2012-01


2012-01-02 Sahabat Sang Pahlawan

Muhammad-Anis-Matta1.jpg

Anda  harus waspada  dan  berhati-hati! Sebab,  di  sini  ada  jebakan  kepahlawanan  yang sering menipu banyak orang. Sahabat para pahlawan belum tentu juga pahlawan. Inilah tipuannya.  Para  pahlawan  mungkin  tidak  tertipu,  tetapi  orang-orang  yang bersahabat dengan para pahlawanlah yang lebih sering tertipu.

Dalam  lingkungan pergaulan, para pahlawan adalah parfum. Apabila  berada di  tengah kerumunan,  maka  semua  orang  akan  kecipratan  keharumannya.  Apabila  ada  “orang lain”  yang mulai mendekat  dan mencium  keharuman  itu, mungkin  ia  sulit mengenali dari mana keharuman itu berasal.

Situasi  ini  tentu  saja menguntungkan  orang-orang  yang mengerumuni  sang  pahlawan: mendapatkan peluang untuk diduga sebagai pahlawan. Itulah  awal mula  kejadiannya. Orang-orang  biasa  selalu merasa  puas  dengan  bergaul dan  menjadi  sahabat  para  pahlawan. Mereka  sudah  cukup  puas  dengan  mengatakan,

“Oh,  pahlawan  itu  sahabatku,”  atau  ungkapan  “Oh,  pahlawan  itu  dulu  seangkatan denganku.”  Orang-orang  itu  tidak  mau  bertanya.  mengapa  bukan  dia  yang  menjadi pahlawan.

Akan  tetapi,  ada  “orang  biasa”  yang  mempunyai  sedikit  rasa  megaloman,  semacam obsesi kepahlawanan yang tidak terlalu kuat, namun ada dan meletup-letup pada waktu tertentu. Orang-orang seperti  ini sering merasa telah menjadi pahlawan hanya karena  ia bersahabat  dengan  para  pahlawan.  Dan  karenanya,  sering  berperilaku  seakan-akan dialah sang pahlawan.

Yang  kita  saksikan  dalam  kejadian  ini  adalah  suatu  proses  identifikasi  “orang  biasa” dengan  sahabatnya  yang  “pahlawan”.  Ini  merupakan  tipuan  jiwa:  seseorang  tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan para pahlawan, tetapi mau menyandang gelar pahlawan, dengan memanfaatkan kamuflase persahabatan.

Persahabatan memang  sering menipu, bukan karena  tabiat persahabatan yang memang menyimpan tipuan, tetapi karena sebuah “kebutuhan jiwa” tertentu, yang memanfaatkan persahabatan  untuk  memenuhinya.  Maka,  Ibnu  Qayyim  al-Jauziyyah,  suatu  ketika memperingatkan  para  “murid”  yang  sedang menuntut  ilmu  di  bawah  bimbingan  para ulama.  Katanya,  “Waspadalah,  jangan  merasa  telah  menjadi  ulama,  hanya  karena bergaul dan bersahabat dengan para ulama.”

Apakah  kita  harus meninggalkan  sahabat-sahabat  kita  yang  para  pahlawan  itu? Tentu saja  tidak!  Yang  perlu  kita  lakukan  adalah  meluruskan  perasaan  kita  sendiri  dan meluruskan  pandangan  kita  terhadap  diri  kita  sendiri.  Suatu  saat,  Buya  Hamka membawa  isterinya  ke  dalam  sebuah majelis,  dimana  ia  akan  berceramah.  Tiba-tiba, tanpa diduga, sang protokol  justru mempersilakan  juga  isteri beliau untuk berceramah.

Mereka  tentu  berprasangka  baik:  isteri  sang  ulama  juga mempunyai  ilmu  yang  sama. Dan,  isteri  beliau  benar-benar  naik  ke  podium.  Buya  Hamka  terhenyak.  Hanya  satu menit. Setelah memberi salam,  isterinya berkata, “Saya bukan penceramah, saya hanya tukang masak untuk sang penceramah.”

Jangan  melakukan  identifikasi  diri  yang  salah.  Jangan  menilai  diri  sendiri melampaui kadarnya yang objektif. Namun, ada yang jauh lebih penting dari itu. Jangan  pernah  berpikir  untuk menjadi  pahlawan,  tanpa melakukan  pekerjaan-pekerjaan para pahlawan.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-04 Menjaga Karamah Basyariyah

Hilmi-Aminuddin.jpg

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rizqi dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS  Al Isra’, 17: 70)

Ikhwah fillah, di muqaddimah jalasah ini tadi telah saya bacakan ayat yang sangat masyhur dan sering dinukil dari surat Al Isra’. Dalam ayat ini terlihat betapa Allah SWT secara fitrah, kata orang Malaysia secara ‘semula jadi’, menciptakan manusia dalam kemuliaan : “وَلَقَدْ كَرَّمْنَا”. Akan tetapi kemuliaan ini adalah al karamah bit takrim, kemuliaan karena dimuliakan dan bukannya al karamah dzatiyah, kemuliaan an sich atau kemuliaan yang melekat dengan sendirinya.

Sebagai makhluk mulia manusia dikaruniai kemampuan lebih oleh Allah SWT. Inipun bukan karena usahanya sendiri, melainkan karena Allah SWT telah mempersiapkan seluruh ciptaan-Nya untuk manusia:

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُنِيرٍ

“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (QS  Luqman, 31: 20).

Semua yang ada di langit dan di bumi telah ditundukkan dan disiapkan-Nya untuk mendukung manusia menngimplementasikan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dan menerjemahkan bakat-bakat yang ada dalam dirinya, karena keseluruhan ciptaan Allah itu musakhar, yakni telah dipersiapkan untuk didayagunakan oleh manusia. Oleh sebab itulah frasa dalam ayat tersebut. “Walaqad karramnaa banii aadam” diikuti dengan frasa: “Wahamalnaahum fil barri wal bahri” sebagai simbol yang mewakili seluruh kemampuan rekayasa manusia dalam memanfaatkan al kaun (universe). Manusia bisa membuat dan merekayasa kendaraan dan bahkan masalah kendaraan bisa menjadi ukuran prestise dan kehormatan seseorang.

Makhluk-makhluk selain manusia, yang ada di bumi ini berkendaraan hanya artifisial sifatnya. Gajah misalnya, ada yang bisa naik motor, tapi hanya artifisial yakni hanya di ruang lingkup sirkus saja. Demikian pula dengan monyet yang sudah dilatih untuk bisa naik sepeda atau mobil. Mereka hanya bisa beratraksi di dalam tenda sirkus, karena bila dilepas di jalan raya besar kemungkinannya akan semakin menimbulkan keruwetan dan kemacetan. Sementara manusia mampu merekayasa pendayagunaan potensi yang dipersiapkan oleh Allah untuk mendukung ta’yid dari Allah sehingga ia berkendaraan di darat, laut, udara dan angkasa luar.

Kemudian “warazaqnaahum minath thayyibaat”, artinya Allah memberi rizqi kepada manusia dari yang baik-baik saja. Bisa kita bandingkan misalnya dengan hewan ayam yang makan dari comberan dan cacing yang mendapatkan rizqi dari lumpur, sementara manusia hanya mengkonsumsi yang baik-baik.

Apalagi manusia dengan kelebihan akal dan fitrahnya mampu membuat hal-hal yang thayyibat menjadi tampil semakin lebih thayyib. Misalnya manusia merekayasa, mengolah masakan berjam-jam bahkan berhari-hari  agar tampil lezat dan prima seperti tomat yang diubah menjadi seperti bunga mawar untuk hiasan demikian pula cabe, timun dll, padahal untuk menghabiskan semua santapan tersebut mungkin hanya dibutuhkan waktu 1/4 atau 1/2 jam saja. Demikian juga gula-gula dan coklat yang dibuat dalam berbagai bentuk cetakan.

Selanjutnya dalam firman Allah SWT tersebut disebutkan,

وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً

“Kami utamakan/lebihkan manusia di antara makhluk-makhluk ciptaan-Nya”. Keutamaan ini juga karena tafdhil, dimuliakan oleh Allah, semata-mata al-fadhlu minallah, kemuliaan dan kelebihan dari sisi Allah bukan kemuliaan an sich atau kemuliaan yang dengan sendirinya. Lalu kemuliaan yang dimiliki manusia ini pun ‘alaa katsiirin mimman khalaqnaa tafdhila, di atas makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Ada mufassir yang mengatakan keutamaan manusia tersebut ‘alaa jama’il khalaiq, di atas semua makhluknya kecuali malaikat. Tetapi mufassir lainnya, mengatakan kelebihan dan keutamaan manusia juga di atas malaikat. Menurut sebagian mufassir tersebut malaikat masih mafdhul di bawah manusia, karena ia memang tidak memiliki syahwat sehingga bisa konsisten dalam kepatuhannya kepada Allah. Sementara manusia yang memiliki akal, bakat dan mampu mengendalikan syahwatnya ia bisa mencapai derajat melebihi malaikat karena walau pun memiliki syahwat ia tetap berjuang dengan iman dan akalnya untuk  konsisten di jalan-Nya. Namun bila manusia tidak mengoptimalkan takrim dan tafdhil dari Allah bahkan malah memperturutkan hawa nafsunya yang rendah, ia bisa meluncur ke derajat yang sangat rendah yakni lebih rendah dari binatang,

Mereka itu tak ubahnya seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. (Al A’raf 179)

Bila manusia-manusia yang bertaqwa tidak melepaskan diri dari takrim dan tafdhil, ia bisa dianggap melebihi malaikat. Buktinya ada malaikat yang ditugaskan Allah menjaga dan memberinya rizqi serta mencatat segala amal perbuatannya, seolah-olah mereka pelayan manusia. Bahkan secara tidak langsung Allah mempersiapkan malaikat menjaga manusia tidur, karena bayangkan saja bila manusia tidur tidak dijaga malaikat maka segala binatang seperti semut bisa memasuki lubang hidung, mulut dan lainnya.

Berkat penjagaan/ri’ayah Allah melalui malaikat-malaikat  maka orang tidur bisa aman. Begitu pula bila ada bayi atau anak kecil yang jatuh dari ranjang tetapi tidak cidera, orang-orang tua kita biasa berucap, “Wah anak kecil nggak punya dosa jadi masih selalu dilindungi dan dijaga oleh malaikat”. Atau ketika ia menatap terus ke atas dan berkata “aaah” dikomentari orang-orang tua, “Wah dia lagi ngelihat dan ngobrol dengan malaikat”. Wallahu a’lam hadza minal ghaibiyat.

Ditilik dari sudut tafsir yang manapun, tetap saja dapat disimpulkan manusia adalah makhluk termulia di sisi Allah SWT. Takrim dan tafdhil dari Allah tersebut terkait dengan kemanusiaannya dan takrim serta tafdhil tersebut tentu saja akan meningkat bila kemanusiaan tersebut ditambah dengan aspek keislamannya. Apalagi bila dilengkapi dengan aspek keda’wahan dan kejama’ahannya. Seyogyanyalah ada nilai plus atau nilai lebih dari sekedar nilai kemanusiaan atau bahkan dari keislaman. Kita harus menampilkan diri sebagai syakhsiyah mukarramah (pribadi yang mulia) atau syakhsiyah mufadhalah (pribadi yang utama) demikian pula dengan jama’ah mukarramah dan jama’ah yang mufadhalah. Hal itu insya Allah bukan perwujudan sifat riya’, sombong atau ghurur melainkan lebih sebagai konsekuensi dari takrim dan tafdhil yang diberikan Allah. Kita harus benar-benar menjaga, memelihara dan menunjukkan karunia yang diberikan Allah tersebut.

Ikhwah fillah, sekali lagi saya tekankan bahwa kita sebagai da’i berkewajiban meng’izharkan, mengekspresikan, merealisir karamah basyariyah (kemuliaan kemanusiaan) dan fadhail basyariyah (keutamaan kemanusiaan) agar benar-benar nampak kehormatan, kelebihan dan keutamaan manusia sebagai makhluk yang mukarramah dan fadhailah. Bukankah rasulullah SAW juga bersabda, “Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq” (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia)?

Jadi kita tidak mungkin menampilkan takrim dari Allah tanpa kita memiliki akhlaqul karimah. Dan kita juga tidak mungkin merefleksikan dan merealisir tafdhil Allah dalam kehidupan kita bila kita tidak produktif dalam fadhail amal. Hal tersebut harus benar-benar kita camkan dan upayakan,  karena bila kita lalai—na’udzubilah, kita akan meluncur jatuh bukan saja dari kejama’ahan, keda’ian dan keislaman, melainkan bisa pula meluncur jatuh dari kemanusiaannya menjadi seperti hewan atau bahkan lebih buruk lagi dari hewan.

Mereka itu tak ubahnya seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. (Al A’raf 179)

Ayat tersebut sering dilewati begitu saja dalam membacanya, sehingga kadang-kadang kebanggaan kita akan status sebagai makhluk mulia hanyalah kebanggaan semu belaka.

Sebagai da’i sudah tentu tugas kita adalah mambuktikan takrim dan tafdhil dari Allah serta tidak berhenti pada kebanggaan semu saja, hal itu dilakukan dengan cara melahirkan makarimul akhlaq dan fadhail amal dari diri kita.

Prioritas kita untuk senantiasa merefleksikan takrim dan tafdhil dari Allah dengan cara memegang teguh makarimul akhlaq dan fadhail amal adalah dalam rangka itsbatul wujud atau membuktikan eksistensi kita sebagai manusia, sebagai muslim, sebagai da’i dan sebagai jama’ah dakwah. Karena bila eksistensi kita tidak terkait dengan hal itu, kita akan dihinakan oleh Allah SWT.

Dalam do’a qunut setiap witir kita berdo’a, “Allahummahdinii fiman hadait, wa ‘afinii fiman ‘afait, watawallanii fiman tawallait wa barik lii fii ma a’thait waqinii syarra ma qadhait walaa ya’izzu man ‘adait walaa yadzillu man wallait”. Dua kalimat ini sarat dengan makna, jika kita mu’adatillah, memusuhi Allah, wali-wali Allah dan program-program Allah, maka kita tidak akan memiliki izzah, gengsi atau harga diri, jangankan sebagai da’i, sebagai manusia saja tidak (walaa ya’izzu man ‘adait).

Kemudian walaa yadzillu man wallait, tidak akan dihinakan siapa saja yang memiliki wala’ (loyalitas) kepada Allah. Sehingga betapapun ekonomi kita lagi morat-marit dan kedudukan secara sosial, politik serta ekonomi dianggap rendah oleh orang lain, kita tidak mungkin hina dan dihinakan selama wala’ kita utuh.

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ (المائدة)

Allah menegaskan walaa yadzillu, tidak mungkin hina karena izzah kita terkait dengan a’azzul a’azz, dzat yang paling mulia, aziz di atas segala yang mulia. Jadi izzah, gengsi kita terkait dengan izzah, gengsi Allah SWT.

Oleh karena itu dalam konsep Islam, wala’ terkait erat dan langsung dengan izzah. Merosotnya wala’ akan menyebabkan merosotnya pula izzah. Dahulu dalam madah tamhidiyah, saya qarinahkan di antara dua ayat yakni antara innama waliyyukumallahu wa rasuul walladzina amanu dan kemudian refleksi atau implementasinya nampak dalam ayat wa ‘athiullah, wa ‘athiurrasul wa ulil amri minkum. Wala’ kita kepada walladzina amanu dan taat kita kepada ulil amri minkum hanya melekat sepanjang orang-orang yang beriman dan pemimpin-pemimpin tersebut berada di jalur ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kemudian wala’ (loyalitas) yang kita miliki juga terkait dengan aziz dan dzalilnya  kita. Jika wala’ kita kepada Allah, rasul dan ulil amri minkum meningkat maka izzah kitapun meningkat. Namun bila wala’ kita menurun maka—na’dzubillah, kitapun akan meluncur ke lembah kedzalilan, kehinaan. Hal itu saya gambarkan dalam madah tamhidiyah dengan satu kalimat: abdul azizi azizun, abdul dzalili dzalilun, abdul karimi karimun dst.

Kalimat singkat tersebut di atas mencerminkan refleksi asma’ul husna dan ash-shifatul ulyanya atas diri kita. Rasulullah SAW memang menganjurkan agar kita memiliki sifat-sifat sebagaimana sifat-sifat yang dimiliki Allah. Bukan berarti menyamai-Nya, melainkan bagaimana caranya keagungan sifat-sifat Allah tersebut terefleksi atau terimbas ke dalam diri kita sesuai dengan kadar kemampuan kita.

Allah SWT menurunkan konsepnya berupa Al-Qur’an untuk menjaga kemuliaan kita, oleh sebab itu banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang diungkapkan dengan kata dzikr, misalnya dalam QS. 43 ayat 44:

وَإِنَّهُ لَذِكْرٌ لَكَ وَلِقَوْمِكَ وَسَوْفَ تُسْأَلونَ (الزخرف)

Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan / kehormatan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan dimintai pertanggungjawaban.

Artinya kehormatan dan kemuliaan diri kita sangat terkait dengan komitmen kita terhadap Islam, da’wah dan Qur’an itu sendiri. Dalam Al-Qur’an kata dzikr memiliki dua makna yakni bisa berarti peringatan bagi orang yang lalai, namun bagi mu’min kata dzikr berarti penghormatan baginya. Karena itu disebutkan dzikrun lidzakirin, kehormatan adalah untuk orang-orang yang selalu berkomunikasi dengan Allah SWT. Bahkan dalam surat Shaad (38) ayat 1:

ص وَالْقُرْآنِ ذِي الذِّكْرِ

Shad, demi Al-Qur’an yang mempunyai keagungan. Para mufassirin menyebutkan bahwa wal qur’aani dzil dzikir adalah lisharfin wa karamatin wa hurmatin artinya Qur’an memiliki sharf-sharf, dengan derajat-derajat/tingkat-tingkat kehormatan. Bila seseorang lulus ujian doktor dengan predikat cum laude hal itu disebut sharf dan bila lulusnya lebih bagus lagi disebut summa cum laude itu sepadan dengan karamah. Akhirnya bila lulusnya lebih gemilang lagi disebut magna cum laude itu sepadan dengan hurmah.

Jadi jelaslah bagi kita bahwa sharf, karamah dan hurmah kita terkait erat dengan Al-Qur’an untuk menjaga takrim dan tafdhil dari Allah SWT. Bila kita tidak bisa menjaga takrim dan tafdhil dari Allah dan mendapatkan sharf, karamah dan hurmah karena komitmen kita dengan Al-Qur’an, apa bedanya kita dengan “ammatinnaas”, manusia kebanyakan atau manusia pada umumnya.

Ikhwah fillah, saya katakan kita ini tandzim nukhbawi (organisasi kader) artinya secara tandzim atau organisasi, jama’ah kita adalah jama’ah kader yang terbukti dengan adanya detail-detail perangkat tarbawi dengan segala tahapannya. Seseorang harus melalui berbagai tahapan untuk bisa menjadi anggota dewasa atau mas’ul.

Tanggung jawab kita adalah menjaga kehormatan, kemuliaan dan kelebihan kita yang sudah dikaruniai Allah SWT. Alat untuk menjaga kemuliaan sudah pula diberikan Allah yakni berupa Al-Qur’an dan Islam itu sendiri. Refleksi secara moral adalah berupa keutuhan wala’ (loyalitas) kita kepada Allah, rasul dan ulil amri, sedangkan refleksi secara operasional adalah dalam bentuk taat kepada Allah, rasul dan ulil amri. Jika refleksi moral dan operasional tidak ada, maka na’udzubillah kita akan merosot dari izzah menjadi dzillah (hina). Itu merupakan satu kepastian. Memang refleksi moral dan operasional adalah sesuatu yang sangat mendasar dan penting serta perlu senantiasa diperteguh kembali karena faktor-faktor yang bisa melunturkan aqidah sangat banyak.

Hal yang sekarang ini saya khawatirkan adalah antum para mas’ulin (lapisan pemimpin) dalam jamaah terkena istiftan, fitnah karena sering tampil di mana-mana dan memperoleh kemasyhuran di mimbar-mimbar khutbah, seminar, undangan-undangan yang berkelas nasional atau bahkan internasional. Kekhawatiran saya adalah jika kesemuanya itu kemudian akhirnya melunturkan refleksi moral sumber kehormatan kita yakni wala’ (loyalitas) dan refleksi operasionalnya berupa taat, sehingga akhirnya menyebabkan meluncurnya antum di bawah kehormatan sebagai manusia.

Fitnah tersebut biasa disebut fitnah ‘alal kibar atau fitnah yang menimpa orang-orang besar dan memiliki posisi. Padahal sekali lagi saya tekankan, Allah SWT telah memberikan kehormatan yang begitu besar kepada manusia seperti tergambar dalam adegan ketika Rasulullah seolah-olah berdialog dengan ka’bah. Inti dialog Rasulullah dengan ka’bah ialah pengakuan beliau tentang kehormatan dan kemuliaan yang dimiliki ka’bah sebagai baitullah, tetapi kemudian beliau bersumpah: “Wallahi lahurmatul mu’min a’zhamu ‘indallahi hurmatan minki”. Rasulullah menegaskan bahwa kehormatan seorang mu’min lebih agung dan lebih besar di sisi Allah dibandingkan dengan kehormatan ka’bah. Padahal bayangkan setiap tahunnya dua juta orang berkeliling thawaf di musim haji dan setiap hari kurang lebih 1,4 milyar muslim sujud menghadap kiblat atau paling tidak mengakui ka’bah sebagai kiblatnya.

Oleh sebab itu kehormatan yang diberikan Allah SWT jangan kita sia-siakan bahkan hendaknya selalu kita jaga dan tingkatkan agar kita lebih dekat dengan-Nya (aqrab ilallah). Kedekatan kita dengan Allah Yang Mulia akan membuat kita menjadi mulia pula, abdul karim karimun (hamba Yang Mulia akan mulia pula).

Dalam kitab tafsir Al-Qur’an, para ulama tafsir menyebutkan bahwa puncak kemuliaan seorang manusia ditunjukkan justru dalam posisi kehambaannya, sebagai abdun.

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Di ayat tersebut Rasulullah disebutkan dengan bi’abdihi dan bukan birasulihi atau bimuhammadin, karena manzilatil ulya’ indallah justru adalah manzilah ‘ubudiyah.

Manazilatul ‘ubudiyah adalah manzilatul ‘ulya dan akramuhum ‘azhomuhum lillah atau yang paling mulia adalah yang paling tinggi nilai ‘ubudiyahnya kepada Allah. Hal tersebut merupakan persoalan aqidah yang sangat mendasar sehingga menjadi sumber ya’ tazzu bi imanihi, bi islamihi, bida’ watihi, bijihadihi (kebanggaan akan keimanan, keislaman, da’wah dan perjuanganya).

Hal ini penting saya tekankan mengingat saat ini masih banyak orang yang berebut mencari eksistensi diri dan golongannya melalui beraneka ragam manuver. Mereka saling berebut kedudukan yang sebetulnya sudah lapuk dan sebentar lagi akan hancur.

إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقاً  (الاسراء: من الآية81)

Padahal untuk mencari itsbatul wujud, tahqiqu dzat atau eksistensi diri, manusia harus kembali pada hal yang sangat elementer atau mendasar, yakni prinsip-prinsip aqidah.

Ikhwah fillah, Allah SWT banyak memperingatkan kita tentang sumber kemuliaan di dalam Al-Qur’an. Misalnya di dalam QS. 49:13,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات)

Juga di dalam hadits yang diriwayatkan Imam Malik dalam kitab Al-Muwatha di bab jihad disebutkan: ‘Karamul mu’minin taqwahum wa dienuhu nasabuhu’. (Kemuliaan seorang mu’min terletak pada ketaqwaannya dan dien / agamanya adalah nasabnya).

Orang pada umumnya suka membanggakan asal usul keturunannya, misalnya berdarah biru atau keturunan bangsawan. Di Banten umpamanya dipanggil dengan Tubagus dan di Jawa dengan Den Mas (dari raden mas) atau Gus. Padahal Rasulullah bersabda bahwa kebanggaan kita akan nasab atau keturunan haruslah terkait dengan sejauh mana intima’ (komitmen) diri kita, orang tua dan nenek moyang kita terhadap Islam. Kemudian dilanjutkan hadits tersebut disebutkan juga ‘wa muru’atuhu khulquhu’ (harga dirinya terletak pada akhlaknya). Tinggi rendahnya harga diri seseorang ditentukan oleh tinggi rendahnya akhlaknya.

Ikhwah Fillah, jika kita gegabah atau melalaikan nilai-nilai elementer aqidah yang implementasi moralnya berupa keutuhan wala’ pada Allah, Rasul dan orang-orang beriman serta implementasi operasionalnya berupa keutuhan ketaatan kepada Allah, Rasul dan pemimpin mu’min, maka na’udzubillah kita dapat dimusnahkanNya dan digantikannya dengan kaum yang lain yang sesuai dengan kehendakNya (QS. 5:54),

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (المائدة)

Dalam QS. Al-Faathir ayat 15-17 Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ. إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَأْتِ بِخَلْقٍ جَدِيدٍ. وَمَا ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ بِعَزِيزٍ  (فاطر)

Hai manusia kamulah yang membutuhkan Allah, dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki niscaya Dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah.

Wahai umat  manusia kalian semua fuqara ilallah dan Allah-lah Yang Maha Kaya lagi Terpuji. Kata fuqara ilallah menunjukkan ketergantungan total manusia pada Allah. Untuk sekadar bisa bernafas saja kita sudah bergantung pada Allah. Kalau bukan Dia siapa yang bisa menjamin zat asam (O2) secara gratis kita hisap. Jangankan dicabut, sekadar dikurangi atau ditambah sedikit saja kadar kepekatannya sudah sangat berbahaya. Bila kadar zat asam di udara di tambah, paru-paru kita akan kebakaran.

Ketergantungan lainnya misalnya ketika kita tidur selain dijaga oleh malaikat dari serangga-serangga, ternyata di tubuh kita juga terjadi proses alamiah berupa keluarnya lendir-lendir yang menjijikkan namun berguna untuk mencegah serangga masuk ke lubang-lubang tubuh kita. Saya pernah membaca di dalam kitab Ath-Thibb Mihrabul Iman (Kedokteran adalah pintu gerbang keimanan) bahwa segala sesuatu yang sepintas menjijikkan justru merupakan bagian dari takrim dan tafdhil Allah terhadap kita. Jadi di saat tidur pun kita benar-benar fuqara ilallah. Dialah yang telah melindungi kita dengan memberikan penjagaan berupa aparat ruhi ghaibi (malaikat) dan instrumen-instrumen alami berupa keluarnya lendir-lendir.

Oleh sebab itu dulu pernah saya kisahkan bagaimana seorang perampok bermaksud merampok seorang ulama di Syam. Saat itu sang ulama sedang shalat tahajud dan membaca ayat,

وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ. فَوَرَبِّ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنْطِقُونَ (الذريات:22-23)

Linggis perampok itu terjatuh dan ia terduduk lemas seraya berucap: “Ya Allah thalabtuhu fid dunya wa huwa fis sama” (Ya Allah saya mencari rizqi di dunia ternyata adanya di langit). Sang ulama mendengar suara linggis jatuh, keluar dan mendapati pencuri itu sedang menangis. Pencurinya diajaknya masuk, bahkan kemudian dibekali dan ternyata pada musim haji berikutnya ulama tersebut bertemu dengan mantan pencuri itu sedang thawaf. Ia benar-benar telah taubat.

Artinya yang terpenting adalah as-Sama’, kalaupun kita berusaha itu sekadar wasail (sarana) dan merupakan hakikat syari’at, namun hasilnya belum tentu, tergantung yang di langit. Kita wajib mencari, namun hasilnya kita serahkan kepada Allah.

Ali bin Abi Thalib pernah menasehati Hasan dan Husein bahwa rizki itu ada dua macam yakni rizqun tathlubuhu (rizki yang kamu cari) dan rizqun yathlubuka (rizki yang mencari kamu). Namun Sayyidina Ali tidak memisahkan kedua-duanya: rizqun tathlubuhu wa rizqun yathlubuka. Karena rizqi ingin cepat sampai ya tathlubuhu (dicari) karena kalau menunggu yang yathlubuhu, bisa-bisa datangnya agak lama.

Saya pernah membaca dalam kitab tentang sufi, di antaranya ada kisah orang yang ingin menguji Allah SWT, apa iya ada rizqun yathlubuka, rizki yang mencari dan menghampirimu. Akhirnya ia tidak mau kerja, tidak mau berusaha dan tidak berinteraksi dengan orang lain. Ia menyendiri di dalam gua di tengah hutan, ternyata lama-lama jatuh sakit dan mengerang-erang. Ada orang kampung sedang mencari kayu bakar mendengar suara mengerang-erang di dalam gua. Karena ia tidak berani masuk sendirian, ia memanggil orang-orang kampung lebih dulu. Maka masuklah orang-orang itu ke tengah gua, beramai-ramai. Melihat si sufi ini sakit dan kelaparan, mereka membuka nasi bekal kemudian menyuapi dan mengobatinya. Sambil disuap, si sufi tadi bergumam: “Shadaqallah warrasul”. Saya enggak nyari rizki, orang-orang datang ramai-ramai bawa timbel. Namun untungnya si sufi ini berpikir positif, wah tidak nyari saja dapat rizki, apalagi kalau saya mau usaha mencari.

Kesadaran ‘Antum fuqara ilallah’ ini harus tertanam di dalam diri kita di semua bidang kehidupan, agar kita tidak mengkambing hitamkan dakwah. Misalnya menyesal menjadi da’i atau berada di dalam harakah dakwah ini karena hidup miskin atau pas-pasan.

Padahal bila kita berhenti berdakwah juga belum tentu jadi kaya. Wa huwal ghaniyul hamid. Dan Dialah Yang Maha Kaya lagi Terpuji, karena Dialah yang benar-benar memiliki dan menguasai segala sesuatu.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-05 Determinasi Sosial

Muhammad-Anis-Matta1.jpg

Kita memang  tidak punya pilihan di depan  takdir Allah SWT yang bersifal seperti  ini; kita dilahirkan di atas tanah apa, pada zaman apa, dari etnis apa, dan pada situasi seperti apa. Itulah nasib yang tidak mungkin diubah. Kumulasi dari itu semua yang selanjutnya kita  sebut  lingkungan.  Para  ahli  pendidikan  kemudian memberikan  porsi  yang  sangat besar  terhadap  lingkungan  sebagai  faktor  determinan  yang  mempengaruhi  dan mewarnai pertumbuhan seseorang.

Akan  tetapi,  sejarah  memberikan  beberapa  kesaksian  yang  mungkin  bisa  disebut pengecualian.  Dan,  para  pahlawan  memang  merupakan  pengecualian.  Mereka  pada mulanya  juga  lahir dari kumulasi  lingkungan  yang  sama,  tetapi pada akhirnya muncul dengan warna  yang  sama  sekali  berbeda dengan  generasi angkatannya  yang  lahir dari lingkungan  tersebut.  Jadi,  input  lingkungannya  sama,  tetapi  output  efeknya  berbeda.

Inilah  cerita  seorang  penulis  tentang  Hasan  Al Banna,  pemimpin  pergerakan  Islam terbesar  abad  ini.  Ia  (Hasan Al Banna),  kata  sang  penulis,  tumbuh  sebagaimana  kami tumbuh, pada lingkungan yang sama tempat kami berkembang, pada sekolah yang sama tempat  kami  belajar,  sejak  dari  tingkal  dasar  sampai  perguruan  tinggi,  dan  tentu  juga dengan  kurikulum  yang  sama.  la  juga  menyaksikan  dan  merasakan  kemiskinan, keterbelakangan,  dan  kerusakan  sosial  di Mesir  sebagaimana  kami  umumnya.  la  juga membaca buku dan media cetak yang kami baca. Tidak ada yang  istimewa dalam  latar lingkungannya, baik di rumah maupun di sekolah atau di masyarakai.

Namun,  hasilnya  kemudian  berbeda.  la  muncul  sebagai  pembaharu  dan  pemimpin. Lantas,  dimanakah  rahasianya?  Tidak  mudah  memang  memberikan  jawaban  yang sangat  definitif  untuk masalah  ini. Akan  tetapi,  setidaknya  ada  dua  faktor  yang  dapat disebut  di  sini.  Pertama,  semua  itu  sepenuhnya  adalah  karunia  Allah  SWT  untuk masyarakat  yang  hidup  di  zamannya.  Sebab,  Rasulullah  SAW  pernah  bersabda,  “Jika Allah  SWT meridhai  suatu  kaum, maku Allah  akan mengangkat  orang-orang  terbaik dari mereka sebagai pemimpin. Dan jika Allah memurkai suatu kaum, maka Allah akan mengangkat orang-orang terjahat dari mereka sebagai pemimpin.” (HR. Tirmizi).

Jadi, para pahlawan  itu adalah hadiah  langit untuk penduduk bumi. Karena  itu, mereka memang  mendapat  inayah  Allah  SWT  sejak  awal  pertumbuhan  hingga  saat  mereka mementaskan peran kesejarahan mereka.

Kedua, para pahlawan biasanya mempersepsi  lingkungannya dengan cara yang berbeda dari  kebanyakan  orang.  Pada  banyak  orang,  kesulitan-kesulitan  yang  tercipta  dari kumulasi lingkungan dianggap sebagai nasib yang niscaya dan tidak dapat diubah. Jadi, sejak  awal  mereka  kalah  di  depan  nasib  itu.  Para  pahlawan  justru  melihat lingkungan  itu  sebagai  objek  yang harus diubah dan kendali perubahan  itu  ada pada  manusia.  Jadi,  sejak  awal  mereka  berpikir  sebagai  pelaku  atau  perubah.

Mereka  mungkin  lapar,  tetapi  mereka  lebih  banyak  memikirkan  kemiskinan sebagai fenomena sosial yang harus diubah. Mereka mungkin dari keluarga tidak terdidik,  tetapi  mereka  kemudian  berpikir  menjadi  otodidak  dan  bagaimana mengembangkan pendidikan.

Begitulah akhirnya mengapa mereka menjadi lebih cerdas dari zamannya. Atau pikiran-pikiran mereka bahkan mendahului zamannya.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-06 Telunjuk yang Bersyahadat

Sayyid-Quthb.jpg

Ulama, da’i, serta para penyeru Islam yang mempersembahkan nyawanya di jalan Alloh atas dasar ikhlas kepada-Nya, senantiasa ditempatkan Allah sangat tinggi dan mulia di hati segenap manusia.

Diantara da’i dan penyeru Islam itu adalah syuhada (insya Allah) Sayyid Quthb. Bahkan peristiwa eksekusi matinya yang dilakukan dengan cara digantung, memberikan kesan mendalam dan menggetarkan bagi siapa saja yang mengenal beliau atau menyaksikan sikapnya yang teguh. Diantara mereka yang begitu tergetar dengan sosok mulia ini adalah dua orang polisi yang menyaksikan eksekusi matinya (di tahun 1966).

Salah seorang polisi itu mengetengahkan kisahnya kepada kita:

Ada banyak peristiwa yang tidak dapat kami bayangkan sebelumnya, lalu peristiwa itu menghantam kami dan mengubah total kehidupan kami.

Di penjara militer pada saat itu, setiap malam kami menerima orang atau sekelompok orang, laki-laki atau perempuan, tua maupun muda. Setiap orang-orang itu tiba, atasan kami menyampaikan bahwa orang-orang itu adalah pengkhianat negara yang telah bekerja sama dengan agen Zionis Yahudi. Karena itu, dengan cara apapun kami harus bisa mengorek rahasia dari mereka. Kami harus membuat mereka membuka mulut dengan cara apapun, meski itu harus menimpakan siksaan keji pada mereka tanpa pandang bulu.

Jika tubuh mereka penuh dengan berbagai luka akibat pukulan dan cambukan, itu sesuatu pemandangan harian yang biasa. Kami melaksanakan tugas itu dengan satu keyakinan kuat bahwa kami tengah melaksanakan tugas mulia: menyelamatkan negara dan melindungi masyarakat dari para ‘pengkhianat keji’ yang telah bekerja sama dengan Yahudi hina.

Begitulah, hingga kami menyaksikan berbagai peristiwa yang tidak dapat kami mengerti. Kami menyaksikan para ‘pengkhianat’ ini senantiasa menjaga shalat mereka, bahkan senantiasa berusaha menjaga dengan teguh qiyamul lail setiap malam, dalam keadaan apapun. Ketika ayunan pukulan dan cabikan cambuk memecahkan daging mereka, mereka tidak berhenti untuk mengingat mengingat Allah. Lisan mereka senantiasa berdzikir walau tengah menghadapi siksaaan yang berat.

Beberapa diantara mereka berpulang menghadap Allah, sementara ayunan cambuk tengah mendera tubuh mereka, atau ketika sekawanan anjing lapar merobek daging punggung mereka. Tetapi dalam kondisi mencekam itu, mereka menghadapi maut dengan senyum di bibir, dan lisan yang selalu basah mengingat nama Allah.

Perlahan, kami mulai ragu, apakah benar orang-orang ini adalah sekawanan ‘penjahat keji’ dan ‘pengkhianat’? bagaimana mungkin orang-orang yang teguh dalam menjalankan perintah agama adalah orang yang berkolaborasi dengan musuh Allah?

Maka kami, aku dan temanku yang sama-sama bertugas di kepolisian ini, secara rahasia menyepakati, untuk sedapat mungkin berusaha tidak menyakiti orang-orang ini, serta memberikan mereka bantuan apa saja yang dapat kami lakukan. Dengan izin Allah, tugas saya di penjara militer tersebut tidak berlangsung lama. Penugasan kami yang terakhir di penjara itu adalah menjaga sebuah sel di aman di dalamnya dipenjara seseorang. Kami diberi tahu bahwa orang ini adalah yang paling berbahaya dari kumpulan ‘pengkhianat’ itu. Orang ini adalah pemimpin dan perencana seluruh makar jahat mereka. Namanya Sayyid Quthb.

Orang ini agaknya telah mengalami siksaan yang sangat berat hingga ia tidak lagi mampu untuk berdiri. Mereka harus menyeretnya ke pengadilan militer ketika ia akan disidangkan. Suatu malam, keputusan telah sampai untuknya, ia harus dieksekusi mati dengan cara digantung.

Malam itu seorang syeikh dibawa menemuinya, untuk mentalqin dan mengingatkannya kepada Allah, sebelum dieksekusi.

Syeikh itu berkata, “Wahai Sayyid, ucapkanlah laa ilaaha illallah..”

Sayyid Quthb hanya tersenyum lalu berkata, “Sampai juga engkau wahai Syeikh, menyempurnakan seluruh sandiwara ini? Ketahuilah, kami mati dan mengorbankan diri demi membela dan meninggikan kalimat laa ilaaha illallah, sementara engkau mencari makan dengan laa ilaaha illallah.”

Dini hari esoknya, kami, aku dan temanku, menuntun tangannya dan membawanya ke sebuah mobil tertutup, dimana di dalamnya telah ada beberapa tahanan lainnya yang juga akan dieksekusi. Beberapa saat kemudian, mobil penjara itu berangkat ke tempat eksekusi, dikawal oleh beberapa mobil militer yang membawa kawanan tentara bersenjata lengkap.

Begitu tiba di tempat eksekusi, tiap tentara menempati posisisnya dengan senjata siap. Para perwira militer telah menyiapkan segala hal termasuk memasang instalansi tiang gantung untuk setiap tahanan. Seorang tentara eksekutor mengalungkan tali gantung ke leher beliau dan para tahanan lain. Setelah semua siap, seluruh petugas bersiap menunggu perintah eksekusi.

Di tengah suasana ‘maut’ yang begitu mencekam dan menggoncangkan jiwa itu, aku menyaksikan peristiwa yang mengharukan dan mengagumkan. Ketika tali gantung telah mengikat leher mereka, masing-masing saling bertausiyah kepada saudaranya, untuk tetap teguh dan sabar, serta menyampaikan kabar gembira, saling berjanji untuk bertemu di surga, bersama dengan Rasulullah tercinta dan para shahabat. Tausiyah ini kemudian diakhiri dengan pekikan, “ALLAHU AKBAR WA LILLAHIL HAMD” Aku tergetar mendengarnya.

Di saat yang genting itu, kami mendengar bunyi mobil datang. Gerbang ruangan dibuka dan seorang pejabat militer tingkat tinggi datang dengan tergesa-gesa sembari memberi komando agar pelaksanaan eksekusi ditunda.

Perwira tinggi itu mendekati Sayyid Quthb, lalu memerintahkan agar tali gantungan dilepaskan dan tutup mata dibuka. Perwira itu kemudian menyampaikan kata-kata dengan bibir bergetar, “Saudaraku Sayyid,, aku datang bersegera menghadap anda, dengan membawa kabar gembira dan pengampunan dari Presiden kita yang sangat pengasih. Anda hanya perlu menulis satu kalimat saja sehingga Anda dan seluruh teman-teman Anda akan diampuni”.

Perwira itu tidak membuang-buang waktu, ia segera mengeluarkan sebuah notes kecil dari saku bajunya dan sebuah pulpen, lalu berkata, “Tulislah saudaraku, satu kalimat saja.. Aku bersalah dan aku minta maaf..”

Hal serupa pernah terjadi ketika Ustadz Sayyid Quthb dipenjara, lalu datanglah saudarinya Aminah Quthb sembari membawa pesan dari rezim penguasa Mesir, meminta agar Sayyid Quthb sekedar mengajukan permohonan maaf secara tertulis kepada Presiden Gamal Abdul Nasser, maka ia akan diampuni. Sayyid Quthb mengucapkan kata-katanya yang terkenal, “Telunjuk yang senantiasa mempersaksikan keesaan Allah dalam setiap shalat, menolak untuk menuliskan barang satu huruf penundukan atau menyerah kepada rezim thawagit…”

Sayyid Quthb menatap perwira itu dengan matanya yang bening. Satu senyum tersungging di bibirnya. Lalu dengan sangat berwibawa beliau berkata, “Tidak akan pernah! Aku tidak akan pernah bersedia menukar kehidupan dunia yang fana ini dengan akhirat yang abadi”.

Perwira itu berkata dengan nada suara bergetar karena rasa sedih yang mencekam, “Tetapi Sayyid, itu artinya kematian..”

Ustadz Sayyid Quthb berkata tenang, “Selamat datang kematian di jalan Allah.. Sungguh Allah Maha Besar..”

Aku menyaksikan seluruh episode ini, dan tidak mampu berkata apa-apa. Kami menyaksikan gunung menjulang yang kokoh berdiri mempertahankan iman dan keyakinan. Dialog itu tidak dilanjutkan, dan sang perwira memberi tanda eksekusi untuk dilanjutkan.

Segera, para eksekutor akan menekan tuas,  dan tubuh Sayyid Quthb beserta kawan-kawannya akan menggantung. Lisan semua mereka yang akan menjalani eksekusi itu mengucapkan sesuatu yang tidak akan pernah kami lupakan untuk selama-lamanya.. Mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah..”

Sejak hari itu, aku berjanji kepada diriku untuk bertaubat, takut kepada Allah, dan berusaha menjadi hamba-Nya yang saleh. Aku senantiasa berdoa kepada Allah agar Dia mengampuni dosa-dosaku, serta menjaga diriku  di dalam iman hingga akhir hayatku.

(Diambil dari kumpulan kisah “Mereka yang Kembali kepada Allah” karya Muhammad Abdul Aziz Al Musnad)


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-06 Islam: Sebuah Sistem Pemikiran

Muhammad-Imarah.jpg

Sistem adalah seperangkat prinsip dan aturan dalam melakukan sesuatu, metode dan tata cara (Collins English Dictionary: 1980). Sedangkan pemikiran adalah suatu upaya mental yang dilakukan oleh manusia untuk menemukan kesimpulan berdasarkan pada premise-premise (Woodworth, Robert, Psycholoy 1971: 615). Maka jika dikatakan bahwa Islam adalah sebuah sistem pemikiran, berarti ia adalah sejumlah prinsip yang mengatur mekanisme berpikir yang diarahkan pada penemuan kesimpulan rasional berdasarkan pada konsep-konsep Islam yang dirumuskan dari premise-premise Al Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Islam yang diyakini sebagai jalan hidup menuntut agar dipahami secara utuh, Ad Din (Al Baqarah:208). Sebab kesalahpahaman yang sering muncul dalam pengertian kontemporer mengenai Islam disebabkan teratama karena Islam dipahami sebagai agama dalam pengertian yang tidak utuh. Di dunia Barat pada umumnya agama (religion) dikatakan sebagai faith: yaitu keyakinan pribadi yang dapat dilihat dari berbagai bentuk ekspresi. Dengan demikian jika menerima Islam sebagai keyakinan pribadi — yang hanya berkaitan dengan kesalehan individu — berarti telah membatasi wilayah pengaruh dan geraknya hanya pada masalah-masalah ibadah praktis, upacara keagamaan dan ucapan religius yang tidak berdampak pada konsep-konsep pemikiran mengenai wilayah-wilayah lain. Islam lebih dari sekedar agama seperti yang secara ketat dipahami oleh Barat sekuler pada umumnya. Sebab misi utama Islam diantaranya adalah membangkitkan gerakan perubahan sosial dan meluruskan pola pikir umat manusia dengan acuan pandangan dunia tauhid — yaitu menerjemahkan tauhid dalam sikap, perilaku dan pemikiran — dalam rangka menegakkan keadilan di bawah bimbingan Ilahi di muka bumi. Istilah agama dalam konotasi Barat tidak mancakup wilayah dan bidang pengaruh Islam. Inilah sebabnya Islam disebut Ad Din (Ali Imran: 19, 83, Al Mumtahanah: 9 dan sejumlah ayat lainnya), atau jalan hidup, bukan sekedar agama.

Secara etimologis istilah Ad Din dalam Bahasa Arab dipakai untuk memberi empat macam arti (Manzhur, Ibnu, Lisan Al ‘Arab: entry: dana). Pertama, mempunyai arti hak untuk menguasai, mendominasi, memerintah dan menaklukkan. Kedua, memberi arti mirip dengan arti pertama akan tetapi berbeda penekanannya, yaitu patuh, tunduk, pasrah dan merendahkan diri. Ketiga, memberi arti syariah atau rambu-rambu jalan yang harus dipatuhi, hukum, adat istiadat dan kebiasaan. Keempat, memberi arti balasan atas perbuatan, pengadilan, dan perhitungen neraca amal.

Lebih jauh dari analisis leksikografis dan filologis, secara konseptual Ad Din adalah kode dan jalan yang telah dijelaskan oleh AIlah yang mencakup keempat arti literal Ad Din, yaitu siap mengakui kekuasaan Allah sebagai pemegang otoritas mutlak, siap dan pasrah menerima aturan-aturan hukum dan syariah-Nya dan akhirnya menerima dan mengakui bahwa hanya Allah-lah sebagai satu-satunya Hakim kelak di hari pengadilan. Dari sini lalu dapat dimaklumi, mengapa banyak mujaddid Muslim lebih cenderung menggunakan terma Ad Din atau Al Islam seperti Ibnu Badis, Hasan Al Banna, Al Maududi dan lain-lainnya. Al Qur’an sendiri menggunakan terma Ad Din untuk menegaskan pengertian komprehensif yang menunjukkan satu keutuhan sistem hidup yang harus dipegang dalam kehidupan manusia pada setiap masa dan tempat. Dalam Al Qur’an ,  istilah Ad Din juga menunjukkan suatu kemapanan sistem pemikiran, ekonomi, politik, sosial dan moral yang dengan demikian mencakup seluruh aspek kehidupan (Yusuf: 76).

Kata Ad Din — bentuk ma’rifah dengan artikel al — dalam Bahasa Arab menunjukkan jalan hidup tertentu, Al Islam. Sedangkan kata Din — bentuk nakirah tanpa artikel al — menunjukkan satu sistem agama, aturan, atau pemikiran tidak tertentu. Oleh karenanya istilah Ad Din dan Al Islam digunakan dalam satu pengertian, yaitu agama abadi yang telah ada semenjak awal kehidupan manusia di muka bumi.

Pada tingkat kosmologis, Al Qur’an   menyatakan bahwa Al Islam yang berarti menerima dan patuh secara total kepada Allah dan aturan hukum yang telah ia berikan merupakan agama jagad raya (Ali Imran: 83, Al An’aam: 38)

Pada tingkat kehidupan umat manusia Al Qur’an  menjajaki sejarah baru umat manusia sejauh masa Nabi Nuh as menunjukkan bahwa ia dan anak cucunya termasuk Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Musa, Nabi Yusuf dan Nabi Isa as mereka semua ialah pembawa risalah Ad Din atau Al Islam. Tidak satu pun diantara mereka yang menyembah selain Allah dan mereka semua disebut Muslim. Secara singkat Al Qur’an menyatakan bahwa menerima Al Islam atau Ad Din sebagai satu cara model hidup: sistem keyakinan, pemikiran, sikap dan perilaku, tidak hanya merupakan fakta kosmologis tetapi sejauh perjalanan umat manusia, para nabi dan rasul-Nya melaksanakan dan mengamalkannya.

Dari sini terdapat tuntutan bahwa jika Islam sebagai jalan hidup — yang bersifat kaffah — maka keislaman seseorang hanya akan dapat diwujudkan ketika kekaffahannya secara integral dan paripurna — direfleksikan tanpa memilah satu aspek dari aspek lainnya — sehingga menjadi manusia sosial yang rabbani: hidup di tengah masyarakat manusia dengan bimbingan Ilahi dalam keyakinan, pemikiran, sikap dan perbuatan. Kekaffahan Islam juga menuntut reorientasi dan restrukturisasi yang berangkat dari landasan pokok sistem Islam yaitu tauhid dalam kehidupan Muslim untuk diterjemahkan dalam kehidupan secara utuh. Sebab interpretasi partikularistik mengenai Islam hanya sekedar sebagai satu keyakinan (faith) tidak akan mampu menjelaskan raison d’etre konflik antara penduduk Makkah dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Seandainya Islam hanyalah sekedar sebagai agama — dalam pengertian sempit — maka masyarakat Quraisy akan dengan mudah menyesuaikan diri dengan Islam. Akan tetapi karena Islam adalah Ad Din, maka ia memberi implikasi suatu revolusi pemikiran di semua aspek kehidupan.

Al Qur’an memperkenalkan terma-terma baru untuk fenomena yang muncul dalam kehidupan manusia di samping juga memperkenalkan nilai, kriteria dan ukuran baru yang menjadi pegangan Muslim. Konsep-konsep baru ini diperkenalkan melalui sumber wahyu dari Yang Maha pandai dan bijaksana dan Rasul-Nya — yang dijadikan oleh Islam — sebagai satu sumber pokok kebenaran. Petunjuk ini dikenal dengan ayat-ayat Qur’aniyyah. Disamping itu –untuk mengemban amanat istikhlaf manusia dari Allah — pada alam jagat raya ini, khususnya alam fisik terkandung petunjuk lain yang merupakan hukum Allah (sunnatullah) yang berlaku dalam bentuk kausalitas fenomena alam agar manusia mempelajari dan mengamati lalu memanfaatkannya. Ketentuan-ketentuan yang berlaku pada alam fisik ini dikenal dengan istilah ayat-ayat afaqiyyah. Kemudian disana juga terdapat ketentuan-ketentuan lain yang bekerja pada diri manusia, termasuk kejiwaannya, yang dikenal dengan istilah ayat-ayat nafsaniyyah (Fushshilat: 53). Sentuhan ketiga ayat ini pada diri Muslim memberi warna sikap dan pandangannya yang unik terhadap hidup dan fenomena sosial sehingga menurunkan sejumlah konsep yang berbeda — bahkan tidak jarang bertentangan — dengan konsep-konsep yang ada. Namun demikian tidak berarti bahwa — selain ketentuan dan prinsip-prinsip dasar ajarannya berupa aqidah — Al Qur’an telah menyajikan “barang jadi” untuk itu semua, melainkan masih harus terus dikaji dan dijadikan acuan ijtihad untuk menghadapi dan meluruskan persoalan-persoalan baru yang terus berkembang menyertai perkembangan zaman.

Musibah intelektual, kultural, ekonomi, sosial dan pendidikan dialami oleh umat Islam khususnya pada abad 18 dan 19 saat mana secara militer kekuatan Barat telah berhasil memperoleh pijakan kaki di hampir seluruh Dunia Islam, sementara kaum orientalis melakukan kajian dan merepresentasikan Islam dan kaun Muslimin sesuai dengan kacamata mereka, dibarengi dengan kegiatan misionarisme dalam rangka memperkokoh kedudukan imperialisme dan penyebaran Kristen di kalangan bangsa Timur Muslim. Di pihak lain, kaum Muslimin mengalami stagnasi pemikiran dan disintegrasi politik yang sangat parah, bahkan semangat interdependensi seakan lenyap akibat pertikaian intern memperebutkan kepentingan masing-masing dan fenomena taqlid dalam pemikiran agama. Kemunduran kekuatan politik Islam periode ini berakibat secara meyakinkan pada kelemahan umat Islam, sehingga budaya asing, nilai-nilainya dan ideologinya dengan mudah mendapat tempat tanpa mendapat filter yang berarti. Perkembangan yang sangat merugikan bagi arah pemikiran Islam ini secara pelan disadari — dengan berpijak pada Al Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam — oleh para tokoh pergerakan Islam di berbagai negeri untuk melakukan tajdid dan menentang kehadiran Barat — baik pada dataran kultur maupun militer. Jihad dan ijtihad secara bersamaan dilakukan berupa perlawanan militer dibarengi dengan penegasan kembali identitas Islam dengan mengacu pada sumber pokok Islam: Al Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Model pergerakan pemikiran periode sebelumnya pun memberi inspirasi khususnya gerakan tajdid (pembaruan) yang dipimpin lbnu Taimiyah di Syam yang mengkombinasikan antara upaya pemberantasan fenomena taqlid dan sufisme yang mengebiri kreatifitas intelektual dan pada saat yang sama memimpin perlawanan jihad terhadap invasi asing. Begitu pula model gerakan pembaruan yang dipimpin oleh Syah Waliyullah dan Sayyid Ahmad Syahid di Anak Benua India yang membawa bendera kebangkitan Islam dengan jihad dan ijtihad.

Berangkat dari konteks ini, kiranya tidak fair untuk menilai bahwa kebangkitan dan perlawanan Islam adalah suatu gerakan reaksioner yang muncul semata akibat kehadiran imperialisme Barat. Sebab jika ditelusuri secara seksama setiap pergerakan Islam mempunyai akar dan latar belakang sejarah serta merupakan mata rantai pergerakan dalam sejarah. Sejarah umat Islam adalah sejarah perjuangan melawan penyelewengan internal dan tantangan eksternal. Dengan demikian, di balik setiap kemunduran pada dasarnya terdapat benih kebangkitan, sebab Islam sebagai Ad Din — melalui sumber pokoknya yaitu Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam — meletakkan paridigma “what to become”, bukan “what is becoming” (bagaimana seharusnya, bukan menerima sebagaimana adanya). Dengan ungkapan lain bahwa paradigma ini menjadi standar acuan bangunan sistem pemikiran dalam Islam yang menjamin kelangsungan upaya untuk mengembalikan kekuatan, supremasi dan kekuasaan sepanjang masa. Dari sini maka perjalanan pergerakan Islam tidak dapat dibandingkan dengan sejarah peradaban dan kebudayaan bangsa lain manapun yang senantiasa kurang kontinuitasnya serta tidak mempunyai standar jatidiri, sehingga jika terdapat upaya untuk mencari pembagian secara jelas mengenai periode “klasik”, “medieval”, “abad kegelapan”, “renaissance”, “liberal dan humanistic” dan lain sebagainya dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, maka dapat dikatakan ibarat mencari kucing hitam di kamar gelap gulita yang kenyataannya tidak ada. Namun demikian tidak berarti sejarah Islam tidak mengalami proses naik turun yang merupakan sunnatullah dalam sejarah peradaban umat manusia.

Buku yang ada di tangan pembaca ini adalah terjemahan dari naskah asli berbahasa Arab berjudul “Ma’rakah Al Mushthalahat baina Al Gharb wa Al Islam”. Tema bahasan buku ini kiranya belum banyak ditulis oleh cendekiawan Muslim sebagai satu kreatifitas intelektual yang mengkritik dan meluruskan tema-tema populer — khususnya yang lahir dan tumbuh dalam peradaban Barat — yang banyak beredar kemudian tidak jarang secara mentah-mentah dipakai oleh kalangan Muslim. Dengan demikian, penerjemahan buku ini ke dalam bahasa Indonesia diharapkan dapat memberi wawasan baru dan sekaligus memberi benang merah pada terminologi-terminologi yang ada antara Barat dan Islam.

Universitas Djuanda, 20 Desember 1997

Mustolah Maufur, M.A.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-07 Mukadimah Tazkiyatun Nafs (1)

Said-Hawwa.jpg

Para rasul, semoga rahmat dan salam tercurahkan kepada mereka, diutus untuk memperingatkan manusia akan ayat-ayat Allah, mengajarkan hidayah Allah. Pengajaran, peringatan, penyucian jiwa, termasuk tugas-tugas terpenting para rasul. Lihatlah hal itu pada doa Ibrahim ‘alaihis salam.

“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al Hikmah (As Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (Al Baqarah: 129)

Lihatlah pengabulan doa ini serta karunia yang dikaruniakan kepada umat ini dalam firman-Nya.

“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (Al Baqarah: 151)

Nabi Musa berdialog bersama Fir’aun.

“Dan katakanlah (kepada Fir’aun), ‘Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya.’” (An Nazi’at: 18-19)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya.” (Al Lail: 17-18)

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy Syams: 9-10)

Jelaslah bahwa penyucian jiwa termasuk tugas-tugas para rasul sekaligus merupakan target bagi orang-orang yang bertakwa. Tergantung kepada penyucian jiwalah keselamatan dan kebinasaan manusia di sisi Allah. Kata tazkiyah ‘penyucian’ dalam bahasa Arab memiliki banyak arti, di antaranya adalah ‘penyucian’ dan ‘pertumbuhan’. Kata itu dalam istilah juga berarti begitu, yaitu ‘penyucian’ dan ‘pertumbuhan’.

Zakaatun nafs ‘penyucian jiwa’ berarti penyucian dari segala penyakit, penguatannya dengan penyokong dan penghiasannya dengan nama-nama dan sifat-sifat. Tazkiyah ‘penyucian’ pada akhirnya berarti penyucian, penguatan, dan penghiasan.

Oleh karena itu, sarananya diatur syariat Islam dan inti serta buahnya juga bersifat syar’i (sesuai dengan syariat Islam). Semua pengaruh itu akan tampak pada pola dan tingkah laku dalam berinteraksi dengan Allah yang Mahaperkasa dan Mulia, juga dalam berinteraksi dengan sesama makhluk. Selain itu, akan tampak pula pengaruhnya pada pengendalian anggota tubuh untuk menjalani perintah Allah. Semoga isi buku dapat menjelaskan secara detail tentang hal itu.

***

Sesungguhnya penyucian hati dan jiwa hanya dapat terlaksana dengan banyak ibadah dan amal. Jika seseorang mengerjakannya dengan sempurna, maka saat itu hatinya menjadi kuat dengan nilai-nilai yang dapat menyucikan jiwa dan akan tampak pengaruh serta hasilnya pada seluruh anggota tubuhnya, seperti lidah, mata, telinga, dan anggota tubuh lainnya. Hasil yang paling tampak dari jiwa yang suci adalah adab yang baik dalam berinteraksi dengan Allah dan sesama manusia. Terhadap Allah dengan cara melaksanakan hal-hakNya, termasuk di dalamnya mencurahkan jiwa untuk berjihad di jalan-Nya, dan terhadap manusia sesuai dengan apa yang biasa berlaku, sesuai juga dengan tuntutan keadaan dan pembebanan Tuhan.

***

Penyucian jiwa memiliki berbagai sarana, seperti shalat, infak, puasa, haji, zikir, berpikir, membaca Al Quran, meditasi, instropeksi diri, dan mengingat mati dengan syarat dikerjakan dengan baik dan sempurna.

Hal-hal yang termasuk hasil penyucian jiwa adalah hati menjadi kuat dengan tauhid, keikhlasan, kesabaran, kesyukuran, rasa takut, harapan, kelemahlembutan, jujur kepada Allah, dan cinta kepadaNya, serta hati menjadi bersih. Lawannya adalah sifat suka pamer dan tidak ikhlas, egois, tertipu, dan marah karena nafsu atau setan. Dengan penyucian, jiwa menjadi suci dan hasilnya tampak pada pengendalian anggota tubuh untuk kepada perintah Allah dalam berinteraksi dengan keluarga, tetangga, masyarakat, dan semua orang.

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baikseperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (Ibrahim: 24-25)

***

Tetapi, yang terjadi adalah penyucian jiwa mengalami kelesuan dari generasi ke generasi, sehingga mengharuskan pembaruan yang berkesinambngan. Seperti halnya setiap hari terdapat pada umat ini jiwa-jiwa baru, maka penyucian jiwa harus menggungguli jiwa-jiwa itu. Mungkin kelesuan penyucian  pada masa sekarang ini lebih banyak terjadi dibanding masa-masa sebellumnya, maka diperlukan pembahasan khusus dalam masalah penyucian. Inilah yang menjadi motivasi kerja keras penulisan buku ini. Maka saya fokuskan pembahasan pada sarana-sarana penyucian jiwa dan bagaimana pelaksanaannya secara sempurna, juga pada tingkatan-tingkatan hati, penyakit-penyakitnya, perangai-perangainya yang baik, dan adab berinteraksi. Semua itu berkaitan langsung dengan penyucian jiwa.

Dalam pengambilan intisari nilai-nilai ini, kami memilih kitab Ihya’ Ulumuddin karya Hujjatul Islam Imam Al Ghazali karena sebab-sebab berikut ini:

  1. Imam Al Ghazali menghadapi kelesuan kehidupan ruhani pada masanya, seprti kelesuan ruhani yang kita hadapi pada masa kita. Penyakitnya hanya satu dan beliau telah memberikan resep obat, lalu berhasil.
  2. Ia telah membahas tuntas tema-tema yang dibahas kurang sempurna oleh ulama sebelumnya, maka pada buku Imam Al Ghazali tercantum apa yang tidak tercantum pada kitab pengarang lain.
  3. Rasio dan penjelasan terpau dalam kitab Ihya’nya itulah tanda ketelitian terhadap apa yang ia yakini dan tulis. Karena itulah penjelasan Imam Al Ghazali lebih mengenai sasaran dan tidak dapat dibandingkan dengan penjelasan pengarang lain. Setiap orang yang berinteraksi dengan bukunya akan merasakan hal itu. Akan tetapi, bukunya itu sendiri seperti layaknya kitab karangan manusia biasa, begitulah isinya. Maka sebagian peneliti mengkritisi beberapa bagian dari buku itu, kemudian pembahasannya dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian. Ada bagian yang lebih dekat dengan pembahasan fiqih, ada yang lebih dekat dengan nasihat, ada pula yang lebih dekat dengan penelitian dan pemecahan masalah. Ada pula yang lebih dekat dengan ilmu-ilmu syariat dan rasio, dan ada yang lebih dekat dengan ilmu penyucian jiwa. Inilah yang kita kehendaki. Oleh karena itu, saya mencurahkan kerja keras hanya untuk meringkas ilmu-ilmu penyucian jiwa.

Namun begitu, pada bagian yang khusus membahas penyucian jiwa ini juga terdapat pembahasan yang tidak disetujui sebagian ulama, ada yang terlalu panjang pembahasannya, ada juga yang terlalu rumit, maka sebagianpenjelasan Imam Al Ghazali  yang tidak dirasa perlu , saya potong. Jadi, saya memperhatikan dalam menyeleksi pembahasan-pembahasan dengan landasan sebagai berikut:

  1. Pembahasan yang diperlukan pada zaman kita sekarang saja karena sedikit peringatan akan hal itu.
  2. Berdasarkan pembahasan tersebut, saya hilangkan pembahasan yang dapat menimbulkan perdebatan, sebagaimana saya hilangkan juga pembahasan yang terlalu rumit dan panjang agar pembaca tidak merasa bosan dan agar mudah dipahami oleh seluruh kalangan. Saya juga menghilangkan hadits dha’if dan kesimpulan-kesimpulan yang berdasarkan padanya, walaupun hadits dha’if itu tidak berarti hadits palsu, tetapi mungkin saja itu sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan nash-nash sunnah yang saya cantumkan. Saya juga menyertakan komentar-komentar Imam Al Iraqi terhadapnya setelah komentar-komentar itu saya ringkas agar pembaca dapat mengetahui derajat riwayat itu dan tempat keberadaanya dengan perubahan pada penomoran. Tetapi ada beberapa riwayat dari para imam hadits yang derajat kuatnya tidak disebutkan Imam Al Iraqi tetapi maknanya shahih, maka sebagian riwayat-riwayat ini saya cantumkan dan saya anggap hal itu boleh-boleh saja. Saya juga menghilangkan riwayat-riwayat yang dinisbatkan kepada rasul terdahulu selain rasul kita shahallahu ‘alaihi wasallam karena riwayat-riwayat ini perlu penelitian ualng yang tidak mungkin kita lakukan, walaupaun ada beberapa pendapat yang memnolehkan periwayatannya. Saya juga menghilangkan pembahasan tentang hal-hal ghaib, baik yang berkaitan dengan masalah-masalah akhirat atau alam ghaib, apabila tidak terdapat dasarnya dalam Al Quran dan As Sunnah yang shahih. Saya juga menghilangkan pembahasan yang sekiranya dapat dibantah oleh sebagian peneliti.

Penyeleksian terhadap suatu kitab tidak menciptakan konsep baru yang sempurna, di samping kehilangan mata rantai, relevansi, dan alur. Padahal saya ingin mempersembahkan konsep yang sempurna tentang penyucian jiwa yang berdasarkan pada kajian Imam Al Ghazali. Hal ini menuntut saya untuk menyusun bab-bab, sistematika, dan pendahuluan bagi setiap bab, pasal, dan paragraf. Dengan begitu, buku ini menjadi seperti kalung yang rapi atau batangan emas murni.

***

Banyak orang yang bergantung kepada buku Ihya’ dan menghargainya sebagai buku yang tiada tandingannya dalam Islam, sebagaian lagi fanatik sehingga hampir mengharamkan upaya peninjauan terhadapnya.

Menurut pendapat saya, di dalam buku ini terdapat nilai-nilai yang mencerminkan bahwa Imam Al Ghazali diberikan taufik oleh Allah untuk meraih nilai yang sulit diraih oleh orang lain. Di dalamnya juga terdapat nilai-nilai yang ia rumuskan dan tulis dengan baik, sebagaimana rumusan dan tulisan sebagian ulama yang lain. Juga terdapat di dalamnya nilai-nilai lain yang menjadi perselisihan dan perbedaan pendapat.

Apabila kita tinggalkan kritik para peneliti dan sisi-sisi kesamaan antara buku tersebut dengan kitab lain, maka sesungguhnya isi buku Ihya’ hampir merupakan obat yang dijadikan terapi berbagai problematika pada masa kita yang wujud utamanya adalah kekosongan spiritual dan kekuasaan syahwat. Kami telah berusaha untuk meringkas hal-hal seperti itu yang dapat dijadikan obat bagi berbagai penyakit zaman sekarang, bahkan setiap zaman, kita berharap semoga mendapat pahala para mujtahid (ahli ijtihad).


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-08 Mencintai Sejantan Ali

Salim-A-Fillah.jpg

Kalau cinta berawal dan berakhir karena Allah,
maka cinta yang lain hanya upaya menunjukkan cinta padaNya,
pengejawantahan ibadah hati yang paling hakiki:
selamanya memberikan apa yang bisa kita berikan,
selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai…
– M. Anis Matta –

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak terkisahkan pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, putri tersayang dari sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ‘Abdullah Sang terpercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!

