Skip to main content

2012-02-03 Metode Penulisan Buku Kebebasan Wanita

Abdul-Halim-Abu-Syuqqah.jpg

Metode yang dipakai dalam penulisan buku ini diawali dengan membaca secara cermat nash-nash Al Quran dan nash-nash hadits yang sahih. Mulai terbetik dalam pikiran untuk mengikuti pola seperti itu sejak saya menggali hadits-hadits sahih Muslim ketika melaksanakan proyek pengkajian Sirah Nabawiyah melalui buku-buku Sunnah seperti yang telah saya sebutkan sebelum ini. Saya memulainya dari Shahih Bukhari dengan mempelajari nash-nash yang berkaitan dengan wanita mengenai setiap aspek dari berbagai aspek kehidupannya, kemudian Shahih Muslim, dan diteruskan dengan mempelajari kitab-kitab sunnah yang banyak beredar, sehingga saya menamatkan sebanyak empat belas kitab, yaitu Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan At Tirmidzi, Sunan An Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwaththa Malik, Zawa’id Shahih Ibnu Hibban, Musnad Ahmad, Mu’jam Ath Thabrani yang tebal, sedang, dan tipis, Musnad Al Bazzar, serta Musnad Abu Ya’la. Enam buku yang disebutkan terakhir penulis telaah dalam kitab Majma’uz Zawa’id Wa Manba’ul Fawa’id, yaitu satu kitab yang di dalamnya Al Hafizh Al  Haitsami mengumpulkan nash-nash tambahan yang tidak terdapat dalam enam buku pertama, (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Tirmidzi, An Nasa’i, dan Ibnu Majah).

Pembacaan nash Sunnah secara cermat tidak berarti merupakan batasan cukup untuk tidak membaca nash-nash Kitabullah sebab Kalamullah Ta’ala merupakan sumber pertama yang mempunyai keagungan dan kebesaran, serta memiliki kepadatan kandungan yang membuat setiap orang tertegun untuk memikirkan makna setiap ayatnya. Setelah keseluruhan ayat tersebut saya telaah, rasanya tidak hanya cukup satu kali untuk membacanya. Karena itu, saya ulang dan ulang lagi sehingga hasilnya, alhamdulillah, cukup baik.

Tekad saya pertama kali adalah agar buku ini mencakup nash-nash yang bersumber dari Kitabullah dan buku-buku Sunnah Rasulullah suhalallahu ‘alaihi wasallam. sebagaimana yang telah saya isyaratkan sebelumnya. Berdasarkan pemikiran itu, saya membuat beberapa pasal. Namun, kemudian saya memutuskan untuk tahap pertama ini cukup dengan nash-nash dari Kitabullah, Shahih Bukhari, dan Shahih Muslim saja, karena beberapa pertimbangan berikut:

  1. Faktor waktu; alangkah baiknya jika bisa segera mempersembahkan topik penting seperti ini kepada umat. Walaupun menyegera, saya ingat bahwa untuk menghasilkan karya yang memuaskan tentu dibutuhkan tenaga dan waktu yang berlipat ganda, karena sanad hadits-hadits itu pun harus diteliti.
  2. Faktor memberi kemudahan bagi pembaca dengan pertimbangan bahwa satu jilid untuk setiap pembahasan dari pembahasan-pembahasan yang ada dalam satu buku tentu lebih ringan daripada beberapa jilid.
  3. Faktor penghargaan dan kepercayaan terhadap apa yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Kedua kitab tersebut mendapat tempat khusus dalam hati setiap insan muslim, karena keduanya mengandung hadits-hadits sahih dan tidak memuat hadits-hadits dha’if. Kedua kitab tersebut merupakan kitab paling dipercaya setelah Kitabullah. Dengan demikian, pembaca dapat meyakini sepenuhnya kesahihan nash-nash yang dimuat dalam buku ini.

Singkatnya, saya mengambil keputusan untuk menerbitkan buku ini dalam dua tahap. Tahap pertama –hasilnya seperti yang ada di tangan para pembaca sekarang– terbatas pada nash-nash tertentu yang bersumber dari Kitabullah serta kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Kadang-kadang pembahasan ini keluar juga dari kedua kitab sahih tersebut, tetapi dalam masalah-masalah yang sangat terbatas, misalnya jika dalil-dalil penjelasan untuk masalah tertentu tidak ditemukan di dalam kedua kitab sahih tersebut. Dan kadang-kadang saya juga menyebutkan beberapa alasan yang bersumber dari luar kedua kitab sahih tersebut dengan tujuan untuk lebih memperjelas keterangan. Bersamaan dengan itu saya upayakan sedapat mungkin untuk mengkaji pendapat-pendapat ulama yang pakar dalam bidangnya untuk mengetahui sejauh mana keabsahan sanad nash-nash yang dikutip. Saya lebih mendahulukan nash riwayat Bukhari dalam kondisi riwayat kedua imam hadits ini. Dan dalam kondisi yang terbilang jarang, penulis memilih nash riwayat Muslim karena saya lihat maksudnya yang lebih jelas. Dalam kondisi seperti ini saya tegaskan bahwa riwayat tersebut dikeluarkan oleh Muslim.

