menimbulkan kerusakan yang fatal terhadap pola berpikir seorang muslim yang pada gilirannya akan menimbulkan kerusakan umum yang meliputi semua aspek kehidupan.


sumber: hasanalbanna.id