Maka gadis itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada sang nabi tiba-tiba diam. Fatimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!

‘Ali tak tau apakah perasaan itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fatimah dilamar oleh seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tidak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, radhiyallahu ‘anhu

‘Ali merasa diuji karena terasa apalah ia dibanding dengan Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ‘Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bark menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ‘Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan da’wah Abu Bakr; ‘Ustman, ‘Abdurrahman Ibn ‘Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakuakn kanak-kanak kurang pergaulan seperti ‘Ali. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ‘Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ‘Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaAllah lebih bisa membahagiakan Fathimah. ‘Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
“Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ‘Ali. “Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ‘Ali terus menjaga semangatmya untuk mempersiapkan diri.

Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. ‘Umar ibn Al-Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.

‘Umar memang masuk Islam belakangan, setelah 3 tahun setelah ‘Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dasyat yang hanya ‘Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ‘Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,” Aku datang bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ‘Umar..” Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.

Lalu bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ‘Umar melakukannya. ‘Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan Rasul. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari ia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi. ‘Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. “Wahai kaum Quraisy”, katanya. “Hari ini putera Al-Khaththab akan berhijrah. Barang siapa yang ingin istrinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ‘Umar dibalik bukit ini!”

‘Umar adalah lelaki pemberani. ‘Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulullah! Tidak! ‘Umar jauh lebih layak. Dan ‘Ali ridha.

Mencintai tak berarti harus memiliki. Mencintai berarti pengorbanan untuk kebahagiaan orang yang dicintai. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan, itulah keberanian. Atau mempersilakan, itulah pengorbanan.

Maka ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti Ustman sang miliaderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ‘Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh berbeda dengannya. Di antara muhajirin hanya Abdurrahman ibn ‘Auf yang setara dalam harta dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ‘Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman ansharnya itu membangunkan lamunan. “Mengapa engkau tak coba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu baginda Nabi..”

“Aku?”, tanyanya tak yakin.

“Ya. Engkau wahai saudaraku!”

“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”

“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

‘Ali pun menghadap Sang Nabi, maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.

Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantinya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. “Engkau pemuda sejati wahai ‘Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggung jawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

Lamaran berjawab, “Ahlan wa sahlan!”. Kata itu meluncur tenang bersama senyum sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabipun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko.

Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”

“Entahlah..”

“Menurut kalian apakah ‘Ahlan wa sahlan’ berarti sebuah jawaban!”

“Satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wasahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”

Dan ‘Alipun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ‘Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. ‘Ali adalah gentlemen sejati. Tidak heran jika pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tidak ada pemuda kecuali ‘Ali.”

Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan disini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ‘Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah Pengorbanan. Yang kedua adalah Keberanian. Dan bagi pecinta sejati, selalu ada yang manis dalam mengecap keduanya. Di jalan cinta para pejuang, kita belajar bertanggung jawab atas setiap perasaan kita…


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-08 Pokok-pokok Ajaran Islam tentang Halal dan Haram

Yusuf-Al-Qardhawi.jpg

Persoalan  halal-haram adalah seperti halnya soal-soal lain, di mana orang-orang jahiliah pernah tersesat dan mengalami kekacauan yang luarbiasa, sehingga mereka berani menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal.

Keadaan yang sama pernah juga dialami oleh golongan penyembah berhala (watsaniyin) dan ahli-ahli kitab.

Kesesatan ini akhirnya dapat menimbulkan suatu penyimpangan yang ekstrimis kanan, atau suatu penyimpangan yang ekstrimis kiri.

Di pihak kanan, misalnya: Kaum Brahmana Hindu, Para Rahib Kristen dan beberapa golongan lain yang berprinsip menyiksa diri dan menjauhi hal-hal yang baik dalam masalah makanan ataupun pakaian yang telah diserahkan Allah kepada hambaNya.

Kedurhakaan para rahib ini sudah pernah mencapai puncaknya pada abad pertengahan. Beribu-ribu rahib mengharamkan barang yang halal sehingga sampai kepada sikap yang keterlaluan. Sampai-sampai di antara mereka ada yang menganggap dosa karena mencuci dua kaki, dan masuk kamar mandi dianggap dapat membawa kepada penyesalan dan kerugian.

Dari golongan ekstrimis kiri, dapat dijumpai misalnya aliran Masdak yang timbul.di Parsi. Golongan ini menyuarakan kebolehan yang sangat meluas. Kendali manusia dilepaskan, supaya dapat mencapai apa saja yang dikehendaki. Segala-galanya bagi mereka adalah halal, sampaipun kepada masalah identitas dan kehormatan diri yang telah dianggapnya suci oleh fitrah manusia.

Bangsa Arab di zaman Jahiliah merupakan contoh konkrit, betapa tidak beresnya barometer untuk menentukan halal-haramnya sesuatu benda atau perbuatan. Oleh karena itu membolehkan minuman-minuman keras, makan riba yang berlipat-ganda, menganiaya perempuan dan sebagainya. Lebih dari itu, mereka juga telah dipengaruhi oleh godaan syaitan yang terdiri dari jin dan manusia sehingga mereka tega membunuh anak mereka dan mengunyah-ngunyah jantungnya. Godaan itu mereka turutinya juga. Perasaan kebapaan yang bersarang dalam hatinya, samasekali ditentang.

“Dan begitu juga kebanyakan dari orang-orang musyrik itu telah dihiasi oleh sekutu-sekutu mereka untuk membunuh anak-anak mereka guna menjerumuskan mereka dan meragu kan mereka agama mereka. ” (al-An’am : 137)

Para sekutu dari pelindung berhala itu melalui berbagai cara dalam mengganggu kaum bapa untuk membunuh anak-anak mereka antara lain:

Satu hal yang mengherankan, yaitu bahwa mereka yang membolehkan membunuh anak, baik dengan dipotong ataupun dengan ditanam hidup-hidup, tetapi justeru mengharamkan beberapa makanan dan binatang yang baik-baik.

Dan yang lebih mengherankan lagi, bahwa itu semua dianggapnya sebagai hukum agama. Mereka nisbatkannya kepada Allah. Tetapi kemudian oleh Allah, anggapan ini dibantah dengan firmanNya:

“Mereka berpendapat: ini adalah binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan yang terlarang, tidak boleh dimakan kecuali orang-orang yang kami kehendaki menurut anggapan mereka dan juga diharamkan untuk dinaiki, dan binatang-binatang yang mereka tidak sebut asma Allah atasnya karena hendak berbuat dusta atas nama Allah. (Begitulah) mereka itu kelak akan dibalas lantaran kedustaan yang mereka perbuat.” (al-An’am: 138)

Al-Quran telah menegaskan kesesatan mereka yang berani menghalalkan sesuatu yang seharusnya haram, dan mengharamkan sesuatu yang seharusnya halal; al-Quran mengatakan:

“Sungguh rugilah orang-orang yang telah membunuh anak-anak mereka lantaran kebodohannya dengan tidak mengarti itu, dan mereka yang telah mengharamkan rezeki yang Allah sudah berikan kepada mereka (lantaran hendak) berdusta atas (nama) Allah; mereka itu pada hakikatnya telah sesat, dan mereka itu tidak mau mengikuti pimpinan.” (al-An’am: 140)

Kedatangan Islam langsung dihadapkan dengan kesesatan dan ketidak-beresan tentang persoalan halal dan haram ini. Oleh karena itu pertama kali undang-undang yang dibuat guna memperbaiki segi yang sangat membahayakan ini ialah dengan membuat sejumlah Pokok-pokok Perundang-undangan sebagai standard untuk dijadikan landasan guna menentukan halal dan haram. Seluruh persoalan yang timbul, dapat dikembalikan kepadanya, seluruh neraca kejujuran dapat ditegakkan; keadilan dan keseimbangan yang menyangkut soal halal dan haram dapat dikembalikan.

Oleh karena itu ummat Islam menduduki sebagai golongan penengah (ummatan wasathan) di antara ekstrimis kanan dan ekstrimis kiri sebagaimana telah ditegaskan sendiri oleh Allah; yaitu dengan dijadikan ummat Islam ini sebagai ummat pilihan (khaira ummah) yang diketengahkan ke hadapan ummat manusia (QS Ali Imran)


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-09 Kegagalan

Muhammad-Anis-Matta1.jpg

Jangan pernah menyangka bahwa  seorang pahlawan selalu meraih prestasi-prestasinya dengan  mulus,  atau  bahkan  tidak  pernah  mengenal  kegagalan.  Kesulitan-kesulitan adalah rintangan yang diciptakan oleh sejarah dalam perjalanan menuju kepahlawanan. Karena  itu,  peluang  kegagalan  sama  besarnya  dengan  peluang  keberhasitan.  “Kalau bukan karena kesulitan, maka semua orang akan jadi pahlawan.” kata seorang penyair Arab, Al Mutanabbi.

Membebaskan Konstantinopel bukanlah pekerjaan mudah bagi seorang pemuda berusia 23  lahun  setangguh  Muhammad  Al-Fatih  Murad.  Pembebasan  pusat  kekuasaan Imperium Romawi  itu, kata orientalis Hamilton Gibb, adalah mimpi delapan abad dari Kaum Muslimin. Semua serangan gagal meruntuhkan perlawanan kota itu di sepanjang abad-abad  itu.  Dan  serangan-serangan  awal  Muhammad  Al-Fatih  Murad  juga mengalami  kegagalan.  Kegagalan  itu  sama  dengan  kegagalannya  sebagai  pemimpin negara,  ketika  pada  usia  16  tahun  ayahnya menyerahkan  kekuasaan  kepadanya. Akan tetapi, bila Muhammad Al-Fatih kemudian berhasil merebut kota itu, kita memang perlu mencatat  pelajaran  ini:  “Bagaimana  seorang  pahlawan  dapat  melampaui  kegagalan-kegagalannya dan merebut takdirnya sebagai pahlawan?”

Rahasia pertama adalah mimpi yang tidak selesai. Kegagalan adalah perkara  teknis bagi  sang pahlawan. Kegagalan  tidak boleh menyentuh  setitik pun wilayah mimpinya. Mimpi  tidak  boleh  selesai  karena  kegagalan.  “Dan  tekad  seperti  ini  akan  merubah rintangan dan kesulitan menjadi sarana mencapai tujuan,” kata Said bin Al Musayyib.

Begitulah,  tekad  mereka  melampaui  kegagalan,  sampai  rintangan  yang  menghadang jalannya  tak  sanggup menatap mata  tekadnya, maka  ia  tunduk,  lalu memberinya  jalan menuju  penghentian  terakhir  dari  mimpinya.  “Kalau  tekad  seseorang  benar  adanya, maka jalan menuju tujuannya pastilah jelas,” kata pepatah Arab.

Rahasia  kedua  adalah  semangat  pembelajaran  yang  konstan.  Seorang  pahlawan tidak pernah memandang dirinya sebagai Superman atau Malaikat. Ia tetaplah manusia biasa.  Dan  kegagalan  merupakan  bagian  dari  tabiat  kehidupan  manusia,  maka  ia “memaafkan  ”  dirinya  untuk  kegagalan  itu. Namun,  ia  tidak  berhenti  sampai  di  situ. Kegagalan  adalah  objek  pengalaman  yang  harus  dipelajari,  untuk  kemudian  dirubah menjadi pintu kemenangan. Demikianlah seharusnya kita mendefenisikan pengalaman: bahwa ia adalah investasi pembelajaran yang membantu proses penyempurnaan seluruh faktor keberhasilan dalam hidup.

Rahasia  ketiga  adalah  kepercayaan  pada  waktu.  Setiap  peristiwa  ada  waktunya, maka  setiap  kemenangan  ada  jadwalnya.  Ada  banyak  rahasia  yang  tersimpan  dalam rahim sang waktu, dan biasanya  tidak  tercatat dalam kesadaran kita. Akan  tetapi, para pahlawan biasanya mempunyai cara  lain untuk mengenalinya, atau setidaknya meraba-rabanya,  yaitu  firasat.  Mereka  “memfirasati  zaman,”  walaupun  ia  mungkin  benar mungkin  salah,  tetapi  ia  berguna  untuk  membentuk  kecenderungannya.  Firasat  bagi mereka  adalah  faktor  intuitif  yang  menyempurnakan  faktor  rasional.  Perhitungan-perhitungan  rasional harus  tetap ada,  tetapi keputusan untuk melangkah pada akhirnya bersifat  intuitif.  Begitulah  akhirnya  takdir  kepahlawanan  terjembatani  dengan  firasat untuk sampai ke kenyataan.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-10 Mencintai Penanda Dosa

Salim-A-Fillah.jpg

Dalam hidup, Allah sering menjumpakan kita dengan orang-orang yang membuat hati bergumam lirih, “Ah, surga masih jauh.” Pada banyak kejadian, ia diwakili oleh orang-orang penuh cahaya yang kilau keshalihannya kadang membuat kita harus memejam mata.

Dalam tugas sebagai Relawan Masjid di seputar Merapi hari-hari ini, saya juga bersua dengan mereka-mereka itu. Ada suami-isteri niagawan kecil yang oleh tetangganya sering disebut si mabrur sebelum haji. Selidik saya menjawabkan, mereka yang menabung bertahun-tahun demi menjenguk rumah Allah itu, menarik uang simpanannya demi mencukupi kebutuhan pengungsi yang kelaparan dan kedinginan di pelupuk mata.

“Kalau sudah rizqi kami”, ujar si suami dengan mata berkaca nan manusiawi, “Kami yakin insyaallah akan kesampaian juga jadi tamu Allah. Satu saat nanti. Satu saat nanti.” Saya memeluknya dengan hati gerimis. Surga terasa masih jauh di hadapan mereka yang mabrur sebelum berhaji.

Ada lagi pengantin surga. Keluarga yang hendak menikahkan dan menyelenggarakan walimah putra-putrinya itu bersepakat mengalihkan beras dan segala anggaran ke barak pengungsi. Nikah pemuda-pemudi itu tetap berlangsung. Khidmat sekali. Dan perayaannya penuh doa yang mungkin saja mengguncang ‘Arsyi. Sebab semua pengungsi yang makan hidangan di barak nan mereka dirikan berlinangan penuh haru memohonkan keberkahan.

Catatan indah ini tentu masih panjang. Ada rumah bersahaja berkamar tiga yang menampung seratusan pelarian musibah. Untuk pemiliknya saya mendoa, semoga istana surganya megah gempita. Ada juru masak penginapan berbintang yang cutikan diri, membaktikan keahlian di dapur umum. Ada penjual nasi gudheg yang sedekahkan 2 pekan dagangannya bagi ransum para terdampak bencana. Semoga tiap butir nasi, serpih sayur, dan serat lelaukan bertasbih untuk mereka.

Ada juga tukang pijit dan tukang cukur yang keliling cuma-cuma menyegarkan raga-raga letih, barak demibarak. Ad dokter-dokter yang rela tinggalkan kenyamanan ruang berpendingin untuk berdebu-debu dan berjijik-jijik. Ada lagi para mahasiswa dan muda-mudi yang kembali mengkanakkan diri, membersamai dan menceriakan bocah-bocah pengungsi. Semua kebermanfaatan surgawi itu, sungguh membuat iri.

“Ah, surga masih jauh.”

Setelah bertaburnya kisah kebajikan, izinkan kali ini saya justru mengajak untuk menggumamkan keluh syahdu itu dengan belajar dari jiwa pendosa. Jiwa yang pernah gagal dalam ujian kehidupan dariNya. Mengapa tidak? Bukankah Al Quran juga mengisahkan orang-orang gagal dan pendosa yang berhasil melesatkan dirinya jadi pribadi paling mulia?

Musa pernah membunuh orang. Yunus bahkan sempat lari dari tugas risalah yang seharusnya dia emban. Adam juga. Dia gagal dalam ujian untuk tak mendekat pada pohon yang diharamkan baginya. Tapi doa sesalnya diabadikan Al Quran. Kita membacanya penuh takjub dan khusyu’. “Rabb Pencipta kami, telah kami aniaya diri sendiri. Andai Kau tak sudi mengampuni dan menyayangi, niscaya jadilah kami termasuk mereka yang rugi-rugi.” Mereka pernah menjadi jiwa pendosa, tetapi sikap terbaik memuliakan kelanjutan sejarahnya.

Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang selalu mengatakan bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mafhum, bahwa tiap pendosa yang bertaubat, berhijrah, dan berupaya memperbaiki diri umumnya tersuasanakan untuk membenci apa-apa yang terkait dengan masa lalunya. Hatinya tertuntun untuk tak suka pada tiap hal yang berhubungan dengan dosanya. Tapi bagaimana jika ujian berikut setelah taubat adalah untuk mencintai penanda dosanya?

Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang berjuang untuk mencintai penanda dosanya.

“Saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih tangguh dari saya.

“Ah, surga masih jauh.”

Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia muslimah nan taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan. Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia di nafasnya.

Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang dan kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’ di kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah mengentas banyak kawan dan sungguh membanggakan. Awal-awal, si muslimah nan berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu tak percaya diri. Tapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi semuanya.

Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar batas syari’at tetap terjaga.

“’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “’Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berjalan?”

“Sayangnya tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?”

“Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?”

Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi-idzniLlah, di tengah jalan sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat dan darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan”, kata muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun kami jaga sebaik-baiknya dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu memudah-mudahkan. AstaghfiruLlah.”

Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu tak besar. Tapi asri dan nyaman. Tidak megah. Tapi anggun dan teduh.

Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaithan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang seharusnya kami bangun surga dalam ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu”, dia tersedu. Saya tak tega memandang dia dan sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.

“Kisahnya tak berhenti sampai di situ”, lanjutnya setelah agak tenang. “Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis di jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur.”

Dan kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.

“Setelah hampir empat bulan koma”, sambungnya, “Akhirnya saya sadar. Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada pilihan katanya. Dia menyebutnya “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu bagi orang yang terluka oleh dosa.

“Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon suami saya, ayah dari anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu.”

“SubhanaLlah”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkaulah rupanya Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya Nak, karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak, ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia tak sabar menyeru kaumnya.

“Doakan saya kuat Ustadz”, ujarnya. Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seorang yang begitu tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan, “Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal karena frustrasi?”

“Doakan saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari mencintai anak itu sepenuh hati.” Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta doanya pun menakjubkan.

Allah, sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan sepenuh hati. Allah, jadikan wanita ini semulia Maryam. Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu dengan kesabarannya meniti hari-hari bersama sang buah hati. Allah, balasi tiap kegigihannya mencintai penanda dosa dengan kemuliaan di sisiMu dan di sisi orang-orang beriman. Allah, sebab ayahnya telah Kau panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhanMu nan Maha Rahman dan Rahim.

Allah, jangan pula izinkan hati kami sesedikit apapun menghina jiwa-jiwa pendosa. Sebab ada kata-kata Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Kitab Az Zuhd yang selalu menginsyafkan kami. “Sejak dulu kami menyepakati,” tulis beliau, “Bahwa jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-10 Pengantar Kebebasan Wanita (1)

Yusuf-Al-Qardhawi.jpg

Dilihat dari hitungan banyaknya, jumlah wanita mencapai separuh dari jumlah masyarakat dunia. Namun, dilihat dari pengaruhnya terhadap suami, anak-anak, dan lingkungan jumlah tersebut lebih dari separuh jumlah masyarakat dunia. Seorang pujangga berkata:

Seorang ibu ibarat sekolah …

apabila kamu siapkan dengan baik…

berarti kamu menyiapkan satu bangsa yang harum namanya

Begitu juga, orang-orang bijak banyak yang mengaitkan keberhasilan para tokoh dan pemimpin dengan peran dan bantuan kaum wanita lewat ungkapan: “Di balik keberhasilan setiap pembesar ada wanita!”

Di sisi lain, banyak kita lihat para filosof yang menganggap wanita sebagai sumber atau biang terjadinya berbagai bentuk bencana dan tindak kriminalitas di dunia. Bahkan, jika terjadi musibah atau tindak kriminal, ada yang mengatakan: “Coba periksa kaum wanitanya!”

Manusia, baik dahulu maupun sekarang, terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang pro dan berbaik sangka terhadap wanita. Kedua, kelompok yang menjadi musuh wanita. Karena itu, seorang pujangga pernah berkata:

Kaum wanita itu bagaikan minyak kesturi…

yang diciptakan untuk kita …

setiap kita tentu senang mencium aromanya

Tetapi ada pula pujangga yang berkata:

Kaum wanita itu bagaikan setan …

yang diciptakan untuk kita…

kita berlindung kepada Allah dari kejahatan setan

Kita menemukan sebagian filosof mendukung keberadaan wanita, menyanjung, serta menyebut-nyebut kelebihan dan keutamaannya dalam keluarga atau masyarakat. Namun, ada juga mereka yang melihat kaum wanita lewat kacamata hitam pekat sehingga wanita dilihat bagaikan kuman penyakit dan kejahatan di dunia. Bahkan orang-orang yang pesimistis menganggap bahwa ilmu yang dapat memberi petunjuk kepada orang yang sesat dan meluruskan orang yang bengkok dianggap tidak berguna bagi kaum wanita. Ada di antara mereka yang berpendapat bahwa wanita hanya cukup belajar menulis. Menurut mereka, bagaimana pun ular dapat menularkan racun. Lebih dari itu, mereka memikulkan ke atas pundak wanita beban penderitaan yang telah dan akan dialami umat manusia sejak Adam diciptakan sampai kiamat nanti. Menurut keyakinan mereka wanitalah yang telah merayu Adam agar memakan buah (pohon yang ada di surga) dan melanggar apa yang ditetapkan Allah, sehingga Adam beserta anak cucunya dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi hingga mereka merasakan pahit getirnya kehidupan.

Di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama –kitab suci penganut Kristen dan Yahudi– mereka membenarkan dalil-dalil tuduhan tersebut yang dibebankan ke atas pundak kaum wanita. Namun, apabila penelusuran kita sudah sampai pada Islam, kita akan menemukan bahwa Islam mengangkat harkat dan martabat wanita dengan memandangnya sebagai anak, istri, ibu, dan anggota masyarakat. Dengan demikian, Islam memandang wanita sebagai seorang manusia.

Wanita diberi tugas dan kewajiban seperti halnya laki-laki; Kepadanya disampaikan perintah dan larangan Allah seperti halnya kepada laki-laki, kepadanya diberikan pahala atau siksaan seperti halnya kepada laki-laki. Pertama kali, tugas dari Allah dikeluarkan dan disampaikan kepada laki-laki dan wanita secara bersamaan (ketika keduanya diperintah untuk menetap di surga). Kepada mereka berdua Allah berfirman:

“Dan Kami berfirman: ‘Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (Al Baqarah: 35)

Di dalam Al Qur’an –begitu juga di dalam Taurat– tidak ditemukan nash yang mengatakan bahwa wanita harus bertanggung jawab terhadap kesalahan yang dilakukan oleh Adam. Sebenarnya, Adamlah penanggung jawab utamanya, sementara wanita hanya sebagai pengikut. Allah SWT berfirman:

“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka dia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.” (Thaha: 115)

“… dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk.” (Thaha: 121-122)

Dalam pandangan Islam, wanita bukanlah musuh atau lawan kaum laki-laki. Sebaliknya, wanita adalah pelengkap laki-laki dan laki-laki adalah pelengkap wanita. Wanita adalah bagian dari laki-laki dan laki-laki adalah bagian dari wanita. Karena itulah Al Qur’an mengatakan: “… sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain …” (Ali Imran: 195) Rasulullah saw. pun bersabda: “Sebenarnya wanita adalah saudara kandung laki-laki.” Di dalam Islam tidak pernah dibayangkan adanya pengurangan atas hak wanita atau penzaliman atas wanita demi kepentingan kaum laki-laki sebab Islam adalah syariat Allah SWT yang diturunkan untuk laki-laki dan wanita sekaligus.

Akan tetapi, ada beberapa pemikiran keliru mengenai wanita menyusup ke dalam benak sekelompok umat Islam sehingga mereka senantiasa memiliki persepsi negatif terhadap watak dan peran wanita.

Persepsi tersebut diiringi dengan perlakuan yang tidak baik terhadap kaum wanita. Karenanya, mereka digolongkan sebagai kaum yang telah melangkahi hukum-hukum Allah. Mereka digolongkan ke dalam kaum yang menzalimi diri wanita sekaligus dirinya sendiri. Hal itu sering terjadi pada zaman keterbelakangan ketika umat Islam sudah jauh dari tuntunan Nabi saw, sikap pertengahan Islam, serta manhaj generasi salaf yang mudah dan seimbang.

Pada masa sekarang ini, di tengah-tengah kita, akan kita temukan penyakit ganas yang melanda alam pemikiran manusia. Banyak kasus atau peristiwa yang dipecahkan tidak didasarkan pada jalan tengah yang di dalam terminologi Islam dikatakan sebagai ash shirat al mustaqim. Lazimnya, sebagian besar masyarakat mengambil keputusan dengan ekstrem atau berlebih-lebihan, bahkan ada pula kecenderungan pada penyia-nyiaan. Padahal, kita sendiri sering membaca firman Allah berikut ini:

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan (yang adil dan pilihan) …” (Al Baqarah: 143)

Selain itu, kita juga sering mendengar kata mutiara yang mengatakan: “Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan.” Ali r.a. juga pernah mengatakan: “Hendaklah kalian mengambil model atau contoh yang pertengahan. Yang terlanjur hendaklah surut dan yang tertinggal hendaklah menyusul.”

Kasus wanita dalam masyarakat kita –yang dikenal dengan sebutan masyarakat Islam– menjadi contoh yang gamblang tentang sikap keterlaluan dan berlebihan, atau menyepelekan dan menyia-nyiakan wanita. Orang-orang yang menyepelekan hak wanita memandang wanita dengan sikap angkuh dan pandangan hina. Menurut mereka, wanita ibarat jerat setan dan perangkap iblis untuk menggoda dan menyesatkan manusia. Wanita dianggap makhluk yang kurang akal dan agama serta tidak mempunyai keahlian apa pun. Wanita dianggap budak atau setengah budak oleh laki-laki, dikawini untuk melampiaskan keinginan kaum laki-laki, tubuhnya dimiliki dengan bayaran uang, serta bisa diceraikan kapan pun diinginkan. Wanita tidak memiliki wewenang untuk menolak dan tidak berhak menuntut imbalan atau ganti rugi. Bahkan sebagian orang menganggapnya seperti sandal yang bisa dipakai atau dilepaskan kapan pun diinginkan.

Jika seorang wanita menikah dan tidak senang kepada suami, dia tidak bisa benci atau lari. Yang dapat dia lakukan hanyalah sabar meneguk derita dan pahitnya kehidupan, sampai suami berkenan menalak atau dia meminta diceraikan (khuluk). Di luar itu, wanita tidak mempunyai jalan atau cara untuk lepas dari neraka perbudakan laki-laki. Ada lagi kalangan masyarakat yang kembali ke zaman jahiliah sebelum datangnya Islam. Anak-anak wanita tidak diberi hak untuk mendapatkan warisan. Seluruh harta peninggalan ditetapkan sebagai barang jual-beli bagi anak-anak laki-laki, sementara anak-anak wanita tidak diberi bagian sedikit pun. Mereka mengurung anak-anak perempuan di dalam rumah, tidak boleh keluar untuk belajar atau bekerja, tidak boleh mengikuti kegiatan yang bermanfaat untuk masyarakat, apapun jenisnya, sehingga sebagian mereka berpandangan bahwa wanita yang baik atau salehah tidak keluar rumahnya kecuali dua kali, yaitu dari rumah orang tuanya ke rumah suaminya dan dari rumah suaminya ke liang kubur. Padahal Al Qur’an hanya menjadikan “pengurungan wanita dalam rumah” sebagai hukuman bagi wanita yang melakukan perbuatan zina dengan kesaksian empat orang laki-laki dari kaum muslimin. Hal itu diterapkan sebelum syariat menetapkan had (hukuman) bagi perbuatan zina yang sudah dikenal sekarang ini. Mengenai pengurungan wanita yang melakukan zina itu Al Qur’an menyebutkan:

“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberikan kesaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemai ajalnya atau Allah memberi jalan yang lain kepadanya.” (an-Nisa’: 15)

Mereka melarang wanita keluar rumah untuk menuntut ilmu dan mendalami agama dengan alasan ada orang tua atau suaminya yang berhak dan berkewajiban mendidik serta memberikan pelajaran. Akibatnya, mereka menghambat wanita dari pancaran nur ilmu pengetahuan dan memaksanya tetap hidup dalam kegelapan dan kebodohan. Padahal, orang tua dan suaminya pun tidak dapat mengajarinya, sebab mereka masih membutuhkan pengajar. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak memiliki sesuatu dapat memberi? Sudah banyak wanita yang sesat karena yang membimbingnya adalah orang-orang yang buta! Di sisi lain, mereka paham bahwa menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim dan muslimah. Sesungguhnya, istri-istri Nabi saw. serta istri-istri para sahabat dan generasi salaf telah sampai ke satu posisi terhormat dalam bidang ilmu, fiqih, dan periwayatan hadits, di samping mengenal syair, sastra, dan retorika berbicara. Pernah saya temukan salah seorang ulama kita berkata: “Seorang ulama wanita yang dipercaya dan salehah, fulanah binti fulan, menceritakan kepadaku.” Karimah binti Ahmad Al Marwaziyyah adalah seorang wanita periwayat sahih Bukhari. Buku riwayatnya dijadikan salah satu buku pegangan yang dipercaya dan sering disebut-sebut oleh Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab Fathul Bari. Hingga ke masalah masjid, mereka melarang wanita pergi, baik untuk shalat maupun menghadiri pengajian. Padahal mereka tahu bahwa kaum wanita ikut shalat berjamaah pada zaman Nabi saw., bahkan untuk shalat isya dan subuh. Nabi saw. mengatakan dengan tegas dalam sabda beliau: “Janganlah kalian melarang hamba-hamba wanita Allah ke masjid-masjid Allah.” (HR Muslim) Anehnya, sampai saat ini, wanita masih diharamkan menikmati hak yang sama dimiliki wanita pemeluk agama lain selain Islam. Wanita Yahudi, misalnya, mereka boleh pergi ke sinagog, wanita Nasrani boleh pergi ke gereja, dan wanita Budha atau Hindu boleh pergi ke biara mereka. Hanya wanita muslimah saja yang dilarang pergi ke masjid.

Mereka melarang wanita mengikuti bapak atau suaminya untuk melakukan berbagai macam aktivitas kehidupan yang sebenarnya sanggup dia lakukan dan diperbolehkan oleh agama. Padahal, hal itu didukung oleh riwayat sahih yang mengatakan bahwa sebagian istri para sahabat pernah melakukannya, seperti Asma yang dijuluki sebagai wanita pemilik dua ikat pinggang dengan suaminya Zubair ibnul Awwam.

Lebih jelasnya, hal itu diceritakan dalam Al Qur’an berkaitan dengan dua anak gadis seorang laki-laki tua dalam surat Al Qashash ketika keduanya menggembala dan memberi minum kambingnya. Kedua gadis itu berbicara dengan Musa a.s. dan begitu pula sebaliknya. Salah satu dari dua gadis itu dengan berterus terang dan berani berkata kepada bapakaya sebagaimana tercantum dalam ayat berikut ini:

“… Ya bapakku, ambillah dia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orangyang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al Qashash: 26)

Perkataan ringkas gadis itu telah dijadikan dasar bagi laki-laki untuk memilih berbagai pekerjaan.

Dalam melakukan pengurungan wanita di rumah, mereka sering menyandarkan keputusan pada nash-nash yang mutasyabihat (kalimat yang mengandung beberapa arti, penj.) dan meninggalkan nash-nash yang muhkamat (tegas dan jelas maksudnya). Sebagai contoh kita lihat mereka berargumentasi dengan ayat-ayat yang terdapat dalam surat Al Ahzab mengenai istri-istri Nabi saw, yaitu:

“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik …” (Al Ahzab: 32-33)

“… Apabila kamu meminta sesuatu keperluan kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir…” (Al Ahzab: 53)

Mereka pun kadang-kadang mengekang hak wanita dalam memilih pasangan hidupnya, atau setidaknya hak untuk mengatakan setuju atau tidak, ketika wali wanita memperkenalkan calon suaminya. Bahkan, kita menemukan kaum bapak yang mengawinkan anak gadisnya tanpa restunya, tanpa musyawarah atau memperhatikan pendapatnya; meskipun sekadar menduga-duga pendapatnya!

Namun, sungguh disayangkan, banyak masalah yang disebutkan dalam pendapat Syafi’i, Maliki, dan sebagian besar pengikut Hanbali didasarkan pada dalil-dalil yang tidak layak didiskusikan dan tidak akan tegar menghadapi argumentasi-argumentasi lawannya, sehingga ditolak oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah atau muridnya, Imam Ibnul Qayyim.

Betapa berlebihannya mereka melindas hak wanita. Mereka mengutip hadits-hadits sahih, tetapi tidak meletakkannya pada tempatnya, serta menjadikan hadits-hadits tersebut sebagai dalil walaupun maksudnya tidak sesuai. Sebagai contoh, hadits yang sering mereka jadikan pegangan untuk meloloskan pendapat mereka mengenai wanita adalah hadits yang menggambarkan wamta sebagai makhluk kurang akal dan kurang agama. Begitu juga dengan hadits: “Kalau aku ingin memerintahkan seseorang supaya sujud kepada yang lain, maka pastilah aku perintah wanita supaya sujud kepada suaminya.”

Tidak cukup sampai di situ, mereka bahkan mengemukakan hadits-hadits yang tidak jelas ujungpangkalnya, tidak jelas asal dan sanadnya, sangat lemah, atau hadits palsu dan berdusta terhadap Rasulullah saw., seperti hadits yang mengatakan bahwa Nabi saw. bertanya kepada putrinya, Fathimah Az Zahra: “Apa yang paling baik untuk wanita?” Fathimah berkata: “Bila wanita tidak melihat laki-laki dan laki-laki pun tidak melihatnya.” Lalu beliau mencium Fathimah seraya berkata: “Sebagian manusia adalah satu keturunan dengan bagian yang lain.” Hadits tersebut sangat lemah. Nilainya tidak sepadan sama sekali dengan harga tinta yang dipergunakan untuk menulisnya. Atau seperti hadits: “Bermusyawarahlah dengan mereka (perempuan) kemudian tentanglah pendapat mereka.” Hadits ini sama sekali tidak ada dasarnya sebab bertentangan dengan prinsip musyawarah sebagaimana yang terdapat dalam Al Qur’an untuk orang tua dalam soal menghentikan bayinya menyusu:

“… Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawarahan, maka tidak ada dosa atas keduanya …” (Al Baqarah: 233)

Hadits tersebut bertentangan dengan riwayat-riwayat yang sahih dari sunnah dan sirah (sejarah) kehidupan Rasulullah saw. Beliau pernah bermusyawarah dengan istri beliau, Ummu Salamah, ketika terjadi Perang Hudaibiyah. Nabi saw. mengambil pendapat Ummu Salamah yang dipandang lebih baik dan lebih tepat. Hal itu pun tergambar dalam riwayat mereka dari Ali bin Abi Thalib r.a. yang berbunyi:

“Wanita itu jelek keseluruhannya, dan yang lebih jeleknya lagi pada diri wanita itu bahwa dia harus memiliki kejelekan tersebut.”

Ketidakbenaran riwayat ini telah saya jelaskan dalam tulisan-tulisan saya terdahulu (lihat buku Fatawa Mu’ashirah). Atau seperti yang diriwayatkan oleh Al Hakim dalam kitab Mustadrak-nya dan dengan sanadnya: “Dan janganlah kalian suruh wanita tinggal dalam kamar dan jangan kalian ajarkan kepada mereka menulis!”

Hadits ini telah divonis oleh para kritikus hadits sebagai hadits maudhu’ (palsu) sebagaimana yang dikatakan oleh Hafizh Adz Dzahabi ketika beliau mengulas riwayat Al Hakim ini.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-10 Asal Tiap-tiap Sesuatu Adalah Mubah

Yusuf-Al-Qardhawi.jpg

Dasar pertama yang ditetapkan Islam, ialah: bahwa asal sesuatu yang dicipta Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada nash yang sah dan tegas dari syari’ (yang berwenang membuat hukum itu sendiri, yaitu Allah dan Rasul) yang mengharamkannya. Kalau tidak ada nash yang sah –misalnya karena ada sebagian Hadis lemah– atau tidak ada nash yang tegas (sharih) yang menunjukkan haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah.

Ulama-ulama Islam mendasarkan ketetapannya, bahwa segala sesuatu asalnya mubah, seperti tersebut di atas, dengan dalil ayat-ayat Al Quran yang antara lain:

“Dialah Zat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya.” (Al Baqarah: 29)

“(Allah) telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya daripadaNya.” (Al Jatsiyah: 13)

“Belum tahukah kamu, bahwa sesungguhnya Allah telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi; dan Ia telah sempurnakan buat kamu nikmat-nikmatNya yang nampak maupun yang tidak nampak.” (Luqman: 20)

Allah tidak akan membuat segala-galanya ini yang diserahkan kepada manusia dan dikurniakannya, kemudian Dia sendiri mengharamkannya. Kalau tidak begitu, buat apa Ia jadikan, Dia serahkan kepada manusia dan Dia kurniakannya?

Beberapa hal yang Allah haramkan itu, justeru karena ada sebab dan hikmat, yang –insya Allah– akan kita sebutkan nanti.

Dengan demikian arena haram dalam syariat Islam itu sebenarnya sangat sempit sekali; dan arena halal malah justeru sangat luas. Hal ini adalah justeru nas-nas yang sahih dan tegas dalam hal-haram, jumlahnya sangat minim sekali. Sedang sesuatu yang tidak ada keterangan halal-haramnya, adalah kembali kepada hukum asal yaitu halal dan termasuk dalam kategori yang dima’fukan Allah.

Untuk soal ini ada satu Hadits yang menyatakan sebagai berikut:

“Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka dia adalah halal, dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram; sedang apa yang Ia diamkannya, maka dia itu dibolehkan (ma’fu). Oleh karena itu terimalah dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa sedikitpun.” Kemudian Rasulullah membaca ayat: dan Tuhanmu tidak lupa.[1]  (Riwayat Hakim dan Bazzar)

“Rasulullah s.aw. pernah ditanya tentang hukumnya samin, keju dan keledai hutan, maka jawab beliau: Apa yang disebut halal ialah: sesuatu yang Allah halalkan dalam kitabNya; dan yang disebut haram ialah: sesuatu yang Allah haramkan dalam kitabNya; sedang apa yang Ia diamkan, maka dia itu salah satu yang Allah maafkan buat kamu.” (Riwayat Tarmizi dan lbnu Majah)

Rasulullah tidak ingin memberikan jawaban kepada si penanya dengan menerangkan satu persatunya, tetapi beliau mengembalikan kepada suatu kaidah yang kiranya dengan kaidah itu mereka dapat diharamkan Allah, sedang lainnya halal dan baik.

Dan sabda beliau juga,

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)

Di sini ingin pula saya jelaskan, bahwa kaidah asal segala sesuatu adalah halal ini tidak hanya terbatas dalam masalah benda, tetapi meliputi masalah perbuatan dan pekerjaan yang tidak termasuk daripada urusan ibadah, yaitu yang biasa kita istilahkan dengan Adat atau Mu’amalat. Pokok dalam masalah ini tidak haram dan tidak terikat, kecuali sesuatu yang memang oleh syari’ sendiri telah diharamkan dan dikonkritkannya sesuai dengan firman Allah:

“Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu.” (Al An’am: 119)

Ayat ini umum, meliputi soal-soal makanan, perbuatan dan lain-lain.

Berbeda sekali dengan urusan ibadah. Dia itu semata-mata urusan agama yang tidak ditetapkan, melainkan dari jalan wahyu. Untuk itulah, maka terdapat dalam suatu Hadis Nabi yang mengatakan:

“Barangsiapa membuat cara baru dalam urusan kami, dengan sesuatu yang tidak ada contohnya, maka dia itu tertolak.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Ini, adalah karena hakikat agama –atau katakanlah ibadah– itu tercermin dalam dua hal, yaitu:

  1. Hanya Allah lah yang disembah.
  2. Untuk menyembah Allah, hanya dapat dilakukan menurut apa yang disyariatkannya.

Oleh karena itu, barangsiapa mengada-ada suatu cara ibadah yang timbul dari dirinya sendiri –apapun macamnya– adalah suatu kesesatan yang harus ditolak. Sebab hanya syari’lah yang berhak menentukan cara ibadah yang dapat dipakai untuk bertaqarrub kepadaNya.

Adapun masalah Adat atau Mu’amalat, sumbernya bukan dari syari’, tetapi manusia itu sendiri yang menimbulkan dan mengadakan. Syari’ dalam hal ini tugasnya adalah untuk membetulkan, meluruskan, mendidik dan mengakui, kecuali dalam beberapa hal yang memang akan membawa kerusakan dan mudharat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sesungguhnya sikap manusia, baik yang berbentuk omongan ataupun perbuatan ada dua macam: ibadah untuk kemaslahatan agamanya, dan kedua adat (kebiasaan) yang sangat mereka butuhkan demi kemaslahatan dunia mereka Maka dengan terperincinya pokok-pokok syariat, kita dapat mengakui, bahwa seluruh ibadah yang telah dibenarkannya, hanya dapat ditetapkan dengan ketentuan syara’ itu sendiri.”

Adapun masalah Adat yaitu yang biasa dipakai ummat manusia demi kemaslahatan dunia mereka sesuai dengan apa yang mereka butuhkan, semula tidak terlarang. Semuanya boleh, kecuali hal-hal yang oleh Allah dilarangnya Demikian itu adalah karena perintah dan larangan, kedua-duanya disyariatkan Allah. Sedang ibadah adalah termasuk yang mesti diperintah. Oleh karena itu sesuatu, yang tidak diperintah, bagaimana mungkin dihukumi terlarang.

Imam Ahmad dan beberapa ahli fiqih lainnya berpendapat: pokok dalam urusan ibadah adalah tauqif (bersumber pada ketetapan Allah dan Rasul). Oleh karena itu ibadah tersebut tidak boleh dikerjakan, kecuali kalau ternyata telah disyariatkan oleh Allah. Kalau tidak demikian, berarti kita akan termasuk dalam apa yang disebutkan Allah:

“Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah?” (Asy Syura: 21)

Sedang dalam persoalan Adat prinsipnya boleh. Tidak satupun yang terlarang, kecuali yang memang telah diharamkan. Kalau tidak demikian, maka kita akan termasuk dalam apa yang dikatakan Allah:

“Katakanlah! Apakah kamu sudah mengetahui sesuatu yang diturunkan Allah untuk kamu daripada rezeki, kemudian kamu jadikan daripadanya itu haram dan halal? Katakanlah! Apakah Allah telah memberi izin kepadamu, ataukah kamu memang berdusta atas (nama) Allah?” (Yunus: 59)

Ini adalah suatu kaidah yang besar sekali manfaatnya. Dengan dasar itu pula kami berpendapat: bahwa jual-bell, hibah, sewa-menyewa dan lain-lain adat yang selalu dibutuhkan manusia untuk mengatur kehidupan mereka seperti makan, minum dan pakaian. Agama membawakan beberapa etika yang sangat baik sekali, yaitu mana yang sekiranya membawa bahaya, diharamkan; sedang yang mesti, diwajibkannya. Yang tidak layak, dimakruhkan; sedang yang jelas membawa maslahah, disunnatkan.

Dengan dasar itulah maka manusia dapat melakukan jual-beli dan sewa-menyewa sesuka hatinya, selama dia itu tidak diharamkan oleh syara’. Begitu juga mereka bisa makan dan minum sesukanya, selama dia itu tidak diharamkan oleh syara’, sekalipun sebagiannya ada yang oleh syara’ kadangkadang disunnatkan dan ada kalanya dimakruhkan. Sesuatu yang oleh syara’ tidak diberinya pembatasan, mereka dapat menetapkan menurut kemutlakan hukum asal.[2]

Prinsip di atas, sesuai dengan apa yang disebut dalam Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Jabir bin Abdillah, ia berkata:

“Kami pernah melakukan ‘azl[3], sedang waktu itu Al Quran masih turun; kalau hal tersebut dilarang, niscaya Al Quran akan melarangnya.”

Ini menunjukkan, bahwa apa saja yang didiamkan oleh wahyu, bukanlah terlarang. Mereka bebas untuk mengerjakannya, sehingga ada nash yang melarang dan mencegahnya.

Demikianlah salah satu daripada kesempurnaan kecerdasan para sahabat.

Dan dengan ini pula, ditetapkan suatu kaidah: “Soal ibadah tidak boleh dikerjakan kecuali dengan syariat yang ditetapkan Allah; dan suatu hukum adat tidak boleh diharamkan, kecuali dengan ketentuan yang diharamkan oleh Allah.”


[1] Maryam

[2] Qawaidun Nuraniyah Al Fiqhiyah oleh Ibnu Taimiyah, hal 112-113.

[3] ‘Azl yaitu mengeluarkan mani di luar kemaluan perempuan ketika bersanggama.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-10 Prakata 114 Tips Murabbi Sukses

Satria-Hadi-Lubis.jpg

Segala puji bagi Allah, yang ditangan-Nyalah terletak segala kekuasaan. Salam dan sholawat kepada pemimpin umat manusia, Nabi Muhammad saw, beserta para sahabatnya, yang merupakan kumpulan orang-orang terbaik sepanjang masa.

Buku yang berjudul 114 Tips Murabbi Sukses ini merupakan sumbangan kecil dari kami kepada para murabbi dan calon murabbi. Kami berharap mereka menjadikan buku ini sebagai wacana peningkatan kemampuan membina halaqah. Kami tidak mengklaim apa yang kami tulis ini sebagai satu-satunya tips menjadi murabbi sukses. Mungkin, para murabbi lain mempunyai tips berbeda yang juga berhasil mengantarkan mad’u-mad’unya menjadi kader dakwah yang iltizam (komitmen) kepada Islam. Namun, berdasarkan “riset” kami, tips yang tercantum dalam buku ini cukup berhasil diterapkan oleh sebagian murabbi dalam mengantarkan halaqahnya menuju keberhasilan.

Selain itu, latar belakang penulisan buku ini juga didasari oleh kondisi saat ini yang memang membutuhkan lahirnya murabbi-murabbi handal sebagai ujung tombak dakwah khashah (khusus). Kami yakin, kejayaan Islam adalah suatu keniscayaan. Dan hal itu tak mungkin terwujud tanpa lahirnya murabbi-murabbi yang siap mencurahkan segala  kemampuannya untuk membimbing umat ke arah cahaya-Nya. Kami berharap untuk itulah buku ini ada.

Murabbi adalah orang yang memimpin jalannya halaqah (pengajian kelompok, mentoring, usroh, ta’lim, dan sejenisnya). Di beberapa kalangan aktivis dakwah, murabbi juga disebut dengan ustadz, mentor, pembina, naqib, mas’ul dan qiyadah. Apapun istilahnya, murabbi berperan strategis untuk menumbuhkan kader-kader dakwah yang berkualitas. Hal ini sudah dibuktikan oleh berbagai kelompok pergerakan Islam (harakah) di seluruh dunia.

Namun dalam realitanya, menjadi murabbi bukanlah pekerjaan mudah. Ada berbagai kendala dan persoalan yang menghadang seseorang untuk menjadi murabbi sukses.

Karena itu, di dalam buku ini penulis mencoba menawarkan berbagai tips (kiat) untuk menjadi murabbi yang sukses memimpin halaqah. Dengan harapan agar para pembaca – khususnya mereka yang akan atau telah menjadi murabbi— bertambah keterampilannya sebagai murabbi.

Kami berupaya membahas berbagai tips menjadi murabbi sukses ini dengan pembahasan yang praktis dan menghindari teori yang panjang lebar. Tujuannya agar Anda, para pembaca, dapat dengan cepat dan mudah memahaminya.

Apabila Anda telah berkesempatan membaca buku ini, silakan beri kami umpan balik. Umpan balik para pembaca begitu penting sehingga kami merasa perlu memasukkan Formulir Umpan Balik pada buku ini. Anda bisa mengirimkannya melalui faks ke Lembaga Pelatihan Manajemen LP2U (021) 5494719.

Jika pembaca ingin berkonsultasi atau mengikuti pelatihan yang khusus membahas apa yang disampaikan pada buku ini, silakan hubungi kami di Lembaga Pelatihan Manajemen LP2U Jl. Anggrek Nelimurni Blok B No. 12 Slipi – Jakarta Barat, Telp. (021) 5494719, Faks. (021)53678452, Email: lp2u_center@lycos.com.

Akhirnya, ucapan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas selesainya penulisan buku ini. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Kingkin Anida, isteri dan kekasih yang selalu memberikan dukungan dan masukan yang berharga. Juga kepada anak-anak kami, Syahid, Faris, Sajjad, Fauzan, Sania, yang celotehnya menjadi “musik” yang mengiringi penulisan buku ini. Tak lupa juga kepada Bang Tizar –orang yang memperkenalkan penulis pada dunia “kemurabbian”— dan rekan-rekan lainnya yang tak dapat kami sebutkan satu persatu.

Selamat membina !

Satria Hadi Lubis


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-11 Imtidad Ad Da`wah

Hilmi-Aminuddin.jpg

Agar al-imtidadud da’awi (penyebaran pertumbuhan da’wah) semakin berpengaruh dalam perubahan, pembinaan, dan siyaghatu al-binaai al-ijtima’i (penataan struktur kemasyarakatan), tidak cukup hanya kita respon dengan al imtidad at tanzhimi (penyebaran pertumbuhan struktur dakwah). Begitu pula agar struktur kemasyarakatan ini semakin dekat dengan siyaghatu al-binaai al-Islamiy (tatanan struktur masyarakat islami), tidak cukup hanya kita respon dengan al-imtidadud tanzhimi, memperluas dan memperlebar struktur kita.

Respon-respon structural itu harus ditindaklanjuti dengan al imtidad at tarbawi (pengembangan pembinaan). Hajman wa waznan, baik kapasitas ataupun bobotnya. Pengembangan tarbiyah yang sudah merupakan pekerjaan kita sehari-hari dan merupakan basis operasional, harus kita kembangkan kapasitas daya tampungnya. Sudah banyak yang menunggu untuk ditarbiyah. Sekarang tidak terbatas pada level mahasiswa, pemuda, atau akademisi. Para professional, pengusaha, praktisi bisnis, banyak yang menunggu untuk ditangani secara tarbawi. Sehingga kapasitas tarbiyah kita harus meningkat. Efeknya, tuntutan kepada pengembangan manhaj tarbiyah pun harus meningkat.

Pendekatan tarbiyah untuk pemuda dan mahasiswa berbeda dengan pendekatan tarbiyah kepada alim ulama dan mubaligh. Berbeda pula dengan para professional, praktisi bisnis, dan lain-lain. Oleh karena itu, fann at-tarbawi, penguasaan teknis operasional tarbiyah harus semakin meningkat. Agar kapasitas tarbiyah daya tampungnya semakin luas.

Untuk menjaga kapasitas, daya dan bobot tarbiyah, jangan sampai tarbiyah kita berkembang nuansanya menjadi ta’lim, apalagi tabligh. Karena ta’lim itu tazwidul ‘ilm (pembekalan ilmu), dan tabligh itu tazwidul ma’lumat (pembekalan informasi). Sedangkan tarbiyah merupakan tashihul aqidah, tashihul fikrah, tashihul akhlaq, dan tashihul ‘ibadah. Sehingga bobot taujihnya harus sangat menyentuh mafatihul uqul, mafatihul qulub, wa mafatihun nufus. Harus membuka kunci-kunci jiwa, hati, dan akal manusia. Tarbiyah harus lebih menggugah, lebih berkesan, dan lebih membangkitkan. Sebab tarbiyah bukan talqinul ulum.

Lapisan pendukung dan simpatisan dakwah menunggu penanganan kita. Kalau mereka merasakannya sama dengan majelis ta’lim umum, bahkan naudzubillah dirasakan sama dengan dakwahtainment, maka itu tidak akan menghasilkan potensi dakwah. Ini harus ditata. Karena tarbiyah itu merupakan kerja pertama dan utama jama’ah dakwah kita untuk membangun potensi SDMnya.

Walaupun begitu, tarbiyah, sebagai upaya manusia, bisa saja—naudzubillah—terjadi infilath tarbawi/falatan tarbawi. Artinya hasil tarbiyah yang tidak terkontrol. Hasil kerja keras dan pengorbanan kita, bisa saja natijahnya jelek. Tidak saesuai dengan yang kita inginkan. Infilat tarbawi biasanya berbentuk:

  1. Munculnya tasyaddud, sikap eksklusif, ekstrim, dan merasa benar sendiri. Ini harus dipantau. Padahal kita memiliki pandangan ijabiyah ru’yah (memandang sisi positif). Pada hakekatnya kebaikan itu ada di mana-mana. Cuma ada yang terkonsolidasi oleh kita dan ada yang belum.
  2. Bersikap kamaliyat (perfeksionis). Seolah-olah tarbiyah itu targetnya menciptakan insan malaki, manusia berkualitas malaikat. Ini juga bentuk infilat tarbawi, bentuk penyimpangan.
  3. Bentuk infilath tarbawi yang lain adalah juz’iyyah. Hanya menukik di sector tertentu saja. Misalnya ruhiyah saja, sementara fikriyah kurang berkembang. Sehingga pertumbuhan cara berfikirnya ketinggalan. Tidak mampu menghadapi komunikasi fikriyah seperti yang kita jumpai di lapangan setelah musyarokah ini. Atau hanya menukik di bidang fikriyah atau siyasah saja. Padahal yang kita harapkan adalah tarbiyah yang integral dan terpadu.

Selain imtidad tarbawi, pertumbuhan dakwah kita juga menuntut imtidad tsaqafy. Kita harus belajar dan belajar, terus menerus. Kita harus mau membaca dan membaca. Baik bacaan yang tertulis di buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, radio atau TV. Juga membaca kehidupan masyarakat. Ini semua penting. Sehingga tsaqofah kita berkembang, tidak ketinggalan di segala sector.

Kita bergaul dengan mereka yang beraneka ragam keyakinan, beraneka ragam latar belakang ideology, pendidikan, budaya, dan bahkan kepentingannya. Supaya kita tidak gagap, kekurangan modal ketika menghadapi mereka, maka tsaqofah kita harus ditingkatkan. Bagi yang masih mempunyai kesempatan belajar formal, silahkan tingkatkan. Apakah S1, S2, S3, kalau ada S4 kita masuki. Bagi yang pendidikan formalnya sudah tertib, maka informalnya harus iqro’, terus membaca. Memang kalau kita tidak pandai memenej waktu, tazwidul tsaqafah (pembekalan wawasan) ini akan merosot.

Imtidad tsaqofiy—hazman waznan—harus ditingkatkan. Apalagi ajaran Islam mengajarkan bahwa thalabul ‘ilmi itu minal mahdi ilal lahdi. Menuntut ilmu itu dari bauaian hingga liang kubur. Uthlubul ‘ilma walau bi shin. Walaupun di Cina. Padahal waktu itu dakwah Islam belum sampai ke Cina. Tapi kata Rasul carilah ilmu itu sampai ke negeri Cina.

Jama’ah kita ini, di mana pun, terkenal sebagai madrasah, di mana di dalamnya selalu belajar dan meningkatkan diri, sudah menjadi shibghoh yaumiyah, warna keseharian kita.

Imtidad fanni, penguasaan teknik operasional sesuai bidang dan tugas kerja kita, baik kerja tanzhimiyah atau kerja professional. Penguasaan teknis secara lebih mengerucut sesuai dengan latar belakang tugas kita semakin penting.

Berikutnya adalah imtidad idari. Organisasi kita semakin besar, memerlukan manajerial yang tangguh. Sesuai dengan karakter organisasi jama’ah kita, adalah bukan karakter birokrasi, tapi karakter mutathowwi’in (sukarela). Oleh karena itu kita harus membagi pendelegasian wewenang, tugas-tugas secara lebih merata dan lebih meluas. Mungkin kalau dilihat dari sudut pandang birokrasi—perusahaan atau pemerintahan—organisasi kita amat bengkak. Karena kita ini tidak ada keterkaitan antara penugasan dengan standar gaji. Kalau pun ada, itu sifatnya hanya ta’awun. Itu pun jauh dari standar untuk ma’isyah. Karena kaitannya bukan ma’isyah, tapi lebih kepada muwasholah (penyambung) saja.

Karakter organisasi yang mutathowwi’in, sukarelawan ini, tugasnya harus terbagi. Kewenangan didelegasikan d I dalam bidang-bidang. Kalau ada pos-pos yang kurang berjalan, kita tingkatkan agar lebih mampu berjalan dan memikul tugas secara lebih baik. Bukan dengan cara ditekel/diambil. Kita berusaha untuk meningkatkan para penjaga pos agar bertugas secara bertahap. Agar terbagi secara baik, terlaksana melalui proses ta’awanu ‘alal birri wat taqwa. Ini karena tanzhim kita adalah tanzhim mutatowwi’in, bukan birokrasi.

Karakter organisasi lain, yang terkenal sibuk dan bekerja adalah ketua dan sekretaris. Di organisasi kemasyarakatan itu hal biasa. Mudah-mudahan, insya Allah, itu tidak akan merembes kepada kita. Kita sudah terbagi, semua bekerja, yang penting adalah tanasuq dzaatii. Singkronisasi antar komponen organisasi dalam bidang tertentu, dan singkronisasi antara bidang dengan bidang yang lain. Setiap potensi kader harus termanfaatkan. Dengan begitu semakin meningkat kapasitas, bobot, dan kompetensinya.

Selanjutnya al imtidad al iqtishadiy (perkembangan ekonomi). Sampai sekarang pembiayaan dakwah kita masih dalam level konvensional melalui tadhiyyah dari ikhwan dan akhwat, dari ta’awun ikhowi yang luar biasa. Tentu berkahnya tidak diragukan. Tapi kalau diakaitkan dengan tugas berat ke depan, pengembangan ekonomi dakwah harus semakin professional. Basis ta’awun dan tadhiyyah harus selalu terpelihara, karena itu adalah modal awal. Tapi kalau modal awal itu tidak berkembang menjadi professional, maka akan banyak pembiayaan-pembiayaan dakwah yang tidak tertangani secara konvensional.

Sudah barang tentu, Allahu Ghaniyyun Karim. Semua sumber kekuatan, termasuk sumber ekonomi adalah dari Allah SWT. Tapi Allah memerintahkan kita bekerja. Rasulullah SAW pernah melihat seseorang yang setiap hari nongkrong terus di masjid. Beliau bertanya, “Siapa yang member nafkah dia?”. Sahabat menjawab, “Saudaranya”. Kata Rasulullah: “Saudaranya itu lebih baik dari dia”.

Umar bin Khattab juga melihat fenomena serupa. Ada orang terus menerus berdo’a di masjid. Kata beliau, “Alaa ta’khudzu fa’san, litahtathibu?” Mengapa kamu tidak ambil kampak, agar kamu mencari kayu. “Fa innas samaa la tumthiru dzahaban wa la fidhdhoh”, sesungguhnya langit tidak akan pernah hujan emas atau perak. Allah akan menurunkan rizki—apalagi rizki untuk dakwah, yang penting kita tampil di hadapan Allah dengan kerja keras.

Sudah tentu ini untuk para ikhwan dan akhwat yang mempunyai bakat di bidangnya. Kalau tidak mempunyai bakat jangan di dorong-dorong. Karena ada dua kerugiannya: bisnis rusak, dakwah rusak.

Disinilah kemudian peran takaful-ta’awun. Kita bakatnya berbeda-beda. Ada yang tumbuh dengan bakat ekonomi, bakat politik, bakat budaya, bakat kerja di charity. Dari semua bakat yang tumbuh ini terjadi ta’awun dan takaful, saling menopang.

Rasa berbagi dari ikhwah yang sukses ekonominya kepada ikhwan yang menekuni bidang lain harus ditumbuh suburkan. Supoaya tidak aka nada komentar dari masyarakat, “Kasihan itu ustadz, dibiarin sama ikhwannya” Walaupun ikhwan akhwat itu ikhlas, tekun menekuni bidangnya walaupun tidak berefek secara ekonomi. Tapi masyarakat yang akan berkomentar. Banyakl komentar itu dating kepada saya. Biasanya selagi masih dapat saya tangani, saya akan tangani sendiri. Kalau tidak, biasanya saya transfer ke ikhwan lain. Tapi kita tentu tidak harus menunggu komentar dari masyarakat. Maka, ikhwah harus mempunyai semangat berbagi. Alhamdulillah, beberapa ikhwah yang ekonominya baik, mempunyai daftar kafalah untuk ikhwah lain. Kalau kebiasaan ini ditumbuh suburkan, Insya Allah semakin berkah dakwah kita.

Perkembangan ekonomi ini, baik kapasitas atau bobotnya harus meningkat. Dari dulu sering saya komentari, Alhamdulillah pertumbuhan ekonomi di liqo’at/halaqoh itu berkah. Tapi pasar itu lebih luas dari halaqoh. Ketika dating ke halaqoh ada yang bawa jilbab, yang ini bawa barang lainnya, insya Allah berkah. Tapi untuk ekonomi dakwah itu kurang. Salah satu yang dibangun Rasulullah SAW setelah hijrah itu adalah pasar. Maka semuanya harus seimbang anatara pertumbuhan tanzhimi, tarbawi, tsaqofi, fanni, idari, dan iqtishady.

Berikutnya adalah factor ijtima’i. Komunikasi social kita harus diperluas. Dalam hal komunikasi social, tidak perlu memakai taqwim nukhbawi (ukuran kader). Kita perluas komunikasi social kita, lintas partai, jama’ah, agama, dan etnis. Kita lakukan komunikasi secara luas. Karena keragaman atau pluralitas itu adalah fitrah. Rasulullah SAW juga mengembangkan hubungan secara luas. Bahkan ada komunikasi social yang jarang terungkap dari sirah nabawiyah, yang disampaikan Abu Bakar Shiddiq. Ketika menjadi khalifah pertama, beliau sangat memperhatikan kebijakan dan kebiasaan Rasulullah SAW.

Salah satunya, ternyata Rasulullah SAW melakukan komunikasi yang sangat baik dan akrab dengan seorang Yahudi yang buta matanya. Setiap pagi Rasulullah SAW datang mengantar roti dan susu. Orang Yahudi ini sudah tua dan giginya ompong. Kalau diberi roti yang kering dan ada air, roti itu dicelupkan. Kalau tidak ada, dikunyahkan Rasulullah, setelah itu disuapkan kepada orang Yahudi itu. Peristiwa itu hanya diketahui Abu Bakar.

Begitu Rasulullah wafat, Abu Bakar menggantikannya. Karena Yahudi ini buta, ia tidak tahu pada Abu Bakar. Ketika Abu Bakar menyuapkan roti, Yahudi itu berkata, “Siapa kamu?” Abu Bakar menjawab, “Saya biasa datang setiap pagi”—maksudnya menemani Rasulullah. Orang Yahudi berkata, “Tapi rasanya tidak begini, dia lebih halus dan lebih hangat”. Abu Bakar pun menangis.Ini adalah komunikasi lintas agama, dan itu merupakan bentuk riil dari rahmatan lil alamin. Sampai orang Yahudi pun menikmati Islam dalam keyahudiannya. Orang Kristen menikmati Islam dalam kekristenannya.

Walaupun entitas non muslim minoritas di Indonesia, tetap harus terjangkau oleh komunikasi social. Di lingkungan umat Islam diperkokoh. Jangan terhambat oleh beda yayasan, beda organisasi, beda partai. Kita harus terbuka. Kalau mereka mulutnya usil kepada kita, kita maafkan. Karena kita kader dakwah. Kadang-kadang ada organisasi yang terkontaminasi oleh kepentingan partai tertentu, lalu usil kepada kita. Maka kita harus lebih dewasa meresponnya. Tidak perlu terprovokasi oleh sifat-sifat yang kita yakini bukan sifat asli dari organisasi itu. Sekedar terkontaminasi, terkotori oleh kepentingan partai tertentu. Kita jangan mudah terpancing untuk kemudian ketus atau menjadi cuek kepda organisasi itu. Mereka tetap ikhwan kita, saudara kita seiman.

Alaqoh ijtima’i diperluas. Agar kehadiran kita diterima secara baik oleh seluruh komponen masyarakat, lintas partai, agama, dan organisasi. Kalaupun masih ada resistensi, itu bagian kecil dan biasanya berwarna ideologis politik.

Dalam berkomunikasi, prinsipnya, “sayyidul qaumi khadimuhum”, selalu berkhidmat. Dalam Islam, khidmat itu sampai ke tingkat “tabassumuka fi wajhika li akhika laka shadaqah”. Murah senyum, ramah, santun, itu merupakan modal dasar bagi komunikasi social kita.

Ini bagian dari tanhidiyah kita menuju mihwar daulah. Agar tingkat resistensi kehadiran kita di tengah-tengah pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara semakin kecil. Karena masyarakat melihat realitas fenomena kesantunan, keramahan, dan keterbukaan kita dalam komunikasi, insya Allah resistensi itu semakin mengecil, ia akan selalu ada, tapi akan bisa kita kurangi.

Berikutnya, imtidad siyasi. Ruang lingkup komunikasi politik harus diperluas. Kemampuan berkomunikasi politik sangat besar pengaruhnya. Komunikasi politik itu mencari kemungkinan-kemungkinan di tengah ketidakmungkinan. Mencari titik temu bersama. Kita kelola dengan baik, supaya tidak ada benturan yang tidak perlu. Kita memerlukan peluang dan ruang pertumbuhan. Untuk menjamin keamanan, ruang dan peluang pertumbuhan, kita harus mengurangi komplikasi-komplikasi politik dengan pihak manapun agar kita mencapai posisi yang aman, bahkan sampai ke posisi dominan. Peluang-peluang kita terbuka banyak. Itu harus kita manfaatkan untuk lebih mengokohkan dakwah dan memperbesar dakwah.

Terakhir, imtidad i’lami. Pertumbuhan di sektor media massa. Memang beberapa factor yang mencuat dan dianggap kendala adalah pembiayaan. Tapi ‘ala kulli hal, masalah i’lam (media) ini perlu dikemas secara baik. i’lam yang paling mendasar dalam gerakan dakwah ini adalah performance dari setiap diri kita. Setiap kita harus memancarkan sum’ah thayyibah (aroma yang baik) bagi jama’ahnya. Itulah modal dasar i’lam.

Di tahun 50-an Sayyid Qutb pernah didatangi banyak aktivis Islam. Mereka mengeluh tentang i’lam. Ada yang berbicara kurang modal, ada yang berbicara masalah keamanan. Ada yang mengeluh majalah-majalahnya sering dibredel, diberangus, dicabut izinnya, atau kantornya digerebek. Sayyid Qutb berkata, “I’lam asasi adalah anfusuhum”. Media utama adalah diri kader itu sendiri.

Mrengelola i’lam ini terkadang gamang. Apakah ini tidak termasuk riya, apa tidak merusak zuhud kita, merusak tawadhu kita?

Kalau kita mengumumkan hal-hal yang terkait dengan pribadi, milik kita atau orang lain secara pribadi, itu baru bermasalah. Tapi kalau terkait dengan kepentingan public, yang kita kerjakan, itu justru diperlukan. Untuk merangsang orang lain mengikuti, membantu, dan mendukungnya. Sikap-sikap kita yang membela umat harus ditampilkan. Bahkan itu bisa wajib, karena mendukung eksisistensi dakwah kita, pertumbuhan dakwah kita.