Pada tahap kedua –insya Allah– nash-nash dari Kitabullah akan mengambil porsi lebih besar dibandingkan nash-nash dari kitab-kitab Sunnah yang asli. Saya memohon kepada Allah semoga karya ini benar-benar ikhlas karena-Nya, diterima di sisi-Nya, dan bermanfaat bagi pembaca. Allah adalah sebaik-baik tempat memohon dan menyampaikan keinginan.

Konsep umum dari buku ini adalah mengetengahkan nash-nash yang dapat dijadikan dalil bagi topik-topik pembahasan sebagai mana telah saya sebutkan sebelumnya. Maksud dan tujuan nash-nash tersebut jelas sekali karena secara umum merupakan nash-nash yang bersifat praktis dan operasional sehingga kita tidak perlu bersusah payah membuang energi untuk menyimpulkan maksudnya. Setiap orang yang mempunyai sedikit latar belakang ilmu syariat pasti mampu memahami maksudnya. Meskipun demikian, kadang-kadang saya tetap berusaha menyebutkan pendapat beberapa ahli fiqih yang secara umum saya saring dari keterangan Al Hafizh Ibnu Hajar terhadap Shahih Bukhari (Fathul Bari) yang benar-benar merupakan enskilopedia hadits dan fiqih. Pengutipan pendapat dan ucapan para ulama itu bertujuan untuk menetapkan bahwa dalil nash yang saya pahami dan yang merupakan dasar pengelompokan tematis bukanlah sesuatu yang aneh. Hal itu sudah biasa dilakukan oleh ulama-ulama besar sebelumnya.

Sehubungan dengan pengutipan pendapat-pendapat ulama tersebut, perlu pula dijelaskan bahwa saya hanya mengutip pendapat satu dari sekian banyak ulama untuk lebih menegaskan pendapat saya mengenai dalil suatu nash. Saya tidak mengutip pendapat semua ulama, baik yang bersifat pro ataupun kontra karena hal itu hanya akan menambah panjangnya permasalahan serta berlawanan dengan konsep penulisan yang saya pilih untuk buku ini. Bahkan tidak mustahii juga hal seperti itu menggiring saya pada konsep lain yang mengarah pada studi perbandingan terhadap pendapat-pendapat ulama, kemudian memilih mana yang lebih kuat dari pendapat-pendapat tersebut. Hal seperti itu menuntut dilakukannya kajian fiqih yang mendalam, bukan kajian sosial yang menghimpun nash-nash yang bersumber dari Kitabullah serta Shahih Bukhari dan Muslim. Barangsiapa yang ingin mengetahui lebih luas perbedaan pendapat ahli fiqih, silakan melihat kitab-kitab syarah dan buku-buku fiqih yang tebal. Kemudian perlu pula diketahui bahwa hampir tidak ditemukan suatu masalah dalam fiqih yang tidak diwarnai oleh perbedaan pendapat ulama. Soal perbedaan pendapat mengenai masalah-masalah furu’ sudah merupakan perkara yang lazim dan sudah diakui. Tapi yang penting menurut konsep buku ini adalah menciptakan rasa tenteram bagi pikiran dan hati seorang muslim, yaitu dengan membaca dalil-dalil syariat dalam nashnya yang asli serta menguatkan. Pendapat yang didukung oleh nash-nash syariat adalah pendapat yang bisa dijadikan pegangan dalam kondisi terjadinya perbedaan pendapat.

