2011-11-24 Madrasah Diniyah ‘Ar Rasyad’
Semoga Allah berkenan mencurahkan rahmat kepada ustadz kami Syaikh Muhammad Zahran, pemilik Madrasah Diniyah Ar Rasyad. Beliau adalah seorang yang brilian, berilmu, bertaqwa, dan berwibawa. Di tengah masyarakat, beliau –dengan cahaya ilmu dan keutamaannya- bagaikan pelita yang menerangi setiap tempat. Meskipun jenjang pendidikan beliau secara formal tidak sampai pada tingkatan ulama yang resmi, tetapi kecerdasan, kemauan, dan kesungguhan beliau telah menjadikan beliau berada jauh di depan dalam bidang ilmu dan amal.
Beliau mengajar masyarakat di masjid, selain juga mengajar kaum wanita di berbagai majelis ta’lim. Disamping itu, beliau juga mendirikan Madrasah Diniyah Ar Rasyad sekitar tahun 1915 M untuk memberikan pengajaran kepada generasi muda dengan model seperti lembaga-lembaga pendidikan swasta yang –ketika itu— telah tersebar luas di desa-desa dan kampung-kampung. Meski demikian, madrasah tersebut menggunakan pola pengajaran dengan mengacu pada lembaga-lembaga pendidikan yang bagus.
Sebagai tempat menempa ilmu maupun penggemblengan pribadi, boleh dikata itu sebagai madrasah yang istimewa dalam bidang materi yang diajarkan maupun metodologi yang diterapkan. Materi-materi pelajaran yang ada, di samping materi-materi yang populer diajarkan di berbagai madrasah semisalnya, juga ditambah dengan hadits-hadits Nabi dengan target menghafal dan memahaminya.
Semua murid diharuskan mengkaji hadits baru yang sebelumnya telah disampaikan syarahnya kepada mereka sampai mereka mampu memahaminya. Hal ini dilakukan setiap pekan sekali pada akhir jam pelajaran, yakni pada hari Kamis. Mereka harus mengulang-ulangnya sampai hafal, disamping masih harus hafal juga hadits-hadits yang telah mereka pelajari sebelumnya. Sehingga ketika mereka telah menempuh pendidikan satu tahun saja, mereka telah memperoleh perbendaharaan hadits yang cukup. Sebagian hadits-hadits yang dihafalkan itu benar-benar melekat dalam otak sejak saat itu.
Madrasah ini juga mengajarkan insya’ (mengarang), qawa’id (tata bahasa), dan tathbiq (praktek)nya. Selain itu juga diajarkan tentang adab (tata karma) yang dituangkan dalam pelajaran muthala’ah (wacana) atau imla (dikte), serta mahfuzhat (hafalan) yang ditulis dalam bentuk puisi atau prosa yang indah. Materi-materi semacam ini tidak populer di madrasah-madrasah lain yang semisal dengannya.
Ustadz Muhammad Zahran menguasai teknik mengajar dan mendidik yang efektif dan membawa hasil, meskipun ia tidak pernah belajar ilmu-ilmu pendidikan dan tidak pernah mendapatkan kaidah-kaidah ilmu psikologi. Beliau lebih banyak bersandar pada kebersamaan hati nurani antara dirinya dengan murid-muridnya. Beliau sangat berhati-hati dalam menghadapi mereka dengan selalu menaruh kepercayaan kepada mereka dan memberikan penghargaan atas tindakan baik mereka atau memberikan hukuman yang mendidik atas tindakan buruk mereka, yang hal itu akan menimbulkan keridhaan dan kegembiraaan di dalam jiwa. Seringnya, hal itu dilakukan dengan melontarkan anekdot yang hangat, bait-bait syair, atau ajakan yang baik. Saya masih teringat akan sebait syair yang dihadiahkan beliau kepada salah seorang murid karena berhasil menjawab soal dengan baik. Beliau menyuruh murid tersebut agar menulis syair berikut ke dalam buku catatannya:
Hasan telah memberi jawaban
Jawaban yang demikian bernas
Kepadanya semoga Allah memberikan
Keridhaan dan bimbingan
Saya juga masih ingat akan sebait syair lainnya yang dihadiahkan kepada seorang murid atas jawaban yang belum memuaskannya. Beliau pun menyuruhnya agar menulis bait syair berikut di dalam buku catatannya:
Wahai kuda Allah
Percepatlah lagi langkahmu
Untuk mengambil pemuda ini
Wahai kuda Allah
Akhirnya saya jadikan hal itu sebagai contoh dan saya panggil teman tersebut dengan nama itu. Jika kami memarahinya, maka kami memanggilnya, “Wahai kuda Allah!”. Ustadz sebenarnya hanya ingin berpesan kepada pemilik buku tulis itu agar ia menulis sendiri apa yang didiktekan oleh ustadz kepadanya, karena beliau adalah seorang tuna netra. Namun demikian dalam dadanya terdapat cahaya yang lebih terang daripada yang teradapat pada orang-orang yang tidak buta. Memang, -sebagaimana sebuah ayat menuturkan-
“Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, namun hati yang di dalam dada itulah yang buta” (Al Hajj:46)
Sejak saat itulah saya sadar dan tahu -sekalipun saya belum merasakannya- tentang pengaruh keharmonisan hubungan ruhiyah dan ketertautan perasaan antara seorang murid dengan gurunya. Kami sangat mencintai ustadz, sekalipun ustadz membebani kami dengan banyak pekerjaan yang cukup menyulitkan. Barangkali dari situlah saya dapat memetik faedah akan kecintaan beliau untuk menelaah dan banyak membaca, sebab hal itu sering memaksa saya untuk hadir ke perpustakaannya. Di perpustakaan itulah saya dapat membaca sekian banyak karya tulis yang bermanfaat. Saya juga membacakan kepada beliau berbagai masalah yang beliau butuhkan dari kitab-kitab itu. Seringkali beliau juga didampingi oleh orang-orang pandai lainnya yang sama-sama mengkaji, menelaah, dan berdiskusi, sementara saya mendengarkannya.
Demikianlah hubungan secara langsung antara seorang ustadz dengan murid guna membuahkan pengaruh yang terbaik. Alangkah baiknya jika para pengajar dan pendidik yang ada ditakdirkan demikian dan tentunya –dengan izin Allah– akan membawa kebaikan yang banyak. Di madrasah yang penuh berkah ini usia saya berlalu dari delapan sampai dua belas tahun.
sumber: hasanalbanna.id