Faktor-faktor tadi secara simultan bergerak, tumbuh, mutawazin, berkembang. Insya Allah dakwah ini bukan hanya berkembang, tapi pengaruhnya, suaranya mudah didengar. Komentarnya mudah diikuti. Kritiknya mudah diterima. Karena kapasitas dan bobot tanzhimi, tarbawi, tsaqofy, fanni, idari, iqtishady, ijtima’i, siyasi, dan i’lami terkelola, terkemas secara baik, simultan dan seimbang.

Insya Allah ini akan menjadi modal agar dakwah dan jama’ah kita berpengaruh. Jika berbicara didengar, Jika bertindak terasa.

Insya Allah jama’ah dakwah kita semakin berbobot. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan taufiq, ri’ayah, inayah. Memberikan tamkin kepada kita. Sehingga semakin mendekatkan diri kita kepada ridha Allah sampai padali i’lai kalimatillahi hiyal ‘ulya.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-11 Pengantar Kebebasan Wanita (2)

Yusuf-Al-Qardhawi.jpg

Ketika membaca buku Muhadharutul Udaba’ karangan Ar Raghib Al Ashfahani, saya menemukan keterangan bahwa beliau menyediakan bab khusus mengenai anak perempuan dengan judul Fa’idatu Mautiha wa Tamanihi (Manfaat Kematian Anak Perempuan dan Mendambakan Kematiannya). Beliau memulai pembahasan dengan perkataan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik mertua/ipar adalah kubur,” dan “Menguburkan anak-anak perempuan merupakan salah satu kemuliaan.” Kedua hadits tersebut tergolong pada sebagian dari hadits-hadits maudhu’ dan mendustakan Rasulullah saw. Pada dasarnya, buku-buku sastra tidak dapat dijadikan sumber pengambilan hadits-hadits Nabi saw. Hanya saja, sebagian orang tidak mampu melakukan evaluasi atau penilaian terhadap sumber rujukan, sekaligus tidak mampu membedakan satu riwayat dengan yang lainnya. Mereka mengira bahwa semua yang terdapat dalam buku adalah keterangan yang dapat dipercaya. Apalagi jika ternyata penulisnya adalah orang yang ternama dan populer dalam dunia ilmu pengetahuan dan pemikiran seperti halnya Ar Raghib Al Ashfahani. Beliau adalah penulis buku Mufradatul Qur’an, Ad Dzrari’ah ila Makarimisy Syariah, dan lain-lain. Namun, ada yang mereka lupakan bahwa seseorang itu dapat saja menjadi figur dalam salah satu bidang ilmu pengetahuan, tetapi dalam bidang yang lain dia buta atau semibuta. Banyak di antara mereka yang tidak memperhatikan hal itu, sebagaimana telah diingatkan oleh Imam Al Ghazali dalam bukunya yang berjudul Al Munqidz minadh Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan).

Mereka yang berhaluan keras menjadikan kehidupan wanita bagaikan penjara yang tidak tembus ke dalamnya walaupun seberkas cahaya. Karena itulah, wanita tidak boleh keluar rumah, pergi ke masjid, tidak dianjurkan berbicara dengan kaum laki-laki –meskipun dengan cara yang sopan. Muka dan telapak tangannya adalah aurat, begitu pula suara dan pembicaraannya. Bahkan sampai pada pelarangan menggunakan pakaian putih yang biasa dilakukan oleh wanita-wanita Mesir sejak dahulu ketika mereka menunaikan ibadah haji dan umrah. Ketika ditanyakan alasan pelarangannya, mereka menjawab bahwa perbuatan tersebut menyerupai laki-laki! Padahal, dalam soal berpakaian, Allah memberikan kelonggaran bagi wanita dalam hal yang tidak diperbolehkan bagi kaum laki-laki, misalnya pengharaman memakai perhiasan emas dan mengenakan pakaian yang terbuat dari sutera bagi kaum laki-laki.

Kebalikan dari mereka yang menyia-nyiakan, menyepelekan, dan mempecundangi hak wanita, kita temukan pula kelompok lain yang berlebihan dalam urusan wanita, sehingga melangkahi hukum Allah serta melampaui garis fitrah dan akhlak mulia yang telah ditetapkan agama. Jika kelompok pertama tadi menjadi tawanan tradisi Timur yang diwarisi turun-temurun, maka kelompok kedua ini menjadi tawanan tradisi Barat.

Saya melihat kelompok kedua ini ingin mengikis semua bentuk perbedaan antara laki-laki dan wanita sebab keduanya sama-sama manusia, hanya yang satu dilahirkan sebagai laki-laki dan yang satu lagi sebagai wanita. Menurut mereka, mengapa harus ada perbedaan antara keduanya? Mereka telah lupa bahwa Allah menciptakan kedua insan dengan perbedaan dalam struktur fisik untuk suatu tujuan yang sangat besar dan mulia. Mereka memiliki misi dalam kehidupan ini yang sesuai dengan tabiat dan keahlian masing-masing. Menjadi ibu dengan segala ciri, kelebihan, dan beban deritanya merupakan inti misi kaum wanita. Inilah yang membuat wanita lebih banyak tinggal di rumah dibandingkan dengan kaum laki-laki.

Kalau memang sudah diciptakan dalam bentuk yang berbeda dari segi ciptaannya, hal itu tidak boleh kita abaikan, terutama dalam merancang pendidikan dan pekerjaan bagi wanita, dan hal seperti itu telah mendapat perhatian dari ilmu modern pada zaman sekarang ini. Kita lihat, sebagian orang secara membabi buta menolak nash-nash sahih yang sudah mapan tanpa penjelasan, seperti yang dilakukan oleh seorang satrawan wanita terkenal. Ketika menyampaikan ceramah di Qatar, dia menolak mentah-mentah hadits: “Tidak akan berhasil suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita.” Padahal hadits itu adalah hadits sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitabnya dan diterima secara bulat oleh para ulama dan tidak ada yang mempermasalahkannya sejak beberapa abad yang silam. Lebih aneh lagi, salah seorang penulis menolak hadits ini dan menganggapnya sebagai hadits bohong dan palsu, sebab menurut pandangannya hadits ini berlawanan dengan hadits sahih yang berbunyi: “Ambillah separuh agamamu dari wanita yang pipinya merah ini (maksudnya Aisyah r.a.)”

Bayangkan bagaimana dia menolak hadits sahih yang telah diterima secara bulat demi mempertahankan suatu hadits bohong dan batil yang tidak ada nilai dan bobotnya menurut neraca ilmu pengetahuan! Ada pula kita temukan orang yang ingin mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagi laki-laki, yaitu kawin kepada lebih dari seorang wanita bagi orang yang berkeinginan untuk itu atau merasa dirinya mampu dan yakin bahwa dia akan bisa berbuat adil. Mereka menyalahi apa yang sudah tetap dalam Al Qur’an dan perbuatan Rasulullah saw. beserta para sahabat dan Khulafaur Rasyidin. Begitu juga perbuatan generasi salaf pada zaman-zaman keemasan umat Islam, serta generasi khalaf (berikutnya) di berbagai belahan dunia dan berbagai masa, atau dalam semua mazhab umat sampai masa sekarang ini.

Bahkan adapula yang menghimbau agar diciptakan sistem yang membagi-bagikan harta warisan kepada wanita sama dengan bagian saudara laki-lakinya, menolak bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan, serta secara terang-terangan menyalahi nash Kitabullah, Sunnah Rasulullah saw., dan Ijma’ para ulama, baik dari segi fiqih maupun dalam bentuk perbuatan selama empat belas abad. Yang lebih mengherankan lagi, arus pemikiran tersebut telah melanda orang yang mengaku sebagai ahli agama. Mereka membuat keadaan menyimpang dari jalan yang benar. Mereka berbicara dengan mengatasnamakan Islam melalui pers dan media massa, lalu mereka berbicara mengenai Allah tanpa didasari ilmu pengetahuan yang benar. Di antara mereka itu ada yang tidak tahu atau berpura-pura tidak tahu mengenai hadits-hadits yang sahih dan jelas, dengan tujuan agar mereka dapat mengeluarkan fatwa yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh syariat Allah dan melegitimasi keadaan yang sedang berlaku, atau guna menghalalkan kebijakan-kebijakan penguasa yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Karena itu, Anda lihat mereka diam saja ketika muncul undang-undang yang memperbolehkan zina dan mereka ikut-ikutan menentang poligami.

Kita juga menemukan ulama yang memfatwakan bolehnya wanita memakai rambut palsu, padahal ada riwayat hadits sahih dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Aisyah, Asma, dan Mu’awiyah r.a. yang mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda: “Allah melaknat wanita yang menyambung dan minta disambung rambutnya.” Perbuatan menyambung rambut ini disebut oleh Rasulullah saw. sebagai pemalsuan, sebab si pelaku telah memalsukan keadaan yang sebenarnya, dan beliau mengisyaratkan bahwa yang demikian itu adalah perbuatan orang-orang Yahudi.

Serupa dengan itu orang yang memfatwakan bahwa pakaian yang memperlihatkan kedua siku dan betis atau rambut, atau pakaian tipis yang menerawang atau menampilkan bentuk dan lekuk-lekuk tubuh –seperti pakaian budaya bangsa Barat yang menyusup ke dalam masyarakat Islam–hanyalah dosa kecil yang bisa dihapuskan dengan melakukan shalat atau ibadah lainnya. Bodoh sekali orang yang berkata begitu. Sebab, Nabi saw. sendiri memasukkan wanita-wanita seperti itu ke dalam kelompok penghuni neraka yang “berpakaian telanjang”. Beliau pun memutuskan bahwa mereka tidak akan masuk surga bahkan tidak bisa mencium bau surga, padahal bau surga itu dapat dicium dari jarak yang sangat jauh. Wanita-wanita yang berpakaian telanjang adalah wanita yang pakaiannya tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan agama. Artinya mereka memakai pakaian yang masih menerawang dan menampilkan lekuk-lekuk dan bentuk tubuh, atau tidak menutupi bagian-bagian tubuh yang harus ditutupi. Jika dikatakan bahwa yang mereka lakukan itu hanya dosa kecil, tentu Nabi saw. tidak memutuskan mereka masuk neraka atau mengharamkan mereka dari surga walaupun sekadar mencium baunya.

Sekarang katakanlah kita menerima bahwa memakai pakaian yang tidak menutup aurat itu hanyalah dosa kecil. Apakah mungkin mereka tidak tahu bahwa berketerusan melakukan dosa kecil akan mengantarkan pelakunya pada dosa besar sebagaimana yang telah ditetapkan oleh ulama, sehingga mereka berkata: “Tidak ada dosa yang kecil kalau dilakukan secara terus-menerus dan tidak ada dosa yang besar jika disertai dengan istighfar.” Yang tepat dikatakan adalah bahwa sebagian besar dari orang-orang yang bersikap ekstrem dan berlebihan dalam meniru Barat adalah sebagai reaksi terhadap orang-orang yang bersikap ekstrem dan keterlaluan dalam meniru Timur, atau dengan kata lain mereka menjadi tawanan zaman kuno dan zaman modern. Sementara yang dituntut dari kita hanyalah tunduk dan patuh kepada petunjuk dan bimbingan Dinul Haq yang dibawa oleh Nabi kita, Muhammad saw. Karena itu, yang harus diambil adalah sikap yang mencerminkan sifat atau karakter pertengahan Islam yang tidak keterlaluan dan tidak pula menyepelekan suatu masalah, tidak melebihi dan tidak pula mengurangi. Itulah yang diisyaratkan Allah SWT dalam firman-Nya:

“Supaya kamu jangan melampaui batas dalam neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (Ar Rahman: 8-9)

Buku yang saya antarkan untuk pembaca sekarang ini dapat menjelaskan karakter pertengahan Islam tersebut dan menampilkan sikap Islam yang sebenarnya mengenai masalah yang sangat penting ini. Dalam masyarakat Islam masih bercampur aduk antara yang hak dan yang batil, jelasnya mengenai masalah wanita serta perannya dalam rumah tangga, masyarakat, dan kehidupan.

Penulis buku ini mulai menekuni masalah wanita muslimah sejak bertahun-tahun, ketika dia banyak sekali menemukan nash-nash yang berlawanan dengan sikap sebagian besar kaum muslimin yang keras dan kaku mengenai wanita. Semakin dalam kajian yang dia lakukan terhadap masalah ini, semakin bertambah kuat keyakinannya mengenai keluasan pandangan Islam terhadap wanita, kedudukan, dan peranan pentingnya di tengah keluarga dan di dalam kehidupan bermasyarakat.

Beliau semakin serius menangani masalah ini karena melihat sikap berlebihan dari sekelompok umat Islam dan sebagian para da’i dalam mengenali kaum wanita. Hal-hal itu menyebabkan kaum laki-laki dan wanita semakin jauh dari tuntunan Islam. Itu sama artinya dengan menyerahkan kepada orang-orang sekuler dan antiagama senjata yang dapat mereka gunakan untuk menghalangi para da’i dalam memecahkan berbagai problem kehidupan secara islami.

Dalam kajian ini, penulis buku ini tidak berpegang pada ucapan si fulan atau orang tertentu, tetapi membiarkan nash-nash berbicara dan menentukan hukum sendiri. Karena itu, banyak terdapat nash dalam buku ini yang secara sengaja dikemukakan begitu saja, sehingga nash itu sendiri dengan bahasa dan gayanya akan menjelaskan, menegaskan, dan menentukan nilai dan maksud yang dituju. Beliau tidak menukil/menyadur ucapan para ulama atau para pensyarah kecuali dalam batas yang wajar untuk sekadar menjelaskan hal-hal yang kurang jelas, samar-samar, atau ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai nash tersebut.

Kita benar-benar sedang menekuni suatu kajian ilmiah yang dapat dipercaya karena didukung oleh nash-nash yang sahih, diambil dari sumber-sumber yang paling dipercaya dan betul-betul dikuasai oleh penulisnya. Beliau mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, hati, ilmu, dan pengalaman sehingga membuahkan keberhasilan sampai ke tingkat yang begitu matang. Bahkan pada kenyataannya kita sedang menghadapi sebuah ensiklopedia yang sarat dengan masalah-masalah penting mengenai wanita muslimah, baik menyangkut kepribadian dan kedudukannya, pakaian dan perhiasannya, perannya di tengah keluarga dan masyarakat, pertemuannya dengan kaum laki-laki, hingga pada keterlibatannya dalam kehidupan sosial dan politik menurut pandangan nash-nash Al Qur’an, hadits, dan pemahaman ulama salaf terhadap nash-nash yang me-nyangkut masalah wanita tersebut.

Penulis buku ini, Profesor Abdul Halim Muhammad Abu Syuqqah, adalah seorang tokoh yang belum begitu dikenal di kalangan cendekiawan. Sebab, beliau belum banyak membuat tulisan yang membuat beliau dikenal orang atau dengan kata lain, belum banyak menurunkan tulisan yang dapat mempublikasikan siapa dirinya kepada orang lain. Tulisan beliau masih terbatas dalam bentuk artikel-artikel yang dimuat dalam beberapa majalah Islam. Padahal sebenarnya beliau banyak menulis dan merekam buah pikirannya dalam berbagai bidang. Tulisan-tulisan beliau mengandung ide-ide yang cemerlang dan teori-teori reformasi yang unggul. Hanya saja, ide-ide beliau sering seperti mutiara yang masih berserakan di sana sini dan belum ditata dalam satu ikatan. Beliau masih terus mengulur-ulur waktu sehingga menemukan tali pengikat yang diidam-idamkan.

Di samping itu sikap hati-hati dalam menyusun buku ini –sikap pelan dan hati-hati disenangi oleh Allah dan Rasul-Nya menurut nash yang sahih– membuat beliau membaca berulangkali pemikiran yang telah dituangkan ke dalam bentuk tulisan, dan mendiskusikannya dengan teman-teman dekat beliau, sehingga beliau betul-betul yakin akan kebenaran yang ditulis. Mungkin juga beliau melakukan ralat dan perbaikan sehingga beliau betul-betul merasa mantap dan puas dengan tulisannya.

Meskipun Prof. Abdul Halim yang juga dijuluki Abu Abdurrahman ini tidak begitu dikenal di kalangan luas, kalangan yang mengenalnya merasa kagum dan mengakui kemampuannya dalam berpikir secara tenang dan mendalam; pandangannya yang kritis, reformis, dan berani mengemukakan apa yang diyakininya benar; sampai pada kejujuran dan sikap istiqamahnya sehingga lahir dan batinnya tetap seirama.

Saya tegaskan di sini bahwa saya sudah mengenalnya secara baik sejak seperempat abad silam, ketika kami sama-sama bekerja di kementerian pendidikan di Qatar. Sejauh yang saya tahu, beliau selalu berbicara jujur, benar, bersih, sopan, halus, jenius, dan kritis. Di dalam pergaulan hidup, saya mengenalnya sebagai seorang muslim yang sangat konsisten pada ajaran Islam serta senantiasa mempelajari hukum dan ajaran agama untuk diterapkan pada diri dan keluarganya. Beliau tidak belajar untuk pandai beretorika atau membangga-banggakan kehebatan dan kepintaran yang dimiliki, tetapi untuk dijadikan petunjuk dalam kehidupannya.

Kekonsistenan beliau tidak didasarkan pada Islam mazhab tertentu dari mazhab-mazhab yang lazim diikuti atau Islam suatu periode dari periode-periode sejarah terdahulu, dan bukan pula Islam suatu negara dari negara-negara Islam yang dikenal. Akan tetapi, Islam beliau adalah Islam Al Qur’an dan Sunnah semata. Karena itulah dia sangat hati-hati dalam membuat tulisan agar jangan berdasarkan pada pendapat ulama ini atau ulama itu. Sebab ulama mana pun di dunia ini pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya, bagaimana pun kehebatan ilmu pengetahuan dan fatwanya.

Saya mengenalnya sebagai seorang pendidik yang didukung bakat, studi, dan pengalaman. Beliau pernah menjadi guru sekolah lanjutan atas dan direktur sebuah SLTA di Doha. Karena itu, tidak mengherankan jika pada diri beliau sering terlihat semangat seorang pendidik yang senantiasa berupaya memberi dan mengajar dengan berbagai cara dan metode yang sangat menarik.

Saya juga mengenalnya sebagai seorang pemburu kebenaran yang ikhlas dalam mencarinya, tidak pernah merasa jemu dan bosan untuk mengetahui rahasianya, serta teliti dalam membaca dan mengkaji. Sifat tekun dan teliti serta berpikir dan mengamati merupakan beberapa keistimewaan yang cukup menonjol dan ciri yang sangat kentara dalam seluruh kehidupannya. Beliau tidak suka terburu-buru membuat keputusan dan kesimpulan, serta tidak suka meniru-niru. Keputusan dibuat melalui kajian yang teliti dan pemikiran yang mendalam. Setelah itu baru beliau menyusun catatan tentang pokok-pokok pikiran yang masih berserakan untuk dihimpun dan disusun secara rapi.

Beliau juga seorang yang sederhana dan rendah hati. Apabila diberi nasihat, beliau tidak cukup sekadar menerima. Lebih dari itu, beliau meminta nasihat lebih banyak dan lebih banyak lagi dari orang yang beliau percayai ilmu dan pendapatnya, sehingga beliau yakin betul dengan hasil yang disimpulkan. Beliau senantiasa lapang dada dalam menerima pendapat lain, tidak acuh bila menemukan suatu kebenaran. Beliau menampakkan wajah yang ceria, siap beradu pendapat, menghapuskan atau menambahkan, mendiskusikan dan memperbaiki, hingga beliau sampai kepada suatu kesimpulan yang betul-betul mantap.

Beliau selalu mendambakan perbaikan, tidak berhenti kalau sudah mengenal jenis penyakit, tetapi senantiasa berusaha menentukan obat dan menjelaskan cara perawatannya.

Beliau selalu mendukung semangat kemudahan dan keluwesan dalam menyampaikan dakwah Islam, khususnya mengenai kasus-kasus yang berkaitan dengan keluarga dan masyarakat. Beliau pun tidak mengada-ada mencari kemudahan dalam syariat Allah. Beliau hanya mengikuti saja kemana arah syariat itu berjalan. Hal itu tidaklah aneh sebab memberikan kemudahan merupakan roh dan darah daging syariat Islam.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-11 Pendahuluan Menjadi Murabbi Sukses

Satria-Hadi-Lubis.jpg

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. 21 : 107).

Misi keberadaan kita di dunia ini tiada lain kecuali menjadi rahmat bagi semesta alam. Rahmat dalam pengertian menebarkan kasih sayang dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Misi tersebut tak bisa tidak mengharuskan kita hidup dalam jalan dakwah. Mengapa? Sebab hanya dakwah yang membuat seorang muslim konsisten mengajak orang lain ke arah kebaikan dan kasih sayang. Sedang jalan selain dakwah adalah jalan yang penuh ketidakpastian dan keraguan untuk merealisasikan misi keberadaan manusia muslim tersebut. Jalan yang seringkali menggelincirkan seseorang kepada sikap egois dan hanya mementingkan diri sendiri.

Itulah sebabnya Allah mewajibkan setiap muslim berdakwah, agar mantap merealisasikan misi keberadaannya di muka bumi. Kewajiban tersebut bahkan sudah kita sandang sejak akil baligh. “Hai anakku, dirikanlah sholat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. 31 : 18).

Dakwah adalah jalan orang-orang yang mulia sepanjang masa. Saking mulianya  jalan tersebut, Allah SWT sampai menyebutnya sebagai jalan “yang terbaik”. “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shaleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS. 41 : 33). Karena itu, amat ironis jika ada seorang muslim yang secara sadar meninggalkan jalan dakwah.

Untuk berdakwah, kita perlu memahami tahapan dakwah. Secara umum, ada dua tahapan dakwah, yakni dakwah umum (‘ammah) dan dakwah khusus (khossoh). Dakwah ‘ammah adalah dakwah yang ditujukan kepada masyarakat umum tanpa adanya hubungan yang intensif antara da’i (orang yang berdakwah) dengan mad’u (orang yang didakwahi). Sebagian besar fenomena dakwah yang ada di masjid-masjid dan media massa adalah dakwah ‘ammah. Follow up (kelanjutan) dari dakwah ‘ammah adalah dakwah khossoh. Yakni dakwah kepada orang-orang terbatas yang ingin bersungguhsungguh mengamalkan Islam. Hubungan antara da’i dan mad’u berlangsung intensif pada dakwah khossoh. Umumnya, mad’u pada dakwah tahapan khusus ini dikumpulkan dalam kelompok-kelompok kecil berjumlah 3-12 orang yang disebut dengan halaqah (lingkaran). Di beberapa kalangan halaqah juga disebut dengan pengajian kelompok, mentoring, ta’lim, usroh, liqo’, dan lain-lain. Di dalam halaqah inilah murabbi (pembina) berada.

Pengertian Murabbi

Murabbi adalah seorang da’i yang membina mad’u dalam halaqah. Ia bertindak sebagai qiyadah (pemimpin), ustadz (guru), walid (orang tua), dan shohabah (sahabat) bagi mad’unya. Peran yang multifungi itu menyebabkan seorang murabbi perlu memiliki berbagai keterampilan, antara lain keterampilan memimpin, mengajar, membimbing, dan bergaul. Biasanya, keterampilan tersebut akan berkembang sesuai dengan bertambahnya pengetahuan dan pengalaman seseorang sebagai murabbi.

Peran murabbi berbeda dengan peran ustadz, muballigh atau penceramah pada tataran dakwah ‘ammah. Jika peran muballigh titik tekannya pada penyampaian materimateri Islam secara menarik dan menyentuh hati, maka murabbi memiliki peran yang lebih kompleks daripada muballigh. Murabbi perlu melakukan hubungan yang intensif dengan mad’unya. Ia perlu mengenal “luar dalam” mad’unya melalui hubungan yang dekat dan akrab. Ia juga memiliki tanggung jawab untuk membantu permasalahan mad’unya sekaligus bertindak sebagai pembina mental, spritual, dan (bahkan) jasmani mad’unya. Peran ini relatif tidak ada pada diri seorang muballigh. Karena itulah, mencetak murabbi sukses lebih sulit daripada mencetak muballigh sukses.

Dalam skala makro, keberadaan murabbi sangat penting bagi keberlangsungan perjuangan Islam. Dari tangan murabbilah lahir kader-kader dakwah yang tangguh dan handal memperjuangkan Islam. Jika dari tangan muballigh lahir orang-orang yang “melek’ terhadap pentingnya Islam dalam kehidupan, maka murabbi melajutkan kondisi “melek” tersebut menjadi kondisi terlibat dan terikat dalam perjuangan Islam. Urgensi murabbi dalam perjuangan Islam bukan hanya retorika belaka, tapi sudah dibuktikan dalam sejarah panjang umat Islam. Dimulai oleh Nabi Muhammad saw sendiri ketika beliau menjadi murabbi bagi para sahabatnya. Kemudian dilanjutkan dengan para ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (terbelakang), sampai akhirnya dipraktekkan oleh berbagai harakah (gerakan) Islam di seluruh belahan dunia hingga saat ini. Tongkat esatafeta perjuangan Islam tersebut dilakukan oleh para murabbi yang sukses membina kaderkader dakwah yang tangguh.

Pada intinya, umat Islam tak mungkin mencapai cita-citanya jika dari tubuh umat Islam itu sendiri belum lahir sebanyak-banyaknya murabbi handal yang ikhlas mengajak umat untuk memperjuangkan Islam.

Keutamaan Murabbi

Mengingat begitu pentingnya peran murabbi dalam keberlangsungan eksistensi umat dan dakwah, sudah seharusnya kita memiliki keseriusan untuk mencetak murabbi-murabbi sukses. Namun ternyata mencetak murabbi sukses bukanlah hal yang mudah. Ada berbagai kendala yang menghadang. Kendala tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga bagian.

1. Kendala kemauan

Yakni kendala berupa belum munculnya kesadaran dan motivasi yang tinggi dari sebagian kita untuk menjadi murabbi. Mungkin disebabkan belum tahu pentingnya murabbi, belum percaya diri untuk menjadi murabbi, atau karena tidak menganggap prestisius peran murabbi dalam masyarakat.

2. Kendala kemampuan

Yakni kendala berupa minimnya pengetahuan dan pengalaman menjadi murabbi. Memang, menjadi murabbi membutuhkan berbagai kemampuan yang perlu terus ditingkatkan. Beberapa kemampuan yang perlu dimiliki, misalnya pengetahuan agama, dakwah, pendidikan, organisasi, manajemen, psikologi, dan lain-lain. Kemampuan ini masih terbatas dimiliki oleh kebanyakan umat.

3. Kendala kesempatan

Yakni kendala ketiadaan waktu dan kesempatan untuk menjadi murabbi. Kehidupan dunia yang penuh godaan materi ini membuat orang terlena untuk mengejarnya, sehingga tak punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang strategis. Termasuk di dalamnya tak punya waktu untuk serius menjadi murabbi. Padahal keberlangsungan eksistensi umat sangat tergantung pada keberadaan murabbi-murabbi handal.

Mestinya, berbagai kendala tersebut dapat diatasi dengan kekuatan iman dan taqwa kepada Allah swt. Tanpa kekuatan iman dan taqwa, obsesi menjadi murabbi sukses menjadi musykil dilakukan. Selain dengan iman dan taqwa, untuk mengatasi berbagai kendala itu kita juga perlu menyadari beberapa keutamaan menjadi murabbi, diantaranya :

1. Melaksanakan kewajiban syar’i.

Menuntut ilmu wajib hukumnya dalam Islam. Apalagi jika yang dituntut itu ilmu Islam. Cara yang paling efektif menuntut ilmu Islam adalah dengan halaqah, seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad saw. Menurut kaidah fiqih, jika pelaksanaan kewajiban membutuhkan sarana, maka sarana itu menjadi wajib untuk diadakan. Logikanya, jika menuntut ilmu Islam itu wajib dan cara yang paling efektif menuntut ilmu Islam adalah halaqah, maka halaqah menjadi wajib untuk diadakan.

Halaqah tidak akan berjalan efektif tanpa adanya dua pihak, pembina (murabbi) dan peserta (mad’u). Karena itu, menjadi murabbi dan mad’u menjadi wajib juga. Allah berfirman : “..Hendaklah kamu menjadi orang-orang robbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya” (QS. 3 :79). Pada ayat tersebut, Allah menyuruh setiap muslim menjadi murabbi (mengajarkan Al Kitab) dan menjadi mad’u (mempelajari Al Kitab). Tidak boleh hanya mau menjadi mad’u saja, tapi tidak mau menjadi murabbi. Jadi kesimpulannya, setiap muslim wajib mengupayakan dirinya untuk menjadi murabbi.

2. Menjalankan sunnah rasul.

Rasulullah saw telah membina sahabat-sahabatnya dalam majelis zikir atau halaqah. Rasulullah membina halaqah selama hidupnya, baik ketika di Mekah (contohnya di Darul Arqom) maupun di Madinah (contohnya majelis ta’lim di Masjid Nabawi). Jadi, menjadi murabbi berarti melaksanakan sunnah rasul (kebiasaan Rasulullah saw). “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan hikmah (Sunnah Rasul), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS. 2 : 151).

3. Mendapatkan pahala yang berlipat ganda.

Barangsiapa yang mengajarkan Islam kepada orang lain maka ia akan mendapatkan pahala. Semakin efektif sarana pengajarannya, semakin berlipat ganda pahala yang akan didapatkan. Halaqah adalah sarana yang paling efektif untuk mengajar Islam. Karena itu, menjadi murabbi akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda.

4. Mencetak pribadi-pribadi unggul

Nabi Muhammad saw adalah murabbi yang telah berhasil mencetak generasi terbaik sepanjang masa. Oleh sebab itu, menjadi murabbi berarti turut membina pribadi-pribadi unggul harapan umat dan bangsa. Sangat aneh jika seorang muslim tidak mau menjadi murabbi padahal ia sebenarnya sedang melakukan tugas yang besar dan penting bagi masa depan umat dan bangsa.

5. Belajar berbagai  keterampilan

Dengan membina, seorang murabbi akan belajar tentang berbagai hal. Misalnya, ia akan belajar tentang bagaimana cara meningkatkan kepercayaan diri, komunikasi, bergaul, mengemukakan pendapat, mempengaruhi orang lain, merencanakan sesuatu, menilai orang lain, mengatur waktu, mengkreasikan sesuatu, mendengar pendapat orang lain, mempercayai orang lain, dan lain sebagainya. Pembelajaran tersebut belum tentu didapatkan di sekolah formal.

Padahal manfaatnya begitu besar, bukan hanya akan meningkatkan kualitas pembinaan selanjutnya, tapi juga bermanfaat untuk kesuksesan hidup seseorang.

6. Meningkatkan iman dan taqwa.

Dengan menjadi murabbi, seseorang akan dapat meningkatkan iman dan taqwanya kepada Allah SWT. Secara psikologis, orang yang mengajarkan orang lain akan merasa seperti menasehati dirinya sendiri. Ia akan berupaya meningkatkan iman dan taqwanya kepada Allah seperti yang ia ajarkan kepada orang lain. Dampaknya, hidupnya akan menjadi tenang karena dekat dengan Allah dan terhindar dari kemaksiatan.

7. Merasakan manisnya ukhuwah

Untuk mencapai sasaran-sasaran halaqah, murabbi dituntut mampu bekerjasama dengan peserta halaqah. Kerjasama tersebut akan berbuah pada manisnya ukhuwah Islamiyah di antara murabbi dan mad’u. Betapa banyak orang Islam yang tidak dapat merasakan manisnya ukhuwah. Namun dengan menjadi murabbi, seorang muslim akan berpeluang untuk merasakan manisnya ukhuwah.

Dengan mengetahui berbagai keutamaan murabbi tersebut, tak alasan lagi bagi kita untuk mengelak menjadi murabbi. Kita harus berupaya sekuat tenaga untuk menjadikan diri kita sebagai murabbi yang sukses membina mad’u. Inilah pekerjaan besar yang masih banyak “lowongannya”. Inilah tugas besar yang menanti kita untuk meresponnya.

Syarat Murabbi

Lalu siapa saja yang boleh menjadi murabbi? Sebenarnya setiap orang Islam boleh dan berhak menjadi murabbi. Tidak ada alasan untuk melarang seseorang menjadi murabbi. Sebab menjadi murabbi adalah bagian dari pekerjaan dakwah. Dan dakwah merupakan kewajiban setiap muslim. Jadi setiap muslim boleh saja menjadi murabbi sebagai salah satu pelaksanaan kewajiban dakwahnya.

Namun agar murabbi tidak mengalami kesulitan dalam membina mad’unya, ia perlu memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:

  1. Memiliki pengetahuan tentang Islam sebagai minhajul hayah (metode hidup), khususnya menguasai kurikulum halaqah (yang biasanya dibuat oleh jama’ah).
  2. Mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf Arab, meskipun tingkat dasar.
  3. Tidak terbata-bata dalam membaca Al Qur’an.
  4. Mempunyai kemampuan mengorganisir.
  5. Mempunyai kemampuan merespon dan menyelesaikan masalah.
  6. Mempunyai kemampuan menyampaikan ide dan pengetahuannya kepada orang lain.
  7. Berusaha menghiasi dirinya dengan akhlaq Islami, khususnya akhlaq sebagai seorang murabbi.

Tugas dan Hak Murabbi

Sebagai pemimpin dalam halaqah, murabbi perlu memahami tugas-tugasnya. Tugas murabbi adalah:

  1. Memimpin pertemuan.
  2. Mengambil keputusan dalam syuro’ halaqah.
  3. Menasehati dan mengupayakan pemecahan masalah mad’u.
  4. Mempertimbangkan berbagai usulan dan kritik mad’u.
  5. Mengawasi dan mengkoordinir penghimpunan dan penyaluran infaq.
  6. Menghidupkan suasana ruhiyah, fikriyah dan da’wiyah dalam halaqah.
  7. Membangun kinerja halaqah yang solid, sehat, dinamis, produktif dan penuh ukhuwah.
  8. Memahami dan menguasai kondisi mad’u serta meningkatkan potensi mereka.
  9. Meneruskan dan mensosialisasi informasi dan kebijakan jama’ah.
  10. Mengupayakan terealisirnya berbagai program halaqah dan jama’ah dalam lingkup halaqah.

Untuk melaksanakan tugas tersebut, murabbi mempunyai hak untuk :

  1. Didengar dan ditaati.
  2. Dimintai pendapat.
  3. Dihargai dan dihormati.
  4. Mengajukan permintaan bantuan untuk melaksanakan tugas.
  5. Memutuskan kebijakan.
  6. Membentuk kepengurusan halaqah.

Tujuan dan Sasaran Halaqah

Semua tugas dan hak murabbi tersebut diarahkan untuk mencapai tujuan halaqah, yakni membentuk pribadi Islami dan da’iyah (Syakhsiyah Islamiyah wad da’iyah).

Tujuan tersebut dijabarkan dalam empat sasaran halaqah, yaitu :

1. Tercapainya 10 muwashafat (sifat-sifat) tarbiyah

2. Tercapainya ukhuwah Islamiyah

3. Tercapainya produktifitas dakwah (berupa tumbuhnya da’i dan murabbi baru)

3. Tercapainya pengembangan potensi mad’u

Alasan Sistematika Penulisan

Di dalam buku ini, kami menguraikan 114 tips (kiat) menjadi murabbi sukses. Tips sebanyak 114 ini sebenarnya dapat dikurangi atau ditambahkan lagi, tapi kami sengaja membatasinya menjadi 114 tips agar sama dengan jumlah surah dalam Al Qur’an. Kami berharap dengan kesamaan jumlah ini Anda lebih mudah mengingatnya. Kami juga berharap agar kesamaan jumlah 114 ini, ruh Al Qur’an dapat “berpindah” kepada Anda, para pembaca, khususnya kepada mereka yang ingin menjadi murabbi sukses. Kami berharap semoga amal mereka selalu diiringi dengan semangat Al Qur’an.

Kami juga membagi buku ini dalam 10 bagian, yakni :

Bagian I : Tips Persiapan

Bagian II : Tips Meningkatkan Kredibilitas dan Wibawa

Bagian III : Tips Menarik Simpati Mad’u

Bagian IV : Tips Memahami Mad’u

Bagian V : Tips Menumbuhkan Solidaritas

Bagian VI : Tips Meningkatkan Disiplin

Bagian VII : Tips Memberikan Tugas

Bagian VIII : Tips Meningkatkan Ruhiyah

Bagian IX : Tips Mendinamiskan Sistem Halaqah

Bagian X : Tips Lain-Lain

Pembagian tersebut untuk memberikan kesempatan kepada Anda melakukan jeda (istirahat) ketika membaca buku ini. Selain itu, untuk mempermudah Anda mencari tips tertentu yang sesuai dengan kebutuhan Anda. Namun jika pembaca memperhatikan, sebenarnya pembagian tersebut kurang tepat untuk beberapa tips. Ada beberapa tips yang mungkin cocok dimasukkan dalam beberapa bagian. Mungkin juga ada beberapa tips yang menurut Anda kurang pas ditempatkan pada bagian tertentu. Hal ini dapat kami maklumi. Yang penting bagi kami, pesan kami dapat sampai kepada Anda, tanpa terlalu mempersoalkan di bagian mana sebaiknya tips tersebut ditempatkan.

Di setiap tips, kami juga menyampaikan dalil Al Qur’an dan Hadits atau kata-kata bijak dari beberapa ulama dan tokoh dakwah. Tujuannya agar Anda mendapatkan nuansa yang lebih luas dari tips yang kami sampaikan. Mudah-mudahan hal tersebut bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan keyakinan kita tentang pentingnya penggunaan tips tersebut dalam mengelola halaqah.

Kami juga memohon maaf jika dalam sumbangan kecil kami ini masih ada hal-hal yang kurang berkenan. Kami tidak mengklaim bahwa apa yang kami sampaikan ini merupakan satu-satunya cara yang harus digunakan untuk menjadi murabbi sukses.

Mungkin, para murabbi lain mempunyai tips berbeda yang juga berhasil mengantarkan mad’u-mad’unya menjadi kader dakwah yang iltizam (komitmen) kepada Islam.

Akhirul kalam, kami kembalikan semuanya kepada Allah SWT. Kami memohon taufik dan pertolongan Allah. Sesungguhnya Dia mampu berbuat apa saja yang dikehendakinya.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-12 Kesalahan

Muhammad-Anis-Matta1.jpg

Sebagai  manusia,  setiap  pahlawan  pasti  pernah  dan  akan  selalu  pernah  melakukan kesalahan. Dalam diri mereka, bukan cuma ada nalar dan nurani, tetapi  juga ada naluri. Dalam diri mereka,  tidak  hanya ada akal dan  iman,  namun  juga ada  syahwat. Mereka bukan  hanya  memiliki  kekuatan,  namun  juga  kelemahan.  Mereka  tidak  menjadi malaikat manakala mereka menjadi pahlawan; mereka hanya menjadi sempurna secara relatif sebagai manusia.

Laiknya  sebuah  karya,  demikian  pula  kesalahan:  ada  yang  besar  dan  ada  juga  yang kecil.  Para  pahlawan  sejati  itu  pasti  pernah  melakukan  kesalahan,  entah  besar  entah kecil. Namun, seseorang sampai disebut pahlawan karena kebaikannya lebih besar daripada  kesalahannya;  karena  kekuatannya  lebih  menonjol  daripada kelemahannya.  Maka,  kesalahan-kesalahan  yang  diiakukan  oleh  para  pahlawan  itu biasanya  lebih  banyak  yang  kecil,  dan  tidak  sering  terulang,  serta  umumnya  tidak disengaja,  kecuali  kalau  itu  menjadi  sumber  kelemahannya.

Sebenarnya,  kuantitas  kesalahan  tidaklah  sepenting  katagori  kesalahan. Yang  terakhir inilah  sebenarnya  yang  menentukan  peluang  kepahlawanan  seseorang.  Kesalahan-kesalahan yang dilakukan para pahlawan umumnya tidak secara langsung menunjukkan karakter  yang  buruk,  tetapi  lebih  banyak  pada  tingkat  kematangan  dalam  profesi  atau kepribadian  yang  dibentuk  oleh  ilmu  pengetahuan,  pendidikan,  pengalaman,  dan kesiapan dasarnya sebagai pahlawan.

Kesalahan-kesalahan itu biasanya lebih terkait pada masalah strategi dan leknis. Kendati demikian, kedua jenis kesalahan itu—kepribadian atau profesi, tidak boleh bersifat fatal. Adapun  ukuran  kesalahan  fatal  itu  adalah  habisnya  peluang  untuk  memperbaikinya. Misalnya.  kesalahan  falal  yang  diiakukan  oleh  seorang  politisi  pada  akhir  karirnya sebagai  politisi,  Begitu  pula  tatkala  seorang  pebisnis,  di  usia  senjanya,  melakukan kesalahan  fatal yang menghabiskan aset bisnisnya. Akan  tetapi, kesalahan  ijtihad yang diiakukan oleh seorang ulama, mungkin tidak akan mematikan namanya sebagai ulama.

Andaikata  ia  melakukan  kesalahan  akhiak,  mungkin  hal  itu  lebih  efektif  mematikan peluangnya sebagai ulama.

Selain  itu, ada pula masalah  efek kesalahan: kepada pribadi  atau kepada publik? Para pahlawan  akan menutup  peluang  kepahlawanannya manakala  ia melakukan  kesatahan yang  berefek  kepada  publik.  Sebab,  salah  satu  ukuran  kepahlawanan  adalah manfaat  publik  yang  diberikan  oleh  pahlawan  tersebut. Ketika Khalid  bin Walid menikahi  janda Malik  bin  Nuwairah,  Umar  bin  Khathab  meminta  Abu  Bakar  untuk memecat Khalid. Malik  bin Nuwairah  yang mengaku Nabi  itu  tewas  dibunuh Khalid pada  Perang  Riddah.  Umar  beralasan,  Malik  bin  Nuwairah  telah  mengucapkan syahadat, namun Khalid tetap membunuhnya, kemudian malah menikahi jandanya.

Meski  demikian,  Abu  Bakar  tidak  mengabulkannya.  Entah  karena  Abu  Bakar membenarkan ijtihad Khalid yang menganggap syahadat itu hanya karena terdesak, atau karena  alasan  lain. Yang  pasti,  seperti  yang  terlihat,  efek  kesalahan  itu—jika  itu  bisa disebut kesalahan—tidak sampai kepada publik.

Di  balik  itu  semua,  yang  jauh  lebih  penting  dalam  perspektif  Islam  adalah  semangat bertaubat  secara  konstan.  Sebab,  taubat  hakikatnya  adalah  proses  perbaikan  diri secara  berkelanjutan.  Dengan  taubat  itulah,  seorang  pahlawan  mukmin  sejati mengubah  setiap  kesalahan menjadi  pelajaran mahal  bagi  kelanjutan  langkah-langkah kepahlawanannya.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-12 Pengantar Kebebasan Wanita (3)

Yusuf-Al-Qardhawi.jpg

Beliau (Prof. Abdul Halim Abu Syuqqah) tumbuh dan berkembang dalam gerakan Ikhwanul Muslimin sejak usia remaja serta dekat dengan pendiri dan pembina pertamanya, Imam Hasan Al Banna. Beliau menyatu dengan aturan khusus Ikhwanul Muslimin yang pada saat itu menghimpun pemuda-pemuda pilihan serta pernah masuk penjara karena terlibat di dalam salah satu kasus Ikhwanul Muslimin. Melalui hubungan tersebut beliau berhasil memetik berbagai pengalaman. Dakwah sangat berpengaruh terhadap pola berpikir, kecenderungan, dan tindak tanduknya. Setelah matang dan mapan, beliau membuat catatan-catatan yang jeli dan kritis terhadap apa yang telah beliau alami, tidak takut atau bakhil menyebutkan dan menjelaskannya, apalagi mengenai aturan khusus Ikhwanul Muslimin serta perkembangannya.

Sejak edisi pertama majalah Al Muslim Al Mu’ashir –dalam kelahiran majalah ini, peran dan jasa beliau sangat besar, bahkan beliaulah yang memiliki ide dan menghimbau untuk menerbitkannya– telah kita lihat pembicaraan beliau yang sangat menarik dan berani mengenai krisis pemikiran muslim modern. Melalui hal itu terungkaplah kemampuan beliau dalam menyelami, menganalisis, dan mengkritik, sekaligus juga tentang kedalaman pemahaman beliau terhadap agama dan kehidupan serta keberanian dalam menentang apa yang beliau yakini salah, meskipun akhirnya beliau dikenal orang sebagai seorang tokoh yang kontroversial.

Pada edisi berikutnya beliau menurunkan tulisan mengenai krisis akhlak muslim modern . Kedua tulisan tersebut membuktikan bahwa beliau adalah seorang yang memiliki kejelian berpikir, kecermelangan pemikiran, dan jiwa yang kritis. Beliau hidup pada zamannya sekaligus mengenal seluk beluknya dan menghadapinya dengan hati seorang mukmin, pemikiran seorang peneliti, dan kemauan seorang reformis, jauh dari asal bunyi dan taklid buta.

Orang yang membaca tulisan beliau boleh saja tidak sependapat dengannya. Saya sendiri pernah menentang pendapat beliau dalam edisi lanjutan majalah tersebut. Namun demikian, Anda pasti tetap salut dan hormat pada pemikiran dan keikhlasannya.

Buku ini berjalan ke arah memberi kemudahan serta menghilangkan kesulitan dan beban dari pundak wanita muslimah. Bagaimanapun, trend yang melanda umat Islam selama berabad-abad cenderung menunjukkan sikap keras, kaku, dan berburuk sangka terhadap wanita. Tampaknya, sikap keras tersebut terjadi karena dua hal. Pertama, karena ketidaktahuan orang mengenai nash-nash syariat yang mengandung dalil tentang kemudahan dan menentang sikap mempersulit, khususnya nash-nash Sunnah Nabi saw. yang sahih. Sementara, nash-nash Al Qur’an sudah dimaklumi oleh semua orang dan sunnah-sunnah hanya tampil dalam beberapa kitab saja. Sedangkan di dalam berbagai dawawin (buku-buku besar) yang menghimpun berbagai hadits, sanad, dan bagian-bagiannya, hal-hal seperti itu terlupakan. Orang sibuk membaca kitab-kitab mazhab fiqih saja sehingga tidak sempat lagi menggali kitab-kitab besar yang sarat dengan sunnah. Akibatnya, banyak Anda lihat kaum muslimin tidak mempedulikan hadits-hadits sahih; mereka hanya mengambil dalil dari hadits-hadits dha’if atau maudhu’.

Kedua, tidak memahami dengan baik nash-nash yang sudah mereka ketahui, misalnya dengan meletakkan tidak pada tempatnya, ceroboh dalam meng-istinbath hukum darinya, mengartikannya secara kasar, memisahkannya dari sababulwurud (sebab muncul)-nya satu hadits, memisahkannya dari pembicaraan sebelumnya atau dengan konteks pembicaraan, serta mengucilkannya dari hukum-hukum Islam yang lazim dan tujuannya yang menyeluruh sehingga tidak ada kesinkronan antara satu dengan yang lainnya.

Mengenai masalah ini cukup banyak contoh. Dalam hal ini, kita tidak memiliki lahan yang cukup luas untuk menyebutkannya satu persatu. Penulis buku kita ini jeli sekali melihat kedua faktor tadi untuk kemudian beliau mencurahkan perhatian sepenuhnya pada kedua masalah berikut. Pertama, mencari nash-nash yang muhkamat, khususnya dari hadits-hadits Nabi saw. Kemudian mengumpulkan nash-nash yang mencerminkan roh Islam ini dan sikapnya terhadap kaum wanita. Jumlah nash-nash tersebut sangat banyak dan dilengkapi dengan keterangan yang jelas. Anda dapat membaca topik-topik pembahasan dan bagian-bagian yang menghimpun hadits-hadits yang banyak sekali. Anda akan merasakan betapa banyak dan jelasnya maksud nash-nash tersebut. Dalam hal ini, dapat saya sebutkan kepada para pembaca beberapa tema dari buku ini sebagai contoh tentang kekuatan pribadi muslimah dan kesadarannya pada tanggung jawab:

Pola dan langkah-langkah awal yang dilakukan dalam penyusunan buku ini adalah membaca sebanyak mungkin buku-buku Sunnah sebab di dalamnya terdapat banyak sekali khazanah ilmiah yang tidak patut diabaikan. Beliau membacanya dengan tekun dan menyelidikinya secermat mungkin sehingga beliau berhasil mengumpulkan nash yang banyak sekali jumlahnya. Akan tetapi, dalam tahap ini, kepada pembaca beliau memutuskan untuk menyuguhkan khazanah yang diambil dari kitab Shahih Bukhari dan Muslim saja. Sekarang beliau mempersembahkan kepada kita mutiara-mutiara Nabawi berupa ucapan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) Nabi saw.

Pada bagian tertentu, beliau seringkali menyuguhkan nash-nash tersebut tanpa mengomentarinya karena nash-nash itu berbicara sendiri untuk menyampaikan maksud kepada manusia yang satu sama lainnya saling menjelaskan. Akan tetapi, jika beliau mengomentari nash tersebut dengan menarik kesimpulan, menerangkan, menguatkan, atau menerapkannya dalam realita kehidupan, maka beliau menampakkan keluasan wawasan dalam menyampaikan apa yang beliau inginkan.

Untuk pembaca budiman, dalam hal ini, cukup saya tunjukkan satu contoh tentang komentar penulis untuk dibaca dengan tenang dan teliti bab penutup yang sarat dengan kandungan nash mengenai keterlibatan wanita bersama kaum laki-laki dalam kehidupan sosial. Beliau berbicara mengenai gejala-gejala sosial baru yang memaksa terjadinya pertemuan wanita dengan laki-laki pada masa sekarang ini. Masalah-masalah tersebut dibicarakan oleh seseorang yang berpengalaman dan memahami kondisi zaman serta perubahan masyarakatnya. Dapat saya katakan bahwa orang yang tidak memahami gejala-gejala sosial yang sedang terjadi dalam masyarakat kita, tidak mungkin memiliki kesimpulan yang benar mengenai kasus-kasus wanita, meskipun dia hapal di luar kepala berbagai macam nash. Kata Imam Ibnul Qayyim –semoga Allah mencurahkan rahmat kepadanya– seorang ahlu fiqih haruslah mampu mengawinkan kewajiban dengan kenyataan.

Adapun masalah kedua yang mendapat perhatian dari penulis adalah menjawab pemahaman-pemahaman keliru yang menyebabkan nash melenceng dari jalurnya, baik secara sengaja ataupun tidak. Kemudian, beliau menarik kesimpulan/hukum yang benar dari nash tersebut, misalnya pendapat beliau mengenai firman Allah yang berbunyi: “Dan hendaklah kamu (perempuan) tetap di rumahmu” dan hadits yang menggambarkan wanita sebagai makhluk yang kurang akal dan agama.

Pada dasarnya, ayat di atas beserta ayat yang sebelum dan sesudahnya ditujukan kepada istri-istri Nabi saw. Perintah untuk tetap di rumah hanya diperuntukkan bagi istri-istri Nabi saw., diperkuat dengan dalil yang bahwa Umar ibnul Khattab terus melarang mereka pergi haji, dan baru diizinkan pergi haji ketika Umar menunaikan hajinya yang terakhir.

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Firman Allah tentang hendaknya kamu (perempuan) tetap di rumahmu, sebenarnya ditujukan kepada istri-istri Nabi saw.” Pada bagian lain Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Aisyah dan orang-orang yang sependapat dengannya memahami targhib (dorongan) untuk melaksanakan haji yang terdapat dalam sabda Nabi saw.: ‘Jihad yang paling baik dan paling indah bagi kalian adalah menunaikan haji.’ Dengan demikian, diperbolehkan menunaikan haji berulangkali, dan hadits ini mengkhususkan keumuman sabda Nabi saw. yang berbunyi: ‘Ini, dan munculnya hambatan.’ Pada ayat: ‘Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu,’ itu pada mulanya, seolah-olah Umar mengambil sikap tawaqquf (berdiam diri). Namun, kemudian setelah mengetahui kekuatan dasar/alasan Aisyah, akhirnya Umar mengizinkan mereka (istri-istri Nabi saw.) melaksanakan haji pada akhir masa pemerintahan beliau. “

Jika kita katakan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada semua wanita muslimah, coba kita perhatikan nash-nash Sunnah –yang berfungsi menjelaskan Al Qur’an– agar kita dapat melihat bagaimana wanita-wanita kaum muslimin pada zaman Nabi saw. menerapkan perintah untuk tetap tinggal di rumah. Mengapa perintah ini tidak menghalangi mereka keluar rumah untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial? Kami telah menyebutkan ratusan nash yang bersumber dari kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Nash-nash tersebut menegaskan keterlibatan wanita dalam berbagai bidang kehidupan.

Dalam menjelaskan hadits, penulis berkata: “Dari Abu Sa’id Al Khudri, dia berkata bahwa pada hari raya Fitri atau Adha Rasulullah saw. pergi ke lapangan yang dikhususkan sebagai tempat penyelenggaraan shalat ‘id, lalu beliau melewati jamaah wanita dan bersabda: ‘Wahai kaum wanita, aku tidak melihat orang-orang yang kurang akal dan agama mampu melumpuhkan hati seorang laki-laki yang tegas melebihi salah seorang dari kalian'” (HR Muslim)

Kita dapat menguraikan hadits di atas dari tiga sisi. Akan tetapi, di sini kami hanya membahas sisi yang pertama. Hadits Nabi saw. di atas masih memerlukan kajian dan penelitian, baik dari segi momentum dikeluarkannya hadits tersebut atau dari segi kepada siapa hadits tersebut ditujukan maupun dari segi bentuk dan susunan katanya. Hal itu perlu sekali dilakukan guna mengetahui relevansinya dengan karakteristik wanita. Dari segi momentum, hadits di atas disampaikan ketika Nabi saw. memberikan saran dan nasihat kepada kaum wanita setelah shalat hari raya. Mungkinkah Rasulullah saw. sebagai seorang yang berakhlak mulia memejamkan mata ketika menghadapi persoalan wanita, kemudian menjatuhkan martabat mereka dan merendahkan nilai kepribadian mereka pada saat yang penuh dengan suka cita itu? Dari segi kepada siapa hadits itu ditujukan, sudah jelas. Mereka adalah jamaah wanita kota Madinah yang mayoritas kaum Anshar. Mereka digambarkan oleh Umar dalam ucapannya sebagai berikut: “Tatkala kami sampai di Madinah, kami temukan bahwa kaum yang lebih dominan adalah kaum wanitanya. Lalu wanita-wanita kami meniru adab dan perilaku orang-orang Anshar.” Hal itu menjelaskan mengapa Rasulullah saw. mengatakan: “… Aku tidak pernah melihat orang-orang yang kurang akal dan agama mampu melumpuhkan hati seorang laki-laki yang tegas melebihi salah seorang dari kalian?”

Dari segi bentuk dan susunan nash, kata-kata di dalam hadits tersebut tidak berbentuk taqriri (ketetapan) kaidah umum atau hukum umum, tetapi lebih bersifat ungkapan rasa kagum Rasulullah saw. terhadap kontradiksi yang terjadi, yaitu mengenai lebih dominannya kaum wanita –padahal mereka adalah makhluk yang lemah– atas kaum laki-laki yang memiliki sikap tegas. Artinya, kekaguman Rasulullah saw. terhadap hikmah/kebijaksanaan Allah SWT adalah karena Allah meletakkan kekuatan di tempat yang kita duga lemah dan dia memperlihatkan kelemahan di tempat yang kita duga kuat! Karena itu kita patut bertanya, bukankah kata-kata hadits yang terdapat dalam nasihat Nabi saw. itu mengandung sentuhan atau sindiran halus terhadap kaum wanita? Bukankah itu merupakan permulaan yang apik pada satu bagian dari bagian-bagian nasihat Nabi saw.? Seolah-olah beliau ingin mengatakan: “Wahai kaum wanita, kalau kalian diberi kekuatan oleh Allah untuk melumpuhkan hati kaum laki-laki yang bersifat tegas, meskipun kalian lemah, maka takutlah kepada Allah, dan jangan kalian pergunakan kekuatan kalian itu kecuali untuk hal-hal yang baik dan bermanfaat.”

Demikianlah permasalahannya, dan kalimat “yang kurang akal dan agama” disampaikan hanya satu kali dengan tujuan menarik perhatian sekaligus merupakan pendahuluan yang apik-dan halus dalam menyampaikan nasihat, khususnya terhadap kaum wanita. Artinya, hal itu tidak pernah disampaikan secara khusus dalam bentuk taqriri, baik di hadapan kaum wanita maupun kaum laki-laki.

Penulis berupaya mendiskusikan beberapa masalah fundamental dan sangat penting yang ada kaitannya dengan topik di atas. Masalah-masalah tersebut sering dipakai oleh banyak ulama untuk mempersempit ruang gerak wanita. Tentu saja, hal itu berbeda dengan apa yang diterapkan oleh Nabi saw., diantaranya, seperti dalam masalah saddudz dzari’ah (pencegahan sebelum terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan).

Sebagai penutup, saya katakan bahwa buku yang berisikan nash-nash yang kuat, pendapat-pendapat yang benar, bukti-bukti yang hidup, pemahaman yang cemerlang, dan ulasan-ulasan yang padat telah menambah khazanah kepustakaan Islam, di samping bobot dan orisinilitas yang terkandung di dalamnya.

Pada beberapa bagian buku ini mungkin terdapat hal-hal yang berbeda dengan pendapat sebagian orang akibat pengaruh budaya dan lingkungan. Hal itu sesuai dengan ketentuan sunnatullah terhadap manusia. Namun demikian, semangat dan esensi buku ini dalam menjelaskan sikap Islam terhadap wanita berdasarkan nash-nash yang muhkamat dan petunjuk umum pada masa kenabian tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Saya berdoa kepada Allah semoga para pembaca buku ini dapat memetik manfaat darinya, sementara penulisnya diberi ganjaran yang setimpal atas jasa, jerih payah, dan tenaga yang telah dikorbankan selama bertahun-tahun demi terwujudnya buku ini. Semoga Allah menunjuki kita semua jalan yang benar!


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-13 Misi Peradaban dalam Terminologi

Muhammad-Imarah.jpg

Terdapat ungkapan yang beredar di kalangan kaum terpelajar dan di dalam berbagai tulisan para ilmuwan bahwa:

“Pemakaian terminologi dan kata tidak boleh digugat.”

Maksud ungkapan ini adalah bahwa bagi peneliti, penulis atau cendikiawan boleh menggunakan terminologi apa saja tanpa memandang lingkungan kebudayaan, kerangka berpikir, epistimologi, filsafat atau ideologi yang melahirkan dan menimbulkan terminologi-terminologi ini. Karena terminologi dan kata menunjuk pada pengertian terminologis bagi setiap peradaban yaitu warisan bagi setiap peradaban, semua macam disiplin ilmu, dan semua masyarakat.

Ungkapan ini sepenuhnya benar, tetapi memerlukan pelurusan pengertian agar tidak menjadi rancu atau bahkan memperdaya sebagaimana yang terjadi sekarang di dunia pemikiran akibat membiarkannya tanpa meluruskan dan memberi batasan makna secara definitif.

Jika dicermati bahwa peran terminologi berfungsi sebagai “wadah” yang diisi dengan “muatan” tertentu, atau sebagai “alat” yang membawa misi makna maka akan ditemukan keabsahan banyak terminologi atau ungkapan-ungkapan idiomatik untuk menyampaikan peran sebagai “wadah” dan “alat” sepanjang perjalanan semua peradaban yang berbeda-beda, dan interaksi pemikiran-pemikiran yang berlainan, ideologi dan aliran yang bermacam-macam. Di sini kita akan melihat kebenaran makna mendalam dan tepat untuk ungkapan: “Pemakaian terminologi dan kata tidak boleh digugat.” Sedangkan apabila sebuah kata dan terminologi dilihat dari sudut “kandungan” yang dimuatkan dalam “wadah”-nya dan sebagai “tugas pengemas gagasan” yang dibawa oleh “alat-alat” atau “terminologi-terminologi” itu maka akan dihadapkan pada tuntutan mendesak untuk meluruskan ungkapan ini, memberi batasan-batasan kemutlakannya, memagari wilayah keabsahan yang berlaku bagi kandungan pengertian ungkapan-ungkapan tersebut.

Di sini, disadari bahwa ketika meneliti dan mendalami berbagai terminologi, seringkali dihadapkan pada “wadah-wadah” umum dan “alat-alat” bersama antar peradaban, paradigma, ideologi, dan aliran, dan pada saat yang sama juga berhadapan dengan “kandungan” khusus, dan “fungsi-fungsi” tertentu yang berbeda satu sama lainnya. “Wadah-wadah” umum dan “alat-alat” milik bersama ini berbeda dari satu kebudayaan ke kebudayaan yang lainnya; atau pemikiran dengan pemkiran lainnya; atau aliran, ideologi, sistem sosial, sistem agama yang satu dengan yang lainnya, khususnya yang memiliki karakter khusus yang berbeda.

Contoh pertama, umpamanya dalam bidang terminologi perundang-undangan hukum, di sana terdapat terminologi syari’ (legislator) untuk orang yang membuat undang-undang, baik individu maupun kelompok atau lembaga. Jadi terminologi syari’ digunakan untuk legislator yang meletakkan undang-undang atau dewan perwakilan yang mewakili kekuasaan rakyat

dalam pembuatan undang undang, yaitu dewan legislatif (legislative assembly) yang meletakkan perundang-undangan. Di sini penggunaan terminologi syari’, legislator dan legislative assembly, semuanya adalah untuk manusia baik individu maupun kolektif dalam bentuk dewan atau lembaga. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Apakah terminologi-terminologi ini dapat berlaku umum, jika terminologi dipandang sekedar beperan sebagai “wadah” tanpa pertimbangan isi kandungan? Tentu disana terdapat pengertian khusus dari terminologi ini sesuai dengan kebudayaan dan ideologi, atau kebudayaan masyarakat tertentu, sebab ia berperan sebagai alat penyampai kandungan pengertian makna.

Orang yang mewarisi peradaban Barat sekuler tidak mempercayai adanya undang-undang Tuhan (Divine Law) yang mengatur bidang sipil, sosial, ekonomi, dan politik bagi negara dan komunitas manusia serta peradaban umat manusia, tetapi mempercayai bahwa manusia, baik individu maupun kolektif adalah sumber satu-satunya bagi hukum perundang-undangan. Maka manusia didefinisikan sebagai syari’ atau legislator (pembuat hukum dan undang-undang), baik dalam kerangka dasar-dasar hukum yaitu prinsip-prinsip hukum alamiah sebagaimana yang dikenal dalam peradaban Barat atau dalam kerangka cabang-cabang turunan hukum perundang-undangannya. Maka terminologi syari’ (legislator) dalam pengertian ini secara wajar dapat diterima dalam kerangka peradaban Barat, yang mempercayai hanya manusia adalah sumber pembuat undang-undang. Sebab filsafat yang berkembang dan dianut oleh Barat bersifat materialistik dan turunan peradabannya pun bersifat materialistik yang menolak otoritas Tuhan yang bersifat metafisik (non-materi). Oleh sebab itu, peran Tuhan “disingkirkan” dari urusan negara, sosial, dan peradaban.

Dikarenakan peradaban Barat ini memiliki sifat dan karakter sekuler, sekalipun semua peradaban memiliki sifat dan karakter demikian, maka ketika terminologi ini dikenakan pada peradaban lain yang berbeda sifat dasarnya akan ditemukan kekurangtepatan pengertian, sehingga dalam kasus ini tidak mungkin ungkapan “tidak boleh digugat” dikenakan pada peradaban lain.

Dalam peradaban Islam yang menampilkan aqidah Islam, mewakili ideologinya serta jalan pikiran umatnya sejak ia menjadi ruh dalam setiap peradabannya yang mencakup politik, sosial, ekonomi, negara, arsitektur, dan lain sebagainya, terminologi syari’ menunjuk pada pembuat dasar-dasar syari’ah dan mempunyai pengertian khusus, sebab prinsip-prinsip syari’ah bukan ciptaan manusia seperti halnya aturan hukum sipil yang berlaku dalam peradaban Barat, melainkan ia adalah buatan Tuhan melalui wahyu; merupakan ajaran agama yang dianut oleh manusia peradaban ini, sebagaimana firman Allah:

“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama yang telah diwasiatkan oleh Allah kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada lbrahim, Musa, dan lsa yaitu: Tegakkan-lah agama dan janganlah berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya …”(Asy Syura’: 13)

Dikarenakan syari’ah Tuhan ini adalah syari’ah terakhir bagi umat manusia, maka syari’ (pembuat undang-undang) ini, yaitu Allah, memberi penjelasan prinsip-prinsip dan kaidah yang membatasi jalan yang berkaitan dengan hal-hal yang berubah dan berkembang mengenai urusan dunia disertai penjelasan elaboratif mana yang bersifat agama yang tidak berubah atau berkembang, atau mana hal-hal yang menyangkut keduniaan yang senantiasa berubah sesuai dengan perubahan zaman.

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikuti-lah syari’at itu.” (Al Jatsiyah: 18)

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang …” (Al Ma’idah: 48)

Oleh sebab itu, manusia yang lahir dari kandungan peradaban Islam ini tidak dapat — ketika telah mengimani agamanya — memberi otoritas pembuatan undang-undang atau memandang disana ada syari‘ (pembuat undang-undang) selain Allah. Sedangkan upaya manusia Muslim ini dalam merekonstruksi hukum Islam dan deduksi rincian furu’iah dari prinsip-prinsip syari’ah berpijak pada acuan sesuai dengan perkembangan dan perbuahan zaman selama tidak bertentangan dengan teks-teks serta batasan-batasan yang telah ditentukan dalam prinsip-prinsip Tuhan yang merupakan wilayah fiqih muamalat. Dari sini terdapat perbedaan antara fiqih dengan syari’ah dalam peradaban lslam, dimana Allah-lah yang mempunyai posisi Syari’ (legislator) yang hakiki, bukan manusia, sedangkan manusia adalah faqih (orang yang mengkodifikasi pemahaman syari’at).

Di sini kita dihadapkan pada satu contoh bahwa fungsi ungkapan dan terminologi tidak hanya berperan sebagai “wadah kandungan makna” saja dan tidak juga sebagai pembawa “pesan” saja, melainkan pada saat yang sama juga mempunyai fungsi dalam: “ungkapan, wadah dan alat”.

Contoh kedua barangkali mendukung makna yang diyakini secara tegas oleh manusia Muslim ketika menghadapi berbagai terminologi perekonomian atau pertanian, umpamanya terhadap terminologi “penanam” (grower). Manusia peradaban Barat, yang tidak mengembalikan efek-efek materiil kecuali hanya kepada faktor-faktor materiil, baik karena sifat materialistiknya, atau ateis yang mengesampingkan peran Tuhan, atau karena metodologinya, tidak melihat dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman kecuali faktor-faktor material dan alamiah serta pengaruh manusia. Oleh sebab itu, manusia di mata peradaban Barat  adalah penanam hakiki, dan tidak ada penanam selain manusia ini. Sedangkan manusia peradaban Islam yang aqidah agamanya telah menjadi ruh dalam ilmu-ilmu yang dimiliki oleh peradabannya, meyakini adanya faktor-faktor materiil yang merupakan kekuatan aktif terhadap efek dari penyebabnya, akan tetapi ia juga meyakini bahwa faktor-faktor materiil aktif ini hanya dapat berperan karena adanya pencipta faktor-faktor tersebut yaitu Allah yang berkuasa menghilangkan atau menghentikan efektifitasnya, disamping berkuasa menggantikan dengan yang lainnya, jika Dia menghendaki. Manusia Muslim ini juga meyakini bahwa perbuatan manusia mempunyai horizon terbatas dengan keterbatasan keabsahan dan kemampuannya sebagai khalifah Allah dalam tugas memakmurkan bumi. Disamping itu pelaku di balik horizon ini — yaitu horizon khilafah manusia — adalah Yang Maha pemberi khilafah: yang memiliki alam semesta, Pencipta dan Pemeliharanya. Oleh sebab itu, manusia dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman mempunyai peran, perbuatan dan penciptaan, akan tetapi tidak melebihi batasan wilayah horizon ini, sebab di luar batas ini merupakan wilayah perbuatan Allah.