Alhamdulillah, dengan mengikuti konsep ini telah berhasil diwujudkan semacam pengelompokan tematis terhadap nash-nash yang berkaitan dengan wanita dalam Al Quran serta kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Saya menganggap buku ini sebagai langkah konkret dalam dakwah ke arah pengelompokan baru terhadap nash-nash Al Quran dan Sunnah Nabi suhalallahu ‘alaihi wasallam. sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan umat Islam yang terus berkembang. Di antara kebutuhan tersebut adalah bidang humaniora, seperti ilmu jiwa, sosial, pendidikan, ekonomi, dan politik. Begitu pula halnya dengan kasus-kasus dan aneka problematika modern seperti kasus-kasus wanita, kesetiakawanan sosial, konsep pembaruan, dan perubahan. Yang lebih penting daripada semua itu adalah pola berpikir muslim. Masalah ini pantas sekali didukung dan mendapat perhatian khusus, sebab hal ini menuju karya sistematis baru yang membantu terwujudnya apa yang dinamakan ijtihad yang dibutuhkan dalam bidang fiqih dan pembaruan yang didambakan untuk kepentingan agama yang dibawa oleh Rasulullah suhalallahu ‘alaihi wasallam.

Berkat karunia Allah, akhir-akhir ini, usaha pengelompokan tematis terhadap nash-nash Al Quran dan Sunnah banyak mendapat perhatian kalangan ulama. Juga merupakan karunia Allah bagi umat Islam bahwa Dia telah memberikan jaminan akan memelihara Kitab-Nya sebagaimana memelihara Sunnah Nabi-Nya yang merupakan penjelasan bagi Kitabullah yang telah dan akan terus dipelihara pada derajat yang paling tinggi sesuai dengan perlindungan yang diberikan Allah kepadanya, sebagaimana firman-Nya ini:

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al Hijr: 9)

maka Sunnah dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala dijaga oleh kaum muslimin dengan penuh perhatian dan mereka korbankan segala tenaga untuk menjaga kemurniannya. Allah mengaruniai mereka ilmu yang sistematis sehingga menjamin terpeliharanya keabsahan sanadnya sepanjang masa. Karunia yang diperuntukkan bagi umat Islam ini sungguh merupakan hikmah yang luar biasa dari Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Jika dibandingkan dengan umat-umat sebelumnya, kitab-kitab mereka telah mengalami perubahan dan penggantian. Kemudian Sunnatullah menghendaki untuk memilih nabi baru atau menurunkan kitab baru guna meluruskan kembali ajaran-ajaran petunjuk Ilahi. Setelah umat Islam memikul misi agama penutup dan tidak ada lagi nabi setelah Muhammad suhalallahu ‘alaihi wasallam., lantas Allah memelihara pokok-pokok agama ini sehingga manusia kembali kepadanya setiap saat sampai hari kiamat. Hal itu dilakukan jika mereka berminat mengikuti petunjuk Allah yang nyata dan tidak menganggap masalah agama sebagai benda pusaka yang diwarisi secara turun- temurun oleh anak cucu dari orang tua dan nenek moyang mereka sebagaimana adanya serta iidak mengatakan seperti yang dikatakan oleh umat-umat terdahulu:

“… Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (Az Zukhruf: 22)

Saya kira, umat Islam yang menghargai sepenuhnya karunia Allah berupa pemberian jaminan pemeliharaan pokok-pokok agama mereka, pantas sekali untuk kembali setiap saat pada pokok-pokok agamanya, serta menjadikannya sebagai pedoman dan acuan hukum karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’: 59)

Saya berharap kiranya segala tenaga yang dikorbankan melalui buku ini dengan izin Allah dapat membantu umat Islam dalam mengembalikan masalah-masalah wanita pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah suhalallahu ‘alaihi wasallam.

Jika mengikuti petunjuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam itu merupakan sesuatu yang dituntut dan keharusan dalam upaya meluruskan jalan hidup kita dalam semua aspeknya, dalam aspek keterlibatan wanita dalam kehidupan sosial lebih dituntut dan diharuskan lagi mengingat petunjuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dalam bidang ini seolah-olah mengalami sedikit perubahan yang cukup mendasar, atau bahkan cukup parah. Penerapan konkret terhadap keterlibatan wanita pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam merupakan sunnah yang pantas diikuti dan teladan indah yang patut ditiru. Ironisnya sunnah-sunnah yang sebetulnya patut ditiru dan contoh-contoh yang pantas diteladani dalam bentuk penerapan-penerapan baru, mengingat perkembangan dan pertumbuhan masyarakat serta karena dorongan dan arahan ajaran agama yang mulia, justru dalam penerapan konkretnya sekarang ini semakin lemah dan memudar, bahkan dapat dikatakan hampir sirna sama sekali. Sementara nash-nash yang bercerita tentang sunnah tersebut tinggal di dalam buku-buku agama sebagai goresan tinta belaka. Sinarnya –sebagaimana yang diinginkan oleh Pembuat syariat– sudah tidak ada. Tanda-tandanya sudah terkikis atau tertutup di hadapan akal dan hati manusia karena kabut tebal dari penafsiran dan pendapat para tokoh serta ulama. Hal ini didukung oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut:

a. Sisa adat dan tradisi jahiliah, baik jahiliah bangsa Arab maupun jahiliah bangsa-bangsa lain yang masuk ke dalam Islam. Kemudian adat dan tradisi jahiliah yang sudah melekat di dalam otak, hati, dan perilaku mereka tetap terbawa sepanjang masa.

