Skip to main content

2012-01-12 Kesalahan

Muhammad-Anis-Matta1.jpg

Sebagai  manusia,  setiap  pahlawan  pasti  pernah  dan  akan  selalu  pernah  melakukan kesalahan. Dalam diri mereka, bukan cuma ada nalar dan nurani, tetapi  juga ada naluri. Dalam diri mereka,  tidak  hanya ada akal dan  iman,  namun  juga ada  syahwat. Mereka bukan  hanya  memiliki  kekuatan,  namun  juga  kelemahan.  Mereka  tidak  menjadi malaikat manakala mereka menjadi pahlawan; mereka hanya menjadi sempurna secara relatif sebagai manusia.

Laiknya  sebuah  karya,  demikian  pula  kesalahan:  ada  yang  besar  dan  ada  juga  yang kecil.  Para  pahlawan  sejati  itu  pasti  pernah  melakukan  kesalahan,  entah  besar  entah kecil. Namun, seseorang sampai disebut pahlawan karena kebaikannya lebih besar daripada  kesalahannya;  karena  kekuatannya  lebih  menonjol  daripada kelemahannya.  Maka,  kesalahan-kesalahan  yang  diiakukan  oleh  para  pahlawan  itu biasanya  lebih  banyak  yang  kecil,  dan  tidak  sering  terulang,  serta  umumnya  tidak disengaja,  kecuali  kalau  itu  menjadi  sumber  kelemahannya.

Sebenarnya,  kuantitas  kesalahan  tidaklah  sepenting  katagori  kesalahan. Yang  terakhir inilah  sebenarnya  yang  menentukan  peluang  kepahlawanan  seseorang.  Kesalahan-kesalahan yang dilakukan para pahlawan umumnya tidak secara langsung menunjukkan karakter  yang  buruk,  tetapi  lebih  banyak  pada  tingkat  kematangan  dalam  profesi  atau kepribadian  yang  dibentuk  oleh  ilmu  pengetahuan,  pendidikan,  pengalaman,  dan kesiapan dasarnya sebagai pahlawan.

Kesalahan-kesalahan itu biasanya lebih terkait pada masalah strategi dan leknis. Kendati demikian, kedua jenis kesalahan itu—kepribadian atau profesi, tidak boleh bersifat fatal. Adapun  ukuran  kesalahan  fatal  itu  adalah  habisnya  peluang  untuk  memperbaikinya. Misalnya.  kesalahan  falal  yang  diiakukan  oleh  seorang  politisi  pada  akhir  karirnya sebagai  politisi,  Begitu  pula  tatkala  seorang  pebisnis,  di  usia  senjanya,  melakukan kesalahan  fatal yang menghabiskan aset bisnisnya. Akan  tetapi, kesalahan  ijtihad yang diiakukan oleh seorang ulama, mungkin tidak akan mematikan namanya sebagai ulama.

Andaikata  ia  melakukan  kesalahan  akhiak,  mungkin  hal  itu  lebih  efektif  mematikan peluangnya sebagai ulama.

Selain  itu, ada pula masalah  efek kesalahan: kepada pribadi  atau kepada publik? Para pahlawan  akan menutup  peluang  kepahlawanannya manakala  ia melakukan  kesatahan yang  berefek  kepada  publik.  Sebab,  salah  satu  ukuran  kepahlawanan  adalah manfaat  publik  yang  diberikan  oleh  pahlawan  tersebut. Ketika Khalid  bin Walid menikahi  janda Malik  bin  Nuwairah,  Umar  bin  Khathab  meminta  Abu  Bakar  untuk memecat Khalid. Malik  bin Nuwairah  yang mengaku Nabi  itu  tewas  dibunuh Khalid pada  Perang  Riddah.  Umar  beralasan,  Malik  bin  Nuwairah  telah  mengucapkan syahadat, namun Khalid tetap membunuhnya, kemudian malah menikahi jandanya.

Meski  demikian,  Abu  Bakar  tidak  mengabulkannya.  Entah  karena  Abu  Bakar membenarkan ijtihad Khalid yang menganggap syahadat itu hanya karena terdesak, atau karena  alasan  lain. Yang  pasti,  seperti  yang  terlihat,  efek  kesalahan  itu—jika  itu  bisa disebut kesalahan—tidak sampai kepada publik.

Di  balik  itu  semua,  yang  jauh  lebih  penting  dalam  perspektif  Islam  adalah  semangat bertaubat  secara  konstan.  Sebab,  taubat  hakikatnya  adalah  proses  perbaikan  diri secara  berkelanjutan.  Dengan  taubat  itulah,  seorang  pahlawan  mukmin  sejati mengubah  setiap  kesalahan menjadi  pelajaran mahal  bagi  kelanjutan  langkah-langkah kepahlawanannya.


sumber: hasanalbanna.id