Jadi, dalam menanam di sana terdapat perbuatan manusia; seperti, penggarapan tanah, penyemaian, pengairan, pemupukan, dan begitu seterusnya yang mampu dilakukan oleh manusia sehingga ia dapat dikatakan sebagai penanam (grower) dengan sebutan “Az Zarra”. Dari sini dapat ditemukan bahwa hakekat menanam adalah menumbuhkembangkan, yang sifat ini hanya dimiliki oleh Allah, sedangkan penyemaian, pengairan dan pemupukan serta usaha-usaha manusia yang lain dinisbahkan kepada pelakunya; yaitu manusia. Sementara, perbuatan seperti menumbuhkan benih, mengembangkannya serta memberinya perlindungan — yaitu hal-hal yang tidak mampu dilakukan manusia — adalah atribut yang hanya berhak diberikan kepada Allah sebagai penanam yang diterminologikan dalam bahasa Arab dengan Az Zari’. Sebab dalam proses penanaman, manusia berfungsi sebagai pelaku, akan tetapi menurut iman yang dipegang dan peradaban keimanannya, manusia bukan satu-satunya pelaku. Dari sini dapat dipahami makna ayat Al Qur’an yang menyatakan:

Maka terangkanlah kepada-Ku tentang yang kamu tanam, kamukah yang menumbuhkannya, ataukah Kami yang menumbuhkannya?” (Al Waqi’ah: 63-64)

Di sini sekali lagi, karakter manusia yang meyakini peradaban iman (hadharah imaniyah) membuahkan satu sikap yang berbeda yang menunjuk pada kesimpulan bahwa “ungkapan dan terminologi” mempunyai fungsi.

Contoh ketiga, bahwa “perbuatan dan terminologi” mempunyai fungsi adalah terminologi “tuan tanah.” Dalam peradaban Barat yang filsafat keuangannya menjadikan pemilikan mutlak sebagai pemilikan hakiki (real ownership) dalam masalah kekayaan manusia baik individu, dalam model masyarakat liberal maupun model masyarakat sosialis, ditemukan terminologi tuan tanah yang dipahami sebagai pemilikan penuh kaum borjuis atas sarana-sarana produksi — tanah pertanian — dengan pemilikan terbatas bagi penggarapnya — kaum “budak.”

Sedangkan dalam peradaban Islam, dimana jalan tengah ditawarkan sebagai satu mazhab ekonomi secara tegas, menjadikan pemilikan mutlak dan hakiki atas harta kekayaan hanya kepada Allah dengan menetapkan hak pemilikan terbatas, yaitu pemilikan pemanfaatan secara

alegoris, yaitu pemilikan fungsi sosial bagi harta kekayaan: manusia sebagai pemilik amanat dan titipan (trustee) atau yang diterminologikan dengan mustakhlaf. Ia mendapat titipan dan pinjaman harta kekayaan ini dari Allah untuk dimiliki, dikembangkan, dalam kapasitasnya sebagai trustee — kemutlakan pemilikan relatif manusia yang diberi amanat pinjaman — bukan sebagai individu atau sebagai kelas masyarakat, dalam model peradaban sekuler Barat ini. Jadi terminologi “tuan tanah” mengandung muatan khusus jika dipahami dari sudut pandang peradaban Islam, yaitu memiliki untuk dimanfaatkan bukan untuk dijadikan alat untuk menguasai kelas masyarakat tertentu. Dalam aplikasi Islam, menguasai tanah yang dimaksud adalah cara menghidupkan tanah mati dan memanfaatkannya untuk kepentingan manusia atau umat manusia yang mendapat titipan amanat dari Allah berupa tanah dan harta kekayaan lain dalam bentuk apa saja.

Contoh keempat, dapat ditemukan terminologi monopoli (ihtikar). Dalam peradaban Barat, dengan berbagai trend sosialnya yang bermacam-macam, bahkan hingga bagi orang-orang yang mengetahui sisi-sisi buruk monopoli dalam dominasi sistem perekonomian suatu bangsa pun dapat ditemukan pandangan terhadap monopoli sebagai satu keniscayaan fase yang harus dilalui oleh masyarakat pada langkah-langkah perkembangan penguasaan terhadap sarana-sarana produksi. Maka monopoli menurut pandangan Barat adalah perkembangan alamiah dan satu keniscayaan meskipun dipandang oleh sebagian orang sebagai suatu bencana.

Sedangkan dalam pandangan ekonomi Islam, yang mengatur penguasaan manusia atas harta dengan ikatan sebagai pinjaman dari kekayaan Allah, Sang pemilik hakiki atas kekayaan, kepada manusia, maka monopoli itu dilarang dan tidak dapat diterima pada pokok dan asasnya dan tidak mungkin keberadaannya dapat berjalan seiring dengan pandangan Islam mengenai harta kekayaan, sebagaimana yang ditegaskan dalam sebuah hadits:

“Barangsiapa menimbun (kebutuhan bahan makanan) kaum Muslimin, Allah akan menimpakan kemelaratan dan kebangkrutan kepadanya.” (Ibnu Majah dan Ahmad)

Yang demikian itu adalah ancaman dan peringatan bagi masyarakat yang membiarkan praktik monopoli, yang mana akan mengantarkan pada kemiskinan umat dan kebangkrutan sistemnya serta tidak mampu rnewujudkan tujuan membudayakan manusia. Praktik monopoli ini yang dapat mematikan bangsa, ketika menyingkirkan keadilan dalam kehidupan ekonomi dan sosialnya, adalah yang dikatakan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang nasib yang akan dialami oleh pelakunya, dengan sabdanya:

“Para pelaku monopoli dan pembunuh dihimpun dalam satu kelompok kelas.” (Muslim, Ad Darimi, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad)

Terdapat perbedaan fungsi dalam terminologi “monopoli” sebagai satu terma yang lahir dari peradaban Barat dan terminologi “ihtikar” yang terdapat dalam bahasa Arab, sebagai bahasa Islam, bahkan dalam pengertiannya pun terdapat perbedaan. Sebab monopoli dalam peradaban Barat berkisar mengenai fase pertumbuhan konsentrasi pemilikan sarana-sarana produksi atau kepentingan bisnis dan perbankan pada sekelompok kecil pemilik modal. Sedangkan dalam

pandangan Islam, pelarangannya mencapai jenis monopoli yang paling sederhana seperti menimbun bahan makanan untuk mengharapkan kenaikan harga sebagaimana ditegaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

“Seburuk-buruk hamba (manusia) adalah orang yang melakukan praktik ihtikar: bilamana Allah menurunkan harga-harga, ia bersedih karenanya, tetapi apabila itu dinaikkan, ia lalu bergembira. Jika mendengar penurunan harga, ia memandang dirinya mengalami nasib buruk tetapi jika mendengar kenaikan harga, ia bergembira.”

Yang demikian itu karena:

“Orang yang tidak melakukan praktik monopoli (al jalib) mendapat karunia, sedangkan pelaku monopoli mendapat laknat.” (Ibnu Majah dan ad-Darami)

Contoh kelima, adalah satu terminologi yang dikenal secara luas dan jelas yaitu terminologi “kiri”. Sebagian orang memandang terminologi ini tidak mempunyai fungsi lain selain menunjuk pada: trend sosial yang menyerukan penggunaan konflik kelas masyarakat sebagai alat untuk mengangkat kelas Proletar dengan menyingkirkan kelas Borjuis sebagai tahap awal menghilangkan perbedaan kelas lalu membentuk masyarakat tanpa sistem kelas dimana semua bentuk pemilikan pribadi dilebur dan menghilang dari fenomena sosial.

Sebagian orang memandang terminologi yang lahir dari rahim peradaban Barat ini karena alasan “tidak ada fungsi dalam kata-kata dan terminologi” untuk dipakai, bahkan menyerukan untuk melakukan lslamisasi terminologi ini serta melakukan Islamisasi kandungan maknanya, dengan meyerukan pada “Islam kiri.” Sedangkan bagi Muslim, disana terdapat ketidaktepatan terminologi ini baik dalam pengungkapan kata maupun kandungan pengertiannya, jika dikenakan dalam pemikiran sosial Islam. Sebab kata “kiri” (Al Yasar) dalam Bahasa Arab (bahasa umat, Agama dan peradaban kita), berarti al yusr (mudah), yakni lawan kata al ‘usr (sulit); dan kaya (al ghani) sebagai lawan kata kemelaratan dan kesulitan (al faqr wa al I’sar) sebagaimana firman Allah:

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (Al Baqarah: 185)

“Dan jika orang (yang berhutang itu) dalam kesukaran maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” (Al Baqarah 280)

Oleh sebab itu, istilah golongan kiri (ahlal Yasar) dalam terminologi bahasa Arab adalah mereka yang kaya bukan yang miskin: aliran yang mendapat kemudahan bukan orang yang sengsara.

Pertanyaan yang patut diangkat adalah, bagaimana bahasa Islam (Arab) diperkosa menerima citra idiomatik yang berlawanan ini?!

Sebagaimana yang dilakukan oleh ulama dan cendikiawan Muslim abad ini seperti Imam Abdul Hamid bin Badis (1887-1940) — yang menegaskan makna ini — dalam doa munajatnya mengucapkan:

“Ya Allah, jadikanlah hamba di dunia termasuk orang yang mendapat kekayaan dunia (ahlul yasar) dan di akhirat termasuk orang yang mendapat kebahagiaan (ahlul yamin)!”

Sebab al yasar yang dimaksud adalah kekayaan atau kemudahan dunia. Begitu pula ahlul yamin, mereka adalah orang-orang yang mendapat kebahagiaan, yang menegakkan keadilan di dunia. Oleh sebab itu, mereka berhak menerima catatan amal perbuatan mereka yang adil itu dengan tangan kanan (al yamin) pada hari pembalasan. Demikian logika Bahasa Arab yang benar, tidak ada alasan, pada prinsipnya, untuk keluar dari logika ini, meskipun menggunakan alasan untuk menggeneralisasi “pemakaian terminologi dan kata tidak boleh digugat.”

Selanjutnya pandangan Islam tentang pemikiran ekonomi mempunyai aspek tersendiri yang tidak menolak perbedaan kelas sosial dalam masyarakat menjadi kelas-kelas tertentu, akan tetapi meletakkan persyaratan landasan perbedaan kelas tersebut berdasarkan pada sebab dan faktor yang ditetapkan oleh syari’ah. Pembatasan wilayah perbedaan ini dimaksudkan untuk menghindarkan kesewenang-wenangan yang diakibatkan oleh penguasaan individu atau kelompok minoritas atas pemilikan kekayaan. Maka dengan sendirinya Islam memandang perekonomian dalam multi kelas masyarakat sebagai hal yang wadjar dan alamiah dan Islam menyerukan kelangsungan hubungan antar kelas yang ada dalam kerangka keadilan, yaitu: keseimbangan sosial, bukan persamaan. Yang demikian itu agar hubungan saling melengkapi, saling membantu, dan saling membutuhkan, seperti halnya dengan organ tubuh manusia, dalam perbedaan masing-masing organ, tetapi saling membutuhkan dan mendukungnya. Apabila tidak ada keseimbangan sosial (social balance), dan kezaliman sosial menggantikan keadilan, maka jalan penyelesaian yang ditawarkan oleh Islam tidaklah melalui konflik kelas, dimana kelas masyarakat tertentu melakukan konflik dengan tujuan menyingkirkan dan agar kekayaan dan kekuasaan berada pada masyarakat tanpa kelas. Islam menawarkan jalan melalui “dorongan sosial” yang mengembalikan gerakan dan penggerakan posisi-posisi kelas dan tingkat ketidakadilan — yang kehilangan keseimbangan itu — ke tingkat keadilan yang merupakan perwujudan keseimbangan sosial antar kelas masyarakat, yang mana multi kelas tetap ada dan agar keseimbangan itu menjadi pengikat dan pemersatu dalam perbedaan kelas.

Terminologi konflik (shira’) dalam Al Qur’an dipakai ketika satu pihak membanting pihak yang lain lalu membinasakannya:

“Maka kamu lihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan mereka itu tunggul-tunggul pohon kurma yang telah rapuh.” (Al Haaqqah: 7)

Sedangkan mendorong atau menolak (ad daf’) adalah penggerakan terhadap posisi-posisi pihak yang berbeda dan satu tingkat ke tingkat yang lain sebagai penyelaras hubungan antar pihak yang bermacam-macam, bukan untuk membinasakan yang lain agar ia sendiri yang menguasai arena dan fasilitas:

“Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah menjadi teman yang sangat setia.” (Fushshilat: 34)

Jadi tujuan dari menolak (ad daf’) di sini tidaklah membanting musuh dan membinasakannya, melainkan menyerahkan posisinya dari posisi permusuhan ke posisi berteman setia. Gerak sosial dalam pandangan Islam adalah penolakan atau pendorongan sosial (ad daf’ al ijtima’i) bukan konflik kelas (ash shira’ ath thabaqi).

“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini…” (Al Baqarah: 251)

“Seandainya Allah tidak menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah ibadah-rumah ibadah Yahudi dan masjid-masjid yang didalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Al Hajj: 40)

Tentang pesan kandungan pengertian epistemologisnya, Islam menolak — tidak hanya berbeda — yang ada dalam istilah “kiri” (left) dan terminologi “pertikaian” (conflict), suatu hal yang secara pasti terdapat ketidaktepatan pengertian dalam kedua terminologi tersebut jika dikenakan pada Bahasa Islam baik dalam isyarat bahasanya maupun pengertian epistemologisnya.

Karena melakukan ‘uzlah hadhariyah — di dunia Islam modern dan di bawah pengaruh revolusi media komunikasi — merupakan fiksi besar; karena kandungan pengertian epistemologis Barat dan asing yang ada dalam banyak terminologi Arab Islam telah menjadi bagian realitas pemikiran dan kebudayaan setempat mengingat keberhasilan pembaratan (westernization) dalam kehidupan pemikiran, budaya dan informasi; karena dialog antara kebudayaan Islam dan kebudayaan asing, begitu pula dialog antara trend pemikiran dan realitas kebudayaan Muslim, adalah upaya penyelamat dari pengambilan pemikiran secara buta yang menghancurkan. Maka membebaskan kandungan pengertian terminologi-terminologi itu, mengungkap wilayah-wilayah yang dapat diterima dan ditolak dalam makna dan konsepnya, khususnya terminologi-terminologi yang banyak beredar dan banyak mengundang polemik antar aliran pemikiran zaman sekarang ini, adalah merupakan tugas pokok dan menjadi prioritas utama dalam satu dialog pemikiran serius yang menyelamatkan kehidupan pemikiran Islam dari bahaya yang ditimbulkan oleh penjiplakan secara serampangan.

Karena buku ini diharapkan membawa tugas “membebaskan” dan meluruskan kandungan pengertian terminologi-terminologi penting yang beredar dan banyak menimbulkan polemik serta kontroversi dalam kehidupan pemikiran pada masa sekarang, maka untuk lebih meyakini keharusan meluruskan kandungan pengertian terminologi-terminologi ini sebagai prasyarat pokok adalah mengadakan dialog serius dan efektif, yaitu dialog seputar maksud-maksud syari’ah Islam yang diharapkan akan mengungkap keharusan membebaskan kandungan

pengertian dan konsep-konsep terminologi-terminologi epistemologis. Selanjutnya dikemukakan kepada para pembaca konsep-konsep terminologi yang menjadi fokus perdebatan antara peradaban Barat dan Islam dan antara kelompok sekular dan Islamis dalam kehidupan pemikiran modern.

Semoga Allah berkenan memberi kemudahan dalam upaya mencapai tujuan yang diharapkan dari upaya pemikiran ini: mengungkap wilayah yang mempunyai kesamaan dan juga wilayah-wilayah yang berbeda antara peradaban Islam dan peradaban Barat.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-14 Rambu-rambu Petunjuk Jalan Ilahi

Sayyid-Quthb.jpg

Ras manusia dewasa ini berada di ambang jurang kehancuran. Bukan disebabkan bayang-bayang kematian yang merisaukan pikirannya, karena semua itu hanya merupakan indikasi penyakit. Bukan penyakit itu sendiri, melainkan ini disebabkan kegagalannya dalam mengenali nilai-nilai yang mendorong kehidupan manusia berkembang alami dan mencapai kemajuan berarti dalam naungan nilai-nilai tersebut. Demikian ini telah jelas-jelas terjadi pada dunia barat yang tidak menyediakan cukup ruang untuk nilai-nilai kemanusiaan, bahkan tidak memberikan sesuatu yang memuaskan nuraninya dengan pengakuan eksistensi. Hal ini terjadi setelah propaganda demokrasi sampai pada sesuatu yang mengkhawatirkan, di mana demokrasi barat lambat laun mulai mengadopsi dan mempratikkan sistem-sistem blok timur, dan lebih-lebih sistem ekonomi di bawah bendera sosialisme.

Demikian pula yang terjadi pada blok timur sendiri. Teori-teori komunalis yang dipelopori Marxisme yang di awal kemunculannya sempat menarik simpati khalayak di dunia timur –juga di dunia barat- sebagai aliran yang mengusung watak keimanan, jelas-jelas mengalami kemunduran dalam hal pemikiran, sampai-sampai kini hampir sebatas berkenaan dengan negara dann perundang-undangannya saja. Tentunya, hal ini makin jauh dari ide-ide dasar paham tersebut.

Secara umun, paham Marxisme bertentangan dengan sifat alamiah watak dan kebutuhan-kebutuhan fitrah manusia (thabi’ah al fithrah al basyariyyah wa muqtadhayatuha). Paham ini hanya akan berkembang pada waktu chaos , atau dalam suasana yang mendukung sistem diktatorial dalam rentang waktu yang lama. Hingga akhirnya, dalam situasi semacam ini mulailah tampak kehancuran-kehancuran Eropa dalam segi material-ekonomis padahal bidang inilah yang selama ini mereka tonjolkan dan banggakan. Negara Rusia, yang selama ini menjaadi simbol sentral sistem ssosialis, produktivitasnya merosot drastis setelah sebelumnya mencapai kemakmuran sampai pada masa-masa kekaisaran. Rusia kini malah mengimpor gandum dan beberapa bahan makanan. Bahkan mereka sampai menjual emas yang mereka punyai untuk mendapatkan bahan makanan karena gagalnya lahan pertanian rakyat mereka, termasuk juga sebab gagalnya sistem yang bertentangan dengan fitrah kemanusiaan (human nature).

Atas dasar tersebut, mutlak diperlukan sistem kepemimpinan sosial yang baru bagi kemanusiaan!

Sesungguhnya kepemimpinan barat terhadap manusia telah mendekati titik kehancuran. Ini bukan disebabkan peradaban barat yang mengalami kerugian secara material maupun lemah dalam segi kekuatan ekonomi dan paramiliter, melainkan karena sistem abrat (yakni, peranannya) telah habis masanya, sebab tidak dianggap memiliki neraca nilai yang mendukungnya memegang tampuk kepemimpinan.

Mutlak diperlukan kepemimpinan sosial yang mamppu melestarikan dan mengembangkan peradaban materialistik yang telah dicapai manusia, yakni dengan mempertahankan kecemerlangan bangsa Eropa dalam penemuan-penemuan ilmiah (scientific inventions), plus memenuhi jiwa manusia dengan nilai-nilai yang benar-benar baru –dari yang pernah dikenal manusia-  dan dengan manhaj yang orisinal, progresif, dan realistis pada masa kini.

Hanya islamlah, satu-satunya agama yang memiliki nilai-nilai dan manhaj tersebut.

Kebangkitan ilmu pengetahuan telah berlalu masanya, masa yang trennya dimulai sejak masa renaissans pada abad ke-16 Masehi dan mencapai puncaknya selama dua abad berikutnya, abad ke-17 dan abad ke-18. Akan tetapi, kebangkitan ini tidak dianggap memiliki nilai yang up to date.

Demikian halnya patriotisme dan nasionalisme –keduanya cukup aktual pada masanya- serta beberapa paham etnis, secara umum, telah melewati masanya sepanjang abad tersebut. Akan tetapi paham-paham itu tidak juga dianggap memiliki neraca nilai yang up to date. Sehingga pada akhirnya paham-paham tersebut baik yang dianut secara individual maupun komunal, lambat laun mengalami kegagalan.

Tibalah gilirannya masa islam dan komunitas ‘umat’ (al ummah) mengambil alih di tengah-tengah situasi yang sulit, centang perenang, dan tak karuan. Islam hadir dengan konsepsi yang bersahabat dengan penemuan-penemuan ilmiah di muka bumi, karena islam memang memberikan ruang bagi kretifitas ilmiah sebagai bagian dari ‘tugas’ pokok manusia semenjak Allah mengambil janjinya memegang kendali pengelolaan (khilafah) atas bumi. Dan atas semua itu, Allah menghargainya –dengan syarat-syarat tertentu- sebagai bagian dari pengabdian kepada-Nya dan sebagai bentuk implementasi tujuan eksistensi manusia. Allah SWT berfirman:

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’” (QS Al Baqarah [2] : 30)

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. adz-Dzariyat [51] : 56)

Sementara itu konsep ‘umat yang taat’ (ummah muslimah) hadir untuk merealisasikan tujuan yang dikehendaki Allah atas ditampilkannya mereka di hadapan rasa manusia, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, kalian menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS. Ali Imran [3] : 110)

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian” (QS Al Baqarah [2] : 143)

Akan tetapi, Islam tidak akan mampu menunaikan perannya kecuali apabila ia tampil dalam sebuah masyarakat, yakni tampil dalam suatu umat (ummah; komunitas pemeluk agama). Manusia tidak akan mau mengindahkan –lebih-lebih pada masa sekarang- seruan akidah semata; mereka enggan memandang bukti nyata dalam kehidupan kekinian.

Eksistensi umat Islam terbilang telah tercerai-berai sejak beberapa abad yang lalu. Umat Islam bukanlah “tanah air” di mana islam hidup di sana, bukan pula suatu kaum yang para leluhurnya hidup di suatu zaman sejarah dengan tatanan Islam. Namun, umat Islam adalah sekelompok manusia yang kehidupan, konsepsi, sikap, tatanan, nilai-nilai dan pertimbangannya, terpancar dari manhaj islam. Dan umat ini –dengan karakteristik yang demikian- terseok-seok eksistensinya sejak terjadinya diskontinuitas implementasi hukum syariat Allah di segala penjuru bumi.

Mau tak mau, harus dilakukan review terhadap eksistensi umat ini, agar Islam mampu menunaikan perannya dalam kepemimpinan manusia yang ditunggu-tunggu sekali lagi.

Harus ada suatu stimulan bagi umat ini, umat yang selama ini terkubur di tengah generasi-generasi, di baawah tumpukan beragam konsepsi, aturan main dan sistem, yang semuanya tak ada kaitannya dengan Islam dan manhaj Islami, sekalipun semua itu diklaim masih berada dalam apa yang disebut “Dunia Islam” (al alam al islami).

Kami menyadari bahwasanya perjalanan yang ditempuh mulai dari upaya stimulasi umat hingga realisasi kepemimpinan adalah sangat berat. Bahkan umat Islam sempat kehilangan eksistensi dan perannya dalam jangka waktu yang lama. Dalam masa yang lama itu, berbagai umat, juga beragam pemikiran, konsepsi dan aturan main, silih berganti menghagemoni tatanan sosial manusia. Kecermelangan bangsa Eropa ketika itu menciptakan kekayaan yang besar berupa sains, kebudayaan, isme-isme, dan produktivitas materi. Ini merupakan kekayaan besar yang dicapai manusia dalam kejayaannya, manusia tidak akan melupakannya begitu saja, dan tidak pula melupakan orang-orang yang merintisnya dengan mudah. Lebih-lebih bahwasanya apa yang disebut dunia Islam hampir mengalami disfungsi sosial dalam kegemerlapan tersebut.

Bertolak dari semua pengalaman di atas, maka harus ada kebangkitan Islam, meski perjalanan dari upaya stimulasi umat menuju realisasi tatanan sosial sangatlah jauh. Usaha keras stimulasi umat islam inilah langkah awal yang tak mungkin diabaikan.

Dalam rangka membuktikan hipotesa di atas, untuk mengidentifikasi permasalahan, kita semestinya memahami spesialisasi umat ini dalam hal kepemimpinan manusia. Agar, jangan sampai kita keliru merumuskan komponen-komponen yang dibutuhkan untuk upaya awal stimulasi tersebut.

Sejatinya, sekarang ini umat Islam tak mampu mempersembahkan kehebatan yang gemilang bagi manusia dalam hal penemuan ilmiah. Sangat disayangkan, kepemimpinannya yang mendunia dalam bidang ini telah berlalu. Kini, kecemerlangan bangsa Eropa telah jauh mendahului mereka mencapai garis finish. Namun, paling tidak, yang dinantikan –sepanjang beberapa abad- bukanlah superioritas secara materi di atas Barat!

Ini bukan berarti kita menganggap sebelah mata penemuan ilmiah. Kita tetap wajib mencurahkan segenap tenaga dan fikiran untuk itu, akan tetapi tidak dengan label “spesialis” yang hendak kita dedikasikan bagi kepemimpinan manusia sepanjang masa. Tetapi, hal tersebut kita masukkan dalam kategori kebutuhan personal bagi kelangsungan hidup kita.

Begitu pula, kita menganggapnya sebagai kepentingan yang harus kita pikirkan konsepnya secara Islami sehingga bisa menjadi spirit bagi manusia dalam pengelolaan bumi (khilafatul ardh), dan ditempatkan manusia –dengan syarat-syarat tertentu- sebagai bagian dari pengabdian kepada Allah dan sebagai bentuk implementasi tujuan eksistensi manusia.

Bagi kepemimpinan manusia, jika demikian, mau tak mau dibutuhkan spesialisasi lain, selain penemuan ilmiah. Spesialisasi itu, tidak bisa tidak, adalah bidang akidah dan manhaj. Yakni, spesialisasi yang kondusif bagi manusia agar melestarikan hasil-hasil kemajuan materi di bawah arahan konsepsi Islam yang mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia sebagaimana peranan yang dijalankan oleh penemuan ilmiah; serta agar akidah dan manhaj Islam mengejawantah dalam suatu komunitas manusia, yakni masyarakat Muslim.

Sejatinya, semua manusia sekarang ini hidup dalam suatu masa jahiliyah, dilihat dari sudut pandang sumber yang merasuki berbagai sendi kehidupan dan tatanannya. Yakni, suatu jahiliyah di mana berbagai kemajuan fasilitas fisik – materi dan kegemilangan penemuan ilmiah tidak mengurangi kejahiliyahan sedikitpun.

Jahiliyah tampil di atas prinsip menentang intervensi kekuasaan Allah swt di muka bumi, terutama berkaitan dengan karakteristik ketuhanan (uluhiyah), yakni jahiliyah dalam sistem kekuasaan. Dalam hal ini, ia menyerahkan sistem kekuasaan kepada manusia. Sebagian mereka menjadikan sebagian yang lain sebagai penguasa. Bukan dalam struktur primordial nan polos yang dikenal pada fase jahiliyah primitif, melainkan dalam bentuk pengakuan kebenaran atas pelbagai konsepsi dan nilai yang mereka anut, juga pelbagai hukum dan undang-undang, serta tata aturan dan tradisi yang berlaku. Semuanya berlawanan dengan manhaj Allah tentang kehidupan, dan berada dalam kondisi yang tidak diridhai-Nya.

Kemudian, penentangan terhadap intervensi kekuasaan Allah berkembang menjadi penentangan terhadap hamba-hamba-Nya. Bukankah kehancuran manusia  secara masif terjadi dalam tata aturan sosialis?! Bukankah kesengsaraan berbagai individu dan bangsa-bangsa disebabkan perbudakan kapital dan imperialisme dalam sistem kapitalis?! Semua itu tiada lain merupakan salah satu dampak penentangan terhadap intervensi kekuasaan Allah dan penafian hak asasi yang telah ditetapkan Allah bagi manusia.

Atas dasar semua itulah, manhaj islam menjadi manhaj satu-satunya (yang layak). Dengan tata aturan apapun selain aturan Islam, sebagian manusia memperbudak sebagian yang lain dalam bentuk perbudakan tertentu; sementara hanya dalam manhaj Islamlah, manusia terbebas dari segala bentuk perbudakan sesama manusia. Dalam manhaj ini, manusia hanya menghambakan diri kepada Allah, menerima sesuatu dari Allah semata, dan tunduk hanya kepada-Nya.

Inilah yang menjadi titik perbedaan, dan inilah konsepsi terbaru –berikut segala konsekuensi besar yang diakibatkannya- yang dapat kita persembahkan bagi kemanusiaan dalam kelangsungan kehidupannya. Semua ini merupakan kekayaan besar yang tidak dimiliki oleh ras manusia, karena ia bukanlah buah karya peradaban Barat, bukan pula merupakan output dari kecemerlangan Bangsa Eropa, baik Eropa Timur maupun Eropa Barat.

Tak diragukan lagi, kita sejatinya memiliki sesuatu yang benar-benar baru; yakni sesuatu yang tidak dikenal, dan tidak mampu dihasilkan, oleh ras manusia. Namun, sesuatu yang baru ini –sebagaimana kami katakan sebelumnya- harus terejawantahkan dalam pengamalan nyata yang senantiasa dipedomani oleh suatu umat. Untuk itu, ia memerlukan suatu proses stimulasi dalam internal Dunia Islam. Stimulasi inilah yang akan diikuti –entah dalam waktu dekat atau jauh- dengan implementasi dalam tatanan sosial.

Lantas, bagaimanakah proses stimulasi Islam akan dimulai?

Harus ada sekelompok pionir yang membulatkan tekad ini, kemudian menindaklanjutinya dengan pengamalan. Mereka terjun ke dalam lautan kejahiliyahan yang memiliki network di seluruh penjuru bumi. Di sana, mereka mempraktikkan perbuatan yang asing dalam suatu bidang, dan juga mempraktikkan perbuatan yang erat kaitannya –dalam bidang lain- dengan praktik jahiliyah.

Dalam hal ini, sang pionir yang telah membulatkan tekad harus memiliki sebuah “petunjuk jalan” (ma’alim fi ath-thariq), yakni petunjuk yang memaparkan karakteristik perannya, hakikat fungsinya, tujuan idealnya, dan tahapan-tahapannya, dalam perjalanan yang panjang. Dari petunjuk tersebut, juga dikenalkan karakter posisinya di hadapan jahiliyah yang memiliki network di seluruh dunia.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah: di manakah sang pionir harus sejalan, dan di mana pula ia harus berbeda, dengan dunia jahiliyah? Apa keistimewaan sang pionir dan apa pula kelebihan jaringan jahiliyah? Bagaimana, dan dalam hal apa, sang pionir bergumul –dengan bahasa islam- dengan para ahli jahiliyah? Kemudian dari mana, dan bagaimanakah sang pionir mengetahui semua hal tersebut?

Petunjuk jalan tersebut haruslah diluruskan dengan berpangkal dari referensi utama akidah ini: al-Quran. Kemudian, barulah diluruskan sejalan dengan tuntunan-tuntunan pokok al-Quran, dan konsepsi yang ditanamkannya dalam jiwa-jiwa yang jernih nan terpilih. Jiwa-jiwa inilah yang diciptakan Allah swt di bumi ini sesuai dengan kehendak-Nya, dan yang akan mengubah catatan perjalanan sejarah –sekali lagi- sesuai dengan jalan yang dikehendaki Allah swt.

Untuk sang pionir yang diharap-harap nan ditunggu-tunggu inilah kami menulis kitab (buku) Ma’alim fi Ath Thariq. Empat bab dalam karya ini disarikan dari kitab Fi Zhilal Al Quran disertai dengan beberapa modifikasi dan tambahan yang sesuai dengan tema kitab Ma’alim. Dan delapan bab lainnya –di luar prolog- terpublikasi secara terpisah, seiring inspirasi berkesinambungan yang mengilhaminya menuju manhaj Rabbani yang terjabarkan dalam al-Quranul Karim. Semua tulisan –yang berserakan- tersebut dihimpun agar menjadi “rambu-rambu petunjuk jalan” (ma’alim fi ath thariq), karena ia merupakan sesuatu yang inheren dengan petunjuk di setiap perjalanan. Kolektivitas petunjuk tersebut telah memunculkan prototipe berupa generasi pertama dari para pendahulu kita. Allah telah membimbing mereka mengikuti rambu-rambu petunjuk dalam meniti perjalanan ini.

Semoga Allah berkenan melimpahkan taufik-Nya. Amin.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-14 Dakwah Kami: Kejelasan Seruan

Hasan-Al-Banna.jpg

Melebur

Di samping itu, umat Islam harus mengetahui bahwa beban dakwah ini hanya dapat dipikul oleh mereka yang telah memahami dan bersedia memberikan apa saja yang kelak dituntut olehnya; baik waktu, kesehatan, harta, bahkan darah.

“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, sanak keluargamu, harta yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu takuti kerugiannya, rumahrumah kediaman yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan adzab-Nya. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaun yang dzalim.” (At Taubah: 24)

Dakwah ini tidak mengenal sikap ganda. Ia hanya mengenal satu sikap totalitas. Siapa yang bersedia untuk itu, maka ia harus hidup bersama dakwah dan dakwah pun melebur dalam dirinya. Sebaliknya, barang siapa yang lemah dalam memikul beban ini, ia terhalang dari pahala besar mujahid dan tertinggal bersama orang-orang yang dudukduduk.

Lalu Allah swt. akan mengganti mereka dengan generasi lain yang lebih baik dan sanggup memikul beban dalwah ini. Allah swt. berfirman tentang mereka, “…yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang ia berikan kepada siapa yang dikehendaki.” (Al Maidah: 54)

Kejelasan

Kami mengajak manusia kepada suatu ideologi. Ideologi yang jelas, definitif, dan aksiomatik. Sebuah ideologi yang mereka semua telah mengenalnya, beriman padanya, dan percaya akan kebenarannya. Mereka juga tahu bahwa ideologi itu merupakan jalan menuju pembebasan, kebahagiaan, dan ketenangan dalam kehidupan ini. Sebuah ideologi yang telah dibuktikan oleh pengalaman dan disaksikan oleh sejarah akan keabadian dan kelailannya dalam menata dan menyejahterakan kehidupan manusia.

Dua Iman

Pada dasarnya baik kami maupun umat kami sama-sama beriman dan meyakini kebenaran ideologi itu. Yang membedakan kami dengan mereka adalah bahwa iman pada diri mereka itu tertidur lelap, dan karenanya tidak mempunyai daya dorong yang kuat yang dapat membuat mereka mau melaksanakan segala konsekwensi keimanan tersebut. Tapi sebaliknya, iman itu terasa begitu kuat, penuh elan vital, dan senantiasa menggelora dalam jiwa Ikhwanul Muslimin.

Ada sebuah gejala psikologis aneh di kalangan orang-orang Timur –yang dirasakan orang banyak dan juga kita rasakan– bahwa kita sering menggambarkan keyakinan kita terhadap suatu ideologi kepada orang lain, dengan ekspresi yang kadang membuat mereka percaya bahwa dengan keyakinan itu kita mampu menghancurkan gunung, mengarungi lautan, dan melintasi seluruh marabahaya yang menentang kita, sampai ideologi itu menang bersama kita dan kita menang bersamanya. Tetapi ketika gelora retorika itu mulai surut, tiba-tiba saja semua kita lupa dan lalai pada ideologi itu.

Tak seorang pun yang berpikir bagaimana merealisasikan ideologi itu dan berjihad membelanya, bahkan dengan selemah-lemahnya jihad sekalipun. Sadar atau tidak sadar, kelengahan dan kelalaian itu terkadang bahkan sampai mendorong sebagian kita untuk melakukan tindakan yang memusuhi ideologi itu. Dalam banyak kesempatan kita sering dibuat terbawa bingung, melihat seorang tokoh pemikir atau budayawan, yang suatu saat dia bersikap atheis lalu tiba-tiba dia bisa menjadi seorang yang sangat agamis.

Inilah kelengahan, kealpaan, ketaksadaran, kerapuhan dan keterlelapan yang panjang -atau apa saja sebutan yang tepat yang mendorong kami untuk menghidupkan kembali ‘ideologi’ itu. Sekalipun sebenarnya umat –yang kami cintai ini– telah lama mempercayai dan meyakininya.

Seruan-seruan

Saya ingin kembali kepada awal pembicaraan. Saya ingin mengatakan bahwa dakwah Ikhwanul Muslimin adalah seruan kepada suatu ideologi. Kini, baik di Barat maupun di Timur, kita menyaksikan amukan badai dari berbagai ideologi, isme, dan aliran pemikiran yang saling berpacu untuk mempengaruhi pikiran dan perasaan khalayak. Dengan berbagai promosi dan yel-yel –walaupun terkadang tampak norak dan berlebihan– mereka mengekspos isme-isme yang diyakininya sedemikian rupa dalam suatu kemasan yang membuatnya tampak menarik dan penuh pesona.

Sang Penyeru

Para penyeru isme-isme sekarang berbeda dengan masa-masa sebelum ini. Mereka kini —khususnya di negara-negara Barat— tampil lebih intelek, lebih profesional, dan lebih terlatih. Kini setiap isme didukung oleh perangkat sumber daya manusia yang sangat terlatih dan setiap saat bekerja mengkampanyekan dan mempromosikan paham yang diyakininya. Setiap saat mereka berusaha menemukan berbagai sarana sosialisasi dan provokasi serta mencari metode paling efektif untuk mempengaruhi massa.

Sarana Untuk Menyeru

Sarana-sarana propaganda saat ini pun berbeda dengan sebelumnya. Kemarin, propaganda disebarkan melalui khutbah, pertemuan atau surat menyurat. Tapi sekarang seruan atau propaganda kepada isme-isme itu disebarkan melalui penerbitan majalah, koran, film, panggung teater, radio dan media-media lain yang beragam. Sarana-sarana itu telah berhasil menembus semua jalan menuju akal dan hati khalayak, baik pria maupun wanita, di rumah-rumah, di toko-toko, di pabrik-pabrik, bahkan di sawah-sawah mereka.

Maka adalah wajb bagi para pengemban missi dakwah ini untuk (juga) menguasai semua sarana tersebut agar dakwah mereka membuahkan hasil yang memuaskan. Saya akan kembali mengatakan bahwa dunia kini sedang diharu-biru oleh berbagai isme. Ada yang bernuansa politik, ekonomi, militer, nasionalisme, ada yang mengatasnamakan perdamaian, dan sebagainya. Lalu di manakah posisi Ikhwanul Muslimin dalam percaturan antar berbagai isme tersebut? Jawaban terhadap pertanyaan itu akan membawa saya untuk membicarakan dua masalah. Pertama, tentang kerangka positif normatif dakwah kami. Kedua, tentang sikap dakwah kami terhadap seruan dan propaganda dari isme-isme tersebut.

Saya berharap bahwa anda tidak akan menyalahkan jika kata-kata saya nantinya mengalir panjang. Sebab saya telah berjanji kepada diri sendiri untuk menulis dengan cara seperti ketika saya berbicara dan membahas tema ini dengan gaya tersebut, dengan gaya pembahasan yang ringan dan tanpa beban. Dengannya saya hanya ingin agar orang dapat memahami saya sebagaimana saya adanya, dan agar ucapan saya masuk ke dalam jiwa mereka secara utuh, tidak terpotong-potong.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-15 Fitrah dan Kejujuran Cinta

Rahmat-Abdullah.jpg

Kau tentang Tuhan dan nampakkan cinta Dia demi Allah, ini perkara luar biasa.

Bila sungguh cintamu benar tentulah kau taat Dia.

Karena setiap kekasih, kepada Kekasihnya pastilah setia. ( Imam Syafi’i)

Tak satu pun orang suka dibohongi, terlebih bila itu menyangkut cinta dan kesetiaan. Dimana saja kebohongan dan penghianatan dibenci, termasuk di kalangan para bandit dan mafia yang notabene kerja mereka di sekitar kejahatan. Syirik adalah bentuk dusta yang paling besar, yang banyak menghasilkan dusta-dusta susulan. Ketika Allah menyebutkan salah satu misi Rasulullah SAW adalah memberi peringatan kepada mereka yang mengatakan Allah berputera, Ia berkata, “Mereka dan bapak-bapak mereka tidak berilmu, alangkah buruknya ucapan yang keluar dari mulut mereka. Tak lain yang mereka katakan kecuali dusta” (QS. Al Kahfi : 5).

Jujur Vs Lacur (baca:Nifaq)

Sedemikian bahayakah dusta? Ya, dan dusta yang lebih nista terjadi ketika seorang mendustai kata hatinya sendiri. Seseorang yang mengabaikan lintasan hatinya tentang derita tetangganya yang kelaparan lalu tidur nyenyak, maka ia adalah seorang pendusta. Karenanya Rasulullah SAW mensyaratkan (kejujuran) iman kepada Allah dan hari akhir dengan ihsan kepada tetangga. (HR. Muslim)

Nilai iman yang tertinggi manakala pemiliknya dapat merasakan ketenteraman iman ( QS. Ar Ra’d “28) dan karenanya mereka berhak mendapatkan keamanan (QS Al An’am:82). Ketenteraman dan keamanan tersebut tidak ada hubungannya dengan mentalitas burung onta yang melarikan diri dari persoalan umat dan berlindung di balik dinding ma’bad tempat dzikir, karena orang seperti mereka bisa sangat guncang dan tidak merasa aman terhadap ancaman makhluk. Terlebih untuk menjadikan dirinya “perisai Tuhan” bagi hamba-Nya yang lemah teraniaya. Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits, “Suatu masa turun perintah Allah kepada malaikat untuk menumpahkan adzab pada suatu negeri. Malaikat itu melapor dan Allah Maha Tahu tentang hal yang dilaporkannya:” Ya Rabb, inna fiha rajulan shalihan (Ya Tuhan, disana ada seorang saleh). “Justru jawaban Allah begitu mengejutkan “Fabihi fabda” (Justru mulailah timpakan adzab kepadanya)” Apa pasal? Linnahu lam yatama’ar wajhuhu fiyya (Karena wajahnya sama sekali tak pernah memerah karena Aku).  Ia tak punya ghirah (kecemburuan dan ketersinggungan) bila kehormatan Allah dilanggar. Ia tenang ketika ummatnya dibantai. Ia baru tersinggung bila pribadinya diusik! Salah satu sukses madrasah (aliran) sekuler modern adalah keberhasilan mereka mencetak generasi Muslim yang (tak) tersinggung bila Islam, Al Qur’an dan Rasul diejek. “Demi toleransi” kata mereka.

Cinta dan Kejujuran

Ada banyak apresiasi iman, ibadah, dan cinta. Mungkin seseorang beribadah dengan penghayatan ibadah sebagai pedagang, ia berkiblat kepada keuntungan. Ada penghayatan ibadah sebagai jalan pembebasan. Ada pengabdian yang semata-mata berangkat karena ingin mencintai, memberi , menikmati pengabdian yang hakiki dalam wujud ketundukan dan pengorbanan. Suatu hari berlangsung diskusi antara empat orang tokoh : Rabi’ah Al Adawiyah, Sufyan Ats Tsauri, Syaqiq Al Balkhi dan Malik Bin Dinar. Rabi’ah meminta mereka mendefinisikan Kejujuran.

“Tak jujur pengakuan cinta seseorang yang tak bersabar menahan pukulan tuannya, “ ungkap Sufyan Ats Tsauri.

“Tak jujur pengakuan seseorang yang tak bersyukur atas pukulan tuannya,” jawab Syaqiq Al Balkhi.

“Tak jujur pengakuan seseorang yang bernikmat-nikmat dipukul tuannya,” sergah Malik bin Dinar.

“Tak jujur pengakuan seseorang yang takmelupakan pukulan ketika menghadap tuannya,” jawab Rabi’ah Al ’Adawiyah.

Demikian tingkat-tingkat kematangan manusia dalam kejujuran dan kematangan pribadi mereka. Ada orang yang begitu sabar menahan derita hidup. Ada begitu tahan menerima derita da’wah. Dan ada yang begitu bersyukur dan bahkan menikmati derita sebagai karunia. Semuanya indah, terutama pada sang totalis (Shahibut tajrid) yang tak menyadari derita, karena yang ada hanyalah Dia.

Banyak orang mengenal kejujuran yang belum beranjak dari kejujuran mulut, belum lagi hati, apa lagi hati yang paling dalam. Mengapa engkau percaya pujian orang yang tak mengenal hakekat dirimu. Padahal engkau tahu dirimu tidak berhak untuk hal tersebut. Suatu hari Rasululloh SAW ditanya:” Mungkinkah seseorang Muslim berzina?” Beliau menjawab  ” Ya, mungkin.” Mencuri?” Ya, mungkin.” Berdusta? “Tidak, demi Allah, dia tidak mungkin berdusta!” Barang siapa berhati jujur tentulah tak akan mendustai hatinya yang tak pernah bisa didustai.

Dengan berbagai macama alasan, delapan puluh munafiqin kelas berat menghindari mobilisasi Tabuk. Saat Rasulullah SAW kembali dari perang yang Allah sendiri menyebutnya sebagai “sa’atul ‘usrah” (saat-saat sulit), mereka telah menunggu di depan masjid dan menyambut kedatangan beliau dengan persiapan matang dan alasan yang memukau, tentang mengapa mereka tak ikut perang Tabuk. Ka’ab bin Malik seorang sahabat utama yang tak pernah absen dalam setiap pertempuran -kecuali Badar- mengajukan kalimat terang dan jujur sebagai pilihan terpahit dan mereka tak ingin membohongi Rasulullah SAW agar dapat dimaklumi dan dimaafkan. Kepada Rasulullah menyatakan: “Amma hadza faqad shadaq,” (Adapun orang ini, maka benarlah ia).

Jujur, Jalan Bebas Hambatan

Suatu hari, dalam pertempuran yang sangat dahsyat datanglah seorang budak kepada Rasulullah yang sedang menghitung ghanimah. Beliau membagi orang itu bagian dari rampasan perang tersebut. “Bukan untuk ini berjihad,” jelasnya. “Lalu, untuk apa?” tanya Rasulullah SAW. “Agar saya bisa ikut membela islam, kena tombak disini (sambil menunjuk ke puncak dadanya) dan saya mati karenanya sebagai syahid lalu masuk surga,” jawab penggembala hitam itu. Tak lama kemudian orang menemukan jasadnya, ia telah syahid dengan luka persis di tempat yang ditunjukkannya tadi. Rasulullah berkata: ” Ia benar, maka Allah membenarkannya. “Dan, diantara empat kelompok yang Allah beri nikmat dan diletakkan setelah kedudukan para nabi, ialah kedudukan Ash Sidhiqin.” (QS An Nisa’:69)

Kejujuran puasa mestinya terus berlanjut dalam bentuk kejujuran hidup jauh selepas bulan Ramadhan yang penuh berkah itu. Bila seseorang bertaubat dengan memenuhi tiga syaratnya maka taubatnya akan diterima. Mencabut diri dari maksiat, menyesal sepenuh sesal atas maksiat itu, dan berazam sepenuh tekad untuk tidak kembali kepadanya.

Kejujuran cinta terhadap tanah air dan bangsa akan mengambil bentuk ghirah dan gairah yang hanya keselamatan dan kemajuannya. Tidak ada cinta tanpa cemburu (ghirah) sebagaimana tak ada kemuliaan tanpa pengorbanan. Allah menjadika rezeki paling mulia datang dari amal yang paling mulia (akramul arzaq ta’ti min akraminal a’maal). Betapa indah seseorang yang menyerahkan nyawanya kepada Allah untuk tegakknya kalimatullah. Seluruh dosanya –kecil dan besar dijamin dapat ampunan, kecuali hutang terhadap sesama manusia. Karenanya, rezeki yang didapat dalam jihad menjadi rezeki paling mulia. Ghanimah adalah harta paling mulia (jihad). Dan jihad me-loundry semua harta, dari manapun sumbernya dan bagaimanapun kotornya.

Ghirah dan Gairah

Sebuah rumah tangga yang baik ditandai dengan kehormatan dan harga diri warganya. Seorang bapak yang menjual kehormatan anak atau istrinya dengan gemerlap perangkat rumah tangga dan harta melimpah, sama sekali tidak berhak menyandang kehormatan anak seorang manusia sebatas manusia, jangan lagi dalam ukuran hamba beriman. Para pengambil keputusan di setiap bangsa dengan orientasi dunia dan hidup tanpa aqidah wajar-wajar saja membuka hubungan dengan bangsa predator dan agresor yang menzalimi sesama bangsa. Mereka tidak perlu mempertimbangkan harga diri dan kehormatan.

Tetapi bangsa beraqidah mempunyai nilai-nilai yang lebih tinggi dari nilai angka rupiah atau dolar. Mereka pasti akan malu kepada hewan yang umumnya punya rasa cemburu an harga diri. Lihatlah kemarahan harimau atas hilangnya anak tersayang. Atau ingatan yang amat kuat pada seekor gajah sirkus yang merasakan pedihnya kehilangan seorang teman yang mati dibunuh pemburu hutan. Ingatan itu muncul kembali saat sang pemburu menonton sirkus beberapa tahun kemudian.

Hanya babi yang tak punya rasa cemburu. Seekor babi jantan baru saja menggauli betinanya lalu dengan dungunya menonton anak kandungnya menggauli sang betina. Itulah toleransi dan hidup damai yang diimikan pemimpin bermental babi. Ia tak terusik oleh kekejaman umat lain terhadap ummatnya. Ia hanya berfikir bagaimana bangsanya bisa dapat banyak uang dan selamat dari lapar jasad.

Tentu saja kita tak boleh hidup dengan dendam seperti Yahudi, yang setiap datang hari jadi PBB selalu mengelabui kalangan awam untuk menonton film-film perang dunia (baca perang Nazi terhadap Yahudi) untuk menguras air mata pemirsa. Atau ketika dunia marah lantaran mereka menembaki ibu-ibu, kakek-kakek dan nenek-nenek serta menjaring bocah-bocah intifadah dari heli dan menjatuhkannya dari ketinggian! Jangan ajarkan ummat untuk bertoleransi dan melindungi kaum minoritas, karena mereka  keturunan leluhur yang telah menjadi  guru dunia tentang hak asasi dan toleransi.

Apakah kutukan Allah yang mengubah manusia jadi kera hanya berlaku bagi Bani Israil? Sebenarnya kedewasaan iman dan kematangan akhlaq seorang Muslim tidak perlu merisaukan perubahan itu jasadiyah atau ruhaniyah. Apalah artinya kecantikan rupa bila watak dan perilaku telah berubah menjadi rakus, licik, kikir, peniru tanpa pertimbangan, pengimpor kerusakan dan dekaden. Mengapa masih banyak orang yang berlapang hati bahwa yang dikutuk jadi kera itu orang dulu, padahal dirinya sendiri telah menjadi kera dan babi.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-16 Kekalahan

Muhammad-Anis-Matta1.jpg

Dalam sajak Aku, Chairil Anwar mengungkap sebuah obsesi tentang nafas dan stamina kehidupan, vitalitas, dinamika, dan yang jauh lebih penting: perlawanan. Dia ingin melawan ketidakmungkinan; dia ingin menembus masa; dia ingin mengabadi, maka dia berkata, “Aku mau hidup seribu tahun lagi.”

Akan tetapi, beberapa saat menjelang wafatnya, Chairil Anwar ternyata menyerah. Sakitnya parah. Ia mati muda. Namun, sebelumnya dia berkata. “Hidup hanya menunda kekalahan,”

Seorang pahlawan boleh salah, boleh gagal, boleh tertimpa musibah. Akan tetapi, dia tidak boleh kalah. Dia tidak boleh menyerah kepada kelemahannya; dia tidak boleh menyerah kepada tantangannya; dia tidak boleh menyerah kepada keterbatasannya. Dia harus tetap melawan, menembus gelap, supaya dia bisa menjemput fajar. Sebab, kepahlawanan adalah piala yang direbut, bukan kado yang dihadiahkan.

Di bawah godaan keterbatasan dan kelemahan, di bawah tekanan realitas tantangan yang sering terlihat seperti kabut tebal dari ketidakmungkinan, semangat perlawanan seorang pahlawan teruji. Maka, di alam jiwa individu, selalu ada yang kalah, lalu ia menjadi pengkhianat: sebab dia mengkhianati cita-citanya. Maka, dalam sejarah sebuah bangsa, selalu ada noda yang diteteskan oleh pengkhianatan: ketika mereka menyerah kepada kodrat mereka sebagai bangsa yang lemah; ketika mereka merasa bangga bernaung di bawah ketiak bangsa-bangsa lain; ketika sekelompok pengkhianat dari bangsa itu melepaskan diri dari identitas dan harga diri bangsa, lalu menjual bang-anya, semata karena mereka kehilangan kepercayaan untuk melawan.

Perlawanan bukanlah keberanian, walaupun ia merupakan bagiannya yang terpenting. Keberanian adalah anugerah. Akan tetapi, perlawanan adalah keharusan. Ketika Hekmatyar bersama tiga puluh orang Mujahidin Afghanistan dikepung tentara Uni Soviet, mereka memutuskan untuk tidak menyerah.

Mereka tidak mau sia-sia. Mereka harus melawan tank-tank sadis itu, walaupun hanya dengan batu. Jihad pun dimulai, sampai empat belas tahun kemudian mereka menang, walaupun dengan dua juta syuhada. Uni Soviet pun runtuh. Begitulah sejarah kepahlawanan ditulis dari perlawanan. Satu setengah juta orang Aljazair syahid untuk melawan penjajah Perancis. Adapun Bangsa Indonesia mengusir penjajah Belanda dan Jepang hanya dengan bambu runcing.

Akan tetapi, perlawanan bukanlah kenekatan. Tidak ada pertentangan antara perlawanan dengan realisme yang mengharuskan kita mempertimbangkan semua aspek secara utuh. Perlawanan adalah ruh dan jasadnya adalah realisme. Maka, ketika ruh itu hilang dalam diri kita, segeralah membuat keranda jenazah unluk mengubur mimpi kepahlawanan.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-16 Pengantar Kebebasan Wanita (4)

Muhammad-Al-Ghazali.gif

Saya berharap, buku yang mengupas masalah wanita dalam masyarakat seperti ini sudah muncul beberapa abad yang silam. Sebab, kaum muslimin sudah jauh menyimpang dari tuntutan agama dalam memperlakukan kaum wanita. Di tengah-tengah umat Islam telah beredar riwayat-riwayat dan hadits-hadits maudhu’ (palsu) atau mendekati maudhu’ Yang mengantarkan wanita  ke alam kebodohan dan keterbelakangan dalam bidang agama dan dunia sekaligus. Menyekolahkan anak perempuan dianggap maksiat dan mereka dilarang pergi ke masjid. Mengetahui keadaan umat Islam, baik yang menyangkut masa sekarang maupun masa depannya merupakan sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam benak wanita. Merendahkan kaum wanita danm enginjak-injak haknya, baik yang bersifat material maupun moral, sudah menjadi tradisi yang lumrah.

Kira-kira tiga tahun yang lalu, seorang khatib ternama, dengan nada kesal dan marah, berkata dalam khutbahnya: “Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya untuk masa lalu ketika kaum wanita tidak keluar kecuali tiga kali, yaitu dari perut ibunya ke alam dunia, dari rumah orang tuanya ke rumah suaminya, dan dari rumah suaminya ke liang kubur!”

Semoga Allah tidak memberkahi masa tersebut dan semoga masa semacam itu tidak terulang lagi dalam sejarah umat Islam sebab yang demikian itu adalah masa jahiliah, bukan masa silam. Masa tersebut merupakan era kemenangan bagi tradisi zalim, bukan kelanjutan dari ash shirath al mustaqim (jalan yang lurus). Ketersisihan umat Islam ke dalam kelompok Dunia Ketiga dalam bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, dan produktivitas, sebagian besar  adalah diakibatkan oleh tradisi yang keliru tersebut.

Kemudian muncul kritikan terhadap pendapat tersebut dengan mengatakan: “Mengapa Anda tidak senang dengan ungkapan perasaan hati ulama yang ikhlas tersebut? Bukankah khutbahnya itu sejalan dengan isi hadits yang diriwayatkan dari Fathimah binti Rasulullah saw. Yaitu bahwa wanita tidak boleh melihat seseorang (laki-laki) dan tidak boleh dilihat oleh siapa pun? Bukankah hal itu pun dibenarkan oleh Rasulullah saw., sehingga beliau merangkul puterinya seraya berkata: ‘Sebagian manusia adalah satu keturunan dengan sebagian yang lain?’ Bukankah hal itu merupakan legitimasi terhadap sikap menyendiri yang diterapkan Islam terhadap kehidupan kaum wanita muali dari ayunan sampai ke liang kubur?”

Lontaran kritik itu saya tanggapi dengan pernyataan, “Yang Anda sebutkan itu tadi adalah hadits munkar (tidak bisa diterima). Tidak pernah kitab ataupun As Sunnah yang mulia mengatakan hal itu. Anda mengungkapkan hadits yang bertentangan dengan sesuatu yang mutawatir dari Al Quran dan hadits hadits sahih serta bertentangan dengan sejarah Nabi saw dan Khulafaur Rasyidin. Para pembuat hadits-hadits palsu dengan sengaja membuat hadits-hadits yang menyebabkan kaum wanita senantiasa berada dalam keadaan bodoh dan buta huruf. Hadits-hadits yang mereka lontarkan dipercayai oleh kalangan masyarakat yang mudah tertipu sehingga mereka tidak mau membuka sekolah untuk anak-anak perempuan. Mereka menciptakan hukum hukum yang melarang wanita pergi ke masjid. Mereka terus melangkah dalam kebodohan sehingga mereka memenggal fungsi wanita baik menyangkut agama maupun dunia, sebatas sisi kebinatangan semata. Akibatnya wanita kehilangan sisi kemanusiaannya”

Buku ini mengarahkan kaum muslimin kaum muslimin untuk kembali kepada sunnah Nabi Saw tanpa ditambah atau dikurangi sehingga dapat dijadikan dokumentasi berharga. Pengarangnya tergolong agama yang sangat mencibtai agamanya, menghargai ilmu pengetahuan, ikhlas membela yang hak, tidak suka debat kusir yang banyak disukai oleh ulama-ulama tanggung, memilih cara yang didasarkan pada pemaparan riwayat-riwayat yang disadur dari Bukhari dan Muslim, dan sedikit sekali beliau mengemukakan hadits-hadits di luar syaikh hadits Bukhari dan Muslim.

Dengan menyimak perkataan dan keterangan dari penulis buku ini Anda akan menemukan betapa luasnya ruang lingkup hubungan antara laki-laki dan wanita yang telah digariskan Islam. Anda pun akan menemukan betapa besar dan mulianya fungsi atau tugas yang berkaitan dengan kehidupan wanita. Penulis buku ini disamping menggariskan pedoman-pedoman yang benar dan bersumber dari hakikat Islam semata juga berupaya menjauhkan kaum muslimin dari tradisi Barat yang tengah dominan, serta menjauhkan mereka dari kekeliruan-kekeliruan yang menyelimuti peradaban modern. Kita harus menyelematkan manusia dari peradaban-peradaban tersebut dan tidak ingin kembali pada kekurangan dan kelemahan yang membuat kita kalah. Kita ingin kembali pada tradisi generas Islam zaman Nabi Saw dan masa-masa Khulafaur Rasyidin. Tidak ada kemuliaa selain dari masa seperti itu, apalagi jika dibandingkan dengan produk-produk generasi jahiliyah yang hanya menuruti hawa nafsu semata.

Muhammad Al Ghazali


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-16 Pengantar Shahih Fikih Sunnah

Muhammad-Nashiruddin-Al-Albani.jpg

Sesungguhnya pujian itu milik Allah. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari jahatnya diri dan jeleknya amal. Siapapun yang telah Allah berikan petunjuk, pasti tidak ada seorangpun yang dapat membimbingnya. Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu hamba dan Rasul-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS Ali Imran 102)

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS An Nisaa: 1)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. “ (QS Al Ahzab 70-71)

Amma ba’du…

Kitab Fikih Sunnah, karya Syaikh Sayyid Sabiq, termasuk kitab terbaik yang saya ketahui dalam hal materi, sistematika, dan bahasanya yang mudah dimengerti. Kitab ini terhindar dari ungkapan-ungkapan yang rumit, yang sedikit seklai kitab-kitab fiqh (hukum) Islam seperti ini dapat terhindar dari hal tersebut. Sisi-sisi positif inilah yang membuat para pemuda muslim tertarik mempelajarinya. Dalam mengenali agama mereka terutama sunnah yang suci dan memotivasi mereka menggali khazanah kelimuan yang dibutuhkan setiap muslim yang dikehendaki baik oleh Allah, sebagaimana sabda Nabi Saw.

“Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka Dia menjadikannya mengerti tentang agama.” Disepakati keshahihan hadits ini. Hadits ini ada pada Silsilah Al Ahadits Ash-Shahihah (No. 1194)

Saya rasa penerbitan kitab ini merupakan suatu keharusan pada masa seperti sekarang ini. Hal ini karena sudah jelas banyak kaum muslimin yang tidak mungkin dapat selamat dari penyimpangan, perselisihan, kehancuran, dominasi orang kafir dan fasik atas mereka kecuali kembali kepada kitrabullah dan sunnah Rasul-Nya. Hanya dengan keduanya mereka menyelesaikan urusan-urusan agama dan persoalan-persoalan hukum.

Bagi kaum muslimin kebanyakan harus ada sumber pegangan yang terjangkau oleh kemampuan pemahaman mereka ketika muncul permasalahan, sedikit atau banyak, dan tidak membutuhkan banyak sumber rujukan dan ensiklopedia. Maka Allah menganugerahkan Al Ustadz Sayyid Sabiq kemampuan untuk menyuguhkan karyanya (Fikih Sunnah) kepada mereka. Semoga Allah memudahkan dan menerangi jalan mereka dan membalas kebaikan bagi beliau.

Untuk itu, saya senantiasa menghimbau kepada setiap pecinta As Sunnah dan penolong kebenaran (Al Haq) untuk menerima dan memanfaatkan kitab tersebut sejak terbit jilid pertamanya dalam ukuran kecil hingga menyebar ke lapisan ikhwah salafiyyin dan yang lainnya di Damaskus dan kota-kota lain di Syiria dan luar Syiria.

Fenomena ini melahirkan banyak pertanyaan tentang persoalan-persoalan dan maslah hadits yang dimuat di dalamnya yang mereka ajukan kepada saya. Saya menjelaskan ke[ada mereka apa yang saya ketahui dan ternyata banyak jawaban saya yang berbeda dengan kitab tersebut dan di dalamnya terdapat banyak hadits yang saya nilai dhaif dan banyak pembahasan yang saya anggap keliru. Setelah tahu bahwa hal itu benar sebagian dari para pecinta Fikih Sunnah dan penyebarnya menyarankan agar saya menghimpun jawaban-jawaban tersebut Dalam bentuk kitab dan menyebarluaskannnya.

Pada mulanya saya berkeberatan. Namun karena permintaan itu datang berualang kali dan banyak dari mereka yang terus mendesak akhirnya saya penuhi keinginan mereka karena hal tersebut mengandung gagasan menyatukan mereka di atas dasar Al Quran dan As Sunnah dan memberantas perselisihan dan bid’ah fanatismme madzab sebagaimana dijelaskan dalam pendahuluan kitab, di samping membersihkannya dari kekeliruan fiqhiyah dan hadits hadits dhaif.

Sebenarnya saya igin menerima tawaran kerja sama langsungdi bidang pemikiran dari salah seorang teman yang datang ke Mesir. Namun karena banyaknya kendala, seperti berjauhannya tempat tinggal dan sulitnya kesempatan bertemu, maka kerjasama  dalam jarak jauh pun bisa. Seperti kata pepatah, “Jika tidak bisa diperoleh semua, jangan ditinggalkan seluruhnya.”

Akhirnya, dengan lapang dada dan hati tentram, saya mulai membaca dengan tekun dan serius beberapa bagian dari kitab itu. Setiap kali saya dapatkan kalimat yang memerlukan perhatian lebih, saya catat dengan diberi komentar. Belum selesai memberi catatan penting, saya merasa harus melakukan sesuatu, karena saya mendapatkan banyak kesalahan, bahkan kesalahan besar yang saya tidak memperkirakan sebelumnya. Oleh karena itu, atas pertolongan Allah, bagiNya segala pujian dan dariNya anugerah, saya merasa harus meluruskan kesalahan-kesallahan itu.

Agar dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dalam memperoleh gambaran umum, saya sebutkan secara global kesalahan-kesalahan tersebut dengtan sedikit penjelasan. Kira-kira kesalahan tersebut dapat saya ringkas sebagai berikut:

  1. Banyak hadits-haddits yang tidak dijelaskan kedudukannya ternyata hadits-hadits dha’if.
  2. Beberapa hadits lain yang dinilai kuat, setelah dilacak ternyata sangat lemah.
  3. Beberapa hadits yang dianggap dha’if sebenarnya shahih, atau melalui sanad-sanad lain yang kuat.
  4. Beberapa hadits tidak dinisbatkan kepada Bukhari-Muslim, padahal ada padanya atau salah satunya.
  5. Beberapa hadits disandarkan kepada salah satu Shahihain atau kepada lainnya, padahal tidak ada penyandarannya.
  6. Beberapa hadits yang tidak ditemukan sama sekali dalam kitab-kitab sunnah.
  7. Ada hadits yang dikatakan bersumber dari salah seorang shahabat tertentu yang dkisahkan oleh sejumlah besar perawi hadits, padahal hadits tersebut menurut mereka bersumber dari shahabat lain atau lebih dari satu shahabat.
  8. Menisbatkan hadits kepada perawinya tetapi tidak menjelaskannya, padahal dalam periwayatan yang shahih.
  9. Kurang respek terhadap dalil-dalil sandaran suatu permasalahan, sehingga sering ada pembahasan masalah tanpa dalil pendukung. Terkadang mengargumentasikan qiyas padahal ada hadits shahih, atau mengambil dalil umum padahal ada dalil khusus.
  10. Kurang menguasai permasalahan mandi sunnag atau semisalnya.
  11. Menampilkan beberapa pendapat yang saling bertentangan dalam suatu masalah tanpa mentarjihkan (mengunggulkan) salah satunya.
  12. Adanya kebimbangan pendapat dalam beberapa permasalahan, sehingga banyak pendapat yang disebutkan di awal pembahasan, kemudian dibatalkan di akhir pembahasannya.
  13. Menguatkan salah satu pendapat yang saling bertentangan, yang sebenarnya tidak berhak untuk dikuatkan karena dalilnya yang lemah dan kuatnya dalil yang digunakan oleh lawan.
  14. Menyelisihi hadits shahih yang tidak ada hadits lain yang menntangnya.

Jenis yang terkahir ini merupakan jenis kesalahan mualif yang besar. Mu’alif tidak konsisten dengan arahan atau misi beliau dalam karyanya tersebut, agar kita berpegang dengan As Sunnah. Lebih-lebih beliau beralasan karena mayoritas ulama tidak merujuk hadits terkait dalam masalah atau karena mereka tidak mengenal orang yang melaksanakan hadits tersebut dalam masalah lain. Inilah sikap keliru orang-orang yang mengekor taqlid dalam menolak atau menentang Sunnah. Tentang kesalahpahaman ini akan dijelaskan dengan pendapat Imam Asy Syafi’i yang membatalkan dan mencabut hingga akar-akarnya. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan.