b. Munculnya aliran-aliran ekstremis dan sikap berlebihan di kalangan sebagian umat Islam, seperti sikap ekstrem mereka mengenai masalah mencegah keburukan terhadap godaan wanita. Saya telah menyediakan pasal khusus untuk menjelaskan sikap mereka yang berlebihan dalam menerapkan kaidah pencegahan atas keburukan (saddu dzari’ah) tersebut.[1]

c. Ijtihad-ijtihad yang salah atau marjuhah (kurang kuat) yang disampaikan oleh sebagian ulama salaf –dan sedikit sekali orang yang tidak pernah berbuat salah. Pengaruh ijtihad tersebut semakin besar dan dampaknya semakin jauh karena telah diwarisi secara turun-temurun selama berabad-abad akibat kejumudan dalam berpikir dan taklid buta.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mencurahkan rahmatNya kepada Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah yang mengatakan: “Sesungguhnya tidak seorang pun dari para ulama, baik dari generasi pertama maupun yang berikutnya, kecuali mempunyai perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang tidak berlandaskan pada sunnah …. Ini adalah suatu masalah yang luas dan tidak ada tepinya. Namun demikian, hal itu tidak mengurangi martabatnya. Selain itu, kita tidak perlu mengikuti perkataan dan perbuatan mereka yang keliru tersebut. Sebab Allah subhanahu wa ta’ala sudah berfirman: ‘Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).'”Mujahid, Al Hukum bin Utaibah, Malik, dan lainnya berkata: “Tidak seorang pun dari makhluk Allah ini kecuali ucapannya dapat dipegang dan dapat pula ditinggalkan kecuali Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam”[2]

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mencurahkan rahmat-Nya kepada Asy Syaukani yang mengatakan: “Fanatik (kepada seorang imam) dengan menjadikan setiap pendapat yang dia keluarkan dan ijtihad yang dia riwayatkan sebagai pegangan bagimu dan bagi semua hamba, maka jika kamu lakukan seperti itu, berarti kamu telah menjadikan imam itu sebagai pembuat syariat, bukan pelaksana. Atau sebagai pemberi tugas (mukallif), bukan sebagai orang yang diberi tugas (mukallaf).”[3]

Apapun kesalahan dan penyimpangannya, sungguh merupakan karunia dan rahmat Allah bagi kaum muslimin bahwa di tengah-tengah mereka masih terdapat orang-orang yang adil dan melaksanakan perintah Allah. Mengenai hal ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Senantiasa dari umatku terdapat suatu umat yang menegakkan agama Allah, tidak akan memberi mudharat kepada mereka orang yang mengecewakan mereka atau yang menentang mereka, sehingga perkara Allah (kiamat) datang, sedangkan mereka tetap dalam keadaan demikian.” (HR Bukhari)[4]

“Ilmu (agama) ini diemban dalam setiap generasi khalaf (belakangan) oleh orang-orang adil yang menyingkirkan penyimpangan orang-orang yang berlebihan, pemalsuan orang-orang yang suka berbuat batil, dan pentakwilan orang-orang jahil.” (HR Al Baihaqqi)[5]

“Sesungguhnya Allah mengutus kepada umat ini di permulaan setiap seratus tahun orang yang memperbarui agamanya.” (HR Abu Daud)[6]

d. Penelitian sanad-sanad hadits oleh Bukhari dan orang-orang yang setelahnya terjadi setelah imam yang empat membangun mahzab fiqih mereka. Oleh karena itu, para ulama mengatakan tentang keharusan mengoreksi pendapat para imam dengan hadits yang sahih. Akan tetapi, sebagian besar pengikut mereka tidak mengoreksinya dengan timbangan tersebut. Mereka telah melanggar wasiat para imam dan menyalahi ketentuan hadits.

