Skip to main content

2012-01-24 Definisi Ilmu Ushul Fiqh

Muhammad-Abu-Zahrah2.jpg

Ushul fiqh adalah tarkib idhafi (kalimat majemuk) yang telah menjadi nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu. Ditinjau dari segi etimologi, ushul fiqh terdiri dari mudhaf dan mudhaf ilaih. Menurut aslinya kalimat tersebut bukan merupakan nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu, tetapi masing-masing mudhaf dan mudhaf ilaih mempunyai pengertian sendiri-sendiri. Untuk itu, sebelum memberikan defenisi ushul fiqh, terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian lafazh “ushul” (yang menjadi mudhaf) dan lafazh “fiqh” (yang menjadi mudhaf ilaih).

Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan. Seperti firman Allah yang berbunyi: “Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun” (QS. An Nisa: 78)

Juga sabda Rasulullah yang berbunyi:

مَنْ يُرِدِ اللّٰهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقّهْهُ فِى الدّيْنِ

“Barangsiapa dikehendaki Allah sebagai orang baik, pasti Allah akan memahamkannya dalam persoalan agama.”

Demikian pua firman Allah dalam surat Al A’raf yang berbunyi:

“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al A’raf: 179)

Sedangkan pengertian fiqh menurut terminologi para fuqaha’ (ahli fiqh) adalah tidak jauh dari pengertian fiqh menurut etimologi. Hanya saja pengertian fiqh menurut terminologi lebih khusus dari etimologi. Fiqh menurut terminologi adalah “Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia, yang diambil dari dalil-dalil yang terinci (mendetail)”.

Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa pembahasan ilmu fiqh itu ada 2 macam, yaitu:

  1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengeanai perbuatan manusia yang praktis. Oleh karena itu, hukum-hukum mengenai i’tiqad (keyakinan) seperti ke-Esa-an Allah, terutama para rasul, serta penyampaian risalah Allah oleh para rasul, keyakinan tentang hari kiamat dan hal-hal yang terjadi pada saat itu, kesemuanya tidak termasuk di dalam pengertian fiqh menurut istilah.
  2. Pengetahuan tentang dalil-dalil yang terinci (mendetail) pada setiap permasalahan. Seperti bila dikatakan, membeli secara berpesan, itu harus menyerahkan uangnya terlebih dahulu pada waktu akad, maka ia disertai dalilnya dari Al Qur’an. Jika dikatakan, bahwa setiap penambahan dari harta pokok itu disebut riba, maka hal itu disertain dalilnya dari Al Quran yang berbunyi:

“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiyaya” (QS. Al Baqarah: 279)

Bila dikatakan, bahwa memakan harta benda orang lain dengan cara yang tidak sah itu haram, maka disebutkan pula dalilnya dari Al Qur’an yang berbunyi:

Dan janganlah kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil. (QS. Al Baqarah: 188)

Dari sini dapat diketahui, bahwa pembahasan ilmu fiqh adalah hukum yang terinci pada setiap perbuatan manusia, baik halal, haram, makruh atau wajib beserta dalilnya masing-masing.

Adapun pengertian ‘ashl’ (jamaknya: ‘ushul’) menurut etimologi adalah dasar (fundamen) yang diatasnya dibangun sesuatu. Pengertian ini sama dengan pengertian ushul secara terminologi, karena ushul fiqh menurut terminologi adalah “dasar yang dijadikan pijakan oleh ilmu fiqh”.

Oleh karena itu Syeikh Kamaluddin ibn Himam di dalam Tahrir memberikan defenisi ushul fiqh: “ushul fiqh adalah pengertian tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana (alat) untuk menggali hukum-hukum fiqh”. Atau dengan kata lain, ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara (methode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’i. Sebagai contoh, ushul fiqh mnenetapkan, bahwa perintah (amar) itu menunjukkan hukum wajib, dan larangan (nahi) menunjukkan hukum haram.

Jika seorang ahli fiqh akan menetapkan hukumnya shalat, apakah wajib atau tidak, maka ia akan mengemukakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam surat Ar Rum 31, Al Mujadalah 13 dan Al Muzammil 20 yang berbunyi :

“Dirikan shalat.”

Bila ia akan mengemukakan hukumnya ibadah haji, maka ia mengemukakan sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang berbunyi:

اِنَّ اللّٰهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحَجُّوْا

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan ibadah haji atas kamu sekalian, maka tunaikanlah ibadah haji tersebut.”

Demikian juga bila ingin mengetahui hukumnya meminum khamar (minuman yang memabukkan), maka ia akan mengemukakan firman Allah yang berbunyi:

“Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maidah: 90)

Perintah untuk menjauhi berarti larangan untuk mendekatinya. Dan tidak ada bentuk larangan yang lebih kongkrit dari larangan tersebut.

Dari contoh tersebut, jelaslah perbedaan antara fiqh dan ushul fiqh, bahwa ushul fiqh merupakan metode (cara) yang harus ditempuh oleh ahli fiqh (faqih) di dalam menetapkan hukum-hukum syara’ bedasarkan dalil syar’i, serta mengklasifikasikan dalil-dali tersebut bedasarkan kualitasnya. Dalil dari Al Qur’an harus didahulukan  dari pada qiyas serta dalil-dalil lain yang tidak berdasarkan nash Al- Qur’an dan Hadits. Sedangkan fiqh adalah hasil hukum-hukum syar’i bedasarkan methode-methode tersebut.


sumber: hasanalbanna.id