Sebagai tambahan, saya sebutkan bahwa saya mengomentari dan mengungkapkan kekeliruan-kekeliruan Fikih Sunnah bukan untuk bermaksud merendahkan penulisnya sama sekali. Akan tetapi, saya bertujuan menolong kebenaran dengan kebenaran, menjaga Fikih Sunnah dari kesalahan sedapat mungkin, sehingga menjadikan kitab tersebut dapat dterima dan bermanfaat bagi segenap manusia serta bisa untuk memotong tuduhan benar atau salah dari lawan-lawan pemikiran penulis Fikih Sunnah –semoga Allah menambah pertolonganNya- hendaklah berkenan untuk meninjau kembali apa yang telah beliau tulis sekarang, mengoreksi kesalahan-kesalahan dan tidak gegabah menerbitkan bagian-bagian dari karyanya itu, kecuali setelah jelas kebenarannya dan selamat dari kesalahan-kesalahan dan hadits-hadits dha’if. Sesungguhnya pada yang shahih itu ada sesuatu yang tidak membutuhkan yang lemah.

Ketika akan memulai pemberian komentar terhadap Fikih Sunnah, saya sempat ragu-ragu tentang cara yang harus saya pergunakan, apakah akan saya nukil semua kalimat yang akan dikomentari atau cukup menyalin bagian awalnya saja sebagaimana kebiasaan dalam penulisan komentar.

Akhirnya, saya memilih cara yang pertama, yaitu cara yang lebih banyak memberi manfaat dan kejelasan kepada orang yang tidak mempunyai teks asli kitab Fikih Sunnah, karena ia dapat memahami kalimat yang dikritik dan memuat hadits-hadits dha’if tanpa harus melihat teks aslinya, meskipun tentu saja cara ini terkesan mengulang-ulang kalimat, terutama bagi orang yang memiliki teks asli Fikih Sunnah.

Karya komentar ini saya beri judul Tamamul Minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhus Sunnah, Kesempurnaan Anugerah dalam Mengomentari Fikih Sunnah.

Saya memohon semoga Allah SWT menjadikan tulisan saya ini tulus karena wajahNya yang Mulia dan bermanfaat secara umum. Sesungguhnya, Dialah Zat yang Maha Mendengar lagi Maha Memperkenankan.

Muhammad Nashiruddin Al Albani


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-16 Mukadimah Tazkiyatun Nafs (2)

Said-Hawwa.jpg

Para murabbi (pendidik dan pembina) di zaman kita menghadapi kondisi yang sangat genting, yaitu hati manusia membatu dan penyakit-penyakitnya seperti dengki dan ujub tersebar luas.  Berinteraksi dengan sesama secara baik telah melemah. Jihad dan amar ma’ruf nahi munkar pasti terpengaruh oleh hal-hal itu. Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan bagi orang-orang yang menginginkan perbaruan komitmen keislaman untuk berpikir demi menghidupkan nilai-nilai spiritual dari berbagai bentuk peribadahan dan demi menghiasi jiwa dengan akhlak kehambaan dan menyucikan dari berbagai naluri kebinatangan dan kesetanan.

Jika telah jelas bahwa penyebab langsung kematian hati adalah kehilangan nilai-nilai spiritual dan keimanan seperti sabar, syukur, takut kepada Allah yang semua itu merupakan keharusan demi maslahat kehidupan dan jika sudah jelas pula bahwa penyebab langsung kematian itu adalah dengki, ujub, ghurur (tertipu) yang semua itu adalah hal-hal yang sangat berbahaya bagi kehidupan maka konsentrasi kepada pengkajian nilai-nilai ini menjadi kewajiban bagi orang-orang yang menghendaki perbaikan kehidupan pribadi maupun masyarakat.

Karena sisi mu’amalah dan perkataan merupakan dua sisi yang paling dipengaruhi oleh berbagai kekurangsempurnaan ibadah dan berbagai penyakit hati, maka kedua sisi ini kami berikan perhatian dalam buku ini.

Kami telah menulis buku Tarbiyatuna ar Ruhiyah ‘pendidikan rohani kita’ dengan tujuan untuk menghidupkan pembahasan nilai-nilai ini, tetapi sangat sedikit perinciannya. Menimbang banyak buku yang membahas tentang tema-tema penyucian jiwa ini dikritik oleh sebagian orang karena banyak mencampuradukkan antara yang samar dan yang jelas, bahkan terkadang antara yang bid’ah dengan yang sunnah, maka akan sangat bermaslahat jika kita memilih dari pembicaraan orang yang membahas tema seperti ini hal-hal yang diperlukan saja disamping aspek-aspek praktis dan terperinci dalam ilmu tazkiyah ‘penyucian jiwa’ dan hal-hal yang diperlukan oleh praktik pembaruan nilai-nilai iman dan hati dan praktik pembaruan adab interaksi. Kedua praktik ini sangat diperlukan oleh pembaruan Islam yang nyata. Oleh karena itu, perincian buku Ihya’ sangat detil dan terfokus kepada intisarinya.

Saya menyeleksi aspek-aspek qalbiyah (yang berkaitan dengan hati) yang seharusnya menyertai berbagai ibadah, penyakit-penyakit yang harus dihindari oleh hati seperti dengki, aspek-aspek utama yang mesti terealisasi dalam hati seperti sifat sabar, tawakal, takut  dan cinta, serta aspek-aspek utama yang harus menjadi akhlak manusia.

Saya mengangkat pembahasan mengenai adab-adab lisan dan adab-adab berinteraksi, dimulai dari adab guru dan murid hingga adab berinteraksi dengan orang tua, kerabat dan masyarakat dengan tambahan bahasan tentang jiwa, setan, dan cara-caranya merasuki manusia. Menurut pendapat saya, hal-hal inilah yang harus dijadikan pelajaran oleh kaum muslimin pada zaman kita sekarang.

Gerakan Islam kontemporer menghadapi permutadan dari agama Islam yang hampir lebih besar dari pemurtadan dahulu. Oleh karena itu, gerakan Islam harus mengerahkan seluruh kekuatan ilmiah dan fikriahnya untuk membebaskan manusia dari pemurtadan itu. Muncullah aliran pembaruan Islam kontemporer, ustadz Hasan Al Banna mempeloporinya, dialah pelopor setiap kebaikan, dialah pelopor dalam hal pemberian nasihat, pengajaran, penyucian jiwa, dan lain-lain, sehingga arus pembaruan ini menjalar ke semua hal. Kebutuhan langsung pada waktu itu terkadang menuntut penjelasan secara terperinci. Oleh sebab itu, sebagian nilai-nilai tersebut bersifat global, seperti hakikat perjalanan spiritual dan hati menuju Allah.

Sudah menjadi keharusan bagi anak-anak didik madrasah Hasan Al Banna untuk menjelaskan nilai-nilai itu secara terperinci, karena masa sekarang menuntut penjelasan terperinci dan sesuai dengan prinsip-prinsip yang menjadi acuan dalam dakwahnya, yaitu prinsip-prinsip yang telah baku, tinggi derajatnya, dan komprehensif yang bersumber dari ilmu dan pengalaman.

Gerakan Islam kontemporer dalam salah satu periodenya pernah hanyut dalam sikap hanya mempertahankan Islam dari berbagai tuduhan dan menyerang para konspirator, sehingga mengabaikan sebagian kewajibannya, seperti menulis tentang masalah-masalah ini, sehingga dapat memenuhi kebutuhan kaum muslimin. Sekarang sudah waktunya kita beralih menghidupkan nilai-nilai tazkirah atau penyuci jiwa karena pergerakan Islam mulai meluas, aktivitasnya mulai bercabang dan timbul berbagai sudut pandang yang dikhawatirkan menyebabkan beberapa hal berjalan tidak semestinya atau membuat lemahnya benih cahaya di lubuk hati. Walaupun buku-buku turats (karya ulama-ulama terdahulu) penuh dengan nilai-nilai itu dan banyak yang dapat dijadikan acuan dalam masalah ini, tetapi apa yang tercakup di dalamnya terkadang sesuai dengan zaman kita dan terkadang melebihi keperluan kita atau terkadang kurang dari keperluan seorang muslimin biasa. Disamping itu, banyak hal yang diperselisihkan dan menjadi pangkal perdebatan panjang.

Semua itu menuntut para pemerhati masalah ini untuk berpikir menyusun apa yang menjadi keharusan orang-orang zaman mereka agar mereka tidak hidup dalam kekosongan yang diisi oleh kesalahan, kesesatan, kelalaian, atau lupa. Buku ini merupakan perwujudan dari tren tersebut.

Saya yakin bahwa pembahasan-pembahasan yang saya sebutkan dalam buku ini adalah amal baik yang mendekatkan kepada Allah dan menjauhkan dari murka-Nya. Pembahasan-pembahasan itu termasuk ilmu-ilmu yang hukum menuntutnya fardu ‘ain bagi setiap muslim dan muslimah dan sangat diperlukan pada zaman kita yang kosong spiritual ini. Jika pembaruan Islam meliputi pembaruannya pada tingat individu, keluarga, bangsa dan kemanusiaan, juga meliputi tingkat masyarakat dan pemerintah, maka penghidupan rohaniah yang didahulukan demi terwujudnya pembaharuan Islam menyeluruh. Selama hati mati, jiwa tidak disucikan dan tidak ada kepada Allah dan makhluk-Nya, maka tidak ada pembaruan di muka bumi Islam. Karena itulah nilai-nilai ini kami susun dalam buku ini.

Walaupun jarang ada hasil seleksi dari sebuah buku yang tampil dengan tetap menjaga keutuhan sistematika pembahasan dan temanya sebagaimana telah saya sebutkan diawal, namun untuk menghindari hal-hal yang seharusnya dihindari itu, saya menambah banyak tulisan, mengubah susunan, dan menyusun mukadimah pada setiap bab. Buku ini saya bagi menjadi empat bab dan sebuah penutup.

Bagian pertama berisi penjelasan tentang adab-adab guru dan murid. Bagian kedua berisi penjelasan tentang sarana-sarana penyucian jiwa berupa berbagai ibadah dan amal (perbuatan). Bagian ini meliputi tiga belas bab. Bagian ketiga berisi penjelasan tentang hakikat penyucian jiwa. Bagian ini meliputi tiga bab. Bagian keempat berisi penjelasan mengenai pengendalian lisan dan adab berbagai interaksi.

Ketika membaca buku ini pembaca akan merasa berada di hadapan khazanah nilai-nilai yang amat tinggi. Mereka akan mendapatkan pendalaman materi berkenaan dengan masalah penyucian jiwa sehingga ia akan membacanya berkali-kali karena banyak hal yang tercantum dalam kajian buku ini termasuk ke dalam ilmu yang hukum menuntutnya fardu áin bagi setiap muslim dan muslimah.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-16 Latar Belakang Penulisan Buku Kebebasan Wanita

Abdul-Halim-Abu-Syuqqah.jpg

Pendahuluan

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Hai orang-orangyang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keaduan beragama Islam.” (Ali Imran: 102)

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahlm. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An Nisa’: 1)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al Ahzab: 70-71)

Buku ini merupakan buah karya hamba Allah yang lemah, yang berusaha membahas topik permasalahan yang sangat besar dan penting. Hanya Allah –sebelum dan sesudahnya– tempat kita meminta pertolongan dan kepada-Nya juga penulis bertawakal serta berserah diri.

A. Latar Belakang Penulisan Buku

Telah sekian tahun penulis bertekad melakukan kajian yang mendalam tentang Sirah Nabawiyyah (Sejarah Kehidupan Nabi saw.) berdasarkan buku-buku Sunnah agar kita memiliki pegangan yang lebih kuat dan mantap. Bagaimana pun, kisah atau sejarah kehidupan Nabi saw. belum mendapatkan perhatian yang cukup sehingga banyak sanad yang belum ditahqiq (diteliti). Akibatnya, masih sangat sulit untuk menentukan mana yang sahih dan mana yang dhaif. Faktor yang mendorong penulis melakukan pekerjaan ini adalah kenyataan bahwa Sirah Nabawiyyah yang mengetengahkan kehidupan Rasulullah mengandung banyak sekali perkataan, perbuatan, dan taqrir (ketetapan) yang masuk ke dalam kategori Sunnah, sehingga dapat ditiru oleh kaum muslimin dalam kehidupan mereka. Karena itu, sirah harus diketengahkan kepada kaum muslimin dengan dalil yang lebih kuat sehingga mereka dapat mengikuti petunjuknya dengan perasaan tenang dan mantap melalui keabsahan dalil-dalil yang dijadikan pegangan. Perlu juga penulis sebutkan di sini bahwa kecenderungan untuk mempelajari sirah melalui kitab-kitab Sunnah merupakan akibat hubungan penulis dengan seorang yang alim dan ahli hadits, Syekh Nashiruddin Al Albani. Penulis pernah belajar kepada beliau dan merasakan bahwa masa tersebut merupakan masa yang indah dan penuh berkah. Penulis memulainya dengan mempelajari kitab Shahih Muslim beserta Syarah Imam An Nawawi. Namun, ketika menguraikan dan mengelompokkan hadits-hadits tersebut, penulis sempat dikejutkan oleh beberapa hadits yang bersifat praktis dan operasional serta berkaitan dengan masalah wanita dan hubungannya dengan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan. Yang mengejutkan itu adalah bahwa hadits-hadits tersebut bertolak belakang sama sekali dengan apa yang penulis pahami dan praktekkan selama ini, bahkan dengan apa yang dipahami dan dipraktekkan oleh berbagai kelompok keagamaan yang pernah berhubungan dengan mereka. Mereka terdiri atas berbagai aliran, seperti organisasi asy-Syari’ah, Ikhwanul Muslimun, kelompok Sufi, kelompok Salaf, Partai Pembebasan Islam, dan lain-lain. Bahkan, hadits-hadits tersebut –karena vital dan pentingnya– telah menarik penulis untuk membenahi persepsi mengenai karakteristik wanita muslimah dan sejauh mana keterlibatannya dalam berbagai bidang kehidupan pada zaman kerasulan Muhammad saw.

Di sini penulis kemukakan kepada pembaca apa yang diisyaratkan oleh beberapa hadits dengan harapan pembaca akan menemukan sesuatu yang baru, sekaligus tertarik, untuk kemudian melakukan peninjauan kembali terhadap kenyataan yang sedang kita hadapi sesuai dengan tuntunan hadits-hadits tersebut, seperti:

Karena kuatnya tarikan tersebut, penulis mengubah haluan pengkajian dari proyek penulisan Sirah Nabawiyyah pada proyek pengkajian wanita muslimah pada masa kenabian. Kondisi wanita muslimah pada masa kenabian memberikan gambaran yang jelas sekali tentang udara kebebasan yang dapat dihirup kaum wanita. Yang mendorong penulis mengerjakan proyek baru ini adalah bahaya besar yang pernah dan masih penulis rasakan, yaitu dominasi visi dan persepsi yang bertolak belakang dengan ajaran agama mengenai emansipasi wanita. Apalagi, sikap yang bertolak belakang dengan ajaran agama itu sudah sangat kental terdapat dalam jiwa beberapa kelompok umat Islam yang taat beragama dan antusias sekali menegakkan syariat Islam, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Mengatakan yang hak itu hak dalam soal wanita sama pentingnya dengan mengatakan yang hak itu adalah hak dalam aspek mana pun dari aspek-aspek syariat karena kedua-duanya sama-sama memperjuangkan agama Allah. Namun demikian, masalah wanita memiliki urgensi tersendiri karena beberapa pertimbangan berikut:

  1. Bagi seorang muslim, wanita adalah ibu, saudara perempuan, istri, atau anak perempuan. Jika keempat status itu dihimpun oleh seorang wanita, maka manusia manakah yang lebih mulia daripadanya?
  2. Wanita muslimah paling sering dijadikan mangsa oleh dua jenis jahiliah: jahiliah abad keempat belas hijrah, yaitu jahiliah dalam sikap yang berlebihan, keras, dan taklid buta yang dimiliki oleh kaum bapak, dan jahiliah abad kedua puluh masehi, yaitu jahiliah yang memamerkan aurat, melakukan seks bebas, dan taklid buta terhadap Barat. Kedua jenis jahiliah tersebut tidak sesuai sama sekali dengan syariat Allah.
  3. Rasulullah saw. bersabda: “Wanita itu adalah saudara kandung pria.” (HR Abu Daud)[1] Menolong wanita muslimah berarti menolong insan muslim dengan kedua belah pihaknya, yaitu yang teraniaya dengan menyadarkan dan membersihkannya serta yang menganiaya dengan mengembalikannya ke jalan yang benar dan tidak berbuat aniaya lagi, sebagai pelaksanaan terhadap perintah Nabi saw. yang berbunyi: “Bantulah saudaramu yang menganiaya atau yang teraniaya.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, yang ini kami bantu karena dia teraniaya. Tetapi bagaimana kami membantunya kalau dia yang menganiaya?” Rasulullah saw. menjawab: “Kalian tahan tangannya.”[2] Dan menurut satu riwayat: “Kamu cegah dia dari berbuat aniaya, itulah pertolongan kepadanya.”[3]
  4. Wanita adalah setengah masyarakat. Jika kaum wanita tidak berfungsi berarti separuh kehidupan manusia tidak berfungsi dengan melahirkan generasi mukmin mujahid yang cemerlang atau tidak berfungsi dari berpartisipasi dalam membangun masyarakat, baik dalam bidang sosial maupun politik. Namun, hal itu tidak menafikan tidak berfungsinya “setengah yang lain” (kaum laki-laki) sampai ke tingkat yang cukup memprihatinkan. Dengan begitu, membebaskan wanita muslimah sama artinya dengan membebaskan setengah masyarakat muslim, dan wanita tidak dapat bebas kecuali bersamaan dengan bebasnya kaum laki-laki. Selanjutnya kedua kelompok tersebut tidak akan pernah bebas kecuali dengan mengikuti petunjuk Allah.
  5. Di balik semua itu, Allah telah memberikan perasaan yang halus kepada wanita sehingga mereka senang beragama asalkan saja mendapatkan pengarahan yang baik dan bijaksana. Hal ini mengingatkan penulis pada kata-kata dua orang ulama masa kini yang karyanya pernah penulis baca. Ulama pertama[4] berkata: “Mereka (wanita) paling siap mempelajari agama, memiliki akhlak yang baik dan berbuat kebajikan. Mereka paling siap mendengar dan mengikuti asalkan saja mereka menemukan pembimbing, laki-laki maupun wanita, yang bijaksana dan saleh serta dapat menunjukkan kebenaran dan dengan kebenaran itu dia melakukan perubahanperubahan terhadap wanita.” Sementara ulama kedua[5] berkata: “Ketika saya bergelut dengan tugas memberikan fatwa melalui radio dan televisi selama bertahun-tahun, saya mendapatkan sejumlah catatan penting. Sekian ribu surat yang saya terima itu berasal dari berbagai negara dan dari berbagai kelompok manusia, yang masih remaja dan sudah tua atau dari kalangan laki-laki dan wanita. Surat-surat tersebut bersifat pribadi dan umum. Di antara catatan-catatan penting tersebut, yang pertama, adalah agama dalam masyarakat kita masih berada di garis terdepan dalam soal memberikan pengarahan dan pengaruh. Kedua, bahwa wanita secara umum lebih peduli terhadap agama dibandingkan dengan laki-laki. Tampaknya, apa yang dikaruniakan Allah kepada wanita berupa perasaan yang halus, sifat santun, dan rasa kasih sayang telah membuatnya lebih dekat kepada fitrah/naluri keagamaan dibandingkan dengan kaum laki-laki. Karena itu, tidak heran jika kepedulian wanita terhadap agama lebih besar dan rasa takutnya akan ‘hisab’ yang jelek lebih kuat. Masih banyak kita lihat wanita yang sebelumnya suka buka-bukaan, kemudian sadar atas kemauan sendiri dan kembali menutup aurat serta mengikuti etika Islam, meskipun berbagai upaya dan cara dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk merusak mereka, baik di dalam maupun di luar negeri. Juga tidak aneh jika kita melihat banyak gadis remaja dan kaum ibu yang memakai pakaian gaya Barat modern (yang bertentangan dengan tuntunan agama), tetapi mereka tetap rajin melakukan shalat, puasa, haji, umrah, dan rukun-rukun Islam lainnya. Artinya adalah bahwa benih-benih agama yang ada di dalam dada mereka belumlah mati. Rasa keterpautan dan perhatian pada agama, meskipun sedikit, masih hidup sehingga membuatnya tetap konsisten, tumbuh dan berkembang, kemudian berbuah dan menghasilkan dalam waktu dekat dengan izin Tuhannya. Dengan demikian, dia dapat bebas dari bayang-bayang kehancuran yang senantiasa menghantui hidupnya.”

Tidak heran jika kedua orang ulama yang mulia itu berkata demikian sebab nash-nash petunjuk Nabi saw. membuktikan apa yang mereka katakan itu. Sebagai contoh adalah Aisyah r.a.. Dia senang dan mendambakan sekali agar dirinya boleh ikut berjihad, sehingga dia berkata: “Wahai Rasulullah, kami melihat jihad itu adalah amalan yang paling afdal, apakah kami boleh ikut berjihad?” (HR Bukhari)[6] Selain itu ada Ummu Haram yang ingin mati syahid bersama pasukan marinir. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, tolonglah doakan semoga Allah menjadikanku bersama mereka.” Lalu Rasulullah saw. mendoakannya.” (HR Bukhari)[7] Lihat pula seorang wanita yang bekerja dengan tangannya sendiri, kemudian bersedekah dengan hasil usahanya itu. “Adalah Zainab binti Jahasy orang yang paling takwa kepada Allah, paling suka menyambung silaturrahim, paling banyak bersedekah, dan paling suka mengorbankan dirinya untuk melakukan pekerjaan yang dengan pekerjaan itu dia dapat bersedekah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.” (HR Muslim)[8]

Ada pula sejumlah wanita yang meminta dan mengharapkan diberi kesempatan yang lebih luas lagi untuk menimba ilmu pengetahuan dari Nabi saw. Sejumlah wanita berkata kepada Nabi saw.: “Kami dikalahkan oleh kaum laki-laki dalam merebut kesempatanmu. Karena itu tolonglah engkau sediakan harimu untuk kami.” (HR Bukhari dan Muslim)[9] Ada lagi sejumlah wanita yang bersedekah dan berkorban lebih banyak daripada kaum laki-laki. Rasulullah saw. bersabda:

“Bersedekahlah, bersedekahlah kalian (kaum laki-laki), sebab yang sudah banyak bersedekah adalah dari kalangan wanita.” (HR Muslim)[10]

Sebelum masuk Islam, wanita Quraisy adalah orang yang sangat lembut hatinya dan sangat senang mendengarkan Kalamullah. “Dari Aisyah r.a. dikatakan bahwa Abu Bakar membangun sebuah masjid di pekarangan rumahnya. Dia melaksanakan shalat dan membaca Al Qur’an di masjid tersebut. Lalu datang berduyun-duyun ke tempat itu wanita-wanita Quraisy bersama anak-anak mereka karena mereka kagum dengan apa yang dibaca Abu Bakar dan mereka memperhatikan Abu Bakar. Kejadian itu membuat para pemuka Quraisy takut dan berkata: “Kami khawatir ia memperdaya istri dan anak-anak kami.” (HR Bukhari)[11]

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Kejadian itu membuat para pemuka Quraisy takut. Artinya mereka mengkhawatirkan orang-orang kafir karena mereka mengetahui kelembutan hati para istri dan pemuda-pemuda mereka yang mengkhianatinya cenderung pada agama Islam. “[12]

Masih berkaitan dengan masalah motivasi, perhatian penulis terhadap gagasan ini semakin bertambah setiap membaca tulisan dan artikel atau mendengarkan ceramah tentang wanita dalam Islam. Pendapat saya sering berbenturan dengan pendapat para ulama yang mulia, baik yang terdahulu maupun yang sekarang, yang tidak sejalan dengan apa yang terdapat dalam buku-buku Sunnah yang berisi nash-nash sahih dan tegas (sharih).

Saya akan mengemukakan dua contoh saja mengenai pendapat ulama terdahulu. Sebuah riwayat yang datang dari Ikrimah dan Asy Sya’bi dalam kitab Ath Thabari mengatakan tentang diharamkannya paman dan bibi melihat perhiasan wanita kemenakannya. Dalam membahas masalah ini mereka disamakan dengan kalangan asing (ajnabi). Hadits ini dikutip turun-temurun oleh para penulis umumnya dan mufassir (ahli tafsir) khususnya selama berabad-abad hingga sekarang ini, tanpa meneliti matan riwayat tersebut atau sejauh mana sejalannya dengan Sunnah, juga tanpa memperhatikan apa yang menyebabkan datangnya riwayat ini.

Dari segi matan, ada hadits –yang berfungsi untuk menjelaskan Kitabullah– yang menyebutkan bahwa paman dan bibi sama haknya dengan mahram-mahram lain sebagaimana yang tercantum dalam ayat berikut:

“… dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara-saudara lelaki mereka atau putra putra saudara lelaki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-lakiyang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita …” (An Nuur: 31)

Hadits yang dimaksud adalah hadits Aisyah r.a. berikut ini:

“Aflah, saudara Abul Qu’ais, minta izin (untuk bertemu denganku) setelah diturunkannya ayat hijab. Aku berkata: ‘Aku tidak bisa memberi izin kepadanya sampai aku minta izin pada Nabi saw. tentang dia. Sesungguhnya saudaranya Abul Qu’ais bukanlah dia yang menyusukanku. Akan tetapi yang menyusukanku adalah istri Abul Qu’ais.’ Kemudian Nabi saw. datang kepadaku, lalu aku katakan padanya: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Aflah, saudara Abul Qu’ais minta izin untuk bertemu denganku. Tetapi aku enggan memberikan izin kepadanya sebelum aku minta izin terlebih dahulu kepadamu.’ Lalu Rasulullah saw. berkata: ‘Apa yang menghalangimu sehingga kamu tidak mengizinkan masuk pamanmu sendiri?’ Aku jawab: ‘Wahai Rasulullah, lelaki itu, bukan dia yang menyusukanku. Akan tetapi yang menyusukanku adalah istri Abul Qu’ais. ‘Lantas Rasulullah saw. bersabda: ‘Izinkanlah dia masuk, sebab dia itu adalah pamanmu, dan hal itu tidak jadi masalah bagimu.'” (HR Bukhari dan Muslim)[13]

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Dengan mengetengahkan hadits ini, seolah-olah Bukhari ingin menjawab pendapat orang yang tidak senang ketika seorang wanita melepaskan kerudungnya di depan paman atau saudara laki-laki dari ibu (khal). Seperti riwayat yang dikeluarkan oleh ath-Thabari melalui Daud bin Abu Hindun dari Ikrimah dan asy-Sya’bi. Kepada mereka berdua ada yang bertanya: “Mengapa tidak disebutkan paman dan saudara laki-laki dari ibu (khal) dalam ayat tersebut?” Kedua ulama ini menjawab: “Sebab paman dan khal bisa menjodohkan keponakan perempuannya itu dengan anak-anak laki-lakinya.” Karena itulah Ikrimah dan asy-Sya’bi tidak senang jika seorang perempuan melepaskan kerudungnya di hadapan paman atau khalnya. Hadits Aisyah tentang kisah Aflah di atas dapat menjawab pendapat Ikrimah dan asy-Sya’bi ini. Inilah di antara ketelitian yang terdapat dalam bab-bab Shahih Bukhari.”[14]

Al Hafizh ibnu Hajar juga berkata: “Kalau ada yang bertanya, mengapa dalam ayat tersebut tidak disebutkan paman dan khal?” Jawabannya: “Penyebutan paman dan khal tersebut cukup dalam bentuk isyarat saja. Sebab paman sama kedudukannya dengan bapak dan khal sama kedudukannya dengan ibu.” Adapula yang mengatakan karena paman dan khal dapat menjodohkan keponakan perempuannya itu dengan anak-anak laki-lakinya sebagaimana yang dikatakan oleh Ikrimah dan asy-Sya’bi. Tetapi pendapat ini dibantah oleh jumhur ulama.[15]

Sementara itu, asy-Syaukani berkata: “Tidak disebutkan paman dan khal karena kedudukan mereka sama dengan kedua orang tua.”[16] Sedangkan pelarangan lebih disebabkan oleh kekhawatiran paman dan khal akan menceritakan kondisi keponakannya kepada anak laki-lakinya untuk kemudian menjodohkan mereka. Kalau kita pikirkan secara cermat, alasannya terasa lemah sekali. Sebab atas dasar motivasi apa paman dan khal menceritakan keponakan perempuannya kepada anak laki-lakinya –kalau hal itu benar-benar mereka lakukan– selain mendorong mereka untuk kawin? Jika memang itu yang dikhawatirkan, mengapa larangan itu hanya berlaku untuk paman dan khal dari pihak bapak, sementara bibi dari ayah dan ibu tidak? Bahkan, mengapa paman dan khal dari pihak bapak termasuk ke dalam larangan sementara perempuan lain yang tidak memiliki hubungan darah sama sekali tidak dilarang? Kami kira orang yang memiliki hubungan darah pasti memiliki lebih besar kepeduliannya dalam menjaga kehormatan kaum keluarganya. Mengapa berprasangka buruk semacam itu? Mengapa harus berperasaan yang bukan-bukan terhadap kaum keluarga? Selain itu, mengapa harus menyalahi dalil aqli dan naqli? Rasa hormat macam apa lagi yang masih tersisa dalam hati seorang keponakan terhadap paman dan bibinya jika dia sudah khawatir bahwa paman dan bibinya itu akan menghancurkan kehormatannya?

Dalam satu referensi dari abad kelima yang mengulas hadits Aisyah berbunyi:

“Mereka (kaum wanita) pulang dari menunaikan shalat bersama Rasulullah saw. dan mereka berselubung dengan kerudung. Mereka tidak bisa dikenali karena sangat gelapnya malam hari.”

disebutkan hal berikut ini:

“Yang lazim, Nabi saw. menunggu hari agak terang (untuk melakukan shalat subuh). Kalau pada suatu waktu sudah tetap waktu melakukannya ketika hari masih gelap disebabkan alasan bepergian (safar). Atau mungkin hal itu dilakukan ketika ikutnya kaum wanita melaksanakan shalat berjamaah. Tapi kemudian hal ini sudah dinasakh dengan keluarnya perintah supaya kaum wanita menetap di rumah.”[17]

Hal itu berarti bahwa kalimat [kalimat Arab] telah menasakh sabda nabi saw. yang berbunyi [kalimat Arab]. Sedangkan wanita-wanita muslimin tetap saja menghadiri shalat jamaah di masjid setelah turunnya ayat ini sampai wafatnya Rasulullah saw. Dalil-dalil mengenai masalah ini banyak sekali, dan insya Allah akan saya sebutkan dalam pembahasan selanjutnya.

Contoh-contoh yang terjadi pada zaman sekarang pun cukup banyak. Untuk itu, akan saya sebutkan sebagiannya tanpa menyebutkan nama pengarang atau penulisnya, agar tulisan ini tidak merusak nama para tokoh dan ulama terpandang. Kepada mereka saya pernah belajar; saya pun tetap menghormati dan merasa bangga terhadap mereka. Tujuan saya menjelaskan masalah ini adalah untuk membuktikan bahwa setiap manusia, betapapun tinggi kedudukannya, dapat dipegang ucapannya bisa juga ditinggal. Sedikit sekali orang yang tidak pernah berbuat salah. Karena itulah kita diharuskan kembali kepada Sunnah Nabi saw. Hanya dengan Sunnah beliau kita memperoleh petunjuk dan dengan Sunnahnya pula kita mengoreksi kesalahankesalahan para tokoh.

Seorang pengarang ternama, ketika menjawab pendapat orang yang memperbolehkan wanita membuka wajah berkata: “Sebelum mengatasi masalah hijab (maksudnya memperbolehkan wanita membuka wajah) Anda harus menghimpun kekuatan dan kekuasaan yang dapat melindas setiap kejahatan yang muncul, sehingga apabila ada dalam masyarakat dua mata yang melotot ke arah seorang perempuan yang keluar dari rumahnya dengan wajah terbuka, maka hendaknya pada waktu yang sama sudah ada tujuh puluh tangan yang siap mencongkel kedua bola mata itu dari tempatnya.”

Bayangkan, betapa dahsyatnya ancaman itu jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. ketika beliau melihat seorang pemuda yang memandang seorang gadis remaja, kemudian pemuda itu mengulangi lagi pandangannya!

Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: “… ketika dalam perjalanan, Rasulullah saw. melewati beberapa orang wanita yang sedang menunggang unta. Lalu Al Fadhal memandangi mereka. Rasulullah saw. segera meletakkan tangannya ke muka Al Fadhal, lalu Al Fadhal memalingkan wajahnya ke arah lain. Kemudian Al Fadhal kembali memandangi wanita-wanita itu. Dari arah lain Rasulullah saw. kembali meletakkan tangannya ke muka Al Fadhal sehingga Al Fadhal mengalihkan pandangannya.” (HR Muslim)[18]

Dari Abdullah bin Abbas, dia berkata: “Seorang wanita cantik dari Kabilah Khats’am datang kepada Rasulullah saw. untuk meminta fatwa. Lantas Al Fadhal memandang wanita itu dan dia kagum terhadap kecantikannya. Nabi saw. menoleh dan pada saat itu Al Fadhal masih memandangi wanita itu. Nabi saw. segera memegang leher Al Fadhal dari belakang dan memutar mukanya sehingga tidak melihat lagi ke arah wanita itu.” (HR Bukhari dan Muslim)[19]

Apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap Fadhal bin Abbas ketika dia mengulangi pandangannya? Bukankah Rasulullah saw. hanya memutar wajah Fadhal ke arah yang lain? Ketika itu Fadhal masih remaja belia. Dia adalah anak paman Rasulullah saw. Rasulullah saw. berjalan ditemani Fadhal, bahkan Fadhal berboncengan bersama Rasulullah saw. di atas unta. Rasulullah saw. tidak pernah menghukum dengan mencongkel matanya atau memberinya pelajaran dengan satu atau beberapa kali pukulan.

Seorang ulama terkenal berkata: “Telah tetap bahwa muka bukanlah aurat yang wajib ditutup. Namun demikian kita harus mengaitkan masalah ini dengan perhiasan yang tidak berada di muka dan kedua telapak tangan yang merupakan bagian dari kecantikan.” Padahal pengarang tersebut, pada beberapa lembar sebelum pernyataanya, telah mengemukakan beberapa hadits sahih yang menerangkan bolehnya terlihat beberapa jenis perhiasan seperti celak di kedua mata dan inai/pacar pada kedua telapak tangan.

Seorang dosen berkata: “Islam memandang ikhtilat (perbauran antara laki-laki dan wanita) sebagai bahaya besar dan cara mengatasinya hanyalah dengan perkawinan. Dengan demikian, masyarakat Islam adalah masyarakat perseorangan, bukan masyarakat bersama dan kami tegaskan bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat tunggal, bukan masyarakat pasangan. Kaum laki-laki mempunyai masyarakatnya tersendiri, begitu juga kaum wanita. Islam memang membolehkan wanita menghadiri shalat ‘id, shalat jamaah, dan ikut pergi berperang dalam keadaan sangat mendesak. Akan tetapi, hal itu sampai di batas ini saja.”

Dari pendapat dosen tersebut, penulis berharap –jika yang dimaksudkannya adalah menentang ikhtilath yang urakan dan tidak mengindahkan ketentuan agama saja– agar dia menjelaskan bahwa Islam membolehkan wanita terlibat dalam kehidupan sosial dan bertemu dengan kaum laki-laki dalam batas-batas serta aturan-aturan yang menjamin murni dan benarnya partisipasi wanita, bermanfaat bagi dirinya sendiri dan masyarakatnya. Hal itulah yang tercantum di dalam banyak nash Sunnah yang sebagiannya sudah disebutkan dalam pembukaan buku ini. Diperkirakan, terdapat lebih dari 300 buah nash dengan sumber kitab Shahih Bukhari dan Muslim yang menerangkan keterlibatan kaum wanita dalam bebagai bidang kehidupan bersamaan dengan kehadiran kaum laki-laki.”[20]

Seorang pengarang pernah mengemukakan hadits berikut ini: “Rasulullah saw. bertanya kepada putrinya, Fathimah r:a.: ‘Apa yang terbaik untuk wanita?’ Fathimah menjawab: ‘Jika wanita tidak melihat laki-laki dan laki-laki tidak melihatnya.’ Nabi saw. merangkul putrinya seraya berkata: ‘Sebagian manusia adalah satu keturunan dengan sebagian yang lain.’ Pengarang tersebut berkata: ‘Hadits ini diriwayatkan oleh perawi yang empat. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan dan sahih.”‘ Pengarang tersebut mengatakan bahwa hadits ini merupakan dalil tentang wajibnya wanita menetap di rumah.

Namun, hadits tersebut lemah sekali. Meskipun seringkali disampaikan oleh para khatib serta sering ditemukan dalam lembaran-lembaran buku dan majalah, kita tidak menemukannya sama sekali dalam buku-buku perawi yang empat itu. Perawi hadits ini sebenarnya adalah Al Bazzar, dan ini pun masih dipertikaikan para ulama. Al Hafizh Al Haitsami mengatakan dalam bukunya Majma’uz Zawa’id: “Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bazzar, dan di antara sanadnya ada orang yang tidak saya kenal.”[21] Sementara Al Hafizh Al ‘Iraqi berkata ketika mengeluarkan hadits ini dalam kitab Ihya’ Ulumiddin: “Diriwayatkan oleh Al Bazzar dan ad-Daruquthni dalam kitab Al Ifrad dari hadits Ali dengan sanad yang lemah.”[22]

Demikian jika kita melihat hadits tersebut dari segi sanad. Adapun dari segi matan (isi), hadits tersebut jelas sekali bertentangan dengan manhaj (pola) yang dicontohkan oleh sahabiyah pada zaman Nabi saw. Ketika itu mereka berperan aktif dalam kehidupan sosial dan bertemu dengan kaum laki-laki dalam berbagai kesempatan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Seorang pengarang berkata: “Al Haitsami mengemukakan beberapa hadits dalam kitab Majma’uz Zawa’id yang secara keseluruhan derajatnya lemah. Akan tetapi karena terkumpul banyak maka statusnya naik menjadi hasan li ghairihi (hadits dhaif yang naik tingkatnya menjadi hasan karena diperkuat oleh hadits lain yang sama maksudnya). Hadits-hadits tersebut menerangkan bahwa hanya wanita-wanita tua yang ikut shalat bersama Rasulullah saw., sementara yang muda tidak.”

Demikianlah, mereka berpegang pada hadits-hadits lemah untuk menguatkan pendapat yang ingin menjauhkan wanita muda dari masjid. Sebaliknya, hadits-hadits sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menegaskan kehadiran wanita-wanita remaja di masjid, seperti Asma binti Abu Bakar, Atikah binti Zaid (istri Umar bin Khattab) Fatimah binti Qais, Ummul Fadhal, Zainab (istri Ibnu Mas’ud), ar-Ruba’i binti Mu’awwidz, dan banyak lagi yang lainnya.”[23]

Dalam sebuah majalah Islam terdapat pertanyaan pembaca: “Kami adalah sekelompok mahasiswa muslim yang berdomisili di salah satu negara Eropa. Kami berusaha melaksanakan syariat Islam terhadap diri kami sedapat mungkin. Di antara kami ada yang sudah menikah. Istrinya memakai hijab seperti yang dianjurkan agama. Akan tetapi dia merasa sendiri dan terasing, sebab di sini tidak ada wanita lain yang memakai hijab atau yang dapat berbahasa Arab. Pertanyaan kami adalah sejauh mana istri kawan kami itu boleh berbaur –didampingi suaminya tentunya dan bukan berkhalwat– dengan mahasiswa-mahasiswa lainnya.” Pertanyaan itu dijawab oleh seorang dosen sebagai berikut: “Ikhtilath (berbaurnya laki-laki dengan wanita) pada dasarnya dilarang oleh Islam karena sabda Nabi saw. mengatakan:

“Ingat, kaum laki-laki tidak dibenarkan masuk/bertemu dengan kaum wanita. Tetapi diperbolehkan sebagai pengecualian dalam keadaan terpaksa menurut syariat. Tetapi hanya dalam batas terpaksa. “

Bayangkan, fatwanya pertama kali menetapkan dengan tegas bahwa Islam melarang ikhtilath antara laki-laki dan wanita, tetapi kemudian memperbolehkannya dalam keadaan terpaksa. Padahal Al Qur’an dan Sunnah telah menjelaskan bahwa pertemuan antara laki-laki dan wanita –yang mereka namakan ikhtilath– pada dasarnya boleh-boleh saja. Sunnah Nabi saw. telah menetapkan keikutsertaan seorang wanita bersama suaminya dalam menerima dan melayani tamu di samping pertemuan wanita dengan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan, baik yang bersifat umum maupun khusus. Jika Pembuat syariat Yang Maha Bijaksana telah menetapkan aturan tentang keterlibatan wanita agar segala sesuatunya berjalan dengan baik dan benar, Dia juga telah membuat ketentuan dan aturan mengenai perkawinan, makan, minum, atau jual beli agar semuanya berjalan dengan baik dan benar pula. Adapun hadits yang dikemukakan oleh dosen kita yang mengeluarkan fatwa tersebut maksudnya adalah larangan bertemu dengan wanita dalam bentuk berkhalwat.[24]

Inilah beberapa buah contoh yang sering dibicarakan oleh para ulama dan penulis yang didorong oleh keinginan untuk menjelaskan hukum-hukum agama. Selain itu, ada lagi contoh lain dari para penulis yang kebarat-baratan dan membuka front permusuhan terhadap agama. Dengan gigihnya mereka melecehkan hukum-hukum agama atau yang mereka anggap sebagai hukum agama, padahal yang mereka duga itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama. Teman saya bercerita bahwa setiap dia mengemukakan pandangannya untuk menjelaskan hukum agama yang berkaitan dengan salah satu kasus sosial atau politik, teman lainnya –seorang dosen di sebuah universitas terkenal– berkata: “Inilah sudut pandang Anda sebagai akibat dari latar belakang keilmuan dan pendalaman Anda terhadap pemikiran-pemikiran Barat modern. Dalam hal ini tidak ada penggambaran tentang hakikat hukum agama sebagaimana yang terdapat dalam Al Qur’an, As Sunnah, atau buku-buku fiqih dengan dalil. Banyak sekali ulama Islam yang mengatakan sesuatu berbeda sekali dengan apa yang Anda katakan itu.”

Menurut pandangan saya, kita harus memberikan keterangan yang jelas sekali kepada orang-orang yang berpemikiran aneh, yang keanehan pemikirannya itu diantaranya disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para ulama dan penulis terkemuka. Karena itu, dengan metode yang digunakan dalam buku ini, saya berharap, kiranya dapat memudahkan bagi dosen-dosen seperti dalam kasus tadi dalam upaya mendalami hukum-hukum syariat dari sumber-sumbernya yang asli, bukan dari pendapat manusia yang bisa benar serta mendekatkan dan menjauhkan manusia dari syariat yang penuh toleransi atau kemudahan.



[1] Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, hadits no. 2329.

[2] Bukhari, Kitab: Perbuatan-perbuatan zalim, Bab: Tolonglah saudaramu baik yang menganiaya ataupun yang teraniaya, jilid 6, hlm. 23.

[3] Bukhari, Kitab: Paksaan, Bab: Sumpah seseorang kepada temannya karena takut dibunuh atau seumpamanya, jilid 15, hlm. 358. Muslim, Kitab: Kebajikan, hubungan kekeluargaan, dan etika, Bab: Membantu saudara yang menganiaya atau teraniaya, jilid 8, hlm. 19.

[4] Dia adalah Syekh Abdullah bin Zaid al-Mahmud, Kepala pengadilan agama dan Kantor Urusan Agama Qatar. Ucapan tersebut kami kutip dari desertasi beliau yang berjudul Al-Akhlaq al-Hamidah li al-Mar’ah Mu’ashirah.

[5] Dr. Yusuf Qardhawi. Ucapan ini dikutip dari: Mukadimah buku beliau yang berjudul Fatawa Mu’asshirah.

[6] Shahih Bukhari, Kitab: Jihad, Bab: Keutamaan Jihad, jilid 6, hlm. 344.

[7] Ibid.

[8] Muslim, Kitab: Keutamaan-keutamaan para sahabat, Bab: Keutamaan Aisyah r.a. jilid 7, hlm. 136.

[9] Bukhari, Kitab: Ilmu, Bab: Apakah untuk kaum wanita disediakan waktu khusus untuk belajar? jilid 1, hlm. 206. Muslim, Kitab: Kebajikan, hubungan kekeluargaan dan etika, Bab: Keutamaan orang yang kematian anak lalu ia merasa sedih karenanya, jilid 8, hlm. 39.

[10]Muslim, Kitab: Dua hari raya, jilid 3, hlm. 20.

[11]Bukhari, Kitab: Manaqib, Bab: Hijrah Nabi saw. dan para sahabat beliau ke Madinah jilid 8, hlm. 233.

[12] Fathul Bari, jilid 8, hlm. 233.

[13] Bukhari, Kitab: Tafsir surat al-Ahzab, Bab: Ayat 54-55 jilid 10, hlm. 151. Muslim, Kitab: Persusuan, Bab: Keharaman persusuan dari jalur lelaki, jilid 4, hlm. 163.

[14] Fathul Bari, jilid 10, hlm. 151.

[15] Fathul Bari, jilid 11, hlm. 258.

[16]Fathul Qadir, jind 4, hlm. 298.

[17] Al-Mabsuth, ash-Sarakhsi, jilid 1, hlm. 145-146.

[18] Muslim, Kitab: Haji, Bab: Haji Nabi saw., jilid 4, hlm. 42.

[19] Bukhari, Kitab: Mohon izin, Bab: Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta izin dan memberikan salam kepada penghuninya,” Jilid 13, hlm. 245. Muslim, Kitab: Haji, Bab: Menghajikan orang yang tidak mampu disebabkan sakit-sakitan terus atau tua renta dan semisalnya, jilid 4, hlm. 10.

[20] Lihat pasal mengenai keterlibatan wanita dalam kehidupan sosial dan pertemuannya dengan kaum laki-laki.

[21] Majma’ az-Zawaid, Kitab: Nikah, Bab: Apa yang baik bagi wanita. jilid 4, hlm. 255.

[22] Ihya’ Ulumiddin, Kitab: Nikah, Bab III mengenai adab bergaul dan bagaimana cara lelaki berlindung dari bahaya cemburu.

[23] Lihat pasal keterlibatan wanita dalam kehidupan sosial dan pertemuannya dengan kaum laki-laki. Tentang keterlibatan wanita di masjid.

[24] Pembicaraan mengenai hadits ini terdapat dalam pasal selanjutnya.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-17 Pengantar Studi Ilmu Hadits

Manna-Khalil-Al-Qaththan.jpg

Segala Puji hanya bagi Allah, kita memuji, meminta tolong, memohon ampun, dan berlindung pada-Nya dari keburukan diri kita dan kejahatan amal kita. Barang siapa yang  diberi hidayah oleh Allah maka dialah orang yang mendapat petunjuk. Dan barang siapa yang disesatkan oleh-Nya maka tidak ada yang akan menjadi penolong dan penuntunnya. Kita bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan ita bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Wa ba’du…

Berikut ini adalah beberapa tema sederhana yang berkaitan dengan sejarah As Sunnah dan Ilmu-ilmu Hadits. Saya ketengahkan untuk para pengkaji dengan metode yang mudah agar dapat dijadikan pegangan bagi penuntun mereka dalam mengkaji As Sunnah, serta membaca apa yang dipersembahkan oleh para ulama terpercaya, baik berupa kaidah, prinsip,metode yang menggambarkan metodologi riset ilmiah di kalangan kaum muslimin secara benar. (Dalam metodologi itu) menjadi jelas bahwa sebuah nash tidak dapat dijadikan pegangan hingga para perawinya diteliti. Derajat masing-masing mereka diketahui baik dari segi kelurusan pribadinya (‘adalah) dan kekuatan hafalannya (dhabth). Demikian pula kejelasan persambungan sanad dan tidak adanya unsur syadz dan illat di dalamnya. Bila nash itu telah “selamat” maka langkah selanjutnya adalah memahami makna dan menggali hukum yang dapat disimpulkan dengan cara yang telah ditetapkan.

Hanya kepada Allah saya memohon untuk menunjukkan pada kita jalan yang lurus.

Manna’ bin Khalil Al Qaththan

Profesor dan pembimbing pascasarjana

di Universitas Islam Imam Muhammad bin Su’ud.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-17 Menentukan Halal-Haram Semata-mata Hak Allah

Yusuf-Al-Qardhawi.jpg

Dasar kedua: Bahwa Islam telah memberikan suatu batas wewenang untuk menentukan halal dan haram, yaitu dengan melepaskan hak tersebut dari tangan manusia, betapapun tingginya kedudukan manusia tersebut dalam bidang agama maupun duniawinya. Hak tersebut semata-mata ditangan Allah.

Bukan pastor, bukan pendeta, bukan raja dan bukan sultan yang berhak menentukan halal-haram. Barangsiapa bersikap demikian, berarti telah melanggar batas dan menentang hak Allah dalam menetapkan perundang-undangan untuk ummat manusia. Dan barangsiapa yang menerima serta mengikuti sikap tersebut, berarti dia telah menjadikan mereka itu sebagai sekutu Allah, sedang pengikutnya disebut “musyrik”.

Firman Allah:

“Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan Allah?” (Asy Syura’: 21)

Al Quran telah mengecap ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah memberikan kekuasaan kepada para pastor dan pendeta untuk menetapkan halal dan haram, dengan firmannya sebagai berikut:

“Mereka itu telah menjadikan para pastor dan pendetanya sebagai tuhan selain Allah; dan begitu juga Isa bin Maryam (telah dituhankan), padahal mereka tidak diperintah melainkan supaya hanya berbakti kepada Allah Tuhan yang Esa, tiada Tuhan melainkan Dia, maha suci Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan.” (At Taubah: 31)

‘Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah –pada waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam– setelah dia mendengar ayat tersebut, kemudian ia berkata: Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu.

Maka jawab Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:

“Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

“Memang mereka (ahli kitab) itu tidak menyernbah pendeta dan pastor, tetapi apabila pendeta dan pastor itu menghalalkan sesuatu, mereka pun ikut menghalalkan juga; dan apabila pendeta dan pastor itu mengharamkan sesuatu, mereka pun ikut mengharamkan juga.”

Orang-orang Nasrani tetap beranggapan, bahwa Isa al-Masih telah memberikan kepada murid-muridnya –ketika beliau naik ke langit– suatu penyerahan (mandat) untuk menetapkan halal dan haram dengan sesuka hatinya. Hal ini tersebut dalam Injil Matius 18:18 yang berbunyi sebagai berikut: “Sesungguhnya aku berkata kepadamu, barang apa yang kamu ikat di atas bumi, itulah terikat kelak di sorga; dan barang apa yang kamu lepas di atas bumi, itupun terlepas kelak di surga.”

Al Quran telah mengecap juga kepada orang-orang musyrik yang berani mengharamkan dan menghalalkan tanpa izin Allah, dengan kata-katanya sebagai berikut:

“Katakanlah! Apakah kamu menyetahui apa-apa yang Allah telah turunkan untuk kamu daripada rezeki, kemudian dijadikan sebagian daripadanya itu, haram dan halal; katakanlah apakah Allah telah memberi izin kepadamu, ataukah memang kamu hendak berdusta atas (nama) Allah?”(Yunus: 59)

Dan firman Allah juga:

“Dan jangan kamu berani mengatakan terhadap apa yang dikatakan oleh lidah-lidah kamu dengan dusta; bahwa ini halal dan ini haram, supaya kamu berbuat dusta atas (nama) Allah, sesungguhnya orang-orang yang berani berbuat dusta atas (nama) Allah tidak akan dapat bahagia.” (An Nahl: 116)

Dari beberapa ayat dan Hadis seperti yang tersebut di atas, para ahli fiqih mengetahui dengan pasti, bahwa hanya Allahlah yang berhak menentukan halal dan haram, baik dalam kitabNya (Al Quran) ataupun melalui lidah RasulNya (Sunnah). Tugas mereka tidak lebih, hanya menerangkan hukum Allah tentang halal dan haram itu. Seperti firmanNya:

“Sungguh Allah telah menerangkan kepada kamu apa yang Ia haramkan atas kamu.” (Al An’am: 119)

Para ahli fiqih sedikitpun tidak berwenang menetapkan hukum syara’ ini boleh dan ini tidak boleh. Mereka, dalam kedudukannya sebagai imam ataupun mujtahid, pada menghindar dari fatwa, satu sama lain berusaha untuk tidak jatuh kepada kesalahan dalam menentukan halal dan haram (mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram).

Imam Syafi’i dalam Al Umm[1]meriwayatkan, bahwa Qadhi Abu Yusuf, murid Abu Hanifah pernah mengatakan: “Saya jumpai guru-guru kami dari para ahli ilmu, bahwa mereka itu tidak suka berfatwa, sehingga mengatakan: ini halal dan ini haram, kecuali menurut apa yang terdapat dalam Al Quran dengan tegas tanpa memerlukan tafsiran.

Kata Imam Syafi’i selanjutnya, Ibnu Saib menceriterakan kepadaku dari Ar Rabi’ bin Khaitsam –dia termasuk salah seorang tabi’in yang besar– dia pernah berkata sebagai berikut: “Hati-hatilah kamu terhadap seorang laki-laki yang berkata: Sesungguhnya Allah telah menghalalkan ini atau meridhainya, kemudian Allah berkata kepadanya: Aku tidak menghalalkan ini dan tidak meridhainya. Atau dia juga berkata: Sesungguhnya Allah mengharamkan ini kemudian Allah akan berkata: “Dusta engkau, Aku samasekali tidak pernah mengharamkan dan tidak melarang dia.”

Imam Syafi’i juga pernah berkata: Sebagian kawan-kawanku pernah menceriterakan dari Ibrahim an-Nakha’i –salah seorang ahli fiqih golongan tabi’in dari Kufah– dia pernah menceriterakan tentang kawan-kawannya, bahwa mereka itu apabila berfatwa tentang sesuatu atau melarang sesuatu, mereka berkata: Ini makruh, dan ini tidak apa-apa. Adapun yang kalau kita katakan: Ini adalah halal dan ini haram, betapakah besarnya persoalan ini!

Demikianlah apa yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dari salafus saleh yang kemudian diambil juga oleh Imam Syafi’i dan diakuinya juga. Hal ini sama juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Muflih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Bahwa ulama-ulama salaf dulu tidak mau mengatakan haram, kecuali setelah diketahuinya dengan pasti.”[2]

Kami dapati juga imam Ahmad, misalnya, kalau beliau ditanya tentang sesuatu persoalan, maka ia menjawab: Aku tidak menyukainya, atau hal itu tidak menyenangkan aku, atau saya tidak senang atau saya tidak menganggap dia itu baik.

Cara seperti ini dilakukan juga oleh imam-imam yang lain seperti Imam Malik, Abu Hanifah dan lain-lain.[3]


[1] Al Umm 7: 317

[2] Ini dapat diperkuat dengan riwayat-riwayat para sahabat, bahwa mereka itu tidak meninggalkan khamar (arak) secara keseluruhannya setelah ayat al-Baqarah 219 itu turun, karena ayat ini dalam anggapan mereka tidak qath’i (positif) mengharamkan arak, sehingga ayat al-Maidah itu turun, baru mereka menjauhi seluruhnya.

[3] Kiranya ahli-ahli taqlid itu mengerti, jangan cepat-cepat mengatakan ini “haram” yang tanpa dalil atau yang mendekati kepada dalil.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-18 Ahdaful Musyarakah

Hilmi-Aminuddin.jpg

Sejak awal, musyarakah kitaketerlibatan kita dalam pemerintahan—sama sekali bukan ditujukan untuk kemenangan zhahir saja yang cenderung diisi dengan al kibr dan al kibriya’, merasa besar dan sombong.

Kita bermusyarakah untuk mencapai kemenangan sejati, yang didefinisikan oleh Imam Ahmad ibnu Hanbal:

ما لازم الحق قلوبنا

Kemenangan sejati yang paling mendasar dan substansial adalah jika kebenaran tetap bersemayam di hati kita. Tidak terkontaminasi oleh racun-racun kehidupan, tidak tergoda oleh iming-iming apapun bentuknya, yang membuat hati kita diisi oleh nilai-nilai lain selain nilai kebenaran yang  bersumber dari Allah SWT.

Kemenangan sejati juga adalah jika kita berhasil menegakkan kedaulatan Allah di dalam diri kita. Berhasil menegakkan kedaulatan Allah di dalam keluarga kita. Berhasil menegakkan kedaulatan Allah di rumah kita, di bangsa kita dan di negeri kita. Sehingga orientasi hidup bangsa kita adalah mardhatillah, ridha Allah semata.

Oleh karena itu pertama-tama yang harus kita pastikan adalah ahdaful musyarakah (tujuan-tujuan musyarakah) kita.  Jangan sampai berpesong sedikitpun.

Al Musyarakah lit Tauhiid wal Binaa’ ( المشاركة للتوحيد والبناء )

Musyarakah kita bertujuan untuk  berkontribusi dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Berkontribusi untuk membangun bangsa dan negara ini sehingga mencapai kesejahteraan, kejayaan serta kedamaian dengan bangsa-bangsa lain dalam pergaulan internasional. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Persatuan dan kesatuan bangsa ini jangan sampai dirongrong, dirusak, dicerai-beraikan oleh agenda-agenda yang diprogram dari luar yang menghendaki perpecahan. Kita harus menjadi junudullah (prajurit-prajurit Allah) terdepan dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa dan negeri ini.  Karena negeri ini adalah anugerah besar dari Allah—ba’da al-iman, setelah iman—yang harus kita syukuri dengan memberdayakan, menjayakan dan mengunggulkannya. Sehingga mampu memberi kontribusi positif  dalam pergaulan antar bangsa dalam kehidupan global.

Al Musyarakah lit Taqwiyah wat Tatsbit ( المشاركة للتقوية والتثبيت )

Selain mempersatukan dan membangun, berdaya kohesif dan menjadi penerus pembangunan bangsa dan negara ini, musyarokah kita juga harus berkontribusi dalam mewujudkan negara yang kuat dan kokoh.  Jangan menjadi negeri yang dilecehkan dan dideskreditkan tetangga-tetangganya. Jangan menjadi negara dan bangsa yang sama sekali tidak diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain, bahkan menjadi beban dalam pergaulan internasional.

Untuk menjadi faktor taqwiyah wa tatsbit, memperkuat  dan mengokohkan kehidupan berbangsa dan bernegara ini, modalnya hanya satu: bersyukur! Negeri ini  menghendaki para kader, pemimpin, pejuang, dan mujahid yang pandai bersyukur. Allah sudah memberikan banyak sekali karunia-Nya kepada negeri ini. Namun banyak potensi yang belum terolah, sehingga terbengkalai dan mubadzir. Bahkan banyak potensi yang diekploitasi oleh kekuatan-kekuatan asing. Ini karena kelemahan dan kebodohan kita, terjebak oleh kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok, sehingga kekayaan yang diberikan oleh Allah ini tergadaikan kepada negeri asing dengan amat sangat murah.

Kita harus waspada dan berani mengevaluasi kebijakan-kebijakan lama yang menyiksa bangsa ini. Berani mengevaluasi seluruh produk-produk konstitusi, perundang-undangan, perda-perda, perjanjian-perjanjian dengan luar negeri yang melemahkan bangsa ini, yang menjadikan  bangsa ini terpuruk. Kekayaan melimpah ruah, bukan dinikmati oleh rakyat. Tapi hanya dinikmati oleh sekelompok tertentu. Bahkan mengalir setiap hari ke negeri-negeri asing. Bukan dalam kerjasama yang saling menguntungkan. Tapi kerjasama yang timpang yang mengandung unsur pelecehan, penipuan, dan konspirasi kepada bangsa ini. Semua ini harus dihentikan.

Al Musyarakah lit Taghyiir wat Tajdiid ( المشاركة للتغيير و التجديد  )

Kita tidak ingin bangsa ini statis, jumud dan mandeg. Oleh karena itu tujuan musyarokah kita yang ketiga adalah al musyarakah lit taghyiir wat tajdiid. Musyarokah kita, kontribusi kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara  adalah melakukan perubahan dan pembaharuan.

Setiap hari Allah SWT memberikan pelajaran kepada kita bagaimana ciptaan-ciptaannya selalu berubah dan memperbaharui diri. Selalu tumbuh dan berkembang. Lahirnya seorang anak dimulai dengan jeritan tangis yang merupakan symbol kehidupan dan mulai berfungsinya organ-organ utama tubuh, terutama paru-paru dan jantung. Mula-mula matapun tidak bisa melihat, tulang-tulangnya lembek dan lemah. Tapi dari hari ke hari kita lihat matanya semakin berbinar terang. Pertama-tama yang ia tahu hanya ibunya. Kemudian akhirnya mulai bisa tahu ayahnya. Berkembang mulai bisa membedakan warna dan ukuran-ukuran. Bahkan membedakan manfaat-manfaat.  Dan mulai bisa membedakan mana yang berbahaya dan mana yang tidak.

Kita lihat pertumbuhan biji-bijian. Biji-biji mulai terbelah merekah, memunculkan tumbuhan kecil. Lalu akarnya menghunjam ke tanah secara bertahap. Sementara batang pohonnya mulai tumbuh berkembang. Berdahan rindang, berdaun hijau, akhirnya berbuah menjadi bermanfaat. Seluruhnya adalah merupakan at-taghyiir wat tajdiid.

Daun-daun yang sudah tua, menguning dan rontok. Tumbuhlah daun-daun muda berkembang menghijau. At taghyiir wat tajdiid adalah sunnatullah. Kalau bangsa ini tidak mau berubah, statis, dan mandeg, berarti bangsa ini melawan sunnatullah. Kita kader-kader dakwah harus mendorong agar bangsa ini mengikuti sunnatullah. Mengikuti fitrahnya yaitu fitrah perubahan dan pembaharuan.

Semuanya harus berubah, mustahil tidak berubah. Jika tidak mau berubah, dia akan menjadi korban perubahan. Akan digilas oleh perubahan. Makanya kalau kita tidak mau menjadi korban perubahan, kita harus menjadi pelopor perubahan dan pembaharuan.

Semangat perubahan dan pembaharuan adalah bagian penting dari gerakan dakwah. Dari sejak awal dalam manhaj takwiniyah kita tekankan bahwa harakatud dakwah (gerakan dakwah) adalah harakatut taghyiir (gerakan perubahan) dan harakatut tajdiid (gerakan pembaharuan). Kader-kader dakwah harus menjadi :

رُوْحٌ جَدِيْدَةٌ تَسْرِي فِي جَسَدِ الأُمَّةِ

Menjadi jiwa, semangat, moral baru, dan kekuatan baru yang mengalir di tubuh umat ini. Kita harus menjadi innovator perubahan dan pembaharuan di segala sector kehidupan. Jangan sampai bangsa ini tertinggal akibat segan berubah karena malas. Atau bahkan takut berubah, akibat mempertahankan kepentingan-kepentingan pribadi atau kepentingan-kepentingan kelompok/golongan. Karena perubahan dan pembaharuan berarti dinamisasi. Perubahan dan pembaharuan berarti repositioning segenap potensi bangsa.

Dengan musyarokah ini kita melakukan redinamisasi repositioning kita; politik, social, financial, budaya, sains dan teknologi. Kita harus mencapai posisi-posisi baru yang lebih maju, berdaya guna, dan berdaya saing. Juga lebih memberikan manfaat, bukan saja kepada bangsa ini, tapi juga bermanfaat kepada kemanusiaan. Karena bangsa  muslim ini mengemban misi utama rahmatan lil’alamin.

Al Musyarakah lil Ishlah wal Ihsan ( المشاركة للإصلاح والإحسان )

Karena kita mengemban misi rahmatan lil’alamin, maka musyarokah pun tujuannya adalah berkontribusi untuk selalu ishlah (melakukan reformasi). Ishlah berarti perbaikan dan selalu mengajak damai.

Musyarokah lil ishlah wal ihsan baru bisa kita gulirkan, kalau kita professional. Mempunyai kafaah muntijah (kesalehan kompetensi dan kemampuan produktif ) dan kafaah ijaabiyah (potensi dan kompentensi yang positif).

Kader-kader kita harus menjadi kader-kader unggulan di tengah-tengah pergaulan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tafawwuq ma’nawiy berbasiskan tafawwuq iimaniiy, keunggulan moral berbasiskan keunggulan iman. Tafawwuq fikri berbasiskan tafawwuq ‘ilmi, keunggulan idealisme berdasarkan keunggulan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Begitu juga tafawwuq ‘amaliy berdasarkan tafawwuq manhajiy, keunggulan dalam aktivitas berdasarkan keunggulan metode kerja. Sehingga seluruh lapisan masyarakat mendapatkan sentuhan ishlah wal ihsan dari kita. Seluruh lapisan masyarakat, segenap komponen bangsa, lintas partai, lintas ormas, lintas agama, lintas keyakinan, lintas suku, lintas pulau-pulau yang bertebaran beribu-ribu ini merasakan khuthuwat ishlahiyah dan khuthuwaat ihsaniyah kita.

Al Musyarokah lit Taqwiim wat Tasdiid ( المشاركة للتقويم والتسديد )

Musyarokah kita bertujuan untuk berkontribusi dalam meluruskan dan mengakuratkan tujuan hidup dan perjuangan bangsa ini. Agar bangsa ini tidak  menyimpang dari tujuan utamanya.

Allah memerintahkan kepada kita agar kita lurus, sesuai dengan fitrah diciptakannya.

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (الروم : ٣٠)

Tidak ada bangsa atau umat atau bahkan makhluk yang bisa hidup baik,  tenang, tentram dan sejahtera kecuali harus lurus dalam fitrahnya.  Nilai-nilai fitrah ini adalah nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Al-Qur’an mengokohkannya dengan nilai-nilai syar’iyyah.

Sebagai kader dakwah kita harus selalu waspada terhadap kemungkinan berbagai penyimpangan,  penyimpangan diri dan penyimpangan di tengah-tengah umat dan bangsa ini. Kita harus menjadi unsur muqawwim (yang meluruskan) wat tasdiid (mengarahkan) agar bangsa ini jangan disorientasi.

Seluruh kader dakwah ini harus berusaha dan mampu mengkonsolidasi, mengkoordinasi, dan memobilisasi seluruh potensi positif konstruktif  di dalam bangsa ini. Siapapun mereka, partai apapun mereka, ormas apapun mereka dan agama apapun mereka, suku bangsa apapun mereka. Penghuni pulau manapun mereka. Kita harus mampu melihat potensi positif dan konstruktif untuk membangun bangsa ini mencapai kesejahteraan, kedamaian dan kejayaannya.

Selain itu kita harus selalu berupaya untuk mempersempit ruang gerak, perilaku, dan peran potensi negative destruktif. Agar kehidupan berbangsa dan bernegara ini tidak terprovokasi, terpecah belah, terlemahkan, terkecoh , tergadaikan, bahkan terjual oleh potensi negative destruktif itu. Sehingga kehidupan bangsa kita tetap bersatu, damai, tentram dan bersemangat untuk kerja keras mencapai tujuan-tujuan nasional, yaitu menjadi bangsa dan Negara yang diridhai oleh Allah SWT.