Imam Asy Syafi’i telah berkata dengan jelas: “Diriwayatkan sebuah hadits yang isinya bahwa kaum wanita dibiarkan menghadiri dua hari raya. Kalau hal ini benar, aku pasti mengatakannya.” Mengomentari ucapan Asy Syafi’i ini, Al Baihaqqi berkata: “Hal itu benar. Hadits itu diriwayatkan oleh kedua orang Syaikh hadits –yaitu hadits Ummu Athiyyah– lalu Asy Syafi’i mengatakannya.”[7] Hadits Ummu Athiyyah tersebut berbunyi sebagai berikut: “Kami diperintahkan supaya keluar (pada hari raya), hingga kami mengeluarkan wanita haid, gadis belia, dan gadis-gadis pingitan. Adapun wanita haid, hadir bersama jamaah muslimin dan mengikuti khotbah mereka, tetapi mereka agak menjauh dari mushalla (tempat shalat).” (HR Bukhari dan Muslim)[8]

Hal-hal yang membuat saya semakin bersemangat untuk melanjutkan pekerjaan ini adalah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi:

“Semoga Allah memberikan cahaya bagi orang yang mendengarkan ucapanku, lalu menyampaikannya. Boleh jadi pengemban fiqih bukan ahli fiqih dan boleh jadi seorang membawa fiqih kepada orang yang lebih ahli daripadanya.” (HR Ibnu Majah)[9]

Dari penulisan buku ini saya berharap telah menyampaikan ucapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kepada para ahli fiqih dan orang-orang yang lebih ahli dalam bidang ini. Selain itu, saya berharap semoga Allah memasukkan saya ke dalam kelompok orang-orang yang diberi kabar gembira sebagaimana dalam hadits tersebut.

Jika kita lihat orang-orang saleh dahulu kala, mereka mengembara berhari-hari dan bermalam-malam untuk memperoleh sebuah hadits. Contohnya dapat kita lihat dalam kisah Jabir bin Abdullah –salah seorang sahabat– yang melakukan perjalanan selama satu bulan ke tempat Abdullah bin Anis untuk mendapatkan sebuah hadits.[10] Juga dalam kisah Amir Asy Sya’bi –salah seorang tabi’in– yang berkata kepada seseorang dari Kabilah Khurasan setelah mengajarkan kepadanya satu hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Kami memberikannya padamu tanpa apa-apa, padahal dia sudah berkendaraan ke Madinah untuk mendapatkannya.”[11] Contoh lain adalah perkataan Bisir bin Ubaidillah: “Aku berkendaraan dari kota ke kota untuk mendapatkan sebuah hadits.”[12]

Saya mengharapkan cucuran rahmat Allah, semoga Dia memberikan kemudahan bagi kaum muslimin dalam membaca dan memahami hadits-hadits yang terdapat dalam buku ini karena hadits-hadits tersebut besar sekali manfaatnya dalam kehidupan mereka.


[1] Pasal selanjutnya

[2] I’lam Al Mawaqqi’in, jilid 3, hlm. 284.

[3] Adab Ath Thalab, oleh Asy Syaukani.

[4] Bukhari, Kitab: Manaqib, Bab: Tanda-tanda kenabian, jilid 7, hlm. 445.

[5] Hadits ini terdapat dalam buku Misykat Al Mashabih, jilid 1, hlm 82, no. 248. Muhaqqiq, Syekh Nashiruddin Al Albani menyebutkan bahwa Hafizh Al Aila’iy mensahihkan beberapa jalur hadits ini.

[6] Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, hadits no. 1870.

[7] Fathul Bari, jilid 3, hlm. 123.

[8] Bukhari, Kitab: Dua hari raya, Bab: Wanita haid menjauhi mushalla, jilid 3, hlm. 22. Muslim, Kitab: Shalat dua hari raya, Bab: Diperbolehkannya wanita pergi ke mushalla pada dua hari raya, jilid 3, hlm 20.

[9] Shahih Sunan Ibnu Majah, Mukaddimah bab: “Orang-orang yang telah mencapai ilmu”, hadits no. 187

[10] Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq, Kitab: Ilmu Bab: Keluar menuntut ilmu, jilid 1, hlm. 183. Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Diriwayatkan oleh Bukhari dalam buku Al ‘Adab Al Mufrad, sedangkan Ahmad dan Abu Ya’la dalam kitab musnad mereka.”

[11] Bukhari, Kitab: Ilmu, Bab: Seorang lelaki mengajar budak perempuan dan keluarganya, jilid 1, hlm. 200.

[12] Atsar ini terdapat dalam Fathul Bari. Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Diriwayatkan oleh ad-Danmi dengan sanad yang sahih”, jilid 1, hlm. 202.


sumber: hasanalbanna.id