Sejak awal, ikhwan dan akhwat digembleng diantaranya untuk misi amar ma’ruf nahi munkar. Dalam musyarakah  lit taqwiim wat tasdiid inilah peran amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dimanapun antum berada. Apakah di lembaga legislative, lembaga eksekutif atau yudikatif. Dalam mengelola jama’ah, kehidupan bermasyarakat, lembaga-lembaga social, pendidikan, kebudayaan, dan perekonomian. Tetap taqwim dan tasdiid adalah merupakan refleksi dari misi amar ma’ruf nahi munkar kita.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-19 Imajinasi

Muhammad-Anis-Matta1.jpg

“Seluruh  lembah, gunung, dan gurun yang pernah kulewati, pasti akan selalu kuingat, sekaligus  kubayangkan  segenap  strategi  yang  akan  kugunakan,  jika  suatu  saat  aku berperang di tempat itu.”

Itulah  ungkapan  Khajid  bin  Walid  tatkala  ia  mengenang  strategi  kardus  yang digunakannya  dalam  Perang  Yarmuk.  Itulah  kemenangan  perang,  sekaligus  prestasi militer  paling  prestisius  yang  pernah  dicapai  Khalid.  Itu  pulalah  pembuktian  paling nyata dari gelar yang diberikan Rasulullah saw kepadanya sebagai Pedang Allah yang Selalu Terhunus.

Jadi, segalanya bermula dari imajinasi. Ini bukan hanya ada dalam dunia kepahlawanan militer, melainkan merata dalam  semua  bidang kepahlawanan. Temuan-temuan  ilmiah selalu didahului oleh  imajinasi:  jauh sebelum dilakukannya pengujian di  laboratorium; jauh  sebelum  adanya  perumusan  teori.  Maka,  fiksi-fiksi  ilmiah  selalu  menemukan konteksnya  di  sini:  bahwa  mercusuar  imajinasi  telah  menyorot  seluruh  wilayah kemungkinan dan apa yang harus dilakukan kemudian adalah tinggal membuktikannya.

Studi-studi  futurologi  juga menemukan  konteksnya  di  sini. Memang,  selalu  harus  ada bantuan data-data pendahuluan. Namun, data-data itu hanyalah bagian dari sebuah dunia yang telah terbentuk dalam ruang imajinasi.

Para pemimpin bisnis dan politik serta tokoh-tokoh pergerakan dunia  juga menemukan kekuatan  mereka  dari  sini.  Bahwasanya  apa  yang  sekarang  kita  sebut  visi  dan kreativitas adalah ujung dari pangkal yang kita  sebut  imajinasi. Bacalah  biografi Bill  Gates  atau  Ciputra, maka  Anda  akan  menemukan  seorang  pengkhayal.  Bacalah biografi  John  F. Kennedy  atau  Soekarno, maka Anda  juga  akan menemukan  seorang pengkhayal.  Bacalah  pula  biografi  Sayyid  Quthb,  maka  sekali  lagi  Anda  akan menemukan  seorang  pengkhayal.  Dalam  dunia  pemikiran,  kebudayaan,  dan kesenian, imajinasi bahkan menjadi tulang punggung yang menyangga kreativitas para pahlawan di bidang ini.

Kekuatan  imajinasi  sesungguhnya  terletak  pada  beberapa  titik. Pertama,  pada wilayah kemungkinan yang tidak terbatas, yang terangkai dalam ruang  imajinasi. Itu membantu kita  untuk  berpikir  holistik  dan  komprehensif,  menyusun  peta  keinginan,  dan menentukan  pilihan-pilihan  tindakan  yang  sangat  luas. Kedua,  optimisme  yang  selalu lahir  dari  luasnya  ruang  gerak  dalam  wilayah  kemungkinan  dan  banyaknya  pilihan tindakan  dalam  segala  situasi.  Ketiga,  imajinasi  membimbing  kita  bertindak  secara terencana oleh karena  ia mcnjelaskan ruang dan memberi arah bagi apa yang mungkin kita lakukan.

Akan  tetapi,  imajinasi  tentu  saja  bukan  mukjizat.  Harus  ada  kekuatan  lain  yang menyertainya  agar  ia  efektif. Yang  jelas,  jika Anda mau  belajar menjadi  ‘pengkhayal ulung’, barangkali Anda telah memiliki sebagian dari potensi ledakan kepahlawanan.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-19 Merumuskan Kandungan Terminologi

Muhammad-Imarah.jpg

Syarat Pemahaman Bersama dan Dialog [1]

Dialog ini berkisar tentang tujuan-tujuan umum syari’ah: sebuah telaah baru. Satu tawaran baru peninjauan ulang terhadap tujuan-tujuan umum syari’ah dengan pertimbangan bahwa kajian para ulama klasik di bidang Ushul Fiqih telah membatasi tujuan-tujuan syari’ah Islam hanya ada lima tujuan umum (al-Maqasid al-Kulliyah al-Khams li as-Syari’ah) yaitu: melindungi jiwa, agama, akal, kehormatan dan harta. Apa yang ditawarkan oleh Dr. Nashr –setelah mengkaji ulang terhadap teks-teks agama tidak dengan menambahkan tujuan dan prinsip-prinsip umum baru pada kelima tujuan ini — seperti halnya yang ditawarkan oleh Syeikh Thahir bin Asyur ketika menambahkan tujuan kebebasan (al-Hurriyyah), melainkan ia menawarkan penggantian dengan “tiga prinsip umum” saja, yaitu akal (aql), kebebasan (al-Hurriyah), dan keadilan (al-Adalah), sebagai satu kesatuan konsep-konsep yang saling berkaitan erat, dari satu sisi, dan ia mencakup kelima tujuan syari’ah yang diletakkan oleh para ulama ushul fiqih dari sisi yang lain. Sebab kelima tujuan syari’ah yang diletakkan oleh mereka itu — dimata Dr. Nashr — bukanlah prinsip prinsip umun (al-mabadi’ al-kulliyah) melainkan menurutnya bersifat partikular (juz’i) sebab melindungi jiwa, akal, agama, kehormatan, dan harta, tampak merupakan partikular jika dilihat dari ketiga prinsip umum yang ditawarkan Dr. Nashr. Oleh sebab itu, kelima tujuan syari’ah yang ada dapat dimasukkan kedalam ketiga prinsip tersebut sebagai partikular kedalam prinsip umum.

Jika urgensi masalah dan kisaran topik pembicaraan di antara obyek-obyek pemikiran Islam menuntut penanganan dialog rasional yang sehat seputar permasalahan-permasalahan yang ada, maka penulis lebih memilih — untuk metode dialog — dengan kerangka pemikiran yang bertolak dari beberapa catatan:

Catatan pertama, yang berkaitan dengan hal-hal yang dipicu oleh perbincangan ini, dan berbagai tulisan dalam kehidupan pemikiran modern — berupa kenyataan bahwa kita menghadapi kekacauan pengertian terminologi-terminologi yang ditimbulkan oleh interaksi dengan peradaban barat. Dalam terminologi — satu wadah — pada saat dialog antara pemilik “terminologi asli secara turun-temurun” dan pemilik “terminologi asing” dilakukan, kita berada di hadapan konsep-konsep yang berbeda dan bahkan seringkali kontradiktif, dikemas dan disajikan dalam satu wadah. Terminologi ini merupakan masalah yang membuat banyak dialog kita menjadi dialog-dialog serampangan tanpa kita sadari, bahkan tanpa ujung dari para pelaku yang terlibat dalam dialog itu. Oleh karenanya, kita dituntut terlebih dahulu memberi batasan dan merumuskan konsep-konsep serta pengertian yang kita maksud dalam penggunaan terminologi ketika sedang mengadakan dialog. Kita menggunakan terminologi-terminologi yang pengertiannya mewakili wilayah-wilayah dialog dan kadang-kadang wilayah konflik. Sebagai contoh:

1. Dr. Nashr menawarkan prinsip akal atau daya nalar untuk menjadi salah satu dari tiga prinsip umum dan tujuan syari’ah. Disana tidak ada seorang Muslim.

Apakah akal adalah organ anatomis yang gerakannya menghasilkan buah pikiran sebagaimana yang dipahami oleh penganut materialisme? Ataukah ia “inti murni” yang bersifat abstrak sebagaimana yang dipahami oleh sebagian besar filosuf klasik? Ataukah ia adalah potensi rabbaniah yang lembut yang berkaitan dengan hati, esensi terdalam dari diri manusia? Sehingga sesuai dengan pembatasan pengertian akal, terbatas pula pengertian intelektualitas dan daya nalar. Sebab disana ada intelektualitas pencerahan Barat yang memiliki moto: “Tidak ada otoritas terhadap akal kecuali otoritas akal itu sendiri.” Dengan demikian intelektualitas Barat menolak otoritas wahyu terhadap intelektualitas manusia, disamping memandang terhadap akal dan empirisme sebagai jalan pengetahuan yang dapat diandalkan kebenarannya dan patut dihormati. Sementara disana juga terdapat intelektualitas berwawasan iman yang tumbuh dalam ilmu Tauhid — teologi Islam — untuk menegaskan kebenaran agama dan tidak untuk menentangnya. Intelektualitas inilah yang menggabungkan antara kebenaran tekstual (an-naql) dengan akal (‘aql) dan akal tunduk pada teks agama, dengan keyakinan bahwa intelektualitas manusia mempunyai keterbatasan daya jangkau dan pengetahuan yang diperolehnya bersifat nisbi (relative). Sedangkan kebenaran tekstual (an-naql) adalah berita dari yang Maha Memiliki pengetahuan mutlak dan universal, di mana akal saja tidak dapat menjangkaunya. Intelektualitas imaniah ini, setelah “wahyu” dipadukan dengan “alam” ciptaan-Nya dalam sumber pengetahuan, menjadikan jalan pengetahuan ada empat petunjuk, yaitu: akal, teks agama (nash), pengalaman indrawi, dan intuisi.

Maka jalan pengetahuan tidak hanya berhenti pada akal dan pengalaman empiris saja, sebagaimana intelektualitas yang diciptakan oleh akal pencerahan Barat: mundane dan materialistis. Lalu akal yang mana dan intelektualitas yang mana yang dibicarakan? Apakah intelektualitas yang menyingkirkan syari’ah dan akal yang mengabdi untuk akal itu sendiri, ataukah intelektualitas yang memadukan antara syari’ah dan hikmah — menurut ungkapan Ibnu Rusyd — intelektualitas yang dimiliki Imam Ghazali yang telah mencapai posisi puncak yang diungkapkan dengan kata-katanya: “Sesungguhnya Ahli Sunnah telah membuktikan bahwa tidak ada pertentangan antara aturan tekstual dan kebenaran akal. Mereka memahami bahwa orang yang beranggapan adanya keharusan bersikap jumud pada yang ada secara buta serta mengikuti hal-hal yang bersifat lahiriah saja, adalah karena lemah akalnya dan tumpul mata hatinya. Barangsiapa memasuki olah akal hingga melanggar ketentuan-ketentuan syari’ah, maka mereka melakukan itu karena keburukan mata hati mereka. Kecenderungan golongan yang pertama berlebihan dalam memandang kecil peran akal, sedangkan golongan kedua berlebihan dalam memandang besar peran akal, keduanya jauh dari sikap teliti dan hati-hati. Perumpamaan akal adalah laksana mata hati yang terhindar dari berbagai cacat dan keburukan, dan perumpamaan al-Qur’an (wahyu) adalah laksana matahari yang cahayanya tersebar ke segala arah. Orang yang berpaling dari akal dan cukup dengan cahaya al-Qur’an ibarat orang yang menatap sinar Matahari yang membuat dia menutup kelopak matanya, maka tidak ada bedanya antara dia dan orang buta. Akal yang berpadu dengan syara’ adalah cahaya di atas cahaya.” [2]

Jadi, tentang akal yang mana dan intelektualitas yang mana kita berbicara? Yang pertama kali dituntut adalah perumusan muatan terminologi, agar kita mengetahui, apakah intelektualitas ini adalah hal-hal yang dimaksud dalam filsafat- filsafat yang berdiri di atas puing-puing syari’ah? Ataukah ia adalah tujuan dan prinsip-prinsip umum syari’ah Islam?

2. Pembicaraan Dr. Nashr tentang kebebasan (al Hurriyyah) yang dipandang sebagai prinsip umum kedua dalam tujuan syari’ah — tidak ada perselisihan pendapat tentang prinsip ini — bahkan sebagaimana disinggung terdahulu. Syaikh Thahir bin Asyur telah menambahkan “tujuan kebebasan” kedalam lima tujuan syari’ah yang ada, akan tetapi disana masih tetap dibutuhkan untuk merumuskan apa yang dimaksudkan dengan muatan dan pengertian “kebebasan.”

Jika kata “kebebasan” adalah lawan dari “penghambaan” (‘ubudiyyah), maka di sini harus ada pembatasan: kebebasan siapa? Dalam menghadapkan penghambaan kepada siapa? Bagi orang mukmin, penghambaan dengan penuh kerendahan kepada Allah merupakan puncak kebebasan. Kebebasan dalam pengertian ini bertolak belakang dengan yang dipahami oleh para penganut filsafat materialisme. Manusia mukmin tidak memandang hak-hak Allah dalam sikap ‘iffah (menahan diri dari hal-hal yang tidak halal) adanya ikatan-ikatan yang mengurangi kebebasannya, sedangkan orang yang tidak beriman memandang dalam sikap ‘iffah sebagai penghambaan, lalu mereka mengangkat slogan kebebasan seksual sebagaimana yang terjadi di sebagian masyarakat modern.

Sementara orang beriman memandang terhadap hawa nafsu dan kecenderungan pada hal-hal yang diharamkan sebagai ikatan terhadap kebebasan dan penghambaan terhadap akal dan jiwanya. Sebaliknya orang yang tidak beriman memandangnya sebagai pencapaian berbagai kebebasan manusia yang dicapai melalui partai

partai dan diperjuangkan melalui berbagai revolusi. Muslim memandang kebebasannya sebagai kebebasan manusia yang mendapat tugas khilafah dari Allah dalam memakmurkan bumi, yaitu kebebasan yang dikendalikan dan dibatasi dengan batasan-batasan Allah. Hak-hak asasi manusia ini juga dibatasi dengan hak-hak Allah yang mewakili butir-butir akad dan janji kekhalifahan manusia. Sedangkan manusia yang menganut faham materialisme memandang kebebasan manusia sebagai “penguasa alam”, maka tidak ada pembatasan dan tidak ada ikatan terhadap kebebasannya kecuali batas-batas kebebasan dan memilih, seperti halnya tidak ada otoritas terhadap akalnya kecuali otoritas milik akalnya itu sendiri. Manusia Muslim di pihak lain, sebagai khalifah Allah adalah “tuan di muka bumi” bukan “tuan pemilik bumi” yang menurut ungkapan Muhammad Abduh: “Ia adalah seorang hamba Allah dan tuan segala sesuatu setelah Dia.”

Jadi, masalahnya bukanlah kesepakatan untuk mengadopsi terminologi kebebasan dan menolak terminologi penghambaan, melainkan masalahnya adalah perumusan dan pembatasan kandungan pengertian terminologi tersebut agar kita tidak hidup dalam bayangan mitos satu umat yang mempunyai satu kebudayaan tertentu tetapi dalam kenyataan kita adalah dua umat dan dua kebudayaan.

Catatan kedua, sebagaimana dikatakan Dr. Nashr bahwa akal adalah pusat skema (masyru’) Islam. Padahal yang benar bahwa akal dalam skema Islam — yang merupakan salah satu dari empat petunjuk yang ada — adalah jalan menuju pengetahuan dalam Islam: akal, wahyu, pengalaman indrawi (empiris), dan intuisi. Inilah yang membuatnya menjadi akal yang beriman, sebab tidak hanya akal sendiri yang menghasilkan pengetahuan, melainkan satu bagian dari keseluruhan yang menghasilkan pengetahuan dalam teori pengetahuan Islam.

Sedangkan pusat skema Islam adalah:

  1. tauhid dzat ilahiah tentang dzat, sifat, penciptaan, perbuatan, pengurusan, pemeliharaan dan lain sebagainya;
  2.  amanat kekhalifahan llahi kepada manusia dalam memakmurkan bumi.

Inilah konsep Islam yang universal yang mencakup skema (masyru’) Islam dalam hubungan antara Sang Pencipta, alam dan manusia: Allah Yang Maha Esa dan alam ciptaan-Nya ini dijalankan melalui hukum sebab musabab (sunnatullah fi al-kaun) yang mana hukum sebab musabab (causal law) ini juga adalah ciptaan-Nya yang lain. Dan manusia, sebagai pengemban amanat khilafah dari Allah, telah disediakan baginya alam ini dan dibuat tunduk kepadanya agar membantu melaksanakan amanat kekhalifahan dalam memakmurkan bumi sesuai dengan akad perjanjian kekhalifahan, yaitu hal yang memberi setiap pengertian terminologi — di antaranya intelektualitas, kebebasan dan keadilan — karakter Islam yang berbeda dengan teori-teori yang ada dalam berbagai filsafat serta pemikiran lain. Inilah fokus skema Islam dan proses konsep Islam dimana akal adalah salah satu di antara petunjuk-petunjuk (hidayah) yang ada, bukan fokus skema itu sendiri.

Catatan ketiga, sebagaimana dikatakan Dr.Nashr bahwa hukum sejarah adalah hukum-hukum yang merupakan aturan-aturan umum yang diungkapkan oleh al-Qur’an dengan terminologi sunnatullah yang tidak ditemukan penggantinya. Dari sini lalu muncul pertanyaan: Jika al-Qur’an menamakan hukum-hukum dan aturan-aturan itu dengan sunnatullah mengapa lalu diganti dengan istilah hukum-hukum sejarah? Hukum-hukum itu dalam al-Qur’an dinisbahkan secara posesif (idhafah) kepada pelakunya, sebagaimana ditemukan dalam berbagai ayat berikut:

“Sebagaimana sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang terdahulu sebelum kamu, dan sekali-kali kamu tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah. ” (Al Ahzab: 62)

“Itulah sunnah Allah yang telah berlaku atas hamba-hamba-Nya. Dan diwaktu itu binasalah orang-orang kafir.” (Al  Mu’min: 85)

“Maka sekali-kali tidak pula akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.” (Faathir: 43)

Yang mengherankan, mengapa kata sunnah itu dinisbahkan secara posesif kepada sejarah, tidak kepada Allah? Padahal, sejarah adalah kata keterangan dari sunnah itu, tempat dan konteksnya, bukan pelaku hukum-hukum dan aturan-aturan (sunnah) itu.

Ini satu problem dalam pengungkapan, yang seringkali tidak dimaksudkan, tetapi menimbulkan masalah kerancuan akibat dari adanya pemahaman-pemahaman materialistik yang masuk kedalam kebudayaan imaniah Islam, seperti ungkapan: “Materi tidak dapat habis dan tidak dapat diperbarui.” Sementara orang-orang Mesir kuno membuat konsep tauhid sebelum mereka mengenal agama-agama. Padahal iman mengajarkan kepada kita bahwa kemanusiaan telah dimulai dengan nubuwwah dan tauhid, dan begitu seterusnya. Manusia dalam pandangan Islam membuat sejarah sesuai dengan sunnatullah. Seandainya hukum-hukum dan aturan-aturan Allah yang tidak dapat diganti itu adalah hukum sejarah, maka tentu bukanlah kapasitas manusia untuk membuat sejarah ini, sebab ia akan menjadi hamba bagi hukum-hukum sejarah yang tidak mungkin dapat ia ubah dan ia ganti.

Catatan keempat, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Nashr bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan terhadap aqidah dan agama kita dari metodologi ilmu-ilmu humanoria yang canggih, melainkan yang patut dikhawatirkan adalah kemandegan (jumud) dan taklid yang merupakan benteng pertahanan dalam lembaga-lembaga tradisional. Menurut hemat penulis, bahwa kekhawatiran itu sepatutnya dari taklid dan jumud, dari warna dan sumbernya:

  1. Taklid kepada pengalaman para pendahulu kita dan metodologi mereka dan berhenti hanya sampai disana.
  2. Taklid kepada pengalaman peradaban orang lain; metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan dan konsep-konsep filsafat yang ada pada peradaban lain; kejumudan dan berhenti padanya.

Langkah awal yang harus disepakati; atau membuang titik perbedaan didalamnya dengan mendialogkannya adalah bahwa:

  1. Kita mempunyai peradaban yang berbeda dengan memberi batasan domain perbedaannya, karakternya, rambu-rambunya, yaitu domain dan rambu-rambu — kerangka dasar peradaban Islam — yang merupakan identitas yang menjaga keutuhan peradaban itu serta menjamin keislamannya dalam rentang waktu dan perbedaan tempat.
  2. Perbedaan sifat peradaban ini menjadi standar penerimaan atau penolakan dari tradisi pemikiran Islam dan dari tradisi pemikiran peradaban lain.
  3. Pembaruan adalah sunnah dan aturan abadi, yang mana “Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun seorang mujaddid (pembaru) yang memperbarui urusan agamanya.” (Abu Daud)

Ijtihad merupakan kewajiban abadi: tajdid dan ijtihad, dan cara untuk mengembangkan keselarasan pemikiran Islam yang unik dari dalam. Bahwa warna tajdid ini — pengembangan dari dalam keserasian — berbeda dan bertolak belakang dengan kejumudan pada tradisi para pendahulu kita, berbeda dan bertolak belakang dengan inovasi yang menolak pilar-pilar substansial dan menyingkirkan dasar-dasar, dan sumber-sumber syari’ah. Jadi yang disebut modern bukanlah modernitas menurut epistemologi Barat, melainkan modern dalam arti interaksi kita dengan masa sekarang tetapi tidak mencampakkan identitas yang kita miliki: modernitas yang bersumber dari epistemologi Islam yang berbeda dengan pohon filsafat Barat.

Terminologi tentang kemajuan mempunyai banyak pengertian, dan di sisi lain peradaban mempunyai pandangan yang berbeda. Pandangan Islam tentang kemajuan (progress), berbeda dengan pandangan sufisme  (mysticism) yang berupaya mencapai kefanaan makhluk dalam diri al-Khaliq dan berbeda pula dengan pandangan paham materialisme yang menempatkan manusia di atas arsy Tuhan. Oleh sebab itu, tugas skema Islam bukan “menumpang wadah” tanpa mempertimbangkan substansi, melainkan kebangkitan untuk mengarah pada satu peradaban sendiri yang menjadi model dimana manusia benar-benar melaksanakan fungsi sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Jika problema paling parah yang dihadapi sekarang oleh umat Islam adalah kemiskinan di bidang kreatifitas ilmiah dan ketenggelaman pada tradisi taklid, maka kreatifitas ilmiah ini akan tetap tidak muncul dalam kehidupan selagi masih belum disepakati bahwa umat Islam adalah pemilik satu peradaban yang memiliki karakter tersendiri. Jika tidak demikian halnya, maka apa kepentingan kaum Muslimin pada penemuan dan kreatifitas ilmiah itu sementara “model yang ditawarkan” telah siap dikemas dan disajikan dari pihak lain?!

Catatan kelima, adalah tentang klaim Dr. Nashr bahwa ketiga prinsip umum yang ia tawarkan untuk dijadikan tujuan-tujuan syari’ah yaitu: intelektualitas, kebebasan, dan keadilan yang ia pandang sebagai prinsip-prinsip umum. Sedangkan kelima prinsip umum yang dirumuskan oleh para ulama klasik mengenai tujuan-tujuan syari’ah dan menurut syaikh Thahir bin Asyur ada enam setelah menambah dengan satu prinsip lagi yaitu: memelihara agama, akal, jiwa, kehormatan, harta, dan kebebasan, ini semua dipandang sebagai prinsip parsial (juz’iyyah) bukan general (kulliyyah) dan dapat dimasukkan kedalam sub prinsip-prinsip yang ditawarkan oleh Dr. Nashr.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah benar demikian? Ataukah sebaliknya yang benar? Jika ditelaah, tujuan-tujuan syari’ah sebagaimana dirumuskan oleh para ulama ushul fiqh dan jika kita mencurahkan daya pemikiran kita pada dimensi-dimensinya yang sebenarnya, yang merupakan dimensi yang pintu dan medannya terbuka di hadapan ijtihad Islam, maka kita akan berada pada satu pola universal yang mencakup pilar-pilar substantif dan keharusan komunitas manusia, yang mana tanpa pilar dan keharusan tersebut peradaban dan ‘umran umat manusia tidak akan tegak pada jalan fitrah yang suci.

Asas memelihara jiwa manusia, yang merupakan salah satu tujuan syari’ah kedua, adalah ungkapan tentang esensi kemanusiaan manusia yang berbeda dengan makhluk-makhluk lain ketika diberi beban taklif (amanat syari’ah) secara opsional yang mengacu pada tanggungjawab, hisab (perhitungan amal) dan balasan baik buruk (jaza’).

Asas memelihara kebebasan (hurriyyah), yang merupakan tujuan ketiga yang ditambahkan oleh Syaikh Thahir, merupakan ungkapan tentang amanat yang dipikul oleh manusia dalam fungsinya sebagai khalifah, setelah semua makhluk Allah enggan memikulnya. Dalam kerangka dan batas- batas kebebasan itu tercermin visi Islam yang dikemukakan oleh konsep tentang kekhalifahan dan tugas khalifah manusia sebagai makhluk pilihan.

Asas memelihara kehormatan dan keturunan, yang merupakan tujuan keempat adalah ungkapan tentang pilar bangunan keluarga, yaitu komponen pokok dalam wujud bangsa dan ummat. Asas memelihara harta, yang merupakan tujuan kelima, adalah ungkapan tentang pilar kesejahteraan umat manusia dan keadilan sosial serta perhiasan kehidupan duniawi dengan pencapaian ‘umran materiil kehidupan ini.

Asas memelihara agama, yang merupakan tujuan keenam, adalah ungkapan tentang kendali setiap pilar peradaban manusia dengan acuan-acuan ilahiah yang dapat menjamin kelangsungan ‘umran ini –kemajuan dan perkembangan. Dengan ruh ilahiah ini identitasnya tetap terpelihara meskipun menghadapi perubahan zaman dan tempat. Inilah peradaban manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, bukan peradaban manusia yang membangkang terhadap Tuhannya.

Demikian kedudukan tujuan syari’ah dari sisi ‘umran manusia yang merupakan prinsip-prinsip umum yang bijak, pilar-pilar dan keharusan. Jika dicermati ketiga prinsip yang ditawarkan oleh Dr. Nashr, dimana tawaran tersebut benar-benar telah dicakup dalam keenam prinsip yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul, maka dimanakah hal baru yang ditawarkan melalui telaah baru terhadap nash-nash agama, dengan metodologi baru, yang menurutnya diabaikan oleh para ulama klasik yang dimata Dr. Nashr mereka hanya mengacu pada isyarat-isyarat linguistik?

Asas intelektualitas yang ditawarkan oleh Dr. Nashr posisinya yang wajar dalam prinsip umum ada pada asas: tujuan memelihara akal. Begitu pula asas keadilan — sebagai satu jalan memecahkan masalah sosial — masuk kedalam prinsip umum: tujuan memelihara harta. Sedangkan asas kebebasan yang merupakan satu asas berdiri sendiri yang ditambahkan oleh Syaikh Thahir bin Asyur, disana tidak detemukan hal baru yang dipetik dari “telaah baru” yang dilakukan oleh Dr. Nashr dalam bidang ini. Jika prinsip “memelihara agama” dipandang sebagai prinsip parsial bukan general, lalu dimana letak sifat keuniversalan agama itu jika tidak pada sifat abadi dan cakupan wilayahnya yang menyeluruh?!

Umumnya dialog-dialog kita merupakan “korban” yang mengecewakan dari anarki yang sudah lumrah dalam muatan-muatan berbagai “terminologi”. Oleh karena itu, agar kita dapat memahami pihak lain, disamping untuk menentukan wilayah-wilayah kesepakatan dan wilayah-wilayah perbedaan, kita harus memulai merumuskan dan menentukan muatan dan pengertian berbagai terminologi tersebut. Wallahu a ‘lam.


[1] Judul makalah yang ditulis Dr. Nashr Abu Hamid Yazid (tokoh sekuler Mesir). Kajian ini dimuat dalam majalah Al Arabi; edisi Juli 1994, yang merupakan satu model pembahasan kandungan terminologi agar di sana ada dialog obyektif dan serius antara aliran-aliran pemikiran modern.pun berakal sehat yang menentang keharusan menggunakan akal dan daya nalar. Para ulama klasik yang dikritik oleh Dr. Nashr telah menjadikan “memelihara akal” sebagai saIah satu dari lima prinsip dan keharusan serta tujuan umum syari’ah, lebih dari seribu tahun yang lalu. Akan tetapi akal yang mana? lntelektualitas yang mana? Inilah yang menjadi permasalahan, yang perlu dijelaskan agar kita mempunyai posisi dan pegangan yang jelas dalam merumuskan kandungan pengertian dan konsep terminologi.

[2] Al Iqtishad fi Al l’tiqad, hal: 302, cetakan al Mathba’ah At Tijariyyah, Kairo, tt.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-19 Merindukan Keteladanan Para Pemimpin

Cahyadi-Takariawan.jpg

Di antara krisis yang tengah terjadi saat ini di tengah kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia adalah krisis keteladanan. Menjadi sesuatu yang sangat paradoks, bahwa para pemimpin dan elit bangsa ‘berbusa-busa’ berbicara tentang ideologi negara, tentang falsafah hidup bangsa, tentang moral dan seterusnya, namun menampilkan sisi-sisi yang tidak mencerminkan keteladanan dalam kehidupan.

Dalam konteks keteladanan pemimpin, Kouzes dan Posner (2007) menyatakan ada lima praktik keteladanan, yaitu mencontohkan cara (Model the Way), menginspirasi visi bersama (Inspire a Shared Vision), menantang proses (Challenge the Process), memampukan orang lain untuk bertindak (Enable Others to Act), dan menyemangati jiwa (Encourage the Heart).[1]

Dalam kaitannya dengan model the way Kouzes dan Posner  berpandangan bahwa memimpin berarti bahwa anda harus menjadi contoh yang baik, dan mewujudkan apa yang anda katakan. Gelar yang dimiliki seseorang merupakan pemberian, akan tetapi kehormatan hanya dapat dicapai melalui tingkah laku seseorang.

Kouzes dan Posner mengatakan bahwa perbuatan pemimpin jauh lebih penting dari perkataannya. Pemimpin harus menunjukkan contoh terlebih dahulu dalam tindakan sehari-hari dan mempertunjukkan komitmen yang mendalam atas apa yang diyakininya. “Kepemimpinan contoh” sangat cocok diterapkan dalam kehidupan masyarakat yang memerlukan keteladanan.[2]

Para pejabat pemerintahan pusat dan daerah bertanggung jawab untuk menciptakan keteladanan moral yang positif, karena masyarakat sangat terpengaruh oleh perilaku pejabat. Jika pejabat korup, maka masyarakat mudah meniru dan menjadikannya sebagai legitimasi. Jika pejabat melanggar aturan, akan membuat masyarakat mencontoh pelanggaran tersebut. Semua pejabat pemeritahan harus memiliki standar moral yang membuat bisa dijadikan teladan bagi seluruh warga masyarakat.

Secara tradisional, pemimpin di Jepang memilih harakiri atau bunuh diri jika terlanjur melakukan tindak kesalahan. Hal ini adalah contoh tanggung jawab keteladanan yang sangat besar dalam diri para pemimpin. Tentu saja tidak untuk ditiru di Indonesia dalam hal bunuh dirinya, namun diteladani dalam perasaan tanggung jawabnya. Hal ini bisa dikuatkan melalui kode etik pejabat pemerintahan dan ditindaklanjuti dengan penegakan disiplin kerja dengan reward and punishment yang ketat. Pemberian sanksi administratif  terhadap pelanggaran moral juga diperlukan dalam upaya menegakkan keteladanan.

Teladan yang pernah dipraktikkan oleh Benjamin Franklin mungkin bisa menjadi salah satu inspirasi bagi setiap individu yang mau berkehendak baik untuk memperbaiki keadaan di negeri ini.[3] Ternyata kedisplinan adalah kunci membentuk keteladanan dalam diri setiap orang. Para tokoh agama, tokoh masyarakat, pemimpin negara, elit politik, dan seluruh komponen bangsa, harus memulai melakukan latihan disiplin untuk membentuk keteladanan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Benjamin Franklin melatih 13 kecakapan diri. Ia mempraktikkan kesederhanaan dengan tidak makan dan minum terlalu banyak. Praktik diam dengan berbicara hanya tentang yang bermanfaat bagi orang lain, tidak omong kosong. Tertib dan teratur untuk melatih diri terbiasa meletakkan hal dan barang pada kedudukan dan tempatnya masing-masing, serta  membagi waktu untuk semua urusannya. Ia melatih keteguhan hati dalam melaksanakan apa yang semestinya dilakukan dan telah diputuskan.

Praktik hemat diwujudkan dengan tidak mengeluarkan biaya selain untuk hal-hal yang baik bagi orang lain dan diri sendiri. Ia rajin dengan tidak membiarkan waktunya kosong, menggunakan waktunya dengan mengerjakan hal-hal yang berguna. Sikap jujur dilatihnya dengan tidak melakukan tipu muslihat yang menyakitkan hati, berpikir bersih dan jernih serta berbicara tentang yang benar saja. Keutamaan keadilan dibangunnya dengan tidak menyalahkan orang lain dengan melakukan sesuatu yang tidak adil atau dengan melakukan hal-hal yang merupakan kewajibannya.

Sikap moderat dilatihnya dengan menghindari sikap hal-hal yang ekstrem, dan selalu bersabar terhadap hal-hal yang kurang adil atas dirinya. Ia melatih kebersihan diri dengan tidak mentolerir hal-hal yang tidak bersih dalam badan, pakaian atau rumah. Praktik ketenangan diri direalisasikannya dengan tidak gugup atas hal-hal remeh atau kejadian buruk yang biasa atau tak terhindarkan. Ia meraih kemurnian dengan menggunakan seks hanya untuk kesehatan atau keturunan, tidak berlebihan sehingga bisa merusak reputasi diri sendiri dan ketenangan orang lain. Ia rendah hati terhadap siapa pun, entah kaya atau miskin, pejabat atau rakya biasa.

Ketigabelas pelajaran Franklin tersebut membuat dia berhasil memajukan negara AS. Ia menjadi teladan yang patut disegani di negerinya.


[1] J.M. Kouzes dan B.Z. Posner,  The Leadership Challenge, 4th Ed, John Wiley & Sons Inc, San Francisco, 2007.

[2] ibid

[3] Pormadi Simbolon, Disiplin dan Keteladanan Membangun Bangsa, www.pormadi.wordpress.com 29 Maret 2007.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-19 Pengantar Penghimpun Capita Selecta

DP.-Sati-Alimin.jpg

Capita Selecta, adalah nama buku yang memuat kumpulan karangan-karangan Saudara M. Natsir, yang diterbitkan pertama kali oleh penerbit U. B. ,.Ideal di Djakarta. Dua jilid yang diterbitkan oleh penerbit tersebut, memuat 23 karangan.

Dalam pada itu, masih banyak lagi karangan-karangan  Saudara  M. Natsir, yang baik dibukukan. Antara tahun 1936—1941, Saudara  M. Natsir menulis tidak kurang dari 90 karangan. Tapi tidak mudah untuk mengumpulkan karangan-karangan itu kembali. Dari beberapa teman-teman di Sumatera Tengah dan di Bandung, kami banyak dapat pertolongan. Begitu juga dari Perusahaan Lembaga Kebudayaan Indonesia di Jakarta, banyak kami mendapat bantuan. Kepada semuanya, kami ucapkan banyak-banyak terimakasih.

Buku ini memuat 52 karangan, dari karangan-karangan yang banyak itu. Selebihnya, karena merupakan karangan bersambung, mungkin akan diterbitkan juga nanti.

Seperti pembaca dapat menyaksikan sendiri, karangan-karangan ini ditulis antara 13 sampai 18 tahun yang lampau. Meskipun demikian, ia tetap masih aktuil, nilainya tidak dimakan masa. Walaupun oleh karangan-karangan ini tidak lagi zaman sekarang yang dihadapinya dengan lansung, tetapi ia tetap berharga untuk dibaca dan dipahamkan. Dalam pada itu jangan dilupakan bahwa tulisan-tulisan tersebut, ditulis dibawah tekanan duri-duri-pers yang begitu banyak, mulai dari masa ranjau-ranjau pers biasa sampai kepada masa “pers-breidel” dan masa “Staat van Beleg”. Sebab itu tepat kalau dikatakan bahwa selain dari pada mempunyai nilai2 biasa, tulisan-tulisan ini juga membawa kita membaca sejarah, membaca suara dan semangat~zaman di waktu itu.

Supaya lebih memudahkan, susunannya dibagi atas rubrik-rubrik. Karangan dalam satu-satu rubrik umumnya disusun kronologis. Masa ditulis dapat dilihat dibawah masing-masing  kepala karangan.

Suatu hal yang tegas, ialah dasar dan ruh dari karangan-karangan ini; soal manapun yang diuraikan, dasar dan ruhnya hanyalah satu, yakni mengemukakan dengan cara hujah yang tersendiri, langsung atau tidak langsung, akan ketinggian dasar dan ajaran* Islam dan bahwa Islam itu adalah suatu aturan-hidup untuk segala pencintakemanusiaan dan pencinta-Tuhan. Islam, menurut keyakinan M. Natsir, wajib jadi kriterium bagi hidup seorang Muslim, dan tak mungkin Islam itu dijadikan obyek untuk di-kriterium-kan kepada yang lain.

Ada baiknya dimaklumi, lebih-lebih berkenaan dengan rubrik “Ketatanegaraan”, bahwa seharusnyalah dibaca dengan berurutan, karena ia ditulis menurut peristiwa dan gelombang-masa diwaktu itu, yang menyebabkan hampir selalu ada hubungan antara karangan yang satu dengan yang lain. Ya, … .malah tak berapa buah diantara karangan-karangan ini sebenarnya, yang berdiri sendiri-sendiri.

Kepada Saudara  Z. A. Ahmad dan Saudara  Hamka, yang telah memberi kata-sambutan atas isi dan usaha mengumpulkan karangan-karangan ini kami ucapkan banyak-banyak terima kasih. Memang keduanya berhak memberi pertimbangan demikian.

Moga-moga ada faedahnya usaha kami menghimpunkan ini.

Jakarta, Oktober 1954

D. P. Sati Alimin


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-19 Pengertian Hadits Nabawi

Manna-Khalil-Al-Qaththan.jpg

Perhatian Terhadap Hadits

Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Sumber dari pengetahuan tersebut ada dua macam yaitu naqli dan aqli. Sumber yang bersifat naqli ini merupakan pilar dari sebagian besar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik dalam agamanya secara khusus, maupun masalah dunia pada umumnya. Dan sumber yang sangat otentik bagi umat Islam dalam hal ini adalah Al Quran dan Hadits Rasulullah Shalalllahu ‘alaihi wa sallam.

Allah telah memberikan kepada umat kita para pendahulu yang selalu menjaga Al Quran  hadits Nabi. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji. Sebagian di antara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap Al Quran dan ilmunya yaitu para mufassir. Dan sebagian lagi memprioritaskan perhatiannya untuk menjaga hadits Nabi dan ilmu, mereka itu adalah para ahli hadits.

Para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in sangat perhatian untuk menjaga hadits-hadits Nabi dan periwayatannnya dari generasi ke generasi yang lain, karena mempunyai pengaruh yang besar terhadap agama. Mereka selalu mengajak untuk mengikuti cara hidup dan perilaku Rasulullah sebagaimana firman Allah,

“Telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik bagi kalian.” (QS Al Ahzab:21)

Mereka juga diperintahkan untuk mengerjakan apa yang dibawa oleh Nabi dan dilarang untuk mengerjakan semua larangan beliau,

“Dan ambillah apa yang datang kepadamu dari Rasul dan tinggalkan apa yang dilarang untukmu.”(QS Al Hasyr: 7)

Keteladanan mereka pada Rasulullah sangat luar biasa sehingga tidak pernah bertanya sebab atau musabab dari perbuatan beliau.

Diriwayatkan Al Bukhari dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan cincin dari emas, lalu orang-orang mengenakan juga cincin dari emas. Kemudian Nabi membuangnya dan bersabda, “Aku tidak akan mengenakannya untuk selama-lamanya,” maka mereka pun membuang cincin tersebut.

Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa para sahabat selalu bergegas untuk meneladani semua perbuatan Rasulullah. Selama beliau menetapkan mereka mengikutinya, dan ketika beliau melarang mereka meninggalkannya.”[1]

Dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk mendengarkan, menghafal, dan menyampaikan hadits beliau.

Dari Zaid bin Tsabit mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Semoga Allah memberikan cahaya pada wajah orang yang mendengar hadits dari kami lalu menghafal hingga menyampaikannya. Berapa banyak orang yang membawa ilmu lalu menyampaikannya kepada orang yang lebih faham daripadanya, dan berapa banyak membawa ilmu namun tidak mengerti.’”[2]

Dari Abdullah bin Mas’ud berkata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah memberikan cahaya pada wajah orang yang mendengar sesuatu dari kami, lalu menyampaikannnya seperti yang ia dengar. Berapa banyak orang yang menyampaikan lebih memelihara daripada orang-orang yang mendengar.”[3]

Maka periwayatan hadits masih tetap menjadi suatu kemuliaan bagi para sahabat dan para pendahulu kita demi menjaga warisan Nabi, “Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang yang adil dari setiap pendahulu, mereka menolak penyelewengan orang yang melampaui batas, anutan orang-orang yang batil, dan penakwilan orang-orang yang bodoh.”[4]

Dari Jabir, bahwasanya ia pernah pergi ke Syam untuk meriwayatkan satu hadits dari Abdullah bin Unai .[5] Dan Abu Ayyub berangkat dari Madinah menuju Mesir hanya untuk meriwayatkan sebuah hadits dari Uqbah bin Amir.[6]

Para tabi’in dan para pengikutnya tidak kalah tamaknya dalam mencari hadits dari pada sahabat. Mereka mengikuti jejak dan langkah para sahabat. Majelis mereka dipenuhi dengan hadits Rasulullah. Mereka rela menanggung kesusahan dan kesulitan, serta menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkannya. Said bin Al Musayyib, salah satu tabi’in senior berkata, “Untuk mendapatkan satu hadits, aku rela menempuh beberapa hari perjalanan siang dan malam.”[7]

Amir Asy Sya’bi, berangkat ke Makkah untuk mendapatkan tiga hadits yang pernah diceritakan kepadanya denagn harapan dapat bertemu dengan salah satu sahabat, lalu bertanya tentang hadits-hadits tersebut.

Asy Sya’bi menceritakan sebuah hadits kepada seseorang lalu berkata kepadanya, “Aku berikan ini kepadamu secara cuma-cuma, yang pernah didapatkan dengan menempuh perjalanan ke Madinah.”

Seperti inilah perhatian para salaf terhadap sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.


[1] Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqalani: 1/321, cet. Salafiyah

[2] HR Abu Dawud, An Nasa’i, Ibnu Majah, At Tirmidzi, dia berkata, “Hadits ini hasan.”

[3] HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad Darimi, dan Ahmad, Tirmidzi berkata, “Ini hadits hasan shahih.”

[4] Diriwayatkan oleh Al Uqaili, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Abdil Barr

[5] Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Ya’la

[6] Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Al Ilmi wa Fadllihi

[7] Diriwayatkan oleh Ar Ramahurmuzi dalam Al Muhadits Al Fashil, dan diriwayatkan pula Ibnu Abdul Barr


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-20 Generasi Qurani: Generasi Yang Unik

Sayyid-Quthb.jpg

Terdapat fakta sejarah yang patut menjadi renungan bagi para pengemban dakwah Islam di mana saja dan pada zaman siapa saja. Dan sudah selayaknya peristiwa tersebut dipedomani, karena hal itu mempunyai efek yang signifikan berkenaan dengan manhaj dan orientasi dakwah.

Dakwah Islam telah melahirkan sekelompok generasi manusia –yakni generasi shahabat ridhwanullah ‘alaihim- menjelma menjadi generasi yang sangat istimewa dalam sejarah Islam khususnya, dan sepanjang sejarah manusia pada umumnya. Namun selanjutnya, dakwah tersebut tidak melahirkan kembali generasi ini pada kali yang lain. Ya, begitulah, terdapat pengistimewaan bagi generasi tersebut sepanjang perjalanan sejarah. Karena, memang belum pernah terjadi –sama sekali- afiliasi masif dalam jumlah besar sedemikian rupa, di satu tempat, sebagaimana yang telah terjadi pada periode awal perjalanan dakwah Islam.

Sebuah fakta mencengangkan yang benar-benar terjadi, dan mempunyai hikmah yang patut menjadi renungan. Semoga kita mendapat bimbingan-Nya untuk menyibak rahasia dibaliknya.

Sejatinya Al Quranul Karim, yang menjadi pedoman utama dakwah ini, telah ada di hadapan kita. Begitu pula sabda-sabda dan petunjuk Rasulullah saw yang aplikatif, serta keteladanan hidup beliau yang mulia, semuanya telah tersaji di hadapan kita. Pun tak ketinggalan, untuk dakwah tersebut, telah dihadirkan keteladanan “generasi pelopor” yang tak akan terulang lagi dalam sejarah. Bukankah yang telah hilang hanyalah pribadi Rasulullah saw? Lantas, apakah yang demikian ini adalah misteri?

Apabila eksistensi pribadi Rasulullah saw merupakan sebuah keniscayaan bagi keberlangsungan dan efektivitas dakwah tersebut, tentunya Allah tidaklah menjadikannya sebagai seruan bagi manusia secara keseluruhan. Dan Allah juga tidak akan melegimitasinya sebagai risalah paripurna. Lagi pula, Allah tentu tidak akan mempercayakan dakwah ini untuk menangani urusan manusia di muka bumi hingga akhir zaman.

Akan tetapi Allah swt telah menjamin keterpeliharaan Al Quran. Allah Maha Tahu bahwa dakwah ini akan tetap survive meski sepeninggal Rasulullah saw, dan ia senantiasa berdaya guna. Dus, Allah memilih dakwah ini di sisi-Nya setelah risalah berlangsung selama 23 tahun. Kemudian, Allah hendak mengekalkan agama-Nya hingga akhir zaman. Oleh karena itu, “kepergian” sosok pribadi Rasulullah saw tidak berarti menegaskan fakta di atas, dan tidak pula bersangkut paut dengannya.

Akan lebih baik bila kita menyelami peristiwa yang lain, agar kita bisa merenungkan referensi yang menjadi sumber inspirasi generasi garda depan, karena bisa jadi kita jumpai sesuatu yang telah berubah; dan kemudian kita bisa merenungkan manhaj yang mereka pelajari, sebab bisa saja ada sesuatu yang telah berubah di dalamnya.

Referensi utama yang diadopsi generassi pelopor adalah Al Quran, hanya Al Quran semata. Adapun sabda-sabda dan petunjuk Rasulullah saw hanyalah merupakan satu dari beberapa konsekuensi yang bersumber dari Al Quran. Salah satu contoh, ketika Aisyah radhiyallah ‘anha ditanya tentang akhlaq Rasulullah saw,, ia menjawab, “Akhlaq beliau adalah Al Quran.” (HR. An Nasa’i)

Adalah Al Quran satu-satunya sumber referensi yang mereka adopsi.  Mereka beradaptasi dengannya dan mengambil pelajaran darinya. Belum pernah terjadi kondisi yang demikian, karena pada waktu itu umat manusia belum memiliki peradaban dan kebudayaan, tidak pula keilmuan, karya-karya tulis, dan kajian-kajian?! Sekali-kali tidak! Kala itu, telah ada peradaban dan kebudayaan Romawi, juga buku-buku dan undang-undang mereka, yang sampai saat kini masih menjadi acuan dan dikembangkan oleh Bangsa Eropa. Di sisi lain, terdapat pula sisa-sisa peradaban, rasionalitas, filsafat, dan kesenian Yunani, di mana menjadi sumber inspirasi pemikiran Barat hingga sekarang. Di tempat lain, terdapat pula peradaban Persia, berikut kesenian, kesusastraan, mitologi, kepercayaan-kepercayaan, dan sistem pemerintahannya. Selain itu, masih terdapat beberapa peradaban lain yang jauh dan yang dekat (dari dunia Arab), misalnya: peradaban India, peradaban China, dan lain sebagainya.

Pada waktu itu, dua peradaban –Romawi dan Persia- mengapit Jazirah Arab di sebelah utara dan sebelah selatan, sementara Judaisme dan agama Kristen masih berpengaruh di tengah-tengah jazirah. Terdorong kebutuhan terhadap peradaban dan kebudayaan yang universal maka generasi shahabat tidak hanya membatasi diri berpegang teguh pada Kitabullah semata, pada saat perintisannya. Demikian ini dilakukan semata-mata demi sebuah planning yang matang dan sistem yang rapi. Sehingga, Rasulullah saw marah ketika tatkala beliau melihat di tangan Umar radhiyallahu ‘anhu terdapat lembaran yang berisikan ayat Taurat. “Demi Allah, sesungguhnya andai saja Musa masih hidup di belakang kalian, pastilah tak ada yang dilakukannya kecuali ia akan mengikuti (ajaran)ku!” tandas beliau. [Diriwayatkan oleh Al Hafizh Abu Ya’la dari Hammad bin Asy Sya’bi dari Jabir]

Bila demikian, berarti telah ada tuntunan dari baginda Rasulullah saw agar cukup merujuk pada Al Quran –yang selama ini mereka tekuni- selama masa-masa perintisan. Dengan merujuk pada Kitabullah semata, jiwa mereka mampu menyatu semata-mata dengan Al Quran, dan raga mereka berkomitmen menjalankan manhaj Al Quran. Sebab itulah, Rasulullah saw marah ketika melihat Umar bin Khattab ra hendak mengambil dari referensi lainnya.

Rasulullah juga ingin membentuk sebuah generasi  yang tulus hatinya, jernih akkalnya, orisinal konsepsinya, dan bersih kesadarannya, serta komposisinya bebas dari pengaruh apapun selain konsepsi Ilahi yang terkandung dalam Al Quran semata. Walhasil, jadilah mereka memiliki karakteristik yang “unik-istimewa”.

Namun, lihatlah apa yang terjadi di kemudian hari! Berbagai referensi berakulturasi! Beberapa generasi penerus menyisipkan –ke dalam referensi yang mereka adopsi- ajaran filsafat dan ilmu logika Yunani, mitos-mitos dan pandangan Persia, isra’iliyyat Yahudi, dan teologi Nasrani, serta beberapa peradaban dan kebudayaan yang rendah. Semuanya berakulturasi dengan penafsiran Al Quran dan ilmu kalam, sebagaimana yang terjadi dengan kajian fiqih dan ushul fiqih. Kemudian, kitab-kitab referensi “yang telah terkontaminasi” tersebut dikaji dan dipelajari oleh generasi-generasi selanjutnya. Maka dari itu, jelaslah, tidak ada yang menyamai generasi pelopor di atas.

Tak diragukan lagi bahwa akulturasi berbagai referensi pada kali yang pertama tersebut menjadi faktor utama dari sekian faktor yang memunculkan perbedaan yang kontras antara generasi-generasi penerus di satu sisi dan generasi pelopor yang unik-istimewa di sisi lain.

Selain faktor perbedaan karakteristik sumber rujukan, terdapat pula faktor penting lainnya, yakni ketidaksamaan “metode pembelajaran” (learning method) dari metode yang ditempuh oleh generasi pelopor.  Generasi ini tidaklah mengkaji Al Quran dengan berorientasikan tradisi dan publikasi, serta tidak pula untuk tujuan hobi dan mencari keuntungan. Tak seorang pun shahabat mempelajari Al Quran untuk memperkaya perbendaharaan tradisi semata, tidak pula hanya bertujuan menggabungkan dalil-dalil ilmiah dan fiqhiyah pada konklusi Al Quran yang disimpulkan berdasarkan pendapat pribadinya. Akan tetapi, para shahabat  mempelajari Al Quran untuk mendalami firman Allah, berkenaan dengan masalah pribadi dan persoalan bersama –yang mereka terlibat di dalamnya- serta kondisi lingkungan yang menjadi ajang aktivitas mereka. Mereka mengkaji firman-Nya untuk dipraktikkan seketika mendengarnya, sebagaimana pasukan di medan perang menerima “instruksi harian” untuk dikerjakan seketika itu.

Maka dari itu, tak ada seorang pun shahabat meminta banyak-banyak penyampaian Al Quran pada satu majelis. Karena, ia merasa yang demikian itu hanya akan memperbanyak kewajiban-kewajiban dan aturan-aturan agama yang membebani pundaknya. Karena itu, ia merasa cukup dengan sepuluh ayat untuk sementara waktu sampai ia telah menghafalnya dan mengamalkannya, sebagaimana informasi yang disebutkan dalam hadist Ibnu Mas’ud ra.

Kesadaran itulah, yakni kesadaran mempelajari untuk mengamalkan, yang telah membukakan bagi mereka –lantaran Al Quran- pintu-pintu kekayaan dan cakrawala pengetahuan. Semua itu tidak akan terbuka bagi mereka seandainya sejak semula, dalam mempelajari Al Quran, mereka berorientasikan sense penelitian, akademik, dan publikasi. Kemudian, mereka menganggap sepele pengamalannya dan menganggap enteng aturan-aturan agama; mencampuradukkan Al Quran dengan ambisi pribadi; membelokkan (makna) Al Quran sejalan dengan aturan yang berlaku agar sesuai dengan hawa nafsu dan kehidupan mereka, dan sejalan dengan dinamika kebudayaan yang belum tentu diterima oleh akal sehat dan tidak pula terabadikan dalam lembaran-lembaran kitab suci. Bukankah kebudayaan selalu dinamis seiring tilas-tilas dan peristiwa-peristiwa yang mengubah catatan sejarah kehidupan?!

Sejatinya, Al Quran tidak akan membeberkan rahasia-rahasianya kecuali terhadap pribadi yang bisa diterimanya karena memiliki sebuah mentalitas, yakni mentalitas intelektual yang berinisiatif pada pengamalan. Al Quran tidaklah hadir sebagai kitab yang memperkaya akal, tidak pula rujukan sastra dan seni, apalagi kitab dongeng dan sejarah, meskipun semua itu tercakup di dalamnya. Akan tetapi, Al Quran turun untuk menjadi “jalan hidup” (way of life) dan sebagai petunjuk Ilahi (divine guidline) yang suci. Dan Allah swt mempersiapkan mereka dengan bekal manhaj ini secara bertahap; Allah membacakan bagian demi bagiannya, sebagaimana firman-Nya:

“Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al Isra’ [17] : 106)

Al Quran ini tidaklah turun sekaligus dalam satu waktu, akan tetapi ia diturunkan menurut kadar kebutuhan saat itu; sesuai dengan perkembangan pemikiran dan penalaran yang sedang berlangsung; seiring dengan dinamika masyarakat dan kehidupan secara umum; dan untuk menjawab problematika sosial yang sedang dihadapi komunitas umat islam dalam kehidupan yang dijalaninya. Pada waktu itu, turunlah satu atau beberapa ayat, dalam kondisi tertentu dan berkenaan  dengan peristiwa tertentu.

Al Quran berdialektika dengan manusia tentang apa yang terbersit dalam benak mereka, menjelaskan kepada mereka duduk perkara yang mereka hadapi, memikirkan cara penyelesaian masalah mereka, mengoreksi kekeliruan sense dan langkah mereka, dan mempertautkan segala yang mereka hadapi kepada Allah, Tuhan mereka, serta mengenalkan Allah –kepada mereka- dengan sifat-sifat-Nya yang mempengaruhi alam semesta. Sehingga, mereka pun seketika itu menyadari bahwa mereka hidup berdampingan dengan alam metafisik, di bawah pengawasan Allah, berada dalam kekuasaan-Nya. Dari sini, mereka akhirnya mampu menyesuaikan diri, dalam kehidupan mereka, dengan manhaj Ilahi yang lurus tersebut.

Manhaj pembelajaran yang berorientasi pada implementasi dan praktik itulah buah karya generasi pelopor. Sementara manhaj pembelajaran yang berorientasi pada tugas akademik dan pengetahuan adalah manhaj yang diprakarsai generasi-generasi setelahnya. Tentunya, dengan demikian, faktor yang kedua ini juga menjadi faktor penting yang membedakan semua generasi dengan generasi shahabat yang istimewa nan tiada duanya.

Selanjutnya, terdapat faktor ketiga yang patut untuk kita camkan dan renungkan.

Seseorang tatkala masuk Islam, berarti harus menanggalkan kesesatannya, yakni semua yang dilakukannya semasa jahiliyah. Ia merasa, pada saat memilih Islam, ia sedang memulai “komitmen baru” yang benar-benar terbebas dari kehidupan yang dilakoninya pada masa jahiliyah. Dari sini, ia akan meragukan (kebenaran) segala ritual yang ditunaikannya semasa jahiliyahnya seperti keadaan orang yang sedang ragu, bimbang, cemas dan takut, seraya menganggap semua itu adalah perbuatan keji yang tidak baik dalam pandangan Islam.

Bermula dari persepsi ini, ia pun mempelajari ajaran yang baru, yakni cahaya petunjuk Islam. Apabila suatu ketika ia dikuasai hawa nafsunya; atau suatu saat, tradisi (masa lalunya) menarik perhatiannya; atau andaikata ia tak kuasa menjalankan kewajiban-kewajiban Islam suatu ketika, seketika itu ia akan merasa berdosa dan berbuat salah. Dalam relung jiwanya, ia menyadari perlu menyucikan jiwanya dari hal-hal yang mengotori jiwanya, lantas sekali lagi mencoba kembali menyesuaikan diri sejalan dengan petunjuk Al Quran.

Sudah semestinya, terdapat pemisahan kesadaran (‘uzlah syu’uriyyah) secara penuh antara masa silam seorang muslim dalam kejahiliyahan dan masa kininya dalam keislamannya; dari pemisahan ini, berkembanglah pemisahan sepenuhnya –dalam ritualnya, misalnya sembahyang, bersama komunitas jahiliyah- dari berbagai hubungan dan keterikatan sosial. Dengan begitu, akhirnya, ia pun bisa melepaskan diri dari kungkungan jahiliyah, dan kemudian mengikatkan diri dengan lingkungan yang Islami. Lain masalahnya, jikalau ia menjalin interaksi dengan sebagian kalangan musyrik dalam bidang perniagaan dan kerja sama sehari-hari. Karena, pemisahan kesadaran merupakan satu hal tersendiri, dan kerja sama sehari-hari merupakan satu hal yang lain.

Kemudian, harus ada pembebasan diri dari pengaruh lingkungan, tradisi, konsepsi, adat-istiadat, dan ikatan-ikatan jahiliyah. Hal ini merupakan konsekuensi transformasi akidah dari syirik (politeisme) menuju tauhid; dan transformasi ideologi tentang kehidupan dan eksistensi diri, dari tren jahiliyah menuju mainstream Islam. Kondisi ini kemudian berkembang dari Ma’idah sekumpulan orang menjadi komunitas baru yang Islami, dengan pedoman yang baru. Komunitas dan pedoman ini kemudian menghadirkan secara totalitas, baik loyalitas, ketaatan, dan kepasrahan diri.

Tak pelak lagi, faktor yang ketiga ini pun menjadi titik kontras. Ia menjadi titik permulaan sejarah kehidupan yang baru, yakni sejarah yang –secara cepat- bebas dari segala himpitan tradisi-tradisi yang diciptakan oleh masyarakat jahiliyah, dan dari semua paham dan nilai yang berlaku di dalamnya. Di sana, seorang muslim hanya menjumpai penderitaan dan bencana. Akan tetapi, dalam dirinya, ia telah meneguhkan dan menyempurnakan tekadnya, dan tidak akan goyah oleh himpitan ideologi jahiliyah, tidak juga oleh taklid-taklid masyarakat jahiliyah.

Kita sekarang berada dalam suatu kejahiliyahan sebagaimana jahiliyah yang sekurun dengan Islam, atau malah lebih mengenaskan. Semua yang ada di sekeliling kita adalah jahiliyah. Konsepsi dan akidah manusia, adat-istiadat dan tradisi mereka, sumber-sumber kebudayaan mereka, kesenian dan kesusastraan mereka, hukum dan undang-undang mereka, bahkan banyak hal yang kita anggap sebagai budaya Islam, referensi Islam, filsafat dan pemikiran Islam, semuanya juga merupakan produk jahiliyah tersebut.

Sebab itulah nilai-nilai Islam tidak bisa konsisten tertanam dalam sanubari kita; konsepsi Islam tidak bisa terjabarkan jelas dalam alam pikiran kita; dan karenanya, di lingkungan kita, tidak bisa berkembang generasi –dalam jumlah besar- seperti halnya generasi yang dilahirkan Islam pertama kali.

Jika demikian, dalam manhaj haraki Islam, mau tak mau kita harus membebaskan diri –dalam masa persiapan dan formulasi- dari semua jenis pengaruh jahiliyah yang selama ini kita tiru dan adopsi. Sudah semestinya kita kembali berpijak pada referensi murni yang dipedomani oleh generasi shahabat, yakni referensi yang dijamin tak terkontaminasi oleh noda sedikitpun. Kita kembali kepadanya sembari membangun –dari referensi tersebut- konsepsi kita tentang segala realitas kekinian dan kemanusiaan, serta semua interelasi antara dua realitas tadi di satu sisi dan wujud Yang Maha Sempurna nan Maha Benar, yakni keberadaan Allah swt, di sisi lain. Dari sinilah kita membangun konsepsi kita tentang kehidupan, juga tentang nilai-nilai, etika-etika, dan manhaj-manhaj kita, dalam bidang hukum, politik, ekonomi, dan segala bidang yang menunjang kehidupan.

Ketika kita kembali berpijak pada Al Quran, merupakan suatu keharusan, kita memulai lagi dengan kesadaran “mempelajari untuk melaksanakan dan mengamalkan”, bukannya dengan kesadaran “akademik dan mencari profit”.

Kita kembali kepadanya, supaya kita menelisik apa yang dikehendakinya atas keberadaan dan orientasi hidup kita. Di jalan ini, akan kita jumpai –di dalam Al Quran- keindahan artistik, kisah-kisah fantastik, “adegan-adegan” hari Kiamat, juga retorika yang impresif, dan segala hal yang ingin ditelisik oleh para akademisi dan kaum oportunis. Kita akan menggapai semuanya, namun dengan catatan, itu bukanlah tujuan utama kita. Karena, tujuan utama kita adalah mengetahui apa yang dikehendaki Al Quran untuk kita lakukan; apakah konsepsi menyeluruh yang diinginkan Al Quran dari kita; bagaimanakah Al Quran menghendaki kesadaran kita terhadap Allah swt; dan bagaimanakah Al Quran menghendaki akhlaq, sikap, dan tatanan kehidupan kita sehari-hari?!

Untuk itu, kita harus melepaskan diri dari himpitan komunitas jahiliyah, juga konsepsi, tradisi, dan tatanan sosial yang berbau jahiliyah, lebih-lebih di dalam jiwa kita. Kita tidak perlu berbaur dengan realitas masyarakat jahiliyah ini, juga tidak perlu menyatakan loyalitas kepada mereka. Karena, mereka dengan karakteristiknya –yakni karakteristik jahiliyah- tidak layak untuk “bergandengan tangan” dengan kita. Yang penting adalah, kita harus memperbaiki diri kita lebih dahulu sebelum kita memperbaiki masyarakat kemudian.

Selanjutnya, hal pertama yang perlu kita lakukan adalah mereformasi realitas masyarakat tersebut. Kita harus mereformasi realitas jahiliyah mulai dari akarnya. Realitas inilah yang senantiasa berbenturan secara fundamental dengan manhaj dan konsepsi Islam, serta menghalangi kita –sekuat tenaga- dari kehidupan semestinya seperti yang dikehendaki manhaj Ilahi.

Langkah pertama dalam meniti jalan kita adalah menaklukkan masyarakat jahiliyah berikut nilai-nilai dan konsepsi-konsepsinya; dan jangan sampai kita menyelaraskan nilai-nilai dan konsepsi-konsepsi kita, sedikit atau banyak, agar sejalan dengan mereka di “jalan tengah”. Sekali-kali tidak! Karena sejatinya kita dan mereka berada di jalan yang berbeda. Maka, apabila kita menyertai mereka selangkah saja, berarti kita telah kehilangan seluruh manhaj kita dan juga kehilangan jalan kita.

Dalam merealisasikan langkah di atas kita akan menjumpai rintangan dan hambatan. Langkah tersebut mengharuskan kita mendedikasikan pengorbanan yang tak ternilai. Namun, kita tak punya pilihan lain ketika kita bertekad menapaki jalan generasi utama, generasi yang telah Allah tetapkan baginya manhaj Ilahi, dan menolongnya mengalahkan manhaj jahiliyah.

Alangkah lebih baik, bila kita senantiasa memahami keistimewaan manhaj kita, hal ihwal posisi kita, dan karakteristik jalan yang mau tak mau kita tempuh untuk keluar dari kejahiliyahan, sebagaimana yang dilakukan generasi spesial yang tiada duanya.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-20 Pengantar Ilmu Ushul Fiqih

Muhammad-Abu-Zahrah2.jpg

Segala puji bagi Allah, kepadaNya kami mohon pertolongan dan ampunan serta bertaubat. Kami mohon pelindungan kepadaNya dari segala nafsu dan perbuatan yang jahat. Barangsiapa yang diberi petunjuk olehNya maka tiadak akan ada yang menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan maka tidak ada yang mampu memberinya petunjuk. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad yang diutus sebagai rahmat untuk sekalian alam dan yang membimbing umat ke jalan yang lurus. Begitu juga kepada para keluarga dan shahabatnya, serta orang yang mengikuti jejaknya sampai akhir zaman.

Ilmu Ushul Fiqih adalah suatu ilmu yang menguraikan tentang metode yang dipakai para imam nujtahid dalam menggali dan menetapkan hukum syar’i  dari nash. Dan berdassarkan nash pula mereka mengambil illat yang menjadi landasan hukum serta mencari maslahat yang menjadi tujuan hukum syar’i, sebagaimana dijelaskan dan diisyaratkan oleh Al Qur’an dan Sunnah Nabi. Dalam hal ini, Ilmu Ushul Fiqih berarti suatu kumpulan kaidah metodologis dan menjelaskan bagi seorang faqih bagaimana cara mengambil hukum dari dalil-dalil syara’. Kaidah itu bisa bersifat lafzhiyah, seperti dilalah (penunjukan) suatu lafazh terhadap arti tertentu, cara mengkompromikan lafazh yang secara lahir bertentangan atau berbeda konteksnya, dan bisa bersifat maknawiyah, seperti mengambil dan menggeneralisasikan suatu illat dari nash serta cara yang paling tepat untuk penetapannya. Begitulah kandungan Ilmu Ushul Fikih yang menguraikan dasar-dasar serta metode penetapan hukum taklif yang bersifat praktis yang menjadi pedoman bagi para faqih dan mujtahid, sehingga dia akan menempuh jalan yang tepat dalam beristinbath (mengambil hukum).

Karena itulah Ilmu Ushul Fiqih merupakan aspek penting yang mempunyai pengaruh paling besar dalam pembentukan pemikiran fiqih. Dengan mengkaji ilmu ini, seseorang akan mengetahui metode-metode yang dipakai oleh para imam mujtahid dalam mengambil hukum yang kita warisi selama ini. Terutama dari segi yang lebih produktif bila ingin mengembangkan hukum-hukum yang telah diwarisi itu, meski tidak sepadan, maka Ilmu Ushul Fiqih itu akan menerangi jalan untuk berijtihad. Dengan begitu, seseorang akan tahu tanda-tanda dalam menetapkan hukum syara’ dan tidak menyimpang dari jalan yang benar, disamping ia juga  akan selalu mampu mengembangkan ilmu syar’i dalam memberi jawaban terhadap segala persoalan yang muncul dalam setiap masa. Artinya Ilmu Ushul Fiqih merupakan hal yang harus diketahui oleh orang yang ingin mengenali fikih hasil ulama terdahulu, juga bagi orang yang ingin mencari jawaban hukum syar’i terhadap persoalan yang muncul pada setiap saat.

Tak heran bila setiap fakultas hukum, baik dulu mauoun sekarang, pasti menaruh perhatian yang besar terhadap ilk mereka bertanggungjawab untuk menerapkan hukum syar’i dalam masyarakat, baik yang berkaitan dengan masalah publik maupun perdata. Untuk menunaikan tugas tersebut, seseorang harus mengetahui sumber-sumber hukum syar’i dan metode-metode penetapan yang dipakai oleh ulama terdahulu, untuk kemudian mampu memilih metode yang paling tepat sebagai dasar dalam penetapan hukum, dengan tidak menyimpang dari tujuan syariat Islam serta tidak melampaui batas-batasnya.

“Barangsiapa melampaui batas-batas Allah, maka sesungguhnya ia telah menzhalimi dirinya.”

Ilmu Ushul Fiqih bukan hanya berguna bagi mahasiswa fakultas hukum untuk memahami syariah saja, tetapi juga sangat berguna untuk memahami undang-undang secara tepat. Dengan ilmu ini, ia akan tahu tentang dilalah (pengertian) setiap lafazh  yang ada pada nash, baik secara manthuq (tekstual) maupun mafhum (kontekstual), juga akan mampu membuat batasan bagaimana menetapkan suatu pengertian yang tepat ketika berhadapan dengan lafazh lain yang secara lahir atau tersamar mempunyai persesuaian maupun perbedaan. Setiap penafsir undang-undang pasti memerlukan semua hal tersebut, yang berarti memerlukan Ilmu Ushul Fiqh. Sebagaimana masalah qiyas (analogi), yang dalam Ushul Fiqh telah diterangkan secara tepat macam-macamnya, prosedur penerapannya, kriteria ‘illat dan cara mengetahui sifat-sifat yang bisa dipakai sebagai ‘illat dan sebagainya.

Sebagaimana pada setiap undang-undang ada ketentuan kasasi (naik banding), maka Ilmu Ushul Fiqih juga mengungkapkan kondisi-kondisi perkecualian yang dinyatakan sebagai jalan untuk mewujudkan tujuan yang prinsip bagi undang-undang itu. Kondisi perkecualian semacam itu dapat dilihat secara terinsi dalam bab Istihsan.

Sebagai kesimpulan, bahwa Ilmu Ushul Fiqih merupakan pedoman yang tepat untuk memahami teks-teks perundang-undangan. Di satu pihak, ilmu itu sendiri sangat dalam dan rumit yang bisa menjadi metode dan acuan bagi seorang ahli hukum, dan di pihak lain akan dapat melatih dan mengembangkan kemampuannya dalam menerapkan dan menegakkan hukum.

Akhirnya, hanya kepada Allah jua kami mohon pertolonga, semoga upaya ini mampu memberi sumbangan bagi para mahasiswa, pengkaji, dan ahli hukum dalam memahami dan menetapkan hukum dengan tepat, dan mampu mengatasi berbagai kendala yang ada. Dialah tempat memohon dan sebaik-baik pembimbing dan penolong.

Kairo, 13 Shafar 1377 H/8 September 1958 M

Muhammad Abu Zahrah


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-20 Pengantar Studi Ilmu-ilmu Al Quran

Manna-Khalil-Al-Qaththan.jpg

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah, shalawat dan salam atas Rasulullah Shallallahu Alalihi wa Sallam, keluarga, para sahabat, para dai yang menyeru orang lain dengan seruannya, serta mereka yang berpedoman dengan hidayah-Nya.

Kitab yang berada di tangan pembaca ini, “Mabahits fi ‘Ulumul Al-Qur’an” adalah terbitan pertama sebagai respon terhadap sebagian saudara-saudara kita untuk menyuguhkan pembahasan ringkas tentang pentingnya studi ilmu Al-Qur’an, yang mana para pemuda muslim kita yang tidak memiliki spesialisasi dalam studi keislaman dapat dengan mudah mendapat pengetahuan dan rujukan yang cukup penting darinya. Sungguh pun kitab ini sangat ringkas, cetakan pertamanya telah terjual habis, hal yang tidak saya bayangkan sebelumnya.

Kemudian, saya merasa sangat perlu untuk menerbitkannya kali kedua, lalu saya teliti kembali. Cukup besar motivasi saya untuk memperjelas bagian-bagian sub babnya, juga menambah beberapa tema lain yang berkait. Maka terbitlah cetakan kedua dengan pembahasan yang cukup memadai dan padat dengan merangkum secara ringkas kajian-kajian Ulumul Qur’an yang pernah ditulis, baik yang klasik maupun kontemporer. Belum lagi sampai satu tahun, cetakan kedua buku ini juga habis.

Permintaan tetap mengalir dari kalangan tokoh-tokoh tsaqafah Islamiyah dan berbagai lembaga pendidikan yang memiliki keprihatinan terhadap kajian ilmi-ilmu Al-Qur’an, untuk mencetak ulang buku ini, kali ini yang ketujuh. Dalam terbitan ini, saya tidak banyak menambah seperti sebelumnya. Dan saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar buku ini bermanfaat, dan kita pun mendapat taufik-Nya.

Manna’ Khalil Al Qaththan

Dosen Pembimbing Pasca Sarjana

Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa’ud


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-20 Sepatah Kata Capita Selecta

Mohammad-Natsir.jpg

Sudah menjadi rahasia umum bahwa penulis yang dahulu memakai nama “A. Muchlis”, ialah sdr M. Natsir (Mohammad Natsir), yang sekarang menjadi Ketua Umum partai politik Islam Masjumi, dan pernah menjadi Perdana Menteri pada mula terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1950. Dia menulis pada 15 atau 16 tahun yang lewat di dalam majalah yang dahulu kami pimpin di Medan, “Pandji Islam” dan juga di dalam majalah “Pedoman Masjarakat“.

Tulisannya yang berisi dan mendalam dengan susunan yang berirama dan menarik hati, sangatlah memikat perhatian para pembaca. Bukan saja karena kata-katanya yang terpilih, yang disusun menurut caranya yang tersendiri itu, melainkan lebih utama lagi karena isinya yang “bernas” mengenai soal-soal sosial, ekonomi, dan politik yang menjadi kebutuhan bangsa kita pada waktu itu. Semuanya dijiwainya dengan semangat dan ideologi Islam yang menjadi pegangan hidupnya.

Dia tampil ke depan. Dia mengetahui betul kapan dia harus berteriak memberi komando untuk memimpin perjuangan bangsanya, dan dia tahu pula kapan masanya dia berkelakar dan bergembira untuk menghibur, membangkit semangat baru bagi perjuangan.

Dengan lain perkataan, dia tahu waktunya untuk membunyikan terompet dengan genderang perang, jika ia hendak menghadapi lawan yang menentang cita-cita Islam, baik terhadap bangsa penjajah maupun terhadap bangsa sendiri yang belum menginsafi akan ideologi Islam itu. Tetapi nanti tepat pada saatnya pula dia bersenandung dengan irama yang beralun kegembiraan untuk menggembirakan hati pejuang-pejuang Kemerdekaan.

Bukankah pada masa itu, tahun 1939 dan selanjutnya adalah tahun-tahun persiapan dan latihan untuk menghadapi suatu revolusi besar Kemerdekaan Indonesia, yang meletus emam tahun kemudiannya?

Tangkisannya menghadapi tindakan licik dari penjajah dan suara benggolan-benggolan kapitalis asing di Dewan Rakyat, begitu pula terhadap beberapa pemimpin Indonesia yang tidak mengerti akan ideologi Islam, dicoretkannya dengan cara tersendiri, yang berirama dan bersemangat dalam segala tulisan-tulisannya.

Di alam segala tulisan-tulisan tersebut, sekalipun merupakan polemik yang setajam-tajamnya, belumlah pernah ia mempergunakan perkataan yang mengurangkan nilai “jiwa-besar”nya. Bahkan, semakin tajam soal yang dipolemikkan, semakin bertambah teranglah cita-cita besar yang terkandung di dalam dirinya. Dari itu, tidak saya ragu bahwa pada suatu saat Saudara M. Natsir atau penulis A. Muchlis ini akan maju ke depan untuk memimpin umat bangsanya.

Dia datang pada saatnya yang tepat. Di dalam rangkaian pemimpin-pemimpin Islam Indonesia yang dipelopori oleh H. O. S. Tjokroaminoto dan H. A. Salim, dia merupakan mata rantai yang sambung- bersambung untuk melaksanakan ideologi Islam. Dan didalam perjuangan Kemerdekaan ini, ia menempati suatu lowongan yang tertentu. Jika 15 tahun yang lalu, ia memberi komando dengan tulisan, maka sejak zaman Kemerdekaan, ia lansung terjun ke tengah medan jihad bersama kawan-kawan yang se-ideologi ataupun tidak, mengantarkan Bangsa dan Negara ketempat yang layak, dan sesuai sebagai Negara merdeka dan berdaulat.

Tulisan-tulisan A. Muchlis pada 15 tahun yang lampau itu masih tetap merupakan pimpinan yang berjiwa bagi angkatan yang sekarang. Masing-masing pembacanya masih senantiasa merindukan dan  mengharapkannya  yang sebagai irama suling perindu menawan hati atau sebagai terompet yang memanggil kepada jihad yang suci.

Dengan ini, saya menyambut kumpulan tulisan A. Muchlis, yang dahulu dimuat dalam majalah-majalah yang saya pimpin “Pandji Islam” dan “Al Manar”.

Saya hargai usaha penghimpunan dan mudah-mudahan usahanya yang baik ini mencapai maksudnya. Dan saya mendoakan, moga-moga kumpulan karangan A. Muchlis ini dapat semakin mengenalkan orang kepada cita-cita tinggi yang terkandung di dalam dirinya saudara M. Natsir.

Wassalam,

Jakarta, akhir Nop. 1954

Z. A. Ahmad


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-20 Ulumul Qur’an dan Sejarah Perkembangannya

Manna-Khalil-Al-Qaththan.jpg

Al Qur’an adalah mukjizat Islam yang abadi di mana semakin maju ilmu pengetahuan, semakin tampak validitas kemukjizatannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkannya kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, demi membebaskan manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya ilahi, dan membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah menyampaikannya kepada para sahabatnya sebagai penduduk asli Arab yang sudah tentu dapat memahami tabiat meraka. Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas bagi mereka tentang ayat-ayat yang mereka terima, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah.

Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu, bahwa ketika turun ayat,

ﺂلَّذِﯾنَءَ١ﻣنُوْ١وَلَمْﯾَلْبِﺴوْٓ١إِﯾمٓنَﮫﻢبِﻆُلْﻢٍٲُوْﻟٓءِكَ لَﻬُمُ آﻸَمَنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan merekalah orang-orang yang mendapat hidayah” (Al An’am:82).

Orang-orang yang merasa keberatan dengan ayat tersebut. Lalu mereka bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah mana ada orang yang tidak menzhalimi dirinya?” Beliau menjawab, “Pemahamannya tidak seperti yang kalian maksudkan, tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan seorang hamba yang saleh kepada anaknya”.

ٳِنَّ آلثِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمُ

Sesungguhnya syirik itu adalah kezhaliman yang besar” (Luqman:13).

Adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, memberi tafsiran kepada mereka tentang beberapa ayat. Imam Muslim dan lainnya mengeluarkan hadits yang diriwayatkandari Uqbah bin Amir, dia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah membaca di atas mimbar,

وَأَعِدُّواْلَهُمْ مَّاآسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّۃ﴿اﻷﻧﻔال:٦٠

“Dan persiapkanlah segala jenis kekuatan yang dapat kamu sediakan untuk menghadapi mereka….” (Al Anfal:60)

Lalu, Beliau bersabda,

ٲَﻻَٳِنَّ اﻟْقُوَّۃَ اﻟرَّﻣْﻲُ

Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan (al quwwah) tersebut adalah memanah”. (Al Hadits)[1]

Para sahabat sangat bersemangat untuk mendapatkan pengajaran Al Qur’an Al Karim dari Rasulullah. Mereka ingin menghafal dan memahaminya. Bagi mereka, ini merupakan sesuatu kehormatan.

Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Ada seorang laki-laki di antara kami yang apabila membaca surat Al Baqarah dan Ali Imran, ia begitu antusias”. (HR Ahmad)

Seiring dengan itu, mereka juga bersungguh-sungguh mengamalkannya dan menegakkan hukum-hukumnya.

Abu Abdirrahman As Sulami meriwayatkan, bahwa orang-orang yang biasa membaca Al Qur’an kepada kami, seperti Ustman bin Affan dan Abdullah bin Mas’ud, serta yang lainnya; apabila mereka belajar spuluh ayat dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, mereka enggan melewatinya sebelum memahami dan mengamalkannya. Mereka mengatakan, “Kami mempelajari Al Qur’an, ilmu dan amal sekaligus.”[2]

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengijinkan mereka menulis apa pun selain Al Qur’an, sebab ditakutkan dapat tercampur aduk dengan yang lain.

Muslim meriwayatkan dari Abu Said Al Khudri, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

ﻻَتَکْتُبُواعَنِّي وَﻣنْکَتَبَ عَنِّي غَيْرَالْقُرْآنِ فَﻠْﯿَﻤْﺣُﻪُوَﺣَدِّثُواعَنِّي وَﻻَﺣَرَجَ وَمَنْ کَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًافَلْيَتَبَوَّأْمَقْعَدَہُمِنَ النَّارِ

Janganlah sekali-kali menulis apa pun dariku. Barangsiapa menulis sesuatu selain Al Qur’an dariku maka hapuslah. Sampaikanlah haditsku, tidak masalah. Namun, barangsiapa mendustakan aku dengan sengaja, maka nerakalah tempatnya”.

Sekalipun Rasulullah pernah mengijinkan sebagian sahabatnya setelah itu untuk menulis hadits, sesungguhnya hal-hal yang berkaitan dengan Al Qur’an masih tetap bersandar pada riwayat, yaitu melalui talqin.[3] Demikianlah yang terjadi masa Rasul, masa Khalifah Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu Anhuma.

Lalu, pada masa Khalifah Utsman[4]Radhiyallahu Anhu, sesuai dengan tuntutan kondisi -seperti yang akan dijelaskan kemudian[5]membuat suatu terobosan ijtihad mulia, yaitu demi menyatukan kaum muslimin dengan pedoman satu mushaf yang kemudia diberi nama mushaf Al Imam. Selanjutnya, mushaf tersebut dikirim ke berbagai negeri saat itu. Adapun tulisan huruf-hurufnya disebut rasm Utsmani, yang dikaitkan dengan nama Khalifah Utsman. Langkah ini adalah awal munculnya ilmu penulisan rasm Al Qur’an.

Kemudian, Khalifah Ali Radhiyallahu Anhu menyuruh Abul Aswad Ad-Duali untuk menggagas kaedah nahwu, demi menjaga adanya kekeliruan dalam pengucapan dan untuk lebih memantapkan bagi pembacaan Al Qur’an. Hal ini dianggap sebagai cikal bakal dari munculnya ilmu i’rab Al Qur’an.

Para sahabat pun meneruskan tradisi memahami makna-makna Al Qur’an dan tafsirnya sesuai dengan kondisi mereka masing-masing; baik kemampuan yang berbeda dalam memahami maupun intensitas dalam kedekatannya dengan Rasulullah. Selanjutnya, dalam kondisi demikianlah murid-murid para sahabat dari kalangan tabi’in mengambil ilmu dari mereka.

Di antara para mufassir terpopular di kalangan sahabat Nabi adalah; empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al Asy’ari dan Abdullah bin Zubair.

Cukup banyak riwayat-riwayat tentang tafsir yang diriwayatkan dari beberapa sahabat semisal; Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab. Dan biasanya apa yang diriwayatkan dari meraka tidaklah selalu mengandung tafsir Al Qur’an secara utuh, tetapi masih berkisar tentang makna-makna beberapa ayat, serta penjelasan ayat yang masih samar dan global.

Adapun dari kalangan tabi’in, tidak sedikit yang menimba ilmu dari sahabat dan kemudian melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat.

Di antara murid-murid Ibnu Abbas yang cukup termasyhur adalah Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Thawus bin Kisan Al Yamani, dan Atha’ bin Abi Rabah.

Murid Ubay bin Ka’ab yang terpopular di Madinah adalah Zaid bin Aslam, Abul Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab Al Qurazhi.

Di Irak terdapat beberapa murid Abdullah bin Mas’ud yang juga terkenal sebagai mufassir. Meraka yaiti; Alqamah bin Qais, Masruq bin Al Ajda’, Aswad bin Yazid, Amir Asy Sya’bi, Hasan Al Bashri, dan Qatadah bin Di’amah As-Sadusi.

Menurut Ibnu Taimiyah, ada beberapa orang yang terkemuka dalam bidang tafsir ini di Makkah. Mereka dalah sahabat-sahabat Ibnu Abbas seperti; Mujahid, Atha’ bin Abi Rabah, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Thawus bin Kisam, Abu Asy Sya’tsa’, dan lain-lain. Demikian juga di Kufah dari kalangan sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud. Sedangkan ulama tafsir di Madinah, yaitu; Zaid bin Aslam (guru Imam Malik), Abdurrahman bin Zaid dan Abdullah bin Wahab.[6]

Adapun jenis ilmu yang diriwayatkan dari mereka itu mencakup; ilmu tafsir, ilmu gharib Al Qur’an, ilmu asbab an nuzul, ilmu Makkiyah-Madaniyah, dan ilmu-ilmu nasikh-mansukh. Tetapi, semua ini diriwayatkan dengan cara talqin (belajar langsung dari guru).

Abad kedua hijriyah adalah masa kodifikasi. Mula-mula kodifikasi hadits dengan metode penggunaan bab-bab yang kurang sistematik. Semuanya mencakup segala yang berkaitan dengan tafsir. Sebagian ulama menyatukan tafsir yang diriwayatkan tanpa melihat apakah itu bersal dari Nabi, sahabat atau tabi’in.

Tokoh-tokoh yang melakukan kodifikasi itu diantaranya Yazid bin Harun As-Sulami (wafat 117 H), Syu’bah bin Al Hajjaj (wafar 160 H), Waki’ bin Jarrah(wafat 197 H), Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H), dan Abdul Razzaq bin Hammam (wafat 211 H). Kesemua ulama itu pada dasarnya termasuk ulama hadits. Hingga sekarang kita belum menemui penjelasan-penjelasan tafsir mereka dalam berbagai kitab.

Pada masa selanjutnya, sekelompok ulama melakukan penafsiran secara komprehensif terhadap Al Qur’an sesuai tertibnya ayat yang ada dalam mushaf. Di antara mereka yang terkenal adalah Ibnu Jabir Ath Thabari (wafat 310 H).

Demikianlah, pertama kali tafsir dilakukan dengan metode dari mulut ke mulut dan periwayatan, lalu melalui proses kodifikasi, tapi masih masuk dalam bab-bab hadits. Lalu pada tahap berikutnya dikodifikasikan secara mandiri. Kemudian muncul tafsir bil ma’tsur (yang menggunakan dalil-dalil Al Qur’an, hadits Nabi, serta perkataan para sahabat, dan salafush shalih), dan tafsir bir ra’yi (yang menggunakan akal atau pendapat pribadi).

Dalam bidang ilmu tafsir muncul karya-karya tematik yang berkaitan dengan tafsir Al Qur’an yang cukup penting bagi seorang mufassir.

Ali bin Al Madini, guru imam Al Bukhari (wafat 234 H), menulis tentang asbab an nuzul. Abu Ubaid Al Qasim bin Sallam (wafat 224 H) melahirkan karya tentang nasikh-mansukh dan masalah qiraat.

Ibnu Qutaibah (wafat 275 H) menulis masalah problema Al Qur’an (Musykil Al Qur’an). Mereka itu merupakan para ulama abad ketiga Hijriah.

Pada abad keempat Hijriah, juga tidak sedikit yang menulis tentang masalah terkait; Muhammad bin Khalaf bin Al Marzuban (wafat 309 H), menulis sebuah kitab “Al Hawi fi ‘Ulumi Al Qur’an,” Abu Bakar Muhammad bin Al Qasim Al Ambari (wafat 309 H) menulis kitab “Ulum Al Qur’an” Abu Bakar As-Sijistani (wafat 388 H) karyanya adalah “Gharib Al Qur’an,” dan Muhammad bin Ali Al Afudi (wafat 388 H) menulis kitab “Al Istighna’ fi ‘Ulum Al Qur’an.

Kemudian banyak karya-karya ulama yang muncul melanjutkan pengkajian dalam disiplin ulumul Qur’an. Abu Bakar Al Baqillani (wafat 403 H) menulis kitab “I’jaz fi ‘Ulum Qur’an”, Ali bin Ibrahim bin Said Al Hufi (wafat 430 H) memunculkan kitab “I’rab Al Qur’an” Al Mawardi (wafat 450 H) menulis tentang “Amtsal Al Qur’an”,  Izzuddin bin Abdissalam (wafat 660 H) menulis “Fi Majaz Al Qur’an”  dan ‘Alamuddin As Sakhawi (wafat 751 H) menulis “Ilmu Al Qira’at”. Tak ketinggalan, Ibnul Qayyim (wafat 751 H) melahirkan kitab “Aqsam Al Qur’an”. Inilah sejumlah karya ulama yang telah mengkaji ilmu-ilmu Al Qur’an yang saling terkait antara satu dengan lainnya.

Karya-karya ulama itu telah dirangkum dalam satu karya besar sebagaimana yang disinyalir oleh Az Zarqani dalam kitabnya “Manahil Al ‘Irfan fi ‘Ulum Al Qur’an”[7] bahwa di dalam Dar Al Kutub Al Mishriyah ada sebuah kitab karya Ali bin Ibrahim bin Said, terkenal dengan sebutan Al Hufi. Nama kitab tersebut “Al Burhan fi ‘Ulumi Al Qur’an”, terdiri dari 30 jilid. Di dalamnya terdapat 15 jilid yang mana di sana penulisnya menyebut ayat-ayat Al Qur’an sesuai dengan tertib mushaf yang mencakup pembahasan ulumul Qur’an. Di satu sisi penulis memberikan tajuk yang terkait dengan masalah i’rab, pembahasan di dalamnya menyangkut tentang gramatika (nahwu) dan kebahasan. Dalam masalah makna dan tafsir, ia menjelaskan dengan metode tafsir bil ma’tsur dan ma’qul. Kemudian ia membahas masalah Al waqf dan at tamam, terkadang ia membahas masalah qiraat ini di dalam topik tersendiri. Di sisi lain ia juga membicarakan tentang masalah hukum yang diistinbathkan dari ayat-ayat yang dijelaskannya.

Dengan metodologi semacam ini, Al Hufi bisa dianggap sebagai orang  pertama yang merumuskan kodifikasi ilmu-ilmu Al Qur’an, walaupun kodifikasi ini termasuk dalam model yang khusus, sebagaimana telah disebutkan.

Lalu, Ibnul Jauzi (wafat 597) mengikuti jejak Al Hufi. Ia menulis kitab “Funun Al Afnan fi ‘Aja’ibi ‘Ulum Al Qur’an.[8]  Badruddin Az Zarkasyi (wafat 794 H) menulis “Al Burhan fi ‘Ulum Al Qur’an.”[9]Jalaluddin Al Balqini (wafat 824 H) menulis “Mawaqi’Al ‘Ulum min Mawaqi’ An-Nujum,” menambahi sedikit kitab Az Zarkasyi. Kemudian, Jalaluddin As Suyuthi (wafat 911 H) dengan kitabnya yang cukup terkenal yaitu “Al Itqan fi ‘Ulum Al Qur’an.”

Dalam konteks modern, studi ilmu-ulmu Al Qur;an tetap tidak kalah menarik dengan ilmu-ilmu yang lain. Orang-orang yang berkompeten dengan gerakan pemikiran Islam terus berupaya menemukan rumusan kajian-kajian Al Qur’an yang relevan dengan perkembangan zaman, seperti kitab “I’jaz Al Qur’an” karya Musthafa Shadiq Ar Rafi’i, kitab saya sendiri, “At Tashwir Al Fanni fi Al Qur’an, “Masyahid Al Qiyamah fi Al Qur’an” karya Sayyid Quthb, “Tarjamah Al Qur’an” karya Syaikh Muhammad Musthafa Al Maraghi, termasuk pembahasan tentang buku tersebut oleh Muhibbuddin Al Khatib, “Mas’alatu Tarjamah Al Qur’an” oleh Musthafa Shabri, “An-naba’ Al’Azhim” karya DR. Muhammad Abdullah Darraz dan buku pengantar tafsir “Mahasin At-Ta’wil” yang ditulis oleh Muhammad Jamaluddin Al Qasimi.

Juga, Syaikh Thahir Al Jazairi menulis satu buku “At-Tibyan fi ‘Ulum Al Qur’an”, Syaikh Muhammad Ali Salamah menerbitkan “Manhaj Al Furqan fi ‘Ulum Al Qur’an”, Syaikh Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqani sendiri menulis “Manahil Al ‘Irfan fi ‘Ulum Al Qur’an”, kemudian Syaikh Ahmad Ahmad Ali memunculkan buku “Mudzakkirah fi ‘Ulum Al Qur’an”. Buku ini dijadikan buku pegangan di fakultas tempat dia mengajar, pada jurusan Dakwah dan Bimbingan (Qism Ad Da’wah wal Irsyad). Yang terakhir adalah karya Ustadz Ahmad Muhammad Jamal.

Inilah beberapa kajian yang dikenal sebagai studi ilmu-ilmu Al Qur’an. Sekarang, kita beralih kepada definisi singkat tentang ulumul Qur’an.

‘Ulum adalah bentuk plural dari ‘ilm. ‘Ilm sendiri maknanya Al fahmu wa Al idrak (pemahaman dan pengetahuan). Kemudian, pengertiannya dikembangkan kepada kajian berbagai masalah yang beragam dengan standar ilmuah.

Dan yang dimaksud dengan ‘Ulum Al Qur’an, yaitu suatu ilmu yang mencakup berbagai kajian yang berkaitan dengan kajian-kajian Al Qur’an seperti; pembahasan tentang asbab an-nuzul, pengumpulan Al Qur’an dan Penyusunannya, masalah Makkiyah dan Madaniyah, nasikh dan munsukh, muhkam dan mutasyabihat dan lain-lain.

Kadang-kadang Ulumul Qur’an ini juga disebut sebagai ushul at-tafsir (dasar-dasa/prinspi-prinsip penafsiran), karena memuat berbagai pembahasan dasar atau pokok yang wajib dikuasai dalam menafsirkan Al Qur’an.[10]


[1] Penulis tidak mentakhrij hadits ini. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ad-Darimi, dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu Anhu

[2] HR. Abdul Razaq dengan lafazh yang semakna. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Syakir

[3] Talqin disini, maksudnya yaitu belajar Al Qur’an langsung dari seorang Syaikh yang mempunyai sanad bersambung kepada Nabi. (Edt.)

[4] Al Qur’an pertama kali dikumpulkan adalah pada masa Abu Bakar paska peperangan Yamamah sebagaimana akan dijelaskan dalam pembahasan yang akan datang

[5] Lihat dalam pembahasan pengumpulan Al Qur’an pada masa Utsman.

[6] Muqaddimah Ibnu Taimiyah fi Ushuli At-Tafsir /15

[7] Lihat Manahil Al ‘Irfan fi ‘Ulum Al Qur’an, I/27 dan seterusnya

[8] Skripnya yang belum diterbitkan masih ada, tapi tidak lagi sempurna. Terdapat di perpustakaan Timuriah.

[9] Yang kemudian di edit dan dieterbitkan oleh Muhammad Abu Al Fadhl Ibrahim, ada 4 jilid

[10] Kami kira cukup dengan pemaparan historis di atas termasuk dengan pendefinisiannya secara global tentang Ulumul Qur’an yang dikenal sebagai satu disiplin ilmu.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-21 Kata Sambutan Capita Selecta

Buya-Hamka.jpg

Pada akhir tahun 1929 terbit di Bandung majalah Pembela Islam. Di dalamnya menulis Saudara-saudara alm. Sebirin, Fachruddin Al Kahiri, dan M. Natsir sebagai pengisi tajuk-rencana. M. Natsir (Mohammad Natsir) mengemukakan sikap dan pendirian Islam sebagai asas  untuk memperjuangkan Kemerdekaan. Berangsur-angsur mulai jelas perbedaan pandangan-hidup antara nasional, yang berjuang karena kemerdekaan itu an sich dengan pandangan-hidup mestinya  seorang Muslim.

Ir. Soekarno, yang menjadi pelopor gerakan nasional ketika itu, menyemboyankan: “Berjuanglah mencapai Kemerdekaan Indonesia dengan dasar nasionalisme! Adapun agama adalah pilihan dan tanggung-jawab masing-masing diri!”

M. Natsir berpendapat, Islam bukanlah semata-mata suatu agama, tapi adalah suatu pandangan-hidup yang meliputi soal2 politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Baginya, Islam itu ialah sumber segala perjuangan atau revolusi itu sendiri, sumber dari penentangan setiap macam penjajahan: eksploitasi manusia atas manusia; pembantrasan kebodohan, kejahilan, pendewaan, dan juga sumber pembantrasan kemelaratan dan kemiskinan. Islam tidak memisahkan antara keagamaan dan kenegaraan. Nasionalisme hanyalah suatu langkah, suatu alat yang sudah semestinya di dalam menuju kesatuan besar, persaudaraan manusia di bawah lindungan dan keridhaan Ilahi. Sebab itu, Islam itu adalah primair, —* demikian pandangan M. Natsir.

Bertahun-tahun ideologi yang dijelaskan M. Natsir itu tinggal dalam bundelan Pembela Islam saja, sebab M. Natsir tidak masuk partai politik. Baru pada tahun 1939, ia masuk Partai Islam Indonesia. M. Natsir senang sekali duduk di meja tulisnya seorang diri, menulis untuk menyatakan fikiran-fikirannya dengan bebas dan merdeka, seperti juga dikelas di depan murid-muridnya. Ia menjauhi arena gembar-gembor; dalam tulisan-tulisannya hal itu dapat diperhatikan.

Sebab itu, dengan girang saya sambut, usaha mengumpulkan buah fikiran M. Natsir ini. Penting dan berguna bagi pemuda-pemuda kita angkatan baru, lebih-lebih bagi angkatan baru Pemuda Islam.

Lain dari pada itu, ada lagi yang utama, yakni: Sesudah selesai perjuangan merebut Kemerdekaan ini, kita masuk ke taraf baru, yaitu memikirkan nilai-nilai ideologi yang akan disumbangkan dalam pembinaan Dunia Baru. Kaum Muslimin sedunianya yakin, bahwa mereka termasuk tenaga yang besar-besar di masa sekarang, seperti Khawaya Kamaluddin, Maulana Muhd. AH, Iqbal, Hasan Al Banna, Ayatullah Al Kasyani, dan lain-lain, telah menjelaskan dan mengemukakah fungsi-fungsi masyarakat dan kepercayaan dari segi Islam, dalam menghadapi dunia sekarang, justru dalam masa dua blok besar yang berbeda dasar perjuangannya itu berhadapan dewasa ini. Maka fikiran M. Natsir ini, dapatlah diartikan fikiran Muslimn Indonesia dan sudah pada tempatnya pula kita kemukakan.

Berdasar kepada yang saya terangkan diatas ini, saya menganjurkan agar kumpulan karangan ini disalin kebahasa Arab atau bahasa Inggris.

Inilah sambutan saya dan moga-moga berhasil anjuran saya itu.

Jakarta, akhir Nop. 1954

Hadji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-21 Pengantar: Mungkinkah Syiah-Sunni Bersatu

Muhibuddin-Al-Khatib.jpg

Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Rasul termulia, keluarga dan seluruh sahabatnya. Wa Ba’du.

Seruan kepada taqrib (pendekatan) antara agama Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah dengan selain mereka dari kalangan Ahlusunnah, Zaidiyah dan Ibadiyah yang gencar di kumandangkan pada tahun-tahun terakhir ini telah menarik perhatian banyak orang untuk mengkaji permasalahan ini secara ilmiah. Dan shahibul fadhilah, penulis besar Islam Sayid Muhibbuddin Al Khathiib telah melakukan pengkajian ini melalui buku-buku utama sekte Syi’ah guna mencari sarana taqrib ini dalam buku-buku tersebut. Dan terbukti bagi beliau bahwa terwujudnya taqrib adalah suatu hal yang mustahil. Hal ini dikarenakan para penggagas agama Syi’ah tidak menyisakan satu sarana pun untuk terjadinya taqrib tersebut. Mereka telah menegakkan agama Syi’ah di atas pilar-pilar yang bertentangan dengan syari’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan yang diserukan oleh para sahabat beliau, serta agama terang benderang nan bercahaya yang beliau wariskan, sehingga tiada orang yang menyeleweng darinya melainkan orang yang benar-benar binasa.

Karena berbagai nukilan yang disebutkan dalam karya tulis ini langsung diambil dari buku-buku utama sekte Imamiyah Itsna ‘Asyariyah, dengan disertai nomor halaman, serta penjelasan tentang edisi penerbitannya, sehingga tidak mungkin ada orang yang dapat mengingkarinya, maka kami merasa perlu untuk mempersembahkannya kepada seluruh manusia. Agar hidup orang yang hidup di atas penjelasan dan binasa orang yang binasa di atas penjelasan, dan hanya Allah lah yang menjadi pembela bagi orang-orang yang telah mendapat petunjuk.

Jeddah, 14 Rajab 1380 H

Muhammad Nashif


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-12 Mereka Yang Telah Pergi (1)

Al-Mustasyar-Abdullah-Al-Aqil.jpg

Segala puji bagi Allah ta’ala, shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad, segenap keluarga dan shahabatnya, serta siapa saja yang menyerukan dakwahnya hingga hari kiamat.

Sungguh saya mendapat kehormatan saat diminta memberi pengantar buku yang sangat menarik, yang disusun oleh seorang dai, murabbi, guru besar, dan mantan Wakil Sekretaris Jenderal Rabithah Alam Islami di Makkah Al Mukaramah, Al Ustadz Abdullah Al ‘Aqil.

Buku ini berisi biografi, aktivitas, sifat, dan ucapan beberapa putra-putra terbaik Islam, baik di dunia Arab maupun lainnya. Mereka telah meninggalkan berbagai warisan monumental, kerja-kerja mulia, serta sikap-sikap kepahlawanan di medan dakwah dan jihad fi sabilillah.

Mereka telah memberikan pengorbanan dengan sesuatu yang paling berharga yang dimiliki untuk memagari agama dan membela tanah air. Mereka mencurahkan segenap tenaga, waktu, dan kekayaan untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Padahal, dalam waktu yang bersamaan, para penjajah tengah menyerang negara-negara Islam, menjarah kekayaanya, menguras perbendaharaan yang ada di dalamnya, memenjarakan dan membantai penduduknya. Oleh karena itu, orang-orang seperti mereka adalah para perintis umat di medan jihad dan kebangkitan.

Guru besar Abdullah Al ‘Aqil telah dikenal oleh para aktivis perjuangan dan dakwah Islam. Ia dilahirkan tahun 1930-an dan memulai studinya di Iraq. Pada akhir tahun 1940-an, berangkat ke Mesir untuk meneruskan studi di Fakultas Syariah Universitas Al Azhar. Beliau menamatkan studinya di Al Azhar tahun 1954, kemudian singgah di Arab Saudi. Selanjutnya ke Iraq untuk menjadi guru sekolah swasta An Najah di Az Zubair. Beberapa tahun berikutnya beliau berangkat ke Kuwait untuk memegang jabatan-jabatan penting. Jabatan terakhir beliau adalah Konsultan Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait. Namun, tahun 1986 beliau meninggalkan Kuwait menuju Arab Saudi untuk menjabat Wakil Sekretaris Jenderal Rabithah Alam Islami dan Sekretaris Jenderal Majelis Tinggi Urusan Masjid. Tahun-tahun selanjutnya, waktu beliau banyak dihabiskan pada bidang penulisan dan penerbitan.

Ketika studi di Mesir, permulaan tahun 1950-an, ia berhasil menyegarkan kehausannya untuk mengenal para ulama pergerakan, dai, mujtahid, penguasa yang ikhlas, dan para pemimpin pergerakan kemerdekaan yang menjadikan Mesir sebagai tempat perlindungan dan titik tolak membebaskan bangsa mereka dari cengkeraman penjajah. Ia selalu menghadiri majelis-majelis mereka, mengkaji sikap-sikap dan pendapat-pendapatnya, mengambil manfaat dari ilmu dan sifat wara’ mereka, serta mereguk pendidikan dari mata air keimanan, kesadaran politik, kedalaman pemikiran, dan keluasan dakwah.

Maka tidak mengherankan kalau figur-figur agung dan tokoh-tokoh bersih itu masih diingatnya, meskipun sudah berpisah selama puluhan tahun. Kecintaaannya yang tulus dalam menulis biografi mereka dapat Anda rasakan dalam setiap baris kalimat, bahkan dalam setiap kata dalam buku yang disajikan dengan gaya bahasa menawan, kata-kata mudah dicerna, makna mendalam, dan pemaparan yang sangat menarik ini.

Sungguh Ustadz Al ‘Aqil sangat dekat dengan tokoh-tokoh yang ditulisnya. Ia merasakan pengaruh mereka dari dekat dan mengikuti ceramah-ceramah, seminar-seminar, kajian-kajian, pertemuan-pertemuan, atau perkemahan-perkemahan bernuansa keimanan mereka. Karena itu, penulisannya tergolong penulisan seorang pakar yang benar-benar mengenal tokoh.

Buku ini memuat biografi lebih dari tujuh puluh tokoh terkemuka dari dua puluh negara Arab dan lainnya, yang hidup pada abad XIV H atau XX M. Saya kira penulis masih memiliki stok pengalaman dan pengetahuan yang melimpah tentang penulisan serupa yang sama-sama kita rindukan.

Saya pribadi belum mengenal tokoh-tokoh dalam buku ini, meskipun saya seorang wartawan. Maka, bagaimana dengan masyarakat Muslim pada umumnya? Padahal mereka disuguhi berbagai media massa yang memuat kehidupan para bintang film, pemain sepakbola, tokoh politik, serta para pejabat yang diangkat sebagai idola dan panutan kawula muda. Akibatnya, tiada tempat bagi para pembaharu, dai, atau mujahid yang telah mengorbankan ruhnya untuk membela agama dan umatnya.

Dari sini, tampaklah pentingnya upaya yang dilakukan tokoh-tokoh agung melalui majalah Al Mujtama’. Upaya ini membimbing generasi muda Islam untuk mengenal sejarah mereka secara benar, sehingga mereka bertambah yakin bahwa sejarah telah mempersembahkan manusia-manusia agung yang telah berkorban tanpa mengharapkan balasan, kecuali keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala dan pahala di akhirat.

Agar tidak panjang kata, saya persilakan pembaca menghirup wanginya bunga yang akan membuatnya bahagia, sebagaimana saya berbahagia saat membacanya. Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala yang dengan nikmatnya segala kebaikan terlaksana.

Kairo, Maret 2000

Badr Muhammad Badr


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-22 Mereka Yang Telah Pergi (2)

Al-Mustasyar-Abdullah-Al-Aqil.jpg

Kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala, shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad, segenap keluarga dan shahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti petunjukkanya.

Buku ini merupakan kumpulan dari makalah-makalah yang dimuat majalah Al Mujtama’ Kuwait selama beberapa edisi.

Makalah ini berisi sekilas tentang tokoh-tokoh pergerakan Islam kontemporer. Para tokoh yang memikul tugas dakwah Islam, para mujahid yang telah memenuhi janjinya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka benar-benar menjadi teladan dalam penerapan Islam di berbagai daerah seantero dunia Islam, mereka juga mewakili tipe masyarakat yang berbeda-beda.

Yang saya lakukan inni hanyalah sebagian dari wujud pemenuhan hak saudara-saudaraku yang mulia, salah satu kewajiban dalam dakwah, dan mengenalkan generasi yang menjadi figur unik di masa kontemporer. Mereka adalah tokoh yang telah mengimplementasikan nilai-nilai kepahlawanan tertinggi dan menyuguhkan Islam kepada dunia melalui perkataan, aktivitas, dan perilaku mereka sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah.

Mereka adalah perpanjangan tangan generasi pertama yang lebih dahulu meniti jalan keimanan dan kepemimpinan (generasi shahabat radhiallahu anhum). Sebab mereka wujud dari ajaran Islam yang berjalan di tengah-tengah kehidupan manusia yang sarat dengan aneka ragam pemikiran, aliran, dan ideologi yang benar-benar jauh dari manhaj Islam. Juga bergumul dengan kehidupan masyarakat yang mengekor pada Barat maupun Timur, serta taklid buta pada penjajah dan boneka-bonekanya.

Para tokoh ulama, dai, dan mujahid dalam buku ini adalah orang-orang yang shabar menghadapi berbagai kesulitan hidup, berjihad dan membela agama Islam, tegar dalam menghadapi kekuatan batil dan kesewenang-wenangan, menganggap rendah segala perhiasan dan daya tarik dunia, membebaskan keimanannya dari hal-hal yang dapat tersungkur dalam pelukan dunia, menggantungkan cita-cita dan harapannya di langit, serta mengutamakan apa yang di sisi Allah subhanahu wa ta’ala daripada yang berada di sisi manusia.

Mereka adalah arsitek kehidupan mulia bersama agama ini. Di antara mereka ada yang berperan sebagai profesor piawai, pendidik yang utama, dai yang pembaharu, mujahid yang syahid (mati dalam memperjuangkan agama Allah subhanahu wa ta’ala), pedagang yang jujur, wartawan yang cendekia, pemikir yang cemerlang, penyair yang membawa misi kebenaran, sastrawan yang mempunyai tujuan jelas, ahli ekonomi yang benar-benar pakar, dan orang-orang yang dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala termasuk orang-orang yang berlomba dalam kebaikan.

Mereka adalah gambaran konkret agama yang agung ini. Mereka telah membayar mahal kesabaran dan ketegaran pada manhaj, membawa keprihatinan umat dan berusaha mewujudkan impian-impiannya, dan memberikan teladan terindah untuk generasi masa depan, baik dalam dakwah, jihad, tarbiyah, dan upaya membangkitkan umat. Targetnya ialah Islam masuk ke dalam setiap rumah.

Saya melaksanakan fardhu kifayah ini dalam rangka memenuhi hak putra-putra terbaik umat ini, mengabadikan biografi mereka yang harum, merekam kemuliaan sifat yang ditulis dengan jihad dan darah, serta kezuhudan dan keberanian mereka. Dengan begitu, generasi kita menyadari bahwa dirinya adalah kelanjutan dari generasi yang diberkahi.

Para aktivis dakwah yang mulia itu telah berpulang ke rahmatullah dan menyerahkan estafeta perjuangan kepada kita. Maka kewajiban kita adalah menyerahkannya kepada generasi mendatang yang kita banggakan seerta menjadi tumpuan harapan. Sebab merekalah yang akan memikul amanah dakwah dan menegakkan kalimah Allah di muka bumi.

Manhaj penulisan buku ini adalah, “Saya tidak menuliskan kecuali tokoh-tokoh yang pernah kutemui.” Ini adalah manhaj yang digunakan oleh Imam Al Bukhari. Para tokoh itu harus sudah meninggal dunia, sebab yang masih hidup tidak dapat dijamin selamat dari fitnah. Mereka adalah aktivis pergerakan dan dai Islam, sebab ilmu tanpa amal dan ilmu tanpa didakwahkan tidak akan bermanfaat. Kita tidak membutuhkan kamus-kamus pergerakan, tetapi membutuhkan orang-orang yang hidup bersama Islam, menerapkannya dalam kehidupan, dan syahid karena memperjuangkannya.

Penulisan buku ini tidak memperhatikan urutan. Didahulukan atau diakhirkan tidak memiliki konotasi tertentu. Juga tidak ada maksud tertentu ketika sebagian biografi menghabiskan beberapa halaman, sedang yang lain menghabiskan puluhan halaman. Itu semua berdasarkan masa kebersamaan penulis dengan tokoh, serta kuat tidaknya ingatan dan rujukan tentang hal tersebut.

Figur-figur teladan yang saya muat dalam buku ini adalah sebaik-baik panutan setelah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, sahabatnya, para tabi’in, dan salafush shalih.

Sebagian saudaraku di bumi Kinanah (Mesir) telah terburu-buru mencetak tulisan-tulisan ini sebelum saya teliti dan saya perbaiki. Padahal tulisan ini berasal dari ingatan, sehingga saya perlu meminta pembaca untuk memberikan catatan atau komentar perbaikan sebelum naik cetak. Namun, apa yang ditakdirkan Allah subhanahu wa ta’ala pasti terjadi. Apapun upaya mereka adalah upaya terpuji yang harus disyukuri.

Buku yang pembaca nikmati ini adalah hasil revisi dan perbaikan. Meski demikian, saya tetap mengharapkan para pembaca tetap memberikan komentar atau kritikan, agar dapat memberikan kemanfaatan pada edisi berikutnya.

Meski hampir keseluruhan buku ini bertumpu pada ingatan dan pengalaman, tapi penulis tetap merujuk pada beberapa kitab, majalah, dan surat kabar yang menyebutkan sebagian sisi kehidupan tokoh yang dibicarakan.

Allah mengetahui bahwa saya berhutang jasa terhadap tokoh-tokoh dalam buku ini. Saya berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk mereka, sebagaimana berdoa untuk diriku sendiri. Semoga Allah mengampuni segala yang aku lakukan dan yang aku tunda, yang aku rahasiakan, dan yang aku umumkan. Dia lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mengumpulkan aku bersama mereka dalam surga bersama para nabi, shidiqin, syuhada, dan shalihin. Dia adalah Dzat Yang Mahakuasa, dan segala puji hanya untuknya.

Al faqir ilallah,

Abdullah ‘Aqil Sulaiman Al ‘Aqil

Riyadh 1421 H/2000 M


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-22 Mustahil Terjadinya Pendekatan Antara Islam dan Syi’ah

Muhibuddin-Al-Khatib.jpg

Prinsip-prinsip Dasar Ajaran Sekte Syi’ah Al Imamiyah, Mustahil Terjadi Pendekatan Antaranya Dengan Prinsip-prinsip Islam dengan Berbagai Aliran dan Kelompoknya

Mendekatkan pemikiran, kepercayaan, metodologi dan tekad umat Islam merupakan salah satu tujuan syariat Islam, dan termasuk salah satu sarana bagi terwujudnya kekuatan, kebangkitan dan perbaikan mereka.

Sebagaimana hal itu merupakan kebaikan bagi tatanan masyarakat dan persatuan umat Islam di setiap masa dan negara. Setiap seruan kepada pendekatan semacam ini -bila benar-benar bersih dari berbagai kepentingan, dan pada perinciannya tidak berdampak buruk yang lebih besar dibanding kemaslahatan yang diharapkan- maka wajib hukumnya atas setiap muslim untuk memenuhinya, serta bahu membahu bersama seluruh komponen umat Islam guna mewujudkannya.

Beberapa tahun terakhir, seruan semacam ini ramai dibicarakan orang. Kemudian berkembang hingga sebagian mereka terpengaruh dengannya, hingga pengaruhnya sampai ke Universitas Al Azhar –suatu lembaga pendidikan agama Islam paling terkenal dan terbesar yang dimiliki oleh Ahlis Sunnah, yang menisbatkan dirinya kepada empat Mazhab Fikih (yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Oleh karenanya Al Azhar mengemban misi “pendekatan” tersebut dalam lingkup yang lebih luas daripada misi yang ia emban dengan tak kenal lelah sejak masa Shalahuddin Al Ayubi hingga sekarang ini. Oleh karenanya Universitas Al Azhar keluar dari lingkup tersebut kepada upaya mengenal berbagai Mazhab lainnya, terutama Mazhab “Syi’ah Al Imamiyah Al Itsna ‘Asyariyah”. Dalam hal ini, Al Azhar masih berada  di awal perjalanan. Oleh karenanya, permasalahan penting ini amatlah perlu untuk dikaji, dipelajari, dipaparkan oleh setiap muslim yang memiliki pengetahuan tentangnya, dan digali segala hal yang berkaitan dengannya serta segala dampak dan risiko yang mungkin terjadi.

Dikarenakan berbagai permasalahan dalam agama amatlah rumit, maka penyelesaiannya pun haruslah dengan cara yang bijak, cerdas dan tepat.

Dan hendaknya orang yang mengkajinya pun benar-benar menguasai segala aspeknya, menguasai ilmu agama, bersifat obyektif dalam setiap pengkajian dan kesimpulan, agar solusi yang ditempuh -dengan izin Allah- benar-benar membuahkan hasil yang diinginkan dan mendatangkan berbagai dampak positif. Hal pertama yang menjadi catatan kami pada perkara ini -juga dalam setiap perkara yang berkaitan dengan berbagai pihak- ialah: bahwa salah satu faktor terkuat bagi keberhasilannya ialah adanya interaksi dari kedua belah pihak atau seluruh pihak terkait.

Kita contohkan dengan perkara pendekatan antara Ahlusunnah dengan Syi’ah, telah dicatat bahwa guna merealisasikan seruan kepada pendekatan antara kedua paham ini didirikanlah suatu lembaga di Mesir, yang didanai oleh anggaran belanja negara yang berpaham Syi’ah. Negara dengan paham Syi’ah ini telah memberikan bantuan resmi tersebut hanya kepada kita, padahal mereka tidak pernah memberikan hal tersebut kepada bangsa dan penganut pahamnya sendiri. Mereka tidak pernah memberikan bantuan ini  guna mendirikan “Lembaga Pendekatan” di kota Teheran, atau Kum, atau Najef atau Jabal ‘Amil, atau tempat-tempat lain yang merupakan pusat pengajaran dan penyebaran paham Syi’ah.[1]

Dan dari berbagai pusat pengajaran dan penyebaran paham Syi’ah tersebut -pada beberapa tahun terakhir ini- beredar berbagai buku yang meruntuhkan gagasan solidaritas dan pendekatan, sampai-sampai menjadikan bulu roma berdiri. Di antara buku-buku tersebut adalah buku (Az Zahra) dalam tiga jilid, yang diedarkan oleh ulama’ kota Najef. Pada buku tersebut, mereka mengisahkan bahwa Amirul Mukminin Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu ditimpa suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan selain dengan air mani kaum laki-laki!!? Buku tersebut berhasil didapatkan oleh Ustadz Al Basyir Al Ibrahimi, ketua ulama’ Al Jazair pada kunjungan pertamanya ke Irak.

Kebutuhan jiwa najis yang telah mencetuskan kekejian mazhab semacam ini kepada “Seruan Pendekatan” lebih mendesak dibanding kebutuhan kita sebagai Ahlusunnah kepada seruan semacam ini.

Bila perbedaan paling mendasar antara kita dengan mereka berkisar seputar dakwaan mereka bahwa mereka lebih loyal kepada Ahlul Bait (Ahlul Bait ialah karib kerabat nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam -pent) dibanding kita, dan tentang anggapan bahwa mereka menyembunyikan – bahkan-menampakkan- kebencian dan permusuhan kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang di atas pundak merekalah agama Islam tegak. Sampai-sampai mereka berani mengucapkan perkataan kotor semacam ini tentang Amirul Mukminin Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu.

Maka obyektivitas sikap mengharuskan agar mereka lebih dahulu mengurangi kebencian dan permusuhan mereka kepada para imam generasi pertama umat Islam dan agar mereka bersyukur kepada Ahlusunnah atas sikap terpuji mereka kepada para Ahlul Bait, dan atas sikap mereka yang tidak pernah lalai dari menunaikan kewajiban menghormati dan memuliakan mereka (Ahlul Bait), kecuali kelalaian kita dari penghormatan kepada Ahlul Bait yang berupa menjadikan mereka sebagai sesembahan yang diibadahi bersama Allah, sebagaimana yang dapat kita saksikan pada berbagai kuburan mereka yang berada di tengah-tengah penganut paham Syi’ah yang hendak diadakan pendekatan antara kita dan mereka.

Interaksi haruslah dilakukan oleh kedua belah pihak yang hendak dibangun toleransi dan pendekatan antara keduanya. Tidaklah ada interaksi melainkan bila antara positif dan negatif (pro dan kontra) dapat dipertemukan, dan bila berbagai gerak dakwah dan upaya pewujudannya tidak hanya terfokus pada satu pihak semata, sebagaimana yang terjadi sekarang ini.

Kritikan kami tentang keberadaan lembaga pendekatan tunggal yang berpusatkan di ibu kota negeri Ahlusunnah, yaitu Mesir ini, dan yang tidak diiringi oleh pusat-pusat kota negeri Mazhab Syi’ah, padahal berbagai pusat penyebaran paham Syi’ah gencar mengajarkannya, dan memusuhi paham lain, berlaku pula pada upaya memasukkan permasalahan ini sebagai mata kuliah di Universitas Al Azhar, selama hal yang sama tidak dilakukan di berbagai perguruan Syi’ah.

Adapun bila upaya ini -sebagaimana yang sekarang terjadi- hanya dilakukan pada satu pihak dari kedua belah pihak atau berbagai pihak terkait, maka tidak akan pernah berhasil, dan tidak menutup kemungkinan malah menimbulkan interaksi balik yang tidak terpuji.

Termasuk cara paling sederhana dalam mengadakan pengenalan ialah dimulai dari permasalahan furu’ sebelum membahas berbagai permasalahan ushul (prinsip)!. Ilmu Fikih Ahlusunnah dan Ilmu Fikih Syi’ah tidaklah bersumberkan dari dalil-dalil yang disepakati antara kedua kelompok. Syariat fikih menurut empat Imam Mazhab Ahlusunnah tegak di atas dasar-dasar yang berbeda dengan dasar-dasar syariat fikih menurut Syi’ah. Dan selama tidak terjadi penyatuan dasar-dasar hukum ini sebelum menyibukkan diri dengan berbagai permasalahan furu’, dan selama tidak ada interaktif antara kedua belah pihak dalam hal ini, pada lembaga-lembaga pendidikan agama yang mereka miliki, maka tidak ada gunanya kita menyia-nyiakan waktu dalam permasalahan furu’ sebelum terjadi kesepakatan dalam permasalahan ushul. Yang kita maksudkan bukan hanya ilmu ushul fikih, akan tetapi ushul/dasar-dasar agama kedua belah pihak dari akar permasalahannya yang paling mendasar.


[1] Bantuan semacam ini sepanjang sejarah telah mereka lakukan berulang kali, dan berkat para da’i yang mereka utus dengan misi inilah, selatan Irak berubah dari negeri Sunni yang terdapat padanya minoritas Syi’ah menjadi negeri Syi’ah yang padanya terdapat minoritas kaum Sunni. Dan pada masa Jalaluddin As Suyuthi, ada seorang da’i Syi’ah yang datang dari Iran ke Mesir, dan orang inilah yang diisyaratkan oleh As Suyuthi dalam kitabnya yang berjudul “Al Hawi Lil Fatawi” , cet Percetakan Al Muniriyah jilid 1 Hal. 330. Disebabkan oleh da’i asal Iran tersebutlah As Suyuthi menuliskan karyanya yang berjudul “Miftahul Jannah Fil I’itisham Bissunnah.”


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-23 Syubhat Mimpi

Muhammad-Anis-Matta1.jpg

Buku-buku motivasi dan pengembangan kepribadian  selalu mendoktrin kita: Mulailah dari  mimpi,  karena  kebesaran  selalu  bermula  dari  sana.  Kalimat  itu  telah  menjadi sebuah  ’sabda’  yang  diriwayatkan  oleh  para  motivator  dan  inovator  dalam  berbagai pelatihan  manajemen,  mereka  seperti  menemukan  sumber  energi  bagi  kemajuan mereka.

Adakah yang salah dengan kalimat itu? Tidak juga! Akan tetapi, kalimat itu menyimpan sebuah  ’syubhat’  dan  itulah  masalahnya. Mimpi  adalah  kata  yang  menyederhanakan rumusan  dari  segenap  keinginan-keinginan  kita,  cita-cita  yang  ingin  kita  raih  dalam hidup, atau visi dan misi. Anggaplah  ia seperti sebuah maket, maka  ia adalah miniatur kehidupan yang ingin Anda ciptakan.

Kekuatan  mimpi  terletak  pada  kejelasannya.  Sebuah  keinginan  yang  tervisualisasi dengan jelas dalam benak kita akan menjelma menjadi kekuatan motivasi yang dahsyat.

Kemauan dan tekad menemukan akarnya pada mimpi kita. Apakah artinya kemauan dan tekad  bagi  diri  kita? Dialah  energi  jiwa  kita  yang memberi  kita  kekuatan  bekerja  dan mencipta.

Ulama-ulama  kita  mungkin  tidak  terlalu  setuju  menggunakan  kata  mimpi.  Mereka menggunakan kata “mutsul’uiya” yang mungkin dapat diartikan sebagai cita-cita  luhur dan  tertinggi  dalam  hidup.  Itulah  yang  kemudian  melahirkan  “hamm“,  sejenis kegelisahan  jiwa,  yang  selanjutnya  membentuk  “irodah”  (kemauan)  dan  “azam” (tekad).

Nah,  dimanakah  letak  syubhat  itu?  Syubhat  itu  bernama  “angan-angan”.  Garis  batas antara mimpi dan angan-angan terlalu tipis, karena itulah ia menjadi syubhat.

Mimpi mempunyai  basis  rasionalitas,  struktur  dan  susunan  yang  solid,  terbangun  dari proses  perenungan  yang  panjang  dan  mendalam,  terbentuk  melalui  pengalaman-pengalaman hidup yang terhayati dalam  jiwa dan  terolah dalam pikiran. Karena faktor-faktor pembentuk mimpi ini begitu kuat mengakar dalam kepribadian kita, maka mimpi biasanya  tervisualisasi  secara  sangat  jelas,  sejelas  maket  bangunan  bagi  seorang insinyur.

Angan-angan  tidak mempunyai  basis  rasionalitas,  dan  karenanya  tidak  terstruktur  dan tidak tersusun secara solid,  lebih banyak  lahir dari sikap melankolik, sering merupakan sebentuk  pelarian  dari  dunia  nyata,  sering  juga  merupakan  cara  menghibur  diri  dari kegagalan hidup. Angan-angan seringkali  lebih mirip dengan “mimpi-bangun”; sejenis mimpi yang seakan-akan teriihat dalam keadaan bangun.

Mimpi bersifat realistis, tetapi angan-angan tidak  terbangun dari realitas. Mimpi adalah cara membangun sebuah realitas, angan-angan adalah cara memanipulasi realitas. Akan tetapi,  baik  para  pemimpin  maupun  mereka  yang  suka  berangan-angan,  biasanya mempunyai  penampakan  tradisi  yang  sama:  mereka  sama-sama  gemar  mengkhayal. Dunia khayalan adalah dunia para pahlawan: dari  sanalah mereka merumuskan mimpi, tetapi tidak berangan-angan.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-23 Syaikh Umar At Tilmisani

Umar-At-Tilmisani.jpg

Mursyid III Ikhwanul Muslimin, 1322-1406 H/1904-1986M

Syaikh Umar Tilmisani adalah salah seorang dari tokoh-tokoh dai dan murabbi. Nama lengkapnya Ustadz Umar Abdul Fattah bin Abdul Qadir Musthafa Tilmisani. Beliau pernah menjabat sebagai Mursyid ‘Amm Ikhwanul Muslimin setelah wafatnya Mursyidul ‘Amm kedua, Hasan Al Hudhaibi, pada bulan November 1973.

Tempat, Tanggal Lahir dan Masa Kecil Syaikh Umar Tilmisani.

Garis keturunan Syaikh Umar Tilmisani berasal dari Tilmisan, Al Jazair. Beliau dilahirkan di kota Cairo pada tahun 1322 H/1904, di Jalan Hausy Qadam, Al Ghauriyah. Ayah dan kakeknya pedagang kain dan batu permata. Kakek Syaikh Umar Tilmisani seorang salafi yang banyak mencetak buku karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Karena itu, beliau tumbuh dan besar di lingkungan yang jauh dari bid’ah.

Syaikh Umar Tilmisani mengikuti Sekolah Dasar di sekolah yang dikelola oleh yayasan sosial tingkat menengah dan atas di Madrasah Ilhamiyah, kemudian masuk Fakultas Hukum.

Pada Tahun 1933, Syaikh Umar Tilmisani tamat dri Fakultas Hukum, kemudian menirikan kantor pengacara di Syabin Al Qanathir dan bergabung dengan jamaah Ikhwanul Muslimin.

Syaikh Umar Tilmisani pengacara pertama yang bergabung dengan Ikhwan, mewakafkan pemikiran, dan potensi untuk membelanya. Beliau termasuk orang dekat Imam Asy Syahid Hasan Al Banna. Beliau sering menyertai Al Banna dalam beberapa lawatan, baik di dalam mahupun di luar Mesir. Bahkan, Al Banna sering meminta bantuannya dalam menyelesaikan beberapa masalah.

Syaikh Umar Tilmisani menikah saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Isterinya wafat pada bulan Agustus 1979, setelah menyertainya selama setengah abad lebih. Dari pernikahan ini mereka dikurniakan empat orang anak : Abid, Abdul Fattah, dan dua orang puteri.

Kesibukan Syaikh Umar Tilmisani sebagai pengacara tidak membuatnya lupa memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan. Beliau banyak menelaah berbagai-bagai ilmu, seperti tafsir, hadits, fiqh, sirah, tarikh, dan biografi para tokoh.

Syaikh Umar Tilmisani selalu mengikuti perkembangan berbagai-bagai konspirasi musuh Islam, baik di dalam maupun di luar negeri. Beliau rajin mewaspadai, mengkaji, menentukan sikap, menentang konspirasi dengan bijaksana dan nasihat yang baik, membantah tuduhan-tuduhan, mementahkan ungkapan-ungkapan, dan mengikis syubhat-syubhat yang dibuatnya, dengan kepercayaan diri orang mukmin yang tahu ketinggian nilai agamanya kehinaan selain Islam. Sebab, tiada penolong setelah Allah ta’ala dan tiada agama yang diridhai Allah selain Islam.

Saya mengenal Syeikh Umar Tilmisani pada tahun 1949, ketika saya baru pertama kali tiba di Mesir untuk meneruskan pengajian di perguruan tinggi. Ketika itu ada pertemuan yang dihadiri oleh para tokoh ikhwan, setelah syahidnya Imam Hasan Al Banna dan sebelum terpilihnya Mursyid ‘Am Kedua, Hasan Al Hudhaibi. Saat itu kami mendengar kajian dan nasihat mereka. Dari situ, kami kehalusan budi bahasa (sopan santun), tawaddhuk, murah senyum, serta kasih sayangnya pada apara anggota Ikhwan, terutama generasi muda yang sangat ambisius bercita-cita tinggi memetik buah sebelum panen dan membalas perlakuan musuh sebanding dengan perlakuannya terhadap jamaah.

Komitmen Diri Syaikh Umar Tilmisani.

Syaikh Umar Tilmisani meninggalkan kesan positif pada orang-orang yang mengenal atau berhubungan dengannya. Beliau dikurniai kejernihan hati, kebersihan jiwa, kehalusan ucapan, keluwesan ungkapan yang keluar dari lisan, keindahan pemaparan, teknik berdebat, dan berdialog yang sangat baik.

Syaikh Umar Tilmisani menceritakan komitmen dirinya, “Kekerasan dan ambisi untuk mengalahkan orang lain tidak pernah menemukan jalan untuk masuk ke dalam akhlakku. Karena itu, saya tidak bermusuhan dengan siapa pun, kecuali dalam rangka membela kebenaran, atau mengajak menerapkan Kitab Allah Ta ‘ala. Kalaupun ada permusuhan, maka itu berasal dari pihak mereka, bukan dariku. Saya menyumpah diriku untuk tidak menyakiti seorang pun dengan kata-kata kasar, meskipun saya tidak setuju dengan kebijakannya, atau bahkan ia menyakitiku. Karena itu, tidak pernah terjadi permusuhan antara diriku dengan seseorang karena masalah pribadi.”

Tidak berlebihan kalau saya simpulkan bahawa siapa pun yang keluar dari majlisnya, pasti mengagumi, menghormati, dan mencintai dai unik yang menjadi murid Imam Hasan Al Banna ini, lulus dari madrasahnya, dan bergabung dengan jamaahnya sebagai dai yang tulus dan ikhlas.

Akhlak dan Sifat Syaikh Umar Tilmisani

Syaikh Umar Tilmisani sangat pemalu, seperti diketahui orang-orang yang melihatnya dari dekat.

Orang yang sering duduk dan berdialog dengan Syaikh Umar Tilmisani merasakan bahwa keras dan lamanya ujian yang beliau alami di penjara, malah mensterilkan dirinya, hingga tiada tempat di dalam dirinya selain kebenaran. Ia mendekam di balik jeruji besi selama hampir dua puluh tahun. Beliau masuk penjara pada tahun 1948. Masuk lagi pada tahun 1954. Penguasa Mesir memenjarakannya untuk ketiga kalinya tahun 1981. Namun, ujian-ujian itu tidak mempengaruhi dirinya, dan justru menambah ketegasan dan ketegarannya.

Dalam wawancara dengan majalah Al- Yamamah Arab Saudi, edisi 14 Januari 1982, Syaikh Umar Tilmisani berkata, “Tabiat yang membesarkanku membuatku benci kekerasan, apa pun bentuknya. Ini bukan hanya sekadar sikap politik, tapi sikap pribadi yang terkait langsung dengan struktur keberadaanku. Bahkan, andai dizalimi, saya tidak akan menggunakan kekerasan. Mungkin, saya menggunakan kekuatan untuk mengadakan perubahan, tapi tidak untuk kekerasan.”

Surat untuk Presiden

Di surat terbuka untuk Presiden Mesir yang dimuat surat khabar Asy-Sya’b Al- Qahiriyahn, edisi 14 Maret 1986, Syaikh Umar Tilmisani berkata, “Wahai yang mulia Presiden, yang terpenting bagi kami, kaum muslimin Mesir, adalah menjadi bangsa yang aman, stabil, dan tenang di bawah naungan syariat Allah Ta’ala. Sebab kemaslahatan umat ini terletak pada penerapan syariat-Nya. Tidak berlebihan bila saya katakan, bahawa penerapan syariat Allah Ta’ala di Mesir akan menjadi pembuka kebaikan bagi seluruh wilayahnya. Dengan itulah, penguasa dan seluruh rakyat mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan.”

Nasihat-nasihat Syaikh Umar Tilmisani

Di untaian nasihat yang disampaikan di depan generasi muda, dai Ikhwan, dan lainnya, Syaikh Umar Tilmisani berkata, “Tantangan yang dialami dai sangat berat dan sulit. Kekuatan materi berada di tangan musuh-musuh Islam yang bersatu untuk memerangi umat Islam, meskipun mereka memiliki kepentingan berbeda. Jamaah Ikhwanul Muslimin sekarang menjadi sasaran tembak mereka.

Menurut perhitungan manusia, pasukan Thalut yang beriman tidak mampu melawan Jalut dan tenteranya. Tapi, ketika pasukan kaum mukmin yakin kemenangan itu datang dari Allah Ta’ala, bukan hanya tergantung pada jumlah personil dan kelengkapan persenjataan, maka mereka dapat mengalahkan pasukan Jalut dengan seizin Allah Ta’ala.

Saya tidak meremehkan kekuatan personil, juga tidak meminta dai selalu membisu, berzikir dengan menggerakkan leher ke kanan dan ke kiri, memukulkan telapak tangan, dan berpangku tangan, karena itu semua bencana yang membahayakan dan mematikan.

Sesungguhnya, yang saya inginkan ialah berpegang teguh dengan wahyu Allah Ta’ala, berjihad dengan kalimat yang benar, tidak menghiraukan gangguan, menjadikan diri sebagai teladan dalam kepahlawanan, bersikap ksatria, tegar, dan yakin bahwa Allah Ta’ala pasti menguji hamba-bamba-Nya dengan rasa takut, lapar, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan, agar dapat diketahui siapa yang tulus dan siapa yang munafik. Aspek-aspek inilah yang merupakan faktor-faktor penyebab kemenangan. Kisah-kisah di dalam Al-Qur’an merupakan argumen paling baik dalam masalah ini.

Semangat pemuda yang diiringi pemahaman mendalam tidak memerlukan banyak eksperimen. Tapi sangat memerlukan kesabaran, kekuatan dan komitmen pada aturan-aturan Al Qur’anul Karim, dan telaah sirah generasi pendahulu yang telah menerapkannya di setiap aktivititas mereka. Itu penting, agar Allah Ta’ala mengaruniakan kemenangan, kemuliaan, dan kekuasaan yang hampir dianggap mustahil.”

Ketegaran dan Keberanian Syaikh Umar Tilmisani

Ustadz Umar Tilmisani dikenali tegas di dalam maupun di luar penjara. Beliau tidak pernah tunduk pada ancaman atau intimidasi. Beliau juga dikenali sebagai seorang yang zuhud, iffah (menjaga kehormatan, pent.), hanya takut kepada Allah Ta’ala, dan mengharapkan keridhaan-Nya.

Syaikh Umar Tilmisani berkata, “Saya tidak pernah takut kepada siapa pun selama hidupku, kecuali kepada Allah Ta’ala. Tidak ada yang dapat menghalangiku mengucapkan kebenaran yang saya yakini, meskipun orang lain merasa berat dan saya mendapat kesusahan kerananya. Saya katakan apa yang ku yakini dengan tenang, mantap, dan sopan, agar tidak menyakiti pendengar atau melukai perasaannya. Saya juga berusaha menjauhi kata-kata yang mungkin tidak disukai lawan bicaraku. Dengan cara seperti itu, saya mendapatkan ketenangan jiwa. Andai cara ini tidak dapat merekrut banyak kawan, maka minimal menjagaku dari kejahatan lawan.”

Sikap tulus, ucapan apa adanya, serius bekerja, berani menghadapi persoalan, tegar, dan teguh menghadapi tantangan dari dalam maupun dari luar adalah ciri khas Ustadz Umar Tilmisani.

Dalam dialog terbuka di kota Isma’iliyah yang dihadiri Ustadz Umar Tilmisani dan disiarkan secara langsung di radio dan televisi, Presiden Anwar Sadat menuduh Jamaah Ikhwanul Muslimin sebagai dalang fitnah sekretariat. Anwar Sadat juga melontarkan tuduhan palsu lainnya kepada Ikhwan. Tidak ada pilihan bagi Ustadz Tilmisani kecuali berdiri
menjawab tuduhan Anwar Sadat, “Siapa pun yang berlaku zalim kepadaku, maka biasanya saya laporkan (adukan) kepada Anda. Karena Anda rujukan tertinggi – setelah Allah Ta’ala— buat orang-orang yang mengadu. Sekarang, kezaliman itu datang dari Anda, kerana itu saya adukan Anda kepada Allah Ta’ala.”

Mendengar itu semua, Anwar Sadat terkejut dan gementar, kemudian meminta agar Ustadz Umar Tilmisani menarik kembali pengaduannya. Ustadz Tilmisani menjawab dengan tegas, sopan, dan menegaskan, “Saya tidak mengadukan Anda kepada pihak yang zalim, tapi kepada Zat Yang Maha Adil. Dialah yang mengetahui segala yang saya katakan!”

Gaya Hidup Syaikh Umar Tilmisani

Gaya menawan saat dialog yang mewarnai setiap tindakan Syaikh Umar Tilmisani bukanlah tindakan yang dibuat-buat. Itulah ciri khas yang melekat pada ucapan, perilaku, akhlak, dan interaksinya; baik dengan individu, jamaah, pemimpin, penguasa, dan mayoritas manusia, tanpa membeda-bedakan orang kecil atau orang besar, orang miskin atau orang kaya. Syaikh Umar Tilmisani sangat meyakini prinsip Ikhwanul Muslimin yang diambil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan konsesus ulama salaf.

Jamaah Syaikh Umar Tilmisani

Syaikh Umar Tilmisani berpendapat, Jamaah Ikhwanul Muslimin adalah gerakan Islam yang tulus dan murni.

Syaikh Umar Tilmisani berkata, “Orang yang mencermati langkah-langkah Ikhwanul Muslimin, semenjak lahir tahun 1347 H./I928 hingga hari ini, tidak menemukan sesuatu pun kecuali serangkaian pengorbanan berkesinambungan untuk menegakkan aqidah, potensi optimal yang produktif di semua sektor kegiatan sosial, upaya pengokohan ikatan persaudaraan antar berbagai bangsa muslim, dan usaha menyebarkan perdamaian di seluruh negara.

Ikhwanul Muslimin diperangi berbagai aliran; baik lokal maupun internasional. Meskipun demikian, Ikhwanul Muslimin tidak pernah sekali pun berusaha menyebarkan fitnah, memecah belah persatuan, menghancurkan lembaga-lembaga lain, berdemo secara anarkis, atau meneriakkan yel-yel untuk menjatuhkan seseorang.”

Ciri khas lain Syaikh Umar Tilmisani ialah menyejukkan, aktivitasnya membangun dan dasar interaksinya kesetiaan, meski terhadap orang yang tidak pernah mau sepakat, bahkan memerangi Ikhwanul Muslimin.

Syaikh Umar Tilmisani berwasiat, “Muslim tidak mengenal istilah agama milik Allah Ta’ala dan tanah air milik semua orang.” Setiap muslim meyakini segala yang ada di alam ini milik Allah Ta’ala semata. Siapa yang berusaha mengubah makna ini merupakan penipu yang ingin merampas sumber kekuatan negara, agar mudah dicaplok.

Orang muslim tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Mereka yakin sepenuhnya pemerintah tidak mempunyai hak bersama Allah Ta’ala. Sebab apabila diyakini pemerintah mempunyai hak bersama Allah Ta ‘ala, maka pemerintah menjadi sekutu bagi-Nya. Sedang muslim tidak mengakui kemusyrikan dalam bentuk apa pun.”

Sifat Zuhud, Tawadhu, dan Sederhana Syaikh Umar Tilmisani

Ustadz Umar Tilmisani adalah dai, murabi, dan pemimpin yang hidup secara tulus dengan Allah Ta‘ala, berjuang untuk menegakkan agama-Nya, aktif dalam dunia dakwah, bersabar, selalu meningkatkan kesabaran, berjaga, berjihad, berpegang teguh pada tali agama Allah Ta’ala yang kokoh, dan bekerja sama dengan mujahid yang tulus, baik ketika menjadi perajurit atau pemimpin, di penjara atau di luar penjara.

Beliau tidak pernah mengubah sikap, plinplan, menyimpang, tamak terhadap keindahan dunia dan gemerlap jabatan. Beliau meninggalkan kehidupan yang penuh dengan bunga-bunga dunia, untuk menghadap Allah Ta ‘ala.

Beliau tinggal di apartmen yang sangat sederhana dan hidup apa adanya, tanpa memaksakan diri. Saya trenyuh mengunjunginya hingga air mataku ingin keluar membasahi pipi, tapi saya berusaha menahannya kerana khawatir beliau tahu. Apalah artinya kita bila dibandingkan dengan orang-orang yang telah dibebaskan imannya dari penyakit cinta dunia, dan mengorbankan apa saja untuk memperjuangkan agama!

Apartmen Syaikh Umar Tilmisani berada di gang sempit Komplek Al-Mulaiji Asy-Sya’biyah AI-Qadimah, wilayah Ath-Thahir Kairo. Tangga menuju ke kediamannya sudah tua dan usang, dan perabotnya sangat sederhana. Padahal beliau berasal dari keluarga yang kaya-raya dan berstatus tinggi. Ini semua mencerminkan kezuhudan, kesederhanaan, dan ketawadhuannya.

Syaikh Umar Tilmisani dicintai pemuka masyarakat Mesir di semua lapisan. Orang-orang Qibthi juga mencintai dan menghormatinya. Bahkan ahli kerajaan pun amat menyeganinya dan mengakui sifat-sifat mulianya.

Seluruh anggota Ikhwanul Muslimin menganggapnya sebagai contoh teladan, berlomba untuk menimba ilmunya, dan berebut untuk melaksanakan instruksinya. Ini karena cinta kepada Allah Ta‘ala merupakan landasan interaksi mereka, penerapan syariatNya merupakan target mereka, dan keridhaanNya tujuan mereka.

Kunjungan Syaikh Umar Tilmisani ke berbagai-bagai negara Islam; baik Arab maupun non-Arab, dan kaum muslimin di tempat pengasingan, adalah pelipur lara luka-luka umat, sekaligus bimbingan untuk kaum muslimin dalam melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk agama, umat, dan tanah air mereka.

Seluruh kajian, ceramah, dialog, nasihat, bimbingan, dan ucapan Syaikh Umar Tilmisani memberi motivasi kepada umat, terutama para pemuda, intelektual, dan golongan ulama, agar memikul tanggungjawab dan menunaikan peran dalam mengembalikan kejayaan Islam, sesuai dengan posisi dan bakat masing-masing. Inilah tugas dai di setiap masa dan tempat, sebab inilah risalah yang dibawa oleh para rasul yang diwariskan kepada ulama, aktivis pergerakan, dai yang tulus, dan kaum mukminin yang ikhlas.

Karya-Karya Syaikh Umar Tilmisani

Ustadz Umar Tilmisani menyumbangkan hazanah pemikiran Islam dengan beberapa karya tulisan dalam beberapa tema. Yang paling terkenal antara lain :

  1. Syahidul Mihrab ‘Umar Ibnu Al-Khathab.
  2. Al Khuruj Minal Ma’zaqil Islamir Rahin.
  3. Al Islamu wal Hukumatud Diniyah.
  4. Al Islamu wal Hayah.
  5. Araa Fid Din Was Siyasah.
  6. Al Mulhimul Mauhub Hasanul Banna; Ustadzul Jil.
  7. Haula Risalah (Nahwan Nur).
  8. Dzikrayat La Mudzakkirat.
  9. Al Islam wa Nazhratuhus Samiyab Lil Mar’ah.
  10. Ba’dhu Ma ‘Allamanil Ikhwanul Muslimun.
  11. Qalan Nasu Walam Aqulfi Hukmi ‘Abdin Nasir.
  12. Ayyam Ma’as Sadat.
  13. Min Fiqhil I’lamil Islami.
  14. Min Sifatil ‘Abidin.
  15. Ya Hukkamal Muslimin, Ala Takhafunallah?.
  16. Fi Riyadhit Tauhid.
  17. La Nakhafus Salam, Walakin.

Ditambah karya tulis berupa prakata redaksi didalam majalah Ad-Dakwah Al-Qahiriyah, makalah tentang persoalan Islam yang dimuat dalam berbagai majalah dan surat kabar, ceramah di seminar; baik di negara-negara Arab, Islam, maupun Barat, kajian, dan bimbingan yang disampaikan dalam acara-acara Ikhwan.

Komentar Umum tentang Syaikh Umar Tilmisani

Dalam bukunya, ‘Umar Tilmisani Al  Mursyid Ats Tsalis Lil Ikhwan Al Muslimun, Ustadz Muhammad Said Abdur Rahim menyatakan, “Thaghut (penguasa zalim; Abdun Naser) meninggal dunia, lalu para tahanan yang meringkuk di dalam penjara selama bertahun-tahun dikeluarkan, Ujian menempa, mengokohkan jiwa, dan menguatkan tekad mereka. Fisik mereka memang menjadi lemah, tetapi ruh mereka semakin rindu kepada apa yang ada di sisi Allah Ta‘ala dan menganggap dunia tidak ada artinya. Bahkan, ketakutan hilang dari hati mereka.

Mereka keluar dari penjara menjadi manusia yang tegar dan kokoh, laksana gunung. Sebab, di penjara mereka menghafal AI-Qur’anul Karim dan menimba ilmu. Dalam penjara, mereka berjaya menundukkan syahwat dan mengenal watak asli manusia. Sungguh, penjara menjadi madrasah dan guru yang memberi lebih banyak kepada mereka, daripada yang diminta dari mereka.

Di antara orang yang keluar dari penjara ialah Ustadz Umar Tilmisani. Allah Ta‘ala menyiapkannya memimpin Jamaah pada fase itu. Beliau merupakan pemimpin yang sanggup menahkodai bahtera yang sedang mengharungi gempuran badai samudra dengan bijaksana, sabar, tenang, dan lembut disertai keteguhan iman dan semangat membaja.

Pada zaman kepimpinan Syaikh Umar Tilmisani, dakwah berkembang pesat melebihi masa-masa sebelumnya. Para pemuda antusias kepada Islam, hingga semangat keislaman menjadi warna dominan di berbagai kampus dan asosiasi, bahkan di Mesir secara keseluruhannya. Beliau mampu menahkodai bahtera secara piawai, tangkas, dan profesional. Dan hasilnya, bahtera dapat melintasi berbagai-bagai perangkap dan gelombang bahaya, hingga akhirnya tiba di pantai yang aman.

Umar Tilmisani —rahimahullah- mengalami berbagai ujian dan menghabiskan sekitar dua puluh tahun umurnya di penjara. Beliau tabah dan sabar menghadapi penyiksaan dari penjaga penjara. Meskipun mendapat siksaan keras dan perlakuan kasar dari penjaga penjara, lisannya tidak pernah bosan berzikir kepada Allah Ta‘ala dan mengajak saudara-saudaranya bersabar dan tegar. Bahkan, lisannya tidak pernah mengucapkan kata-kata keji kepada penjaga penjara dan orang-orang yang menzaliminya. Beliau menyerahkan urusan mereka kepada Allah Ta‘ala karena Dialah sebaik-baik pihak yang diserahi.”

Kembali ke Rahmatullah

Ustadz Umar Tilmisani pulang ke rahmatullah pada hari Rabu, 13 Ramadhan 1406, bertepatan dengan tanggal 22 Mei 1986 di rumah sakit, kerana menderita sakit, dalam usia hampir 82 tahun.

Syaikh Umar Tilmisani dishalatkan di Masjid Jami’ Umar Mukarram, Kairo, dengan dihadiri pelayat yang jumlahnya mendekati seperempat juta manusia. Bahkan ada yang mengatakan setengah juta manusia dari penduduk Mesir dan utusan yang datang dari luar Mesir. Alhamdulillah, Allah Ta’ala memberikan kesempatan padaku untuk ikut melayat beliau bersama beberapa Ikhwan dari negara-negara Arab.

Inilah biografi ringkas Ustadz Umar Tilmisani, Mursyid ‘Amm Ketiga Ikhwanul Muslimin, Semoga Allah Ta ‘ala menerima dan memasukkannya ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang shalih, serta menyertakan kita bersama mereka di sisi-Nya.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-24 Definisi Ilmu Ushul Fiqh

Muhammad-Abu-Zahrah2.jpg

Ushul fiqh adalah tarkib idhafi (kalimat majemuk) yang telah menjadi nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu. Ditinjau dari segi etimologi, ushul fiqh terdiri dari mudhaf dan mudhaf ilaih. Menurut aslinya kalimat tersebut bukan merupakan nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu, tetapi masing-masing mudhaf dan mudhaf ilaih mempunyai pengertian sendiri-sendiri. Untuk itu, sebelum memberikan defenisi ushul fiqh, terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian lafazh “ushul” (yang menjadi mudhaf) dan lafazh “fiqh” (yang menjadi mudhaf ilaih).

Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan. Seperti firman Allah yang berbunyi: “Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun” (QS. An Nisa: 78)

Juga sabda Rasulullah yang berbunyi:

مَنْ يُرِدِ اللّٰهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقّهْهُ فِى الدّيْنِ

“Barangsiapa dikehendaki Allah sebagai orang baik, pasti Allah akan memahamkannya dalam persoalan agama.”

Demikian pua firman Allah dalam surat Al A’raf yang berbunyi:

“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al A’raf: 179)

Sedangkan pengertian fiqh menurut terminologi para fuqaha’ (ahli fiqh) adalah tidak jauh dari pengertian fiqh menurut etimologi. Hanya saja pengertian fiqh menurut terminologi lebih khusus dari etimologi. Fiqh menurut terminologi adalah “Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia, yang diambil dari dalil-dalil yang terinci (mendetail)”.

Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa pembahasan ilmu fiqh itu ada 2 macam, yaitu:

  1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengeanai perbuatan manusia yang praktis. Oleh karena itu, hukum-hukum mengenai i’tiqad (keyakinan) seperti ke-Esa-an Allah, terutama para rasul, serta penyampaian risalah Allah oleh para rasul, keyakinan tentang hari kiamat dan hal-hal yang terjadi pada saat itu, kesemuanya tidak termasuk di dalam pengertian fiqh menurut istilah.
  2. Pengetahuan tentang dalil-dalil yang terinci (mendetail) pada setiap permasalahan. Seperti bila dikatakan, membeli secara berpesan, itu harus menyerahkan uangnya terlebih dahulu pada waktu akad, maka ia disertai dalilnya dari Al Qur’an. Jika dikatakan, bahwa setiap penambahan dari harta pokok itu disebut riba, maka hal itu disertain dalilnya dari Al Quran yang berbunyi:

“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiyaya” (QS. Al Baqarah: 279)

Bila dikatakan, bahwa memakan harta benda orang lain dengan cara yang tidak sah itu haram, maka disebutkan pula dalilnya dari Al Qur’an yang berbunyi:

Dan janganlah kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil. (QS. Al Baqarah: 188)

Dari sini dapat diketahui, bahwa pembahasan ilmu fiqh adalah hukum yang terinci pada setiap perbuatan manusia, baik halal, haram, makruh atau wajib beserta dalilnya masing-masing.

Adapun pengertian ‘ashl’ (jamaknya: ‘ushul’) menurut etimologi adalah dasar (fundamen) yang diatasnya dibangun sesuatu. Pengertian ini sama dengan pengertian ushul secara terminologi, karena ushul fiqh menurut terminologi adalah “dasar yang dijadikan pijakan oleh ilmu fiqh”.

Oleh karena itu Syeikh Kamaluddin ibn Himam di dalam Tahrir memberikan defenisi ushul fiqh: “ushul fiqh adalah pengertian tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana (alat) untuk menggali hukum-hukum fiqh”. Atau dengan kata lain, ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara (methode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’i. Sebagai contoh, ushul fiqh mnenetapkan, bahwa perintah (amar) itu menunjukkan hukum wajib, dan larangan (nahi) menunjukkan hukum haram.

Jika seorang ahli fiqh akan menetapkan hukumnya shalat, apakah wajib atau tidak, maka ia akan mengemukakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam surat Ar Rum 31, Al Mujadalah 13 dan Al Muzammil 20 yang berbunyi :

“Dirikan shalat.”

Bila ia akan mengemukakan hukumnya ibadah haji, maka ia mengemukakan sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang berbunyi:

اِنَّ اللّٰهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحَجُّوْا

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan ibadah haji atas kamu sekalian, maka tunaikanlah ibadah haji tersebut.”

Demikian juga bila ingin mengetahui hukumnya meminum khamar (minuman yang memabukkan), maka ia akan mengemukakan firman Allah yang berbunyi:

“Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maidah: 90)

Perintah untuk menjauhi berarti larangan untuk mendekatinya. Dan tidak ada bentuk larangan yang lebih kongkrit dari larangan tersebut.

Dari contoh tersebut, jelaslah perbedaan antara fiqh dan ushul fiqh, bahwa ushul fiqh merupakan metode (cara) yang harus ditempuh oleh ahli fiqh (faqih) di dalam menetapkan hukum-hukum syara’ bedasarkan dalil syar’i, serta mengklasifikasikan dalil-dali tersebut bedasarkan kualitasnya. Dalil dari Al Qur’an harus didahulukan  dari pada qiyas serta dalil-dalil lain yang tidak berdasarkan nash Al- Qur’an dan Hadits. Sedangkan fiqh adalah hasil hukum-hukum syar’i bedasarkan methode-methode tersebut.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-24 Pengantar Fikih Sunnah oleh Hasan Al Banna

Hasan-Al-Banna.jpg

Segala puji hanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala, shalawat dan salam kita haturkan pada junjungan Nabi besar Muhammad shalallahu alaihi wa sallam beserta keluarga dan para sahabat beliau.

Allah berfirman, “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At Taubah [09] :122)

Amma ba’du…

Salah satu amal pengabdian yang paling mulia kepada Allah adalah menyampaikan dakwah di jalan Allah dan menyebarkan ajaran-ajaran agama kepada manusia terutama yang berhubungan dengan hukum-hukum syariat—sehingga amal ibadah yang dilakukan oleh manusia menjadi jelas. Hal tersebut sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam,

“Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada seseorang, maka diberikan-Nya suatu kepahaman mengenai urusan agama. Sesungguhnya pengetahuan diraih hanya dengan belajar. Dan para anbiya’ (utusan Allah) tidak mewariskan suatu dinar maupun dirham, akan tetapi mewariskan ilmu pengetahuan. Barangsiapa yang mendapatkan pengetahuan tersebut, maka sungguh dia mendapatkan suatu kebaikan.”

Adapun cara yang terbaik dan bermanfaat dalam menyampaikan fikih Islam pada masyarakat umum terutama mengenai hukum ibadah, yaitu dengan cara menjauhkan pengunaan istilah-istilah yang rumit dan mengunakan dalil-dalil Al Qur’an dan hadits dalam penyampaiannya sehingga menjadikannya mudah untuk dicerna dan dipahami, dan juga menerangkan hikmah yang dikandung dalam amal tersebut sehingga mereka merasa damai atas apa yang telah dperbuatnya. Cara-cara tersebut merupakan kiat yang paling mudah untuk menambah pengetahuan dan penerimaan mereka atas apa yang kita sampaikan.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala, meridhai atas apa yang telah dilakukan oleh Syaikh Sayyid Sabiq di dalam buku ini yang telah memaparkan dan menjelaskan fiqih Islam dengan gaya bahasa yang begitu mudah untuk dicerna dan dipahami oleh masyarakat awam. Semoga Allah memberikan balasan atas usaha yang telah beliau lakukan dan mencatatnya sebagai amal ibadah kepada-Nya, serta menjadikan buku ini bermanfaat bagi masyarakat umum. Amiin…

Hasan Al Banna

Pendiri dan Mursyid ‘Amm (Ketua Umum) Pertama Ikhwanul Muslimin


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-24 Tema Penulisan Kebebasan Wanita

Abdul-Halim-Abu-Syuqqah.jpg

Pada dasarnya, buku ini merupakan kajian sosial yang bernuansa fiqih mengenai wanita pada zaman kerasulan. Saya mengupayakan agar buku ini memuat semua nash yang mengindikasikan wanita, dari dekat ataupun jauh, dalam hal kehidupannya, baik yang bersifat pribadi maupun umum. Selain itu juga mengindikasikan sifat hubungan sosial wanita dan keanekaragaman kegiatannya. Karena agama Islam mengatur kehidupan perseorangan –laki-laki ataupun wanita– seperti halnya mengatur tatanan masyarakat, penggabungan antara kajian sosial dan kajian fiqih serta keterkaitan kegiatan sosial dengan dalil-dalil fiqihnya akan menjadi faktor yang sangat membantu dalam penyelidikan yang menyeluruh terhadap perilaku seorang individu muslim.

Bagaimanapun, ciri-ciri kajian sosial tidak hanya berpegang pada dalil-dalil dan nash-nash yang qath’i, tetapi juga mengambil nash-nash dan dalil-dalil yang tingkatannya zhanni dengan pertimbangan bahwa penetapan realita sejarah baru bisa terlaksana jika dua dalil tersebut diambil sekaligus. Jika hukum fiqih membutuhkan dalil yang qath’i atau yang rajih untuk menetapkannya, maka dalil yang mungkin dipakai sebagai dalil sudah cukup untuk menguatkannya. Artinya suatu dalil yang dimungkinkan itu dapat dijadikan dalil pendukung bagi dalil asli yang qath’i atau rajih.

Pembaca dapat memperhatikan bahwa beberapa nash yang dijadikan dalil untuk sesuatu perkara bersifat dimungkinkan. Sementara kaidah mengatakan bahwa apabila maksud suatu nash yang dijadikan dalil bersifat dimungkinkan (muhtamal), maka hal itu tidak dapat dijadikan dalil. Karena itu, yang dapat dijadikan pegangan untuk menetapkan hukum hanyalah nash-nash yang dalil/maksudnya adalah yang qath’i atau rajih. Sedangkan nash-nash yang lain dari itu hanya dapat dijadikan pelengkap kajian sosial.

Sesungguhnya setiap perbuatan dari perbuatan-perbuatan orang yang mukallaf mengandung sisi substansi dan formalitas. Sisi substansial tercermin dalam berbagai bentuk penerapan yang dipengaruhi oleh lingkungan, situasi, tempat, dan waktu sehingga sisi ini sangat perlu dipahami. Sesuatu yang mubah harus senantiasa berada dalam kemubahannya; dan sesuatu yang haram, harus terus berada dalam keharamannya. Adapun bentuk-bentuk penerapan yang substantif ini, seperti yang telah kita katakan, terus berkembang. Meskipun terjadi berbagai macam perubahan, semuanya tetap berpegang pada hukum yang substantif tersebut.

Pengetahuan atas perbedaan masalah ini penting sekali dan membantu kita dalam menerima dan mengetahui bentuk-bentuk penerapan baru, misalnya dalam masalah pendidikan wanita, tugas wanita, atau kegiatannya dalam bidang sosial dan politik. Semua permasalahan itu mengandung substansi yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. yang mulia. Namun, apakah bentuk-bentuk penerapan yang berlaku pada zaman Nabi saw. mengandung pewajiban bahwa kita harus terpaku pada bentuk penerapan seperti itu dan tidak boleh melangkahinya? Ataukah kita harus mempertimbangkan faktor-faktor baru yang berpengaruh, maksudnya gejala-gejala sosial baru, lalu bentuk-bentuk penerapannya kita format ulang berdasarkan gejala-gejala baru tersebut?

Dalam hal ini, penulis sudah berusaha memantau gejala-gejala sosial baru yang berpengaruh terhadap kegiatan wanita dan hubungannya, baik dalam keluarga atau dalam bidang profesi, sosial dan politik. Begitu juga gejala-gejala yang berpengaruh terhadap pakaian wanita dan perhiasannya. Semua itu dimaskudkan agar wanita muslimah dapat menyesuaikan diri secara benar dan dapat bermasyarakat secara modern sambil tetap berpijak pada substansi yang telah digariskan agama. Dengan demikian dia senantiasa konsisten terhadap perintah Allah.

Adapun tujuan kajian sosial yang bernuansa fiqih ini –dan yang menerangkan dengan jelas sekali bagaimana keikutsertaan wanita dalam kehidupan sosial pada zaman kerasulan– adalah dalam rangka ikut ambil bagian memberikan gambaran agar wanita-wanita muslimah modern dapat mengikuti langkah-langkah atau aktivitas wanita-wanita zaman kerasulan dengan pedoman petunjuk Nabi saw.

Tujuan tersebut mengalihkan perhatian penulis pada sebuah masalah besar dan penting yang menuntut kerjasama serta pengorbanan kalangan ulama dan cendekiawan, yaitu masalah emansipasi atau pembebasan pemikiran muslim modern. Dalam arti membebaskannya dari belenggu raksasa, ukuran-ukuran palsu, dan pemikiran-pemikiran rusak yang telah menguasainya selama beberapa kurun waktu sehingga dia menjadi lemah dan cacat. Jika pemikiran umat Islam modern sudah bebas dari semua belenggu tersebut, segala aktivitas dan pekerjaannya senantiasa sesuai dengan pancaran hidayah Ilahi.

Pembebasan pemikiran umat Islam merupakan jalan satu- satunya menuju kebebasan yang sempurna dan murni bagi wanita dan laki-laki muslim secara sekaligus. Bahkan, hal tersebut merupakan jalan satu-satunya menuju restrukturisasi masyarakat secara keseluruhan berdasarkan sendi yang benar dan kuat. Akal atau pikiran adalah pengarah/motor bagi gerakan manusia. Jika pemikiran atau akal seseorang bebas dan mendapat petunjuk, dia akan bergerak dengan bebas ke arah yang benar berdasarkan petunjuk dan arahan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

Masalah ini merupakan induk dari segala permasalahan. Setiap cacat yang terjadi akan menimbulkan kerusakan yang fatal terhadap pola berpikir seorang muslim yang pada gilirannya akan menimbulkan kerusakan umum yang meliputi semua aspek kehidupan.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-24 Hubungan Ushul Fiqih dengan Fiqih

Muhammad-Abu-Zahrah2.jpg

Hubungan ilmu Ushul Fiqh dengan Fiqh adalah seperti hubungan ilmu manthiq (logika)  dengan filsafat, bahwa manthiq merupakan kaedah berfikir yang memelihara akal, agar tidak terjadi kerancuan dalam berfikir. Juga seperti hubungan antara ilmu nahwu dengan bahasa Arab, dimana ilmu nahwu merupakan gramatika yang menghindarkan kesalahan seseorang di dalam menulis dan mengucapkan bahasa arab.  Demikian juga ushul fiqh adalah merupakan kaidah yang memelihara fuqaha’ agar tidak terjadi kesalahan di dalam mengistimbahtkan (menggali) hukum.

Disamping itu, fungsi ushul fiqh itu sendiri adalah membedakan antara istimbath yang benar dengan yang salah. Sebagaimana ilmu nahwu berfungsi untuk membedakan susunan bahasa yang benar dengan susunan bahasa yang salah. Dan ilmu manthiq untuk mengetahui argumentasi yang ilmiah serta kesimpulan yang ilmiah pula.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-25 Dari Imsak Menuju Salamatush Shadr

Hilmi-Aminuddin.jpg

Kita sudah banyak mendengar  wejangan tentang hikmah dan fawaid (keutamaan) Ramadhan. Diantara keistimewaan-keistimewaan Ramadhan yang demikian banyak, yang paling menjadi kalimat jami’ah (kalimat umum), yang biasa didengar dimana-mana, disebutkan bahwa di bulan Ramadhan ini Allah menjanjikan maghfirah, wa rahmah, wa itqun minan nar.

Ketiganya itu adalah pahala atau medali yang akan diberikan Allah SWT kepada orang yang memenangkan Ramadhan. Kita berharap dapat meraih  maghfirah, wa rahmah, wa itqun minan nar, bukan hanya terasa sebagai janji-janji yang hangat di bulan Ramadhan, tapi insya Allah menjadi langkah-langkah yang terasa di bulan Ramadhan dan bulan-bulan sesudahnya; menjadi sikap dan perilaku yang bisa dirasakan  sampai Allah mempertemukan kita kembali kepada Ramadhan berikutnya.

Kekalnya curahan maghfirah, wa rahmah, wa itqun minan nar itu sangat tergantung pada kemampuan kita merealisasikan makna kalimat Ramadhan itu sendiri, yaitu kemampuan imsak (menahan diri). Inilah sesungguhnya hal yang paling mendasar yang harus dicapai di bulan Ramadhan.

Sebagai manusia kita diberi oleh Allah SWT potensi rohani, akal, pikiran, dan  jasad. Masing-masing potensi itu mempunyai thumuhat (obsesi)nya sendiri. Ada thumuhat fikriyah, ruhiyah, dan thumuhat jasadiyah, yang saling berlomba untuk mencapai yang tertinggi. Agar perlombaan—yang merupakan realitas dalam kehidupan—tidak melahirkan benturan-benturan, overleaping, bentrokan yang mengakibatkan kelumpuhan, maka kita perlu memiliki kemampuan menahan diri. Dalam realitas kehidupan yang penuh perlombaan, penuh persaingan, penuh kompetisi ini, kita harus mampu mengendalikan diri. Agar semangat kompetisi itu bisa mencapai hal-hal yang positif dan produktif yang bisa dirasakan manfaatnya oleh diri kita, keluarga, masyarakat, umat, bangsa ini, bahkan oleh kemanusiaan pada umumnya.

Kemampuan menahan diri (imsak) itulah yang membuat khutuwat (langkah-langkah) kita munazhomah (teratur), tertib, terencana, jelas arahnya, jelas targetnya, dan jelas sasarannya. Tanpa kemampuan pengendalian diri, banyak potensi berhamburan tidak terarah. Banyak potensi tidak produktif.

Pengendalian diri yang saya maksud adalah meliputi kemampuan menahan diri dalam segala sepak terjang kehidupan kita; mampu menahan diri dalam kehidupan pribadi, rumah tangga, politik, social, ekonomi, dan budaya. Seluruhnya harus terkendali.

Jika kemampuan mengendalikan diri itu sudah mendominasi diri kita, Insya Allah kita akan bisa mencapai suatu kondisi yang paling mendasar dalam diri kita, yaitu salamatusshadr (kelapangan dada), karena emosi kita bisa dikendalikan. Tidak mudah berprasangka, tidak mudah menyebarkan zhan, syak, atau curiga. Tidak tertarik untuk menyebarkan fitnah, menyebarkan isu yang sarana prasarana teknologinya kini semakin canggih, misalnya melalui short message sevice (sms), melalui internet atau melalui selebaran-selebaran.

Salamatusshadr bisa dihasilkan dalam diri kita apabila masing-masing kita pandai menahan diri; tidak mudah terpancing gossip, isu, terseret pada perilaku yang merusak dan tidak bermanfaat; tidak terpancing oleh manuver-manuver yang memang sengaja dilontarkan oleh lawan-lawan Islam dan lawan-lawan dakwah.

Salamatusshadr akan memudahkan kita bergaul di masyarakat. Tanpa modal kemampuan menahan diri dan modal rahabatusshadr, salamatusshadr, pergaulan kemasyarakatan dan komunikasi social kita menjadi sempit, terbatas, terhambat, bahkan akan menghadapi berbagai benturan di sana sini.

Keberhasilan meraih kemampuan pengendalikan diri dan keberhasilan menghidupkan kondisi ruhiyah—yang disebut salamatusshadr itu—insya Allah akan menimbulkan hal yang paling positif dalam kehidupan kita yaitu munculnya rasa tanggung jawab; tanggung jawab secara pribadi atau rumah tangga; atau dalam berjama’ah, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bahkan dalam pergaulan antar bangsa, antar umat, antar negara, antar komunitas. Dari rasa tanggung jawab inilah akan muncul rasa empati pada penderitaan dan kesulitan yang dialami sesama saudara di tengah-tengah umat, atau di tengah-tengah bangsa ini, atau sesame umat dalam kerangka kehidupan di dunia ini.

Kita sebagai jama’ah dakwah yang membawa misi Islam rahmatan lil ‘alamin, tidak mungkin bisa melaksanakan misi tersebut, kalau kita tidak memiliki rasa tanggung jawab. Islam dan umatnya menuntut kader-kader dakwah untuk tampil dengan penuh rasa tanggung jawab memperjuangkan kepentingan, nasib, dan kejayaan Islam wal muslimin.

Rasa tanggung jawab itulah yang seharusnya mampu kita tampilkan di tengah-tengah musyarakah ijtimai’yah kita, yaitu dengan menjadi anggota masyarakat yang paling merasa bertanggung jawab atas qodhoyah ummat (problema umat), atas situasi kondisi kehidupan yang ada di lingkungan kita, lingkungan bertetangga, lingkungan bermasyarakat, lingkungan bernegara dan lingkungan pergaulan antar bangsa, bahkan dalam ruang lingkup yang sempit sekali pun.

Masyarakat, umat dan bangsa hanya akan menokohkan putra-putranya yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap qadhayah ummat; qadhayah Islam wal muslimin. Tanpa mampu menampilkan rasa tanggung jawab dan karya-karya yang terprogram, kita akan diabaikan oleh umat dan bangsa ini, disisihkan, tidak dipedulikan dan tidak dinilai.

Rasa tanggung jawab dalam diri kita itulah yang akan mendorong umat ini memberikan kepercayaan  dan menokohkan kita untuk mengelola dan mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan rasa tanggung jawab kita kokohkan dakwah ini. Dengan rasa tanggung jawab kita layani umat dan bangsa ini. Dan dengan rasa tanggung jawab kita pimpin, kita bombing, kita kendalikan umat ini ke arah jalan yang ditunjukkan Allah dan Rasul-Nya, jalan kebahagiaan fii dunya wal akhirat.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-25 Abdullah Qasim Ismail Al Wasyli

Abdullah-bin-Qasim-Al-Wasyli..jpg

Dilahirkan di Zaidiah tahun 1369 H. Menimba ilmu di Mesjid Syaikh Shaim Ad Dahri secara tradisional, kemudian melanjutkan pendidikan tingginya di Jami’ah Islamiyah Madinah Munawarah, meraih gelar lisence tahun 1.395 H. Mengajar di lembagaJembaga ilmiah sebagai dosen, kemudian sebagai pengarah sosial, kemudian sebagai direktur beberapa perguruan dengan bendera Al Hudaidah di Yaman.

Beliau melanjutkan studi pascasarjananya di Institut Dakwah Islam bagian jurnalistik Islam.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-26 Firasat

Muhammad-Anis-Matta1.jpg

Ketika perang dunia kedua meletus tahun 1942, Soekarno meramalkan bahwa kawasan Pasifik pasi akan menjadi medan tempur yang sengit. Semua pihak pasti  lelah. Belanda dan  Jepang  tidak  akan  mampu  mengurus  tanah  jajahannya.  Dan,  inilah  kesempatan emas  untuk  merdeka.  Tahun  1945,  Soekarno  memproklamasikan  kemerdekaan Indonesia, dan Bangsa Indonesia pun menobatkannya sebagai pahlawan nasional.

Menjelang  setiap  momentum  kepahlawanan  selalu  akan  ada  sebuah  pekerjaan  berat: pengambilan  keputusan.  Kelihatannya  mudah  untuk  mengatakan  bahwa  keputusan dapat diambil secara  tepat manakala ada  informasi yang cukup dan akurat. Namun,  itu dalam  situasi  normal,  sedang  momentum  kepahlawanan  biasanya  justru  muncul dalam  situasi  tidak  normal.  Dalam  keadaan  seperti  ini,  rasionalitas  menjadi  tidak mandiri.  Ada  kekuatan  lain  yang  lebih  menentukan:  firasat.  la  hadir  di  ujung rasionalitas,  dan  tangannyalah  yang  akan  mengetuk  palu,  setelah  itu:  Anda  jadi pahlawan atau tidak sama sekali.

Maka, di sini tersembunyi sebuah perjudian, sebuah spekulasi: sebab firasat menyerupai usaha peramalan yang  tidak mempunyai “dalil” selain dari keyakinan yang menumpuk dalam hati, kukuh, dan kuat. Dalam ruang hati  itu tidak ada  lagi tempat bagi keraguan, kegamangan,  dan  kekhawatiran.  Nasib  digariskan  di  sini,  dan  sejarah  hanya  akan memotret dan mencatatnya. Tidak lebih.

Peramalan, dalam situasi tidak normal, tentulah tidak sepenuhnya merupakan pekerjaan intuisi  yang melahirkan  firasat. Kecukupan  dan  akurasi  informasi  tetap  akan menjadi faktor yang menentukan. Akan  tetapi,  ia hanya menentukan di awal peramalan, ketika seorang  pahlawan  sedang  membangun  kerangka  pemahamannya  tentang  situasi  dan masa  depan.  Sisanya,  firasat  akan menjadi  referensi  terakhir  saat  di mana  seseorang harus menentukan pilihan akhir.

Maka,  ketika  Abu  Bakar  memutuskan  untuk  memerangi  orang-orang  murtad,  beliau menghadapi penolakan dari  semua  sahabat Rasulullah  saw. Dan  yang paling keras menolak adalah Umar Bin Khattab. Akan  tetapi,  beliau  tetap  kukuh  dengan  keputusannya. Alasannya sederhana: dengan firasatnya yang tajam, gerakan murtad  ini, walaupun hanya bermula dari  penolakan membayar  zakat,  akan menjadi  cikal  akan  lepasnya  ikatan  Islam,  baik secara ideologi maupun struktural, yang akan sangat membahayakan.

Ketika  Umar  terus  memintanya  bersikap  lebih  lembut  dengan  alasan  persatuan  dan stabilitas  seteiah wafatnya Rasulullah  saw,  beliau mengatakan.  “Apakah  ajaran  Islam akan  berkurang  padahal  saya  masih  hidup?”  Maka,  Umar  pun  terdiam,  kemudian berkata, “Tampaknya Allah telah melapangkan dadanya dengan ilham tertentu.”

Ternyata  Abu  Bakar  benar.  Jazirah  Arab  menjadi  basis  kekuatan  Islam  seteiah  itu, karena  sumber  keretakan  internal  telah  dilenyapkan.  Dengan  demikian,  firasat merupakan  simpul  akhir  dari  keseluruhan  kualitas  kepribadian  kita,  sekaligus merupakan  “bantuan  Allah”  yang  kemudian  kita  sebut,  “taufik”  (sesuatu  yang membuatnya tepat).


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-26 Pengantar Syarah Ushul ‘Isyrin

Abdullah-bin-Qasim-Al-Wasyli..jpg

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam Yang Mahatinggi dibanding lawan tandingan-Nya, Yang mengetahui rahasia hati dan lahirnya. Ia telah memberikan kepada setiap diri yang diciptakan-Nya dan menunjukkan kepadanya jalan dosa dan ketakwaanya, serta mengilhamkan kepadanya berbagai manfaat dan mudaratnya. Aku memuji-Nya Swt. Atas besarnya pemberian dan kebaikan-Nya. Semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepada Muhammad, Nabi dan Rasul-Nya, serta penutup para nabi dan rasul-Nya, kepada keluarga dan sahabatnya, dengan salam yang sebanyak-banyaknya.

Amma ba’du.

Aku benar-benar merasakan telah mendapatkan kebaikan dan kehormatan yang sangat besar dengan berafiliasi kepada Islam yang telah Allah jadikan sebagai kebenaran yang diterima disisi-Nya, meniti jalan hidup-Nya, mendakwahkannya, dan memberikan pembelaan kepadanya. Sebagaimana Tuhan telah menjadikan derajat yang setinggi-tingginya kepada mereka yang berdakwah berdasarkan argumentasi yang jelas. Oleh karena itu, barang siapa Allah berikan kepadanya taufik dan istijabah, ditulislah pahala besar bagi dai maupun mad’u-nya.

Kaum Muslimin pertama telah keluar dari Jazirah Arab sebagai dai dan pemberi petunjuk yang memberi kabar gembira dan peringatan. Allah berikan kepada mereka taufik untuk menyebarkan Islam di sebagian besar penjuru bumi. Hal itu telah terjadi dalam waktu tidak lebih dari setengah abad.

Daulah Islam telah berdiri di berbagai belahan bumi, sehingga terwujudlah Islam sebagai agama yang kuat dan menang terhadap seluruh agama sepanjang abad-abad yang lalu, betapapun banyak serangan musuh dan perang permusuhan.

Pada awal paro pertama abad ke-14 H. telah terjadi perubahan besar yang hingga hari ini masih tetap berlangsung. Yaitu pada saat banyak kelompok penganut Islam yang menyempal dari agamanya secara alamiah, kemudian diikuti dengan penyimpangan ideologis dan pemikiran. Penyebabnya adalah tidak adanya sultan dan Quran yang melindungi akidah dalam jiwa kaum Muslimin sepanjang abad-abad yang lalu.

Perubahan besar itu terjadi karena adanya intervensi asing terorganisasi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa kafir terhadap kaum muslimin. Perang yang dilakukan terhadap umat Islam adalah perang ideologis yang dibarengi dengan perang militer dan ekonomi. Peran ideologis dan pemikiran itu lebih dahsyat pengaruhnya terhadap umat Islam.

Kaum muslimin pada abad-abad yang lalu sangat memahami bahwa Islam yang hanif adalah gambaran terpadu yang datang dari sisi Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Sayyidina Muhammad saw. telah menyampaikan Islam yang sempurna ini secara jelas dan komprehensif, meliputi segala hal. Oleh karena itu, dijelaskannyalah hukum segala hal, beliau pun mencelup mereka dengan celupan Islam, maka segalanya menjadi baik.

Perubahan besar telah terjadi dalam kehidupan kaum Muslimin pada awal abad keempat belas ini. Moral masyarakat telah berubah, kekuasaan hukum Allah di muka bumi berubah,, selanjutnya sistem dan perundang-undangan buatan manusialah yang menguasai masyarakat Islam. Pada saat itulah, umat Islam dilanda kemiskinan dan ketelantaran. Eksistensi ideologis umat Islam pun roboh.

Seorang individu Muslim walaupun telah melihat ke segala arah namun ia tidak mendapati selain peradaban materialis sekuler yang dikendalikan oleh Barat kapitalis atau Timur ateis sosialis. Saat itu, pribadi Muslim dapat menyaksikan gerakan-gerakan dan berbagai revolusi yang semuanya adalah perubahan. Semuanya diberitakan sebagai sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan akidah, akhlak, maupun kemanusiaan sama sekali. Semua itu adalah gerakan-gerakan nasionalisme sempit, patriotisme, kebangsaan, sosialisme, komunisme, dan lain-lain. Semuanya haus darah, nyawa, pelecehan kehormatan, penganiyaan, dan berbagai bentuk pelampiasan dendam lainnya. Gerakan-gerakan menyimpang ini berkisar pada satu jalur yang diinginkan, yaitu untuk menambah penderitaan serta pembantaian umat manusia yang sangat mengerikan.

Umat Islam sangat membutuhkan suatu pedoman yang dapat menjamin keamanan, keimanan, dan menghilangkan derita juga kesengsaraan. Semua ini tidak mungkin akan terpenuhi kecuali dengan agama yang diridhai oleh Tuhan semesta alam sebagai cahaya dan petunjuk ini. Tuhan kita Swt mengatakan, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhan kalian (Muhammad dan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang-benderang (Al-Quran). Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh dengan-Nya, maka Ia akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan karunia dari-Nya. Dan menunjukkan mereka jalan yang lurus kepada-Nya.” (An Nisa’: 174-175).

Kembali kepada pedoman Allah Swt. Itulah sebenarnya kemenangan dan keselamatan dari segala penderitaan dan kesengsaraan yang membinasakan selama ini.

Allah telah menghendaki agar pada akhir abad keempat belas berdiri gerakan Ikhwanul Muslimim. Pada bulan Dzulqa’dah tahun 1347 H  di kota Ismailiah, Mesir, telah berdiri jamaah Ikhwanul Muslimin di rumah pendiri jamaah itu sekaligus mursyid’am-nya yang pertama, Imam Hasan bin Ahmad bin Abdur Rahman Al Banna. Pada pertemuan itu orang-orang yang hadir melakukan baiat (janji prasetia) untuk menghidupkan sunnah sayyidil mursalin dengan membangkitkan perhatian kaum Muslimin agar mereka bekerja berjuang di jalan Allah dan meninggikan kalimatullah.

Saat itu, sejak Hasan Al Banna mendirikan jamaah Ikhwanul Muslimin, membina para anggotanya dengan pembinaan, penataan, kekuatan, dan persiapan, sehingga jadilah sebuah pergerakan yang meliputi wilayah Mesir seluruhnya. Telah bergabung ke barisannya berbagai lapisan masyarakat dengan segala potensi dan profesinya. Demikian itu setelah mereka melihat kebersihan dakwah dan keluhuran tujuannya.

Di samping itu juga karena mereka melihat bahwa dalam gerakan itu tersimpan harapan yang mereka dambakan untuk mengembalikan umat Islam kepada kebesaran, kejayaan dan keagungannya. Ketika iman yang agung itu merasakan bahwa dakwahnya menyebar luas di tengah umat, khususnya di kalangan pemuda, maka mulailah beliau menuangkan suatu pedoman yang akan mereka ikuti dan jalan yang akan mereka lalui, agar mereka melangkah atas dasar petunjuk dan kejelesan. Karena itulah, beliau menuangkan sebuah risalah yang diberinya nama Risalatut Ta’alim yang termuat dalam arkanul baiat untuk memperjuangkan Islam. Beliau sebutkan bahwa rukun baiat yang pertama adalah al fahm (pemahaman) yang termuat dalam dua puluh prinsip yang tidak lain adalah objek pembahasan syarah (ulasan, uraian) ini.

Risalah yang sangat besar manfaatnya dan penuh dengan ilmu ini masih saja menjadi rujukan bagi para dai, masing-masing sesuai dengan tingkat pemahaman dan penguasaanya. Sebagian kecil di antara mereka melakukan syarah, seleksi, dan perujukan dari segi pemantapan dalil, penjelasan dari aspek bahasa dan penguraian apa saja berdasarkan fiqih, serta mengembalikan semua itu kepada dasar-dasar dalil dalam syariat Islam: Kitabullah, Sunah Rasul-Nya, ijmak, dan qiyas jaliy.

Demikian itulah syarah saudara Allamah Abdullah bin Qasim Al Wasyli dalam bukunya An Nahjul Mubin fi Syarh Al Ushul Al ‘Isyrin ini. Ia adalah sebuah syarah yang sangat bermanfaat karena telah memberikan sentuhan sempurna lagi memuaskan terhadap prinsip-prinsip luhur yang oleh penulisnya, Imam Hasan Al-Banna, dikatakan,

“Inilah risalahku kepada ikhwan mujahidin dari kalangan Ikhwanul Muslimin yang yakin dengan keluhuran dakwah dan kesucian fikrah mereka, bertekad untuk hidup dengannya, atau mati di jalannya. Kepada mereka saja kata-kata pendek ini aku tujukan. Ia bukanlah pelajaran-pelajaran untuk dihafalkan, ia adalah instruksi-instruksi yang harus dilaksanakan. Karena itu, marilah bekerja wahai Ikhwan yang jujur.

“Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu. Kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan nyata, kemudian Ia akan mengabarkan kepada kamu apa saya yang dahulu kamu lakukan.'” (At Taubah: 105)

Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang harus lurus, maka ikutilah ia. Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lain, karena jalan-jalan itu akan menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya. Demikianlah yang Allah wasiatkan kepada kalian agar kalian bertakwa. (Al An’am: 153)

Adapun selain mereka ada pelajaran, ceramah, buku, makalah, acara seremonial, dan kegiatan formal. Masing-masing sudah ada arahan yang harus dikerjakannya, karena itu berlomba-lombalah kalian melakukan berbagai kebaikan, dan masing-masing telah Allah janjikan kepadanya surga.”

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Hasan Al Banna

(Majmu’atur Rasail Imam Hasan Al-Banna, h.055 cet Muassasah Islamiah, Beirut)

Demikianlah pengantar penerbitan Risalah Ta’alim Imam Al Banna rahimahullah. Dengan menelaah pengantar beliau rahimahullah, Anda mendapati bahwa beliau menghendekai risalah ini untuk dilaksanakan dan diamalkan. Ia bukanlah wacana ilmiah atau ensiklopedia yang sekadar ditempatkan oleh seorang muslim di rak-rak perpustakaannya. Ia adalah instruksi-instruksi yang harus dilakukan dengan sangat detail dan akurat, karena ia adalah intisari pemikiran, fiqih, berbagai arus pemikiran dan ideologis yang ada dizamannya. Ialah yang beliau rahimahullah mengatakan tentangnya, “Kami menginginkan pribadi Muslim, rumah tangga Muslim, masyarakat Islam, pemerintahan Islam, dan negara yang dipimpin oleh negara-negara Islam lagi mewadahi seluruh kaum Muslimin, mengembalikan kebesarannya, meraih kembali tanah mereka yang hilang serta negeri dan tanah air mereka yang terampas, dan seterusnya. (Dari risalah “Al-Ikhwanul Muslimun di Bawah Panji Quran”.Lihat Majmua’atur Rasail h.192)

Ketika beliau mengucapkan pernyataan ini, Mesir dan banyak negeri lainnya sedang berada di bawah penindasan dan kesewenang-wenangan negara-negara besar seperti  Inggris, Amerika, dan Perancis. Mereka bergerak mengejar dai berpengalaman lagi sukses ini. Mereka mengeluarkan sebuah keputusan yang ditujukan kepada pemerintah Naqrasyi di Mesir agar segera membubarkan jamaah Ikhwanul Muslimin. Terjadilah apa yang terjadi, sebagaiman tertera dalam buku-buku terkenal.

Umat Islam benar-benar sangat perlu menelusuri jejak pahlawan-pahlawannya dan tokoh-tokoh yang berpengaruh kuat dalam kehidupannya, terutama mereka yang berperan dalam bidang keyakinan keagamaan dan perjuangan menghidupkan kejahatan politik yang merupakan pilar kehidupan mereka. Para pendahulu kita yang saleh telah mencatat dalam buku-buku besar tentang kehidupan tokoh-tokoh ulama dan pendahulu mereka yang saleh.

Barangkali Imam Hasan Al Banna termasuk tokoh terbesar abad kedua puluh ini, namun apa yang saya baca dan saya ketahui tentang dirinya masih sangat terbatas. Kita sangat membutuhkan kajiah ilmiah yang mendalam dan terperinci yang membicarakan tentang pribadi unik ini dari berbagai sisinya. Tentang keluarganya, reputasi keilmuan, dan kedudukan sosialnya. Di samping itu juga tentang peninggalan-peninggalan besarnya sebelum beliau meninggal, kemudian tentang murid-muridnya yang tersebar di seluruh penjuru bumi. Kita sangat merindukan tulisan-tulisan khusus tentang pribadi ini secara ilmiah yang menjelaskan tentang dirinya dari berbagai sisi. Kematian di jalan allah telah menjemputnya pada usia yang masih sangat muda sehingga masih banyak potensinya yang tak terjemahkan. Meskipun demikian dalam tulisan-tulisannya ia tampak sebagai pribadi yang unik, luar biasa. Di dalam dirinya tersimpan sifat-sifat seorang mujtahid dengan kemurnian pikiran dan kejelasannya dalam memandang bebagai persolan. Pada waktu yang sama ia juga seorang yang diperangi dengan dahsyat. Ia telah terbunuh dan hanya dikuburkan oleh kaum perempuan bersama empat orang laki-laki saja, sementara pengikutnya sekarang berjuta-juta orang, tersebar di seluruh wilayah Mesir dan di negara-negara lainnya, khususnya negara-negara Asia, Afrika dan Eropa.

Dakwah imam yang satu ini tidak terbatas sebagai dakwah lokal dengan batas-batas territorial negara yang sempit. Dakwahnya telah menjadi dakwah semestawi yang meliputi dunia Islam seluruhnya, membangkitkan jiwa kebesaran, kemuliaan, dan ketakwaan dalam jiwa kaum Muslimin. Hari ini ia membangkitkan sehingga tidak akan tidur lagi setelah itu; ia memerdekakan sehingga tidak ada lagi perbudakan; ia adalah ilmu pengetahuan sehingga tidak ada lagi kebodohan sepeninggalnya.

Ia telah hidup dengan kehidupan orang asing di tengah para pemimpin Mesir. Demikian itu disebabkan karena perbedaan sifat dan karakternya. Ketika ia syahid, terjadi suatu peristiwa yang sangat menakjubkan, yaitu yang menshalatkannya di masjid hanya ayahnya yang sudah renta, tenang, dan berwibawa bahkan mengusung jenazahnya pun hanya perempuan-perempuan kerabat keluarganya. Tak seorang pun di antara pengikutnya yang laki-laki mengiringi kepergiannya, padahal jumlah mereka kala itu sudah ribuan. Penyebabnya sangat sederhana, yaitu keputusan otoriter dan lalim Raja Faruq, penguasa Mesir pada waktu itu menangkap pengikut-pengikutnya, mengasingkan, dan memenjarakan mereka. Akhirnya balasan yang diterima penguasa yang zalim ini sangat setimpal. Faruq, raja Mesir itu meninggal dan hanya dikuburkan oleh beberapa gelintir orang yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menguburkannya, dan jadilah Faruq seperti itu. Mahasuci Allah, seakan-akan dunia ini adalah negeri pembalasan.

Sepertinya aku melihat Imam Hasan Al Banna sebagaimana sebuat atsar yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw. berikut, “Ilmu ini akan diemban oleh setiap generasi akhir yang adil-adil, yang menghindarkannya dari penyimpangan orang-orang yang berlebihan, penjiplakan orang-orang yang batil, dan penafsiran orang-orang yang bodoh (HR. Baihaqi)

Semoga allah merahmati Imam Hasan Bin Ahmad bin Abdurrahman Al Banna dan memberikan balasan yang baik berkenaan dengan risalahnya yang unik lagi lengkap, dua puluh prinsip. Semoga allah memberikan balasan yang baik atau usaha keras saudara yang terhormat, Abdullah bin Qasim Al Wasyli, yang telah mensyarah ensiklopedia yang sangat bermanfaat ini, dan semoga menjadi seluruh amalnya hanya untuk mencari ridha-Nya

Wa akhiru da’wana anilhamdu lillaahi rabil’alamin.

13 Rajab 1409

Ditulis oleh yang mengharap ampunan Tuhannya,

Maasyraf Abdul Karim Al Mahrabi


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-27 Mukadimah Syarah Ushul ‘Isyrin

Abdullah-bin-Qasim-Al-Wasyli..jpg

Segala puji bagi Allah, kita mohon pertolongan dan petunjuk kepada-Nya. Aku bersaksii bahwa tiada Tuhan selain allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya , dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Ia telah mengutusnya dengan petunjuk dan dinul haq. Tleah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, dan mengabdi kepadaTuhannya hingga hingga datangnya kematian kepadanya. Semoga Allah memberikan salawat dan salam-Nya kepda juga kepada para sahabat yang setia meniti jejaknya, menempuh jalannya, dan tidak menyimpang sedikitpun dari jalannya yang lurus. Demikian pula kepada para tabiin dan generasi yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya hingga hari pembalasan.

Amma ba’du.

Ini bukanlah syarah yang panjang membosankan, namun juga tidak telalu pendek dan mengurangi makna bagi dua pulah prinsip pemahaman, rukun pertama arkanul baiat amal islami yang oleh Imam Syahid Hasan Al Banna dimasukannya ke dalam risalahnya yang berjudul Risalatut Ta’alima, khusus untuk bagi ikhwan yang aktif berjihad dan meyakini dakwah dan keluhuran tujuannya, serta jujur dalam berafiliasi kepadanya. Sehingga mereka pun menghibahkan jiwa mereka –hidup maupun mati- kepdanya dalam rangka mencari ridha Allah Swt. Bukan yang lain.

Meskipun Imam Syahid mengkhususkan risalahnya kepada kelompok manusia itu, namun ajaran-ajaran, kewajiban, dan nasihat-nasihat yang terkandung di dalamnya tidak khusus hanya untuk mereka saja. Ia berlaku  umum bagi setiap orang yang hendak menempuh jalan Nabi Muhammad Saw. Dan menapaki jejaknya.

Katakanlah, “Inilah jalanku, aku berdakwah kepada Allah berdasarargumentasi yang jelas, aku dan orang-orang yang mengikutiku….” (Yusuf: 108)

Hal itu karena semua yang diserukannya adalah kebenaran, sedangkan kebenaran tidak terbatas hanya untuk orang perorang sana, dan tidak khusus untuk orang tertentu saja, Ia dibuat untuk diperebutkan oelh orang-orang yang serius berusaha. Manusia terbagi menjadi tiga kelompok: ada yang selalu terdepan, ada yang sedang(pertengahan), ada pula yang menzalim dirinya sendiri.

Karena itu saya ucapkan selamat bagi mereka yang segeramengerjakan kebaikan, dan kegembiraan semoga diberikan kepada mereka yang terdepan. Semoga orang-orang pertengahan tetap diterima dan ampunan pun diberikan kepada mereka yangmenzalimi diri. Sesungguhnya Allah Maha Pengampuan lagi Maha Penyayang.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-28 Apa Bentuk Komitmen Saya Kepada Islam?

Fathi-Yakan-2.jpg

Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Amma ba’du.

Buku yang ada di tangan Anda ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama menjelaskan karakter-karakter yang harus dimiliki oleh seorang muslim agar benar-benar menjadi muslim sejati. Pada bagian ini, kami menerangkan syarat-syarat yang harus ditunaikan oleh setiap orang yang memeluk agama (Islam) ini.

Sungguh banyak orang penganut Islam sebatas identitas diri atau menganut Islam karena lahir dari orang tua yang Muslim. Sebenarnya kedua model Muslim di atas sama-sama tidak mengerti, apa arti keberadaannya sebagai Muslim. Mereka tidak tahu konsekuensi yang harus ditanggung ketika menyatakan diri sebagai Muslim, sehingga wajar jika Anda melihat mereka berada di suatu wilayah kehidupan yang jauh dari Islam yang sebenarnya.

Target yang ingin kami capai pada buku ini adalah menjawab semua pertanyaan seperti di atas sekaligus menjelaskan apa yang dituntut oleh Islam dari setiap pemeluknya. Hal ini ditujukan agar keberadaannya sebagai Muslim menjadi lurus dan murni, sehingga ia benar-benar menjadi Muslim sejati.

“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik- baik Penolong.” (Al Hajj: 78)

Sedangkan pada bagian kedua buku ini, kami menjelaskan kewajiban berjuang menegakkan Islam dan bergabung dengan gerakan Islam (Harakah Islamiyah). Selain itu, kami juga menerangkan karakteristik gerakan Islam, lengkap dengan segenap tujuan, sarana, filosofi, cara kerja, dan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh setiap orang yang bergabung dengannya.

Harus kami jelaskan di sini bahwa seluruh peristiwa yang terjadi di berbagai penjuru dunia Islam pada umumnya, dan di wilayah negara-negara Arab khususnya, mengungkapkan suatu kenyataan yang sangat besar. Kenyataan bahwa umat Islam saat ini mengalami “kekosongan luar biasa” pada berbagai aspek kehidupan.

Di masa lalu, umat ini melewati masa-masa sulit. Banyak institusi dan sistem terpuruk. Banyak gerakan dan organisasi yang pudar ketika harus menghadapi berbagai tantangan modern. Mereka terpuruk karena pada dasarnya tidak memiliki faktor-faktor yang dapat mempertahankan keberadaan dan menjamin kelangsungannya.

Sebab lain keterpurukannya adalah karena mereka hanya mengusung slogan-slogan kosong dan palsu dan tidak memiliki nilai dan substansi. Mereka juga terpuruk karena tidak orisinal. Maksudnya, tidak mencerminkan identitas umat yang sebenarnya. Mereka membawa nilai-nilai asing, dibuat-buat, dan diimpor. Sama seperti sepatu dan barang-bbarang yang diimpor dari luar negeri.

Karena sebab0sebab di atas, mereka tidak bisa bertahan lama. Kepalsuannya segera terbongkar, dan kelamahan-kelemahannya segera tersingkap. Oleh sebab itu, wajar jika kemudian semua lapisan masyarakat membutuhkannya karena merasakan sesuatu yang asing dan tidak cocok dengan prinsip dan aqidahnya.

Permasalahan mereka ibarat ginjal atau jantung yang dicangkok di dalam tubuh manusia. Kalaupun proses pencangkokan berhasil, maka tidak akan bertahan lama. Itu pun disertai rasa sakit dan penderitaan yang tidak ringan karena tubuhnya segera lemah lalu mati.

Itulah kondisi konkret yang dialami umat Islam saat mulai sadar kalau dirinya begitu lemah dan sakit. Dia tidak sanggup memikirkan apa yang harus dilakukan, sehingga tanpa ragu mengimpor berbagai nilai dan sistem positif (produk Barat) yang dianggap baik. Padahal, sistem itu mengandung hal-hal yang berpotensi membawa kebinasaan dan kehancuran. Juga memuat unsur-unsur kekacauan dan kerusakan, serta faktor-faktor yang mendorong pada tindakan mengabaikan dan menelantarkan!

Pada fase pertama, umat Islam mengadopsi peradaban Barat dan ideologi kapitalisme. Hasilnya, virus kanker menggerogoti tubuh umat pada setiap sendi kehidupannya, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Virus-virus kanker merusak jati dirinya, mengacaukan pikirannya, merusak moralnya, dan terakhir menggiringnya ke altar kekalahan pertama begitu mengenaskan, yaitu kekalahan pada tahun 1948.

Meskipun kekalahan tersebut menyisakan pengalaman pahit dan penderitaan yang tak terperi, namun umat tetap terbelenggu dalam ketidak pastian dan kekacauan. Umat tetap tidak mampu mengendalikan emosi, terpengaruh oleh slogan-slogan palsu dan penampilan luar yang menggiurkan. Inilah yang membuatnya untuk kali kedua, ketiga, dan keempat menelan kekalahan yang sama berkali-kali. Sistem liberal, revolusi, dan komunis (yang kemudian dianutnya) tidak bearti apa-apa. Bahkan hubungan dengan dengan berbagai rezim pun tidak mampu menghindarkannya dari bahaya.

Jika kekalahan pada tahun 1948 adalah akibat dari sikap umat Islam yang mengekor pada ideologo imperialisme Barat, maka kekalahan pada 1967 terjadi karena mereka mengadopsi ideologi kaum proletariat kiri.

Dengan tergopoh-gopoh, umat Islam keluar dari gelombang peristiwa dan pengalaman hidupnya sambil membawa beban penderitaan yang berat dan luka yang menyakitkan. Putus sudah harapannya dari orang-orang yang selama ini menjadi sandaran hidupnya. Dan goyahlah kepercayaan yang selama ini diberikan kepada para pemimpin, pengusasa, organisasi, dan partai yang ada.

Apakah setelah mengalamai semua itu, umat benar-benar bangun? Apakah benturan yang begitu dahsyat dan pengalaman yang begitu pahit benar-benar berhasil membuatnya sadar? Apakah umat sadar bahwa kekuatan-kekuatan global, seluruhnya, bersatu padu untuk menghancurkannya? Apakah umat tahu bahwa timur dan barat, kiri dan kanan, memusuhi, membenci, dan menunggu kesempatan yang tepat untuk menghabisinya?

Sungguh sangat sesat jika ada yang berpikir bahwa umat harus mengekor kepada saah satu pihak. Artinya, jika tidak ke kanan, berarti harus berpihak ke kiri. Jika tidak komunis, maka harus kapitalis?!

Umat Islam harus sadar bahwa mereka memiliki jati diri yang independen dan istimewa. Tidak cenderung pada ideologi kanan atupun kiri. Jati diri yang orisinal. Karakteristik dan rambu-rambunya diadopsi dari ajaran Islam, agama, dan risalah fitrah. Berdasarkan keistimewaan dan orisinalitas inilah, ideologi Islam tetap berada di garis depan kemajuan pemikiran dan politik global.

Umat Islam harus sadar bahwa kekosongan besar (al faragh al kabir) yang dialaminya saat ini tidak mungkin diisi oleh kebijakan-kebijakan Gedung Putih Amerika Serikat. Tidak pula oleh program-progam yang digodok di Kremlin Uni Soviet. Kekosongan ini tidak bisa diisi oleh ide-ide pemikiran Karl Marx dan Lenin, atau oleh gagasan-gagasan Guevera dan Ho Chi Min.

Kekosongan itu hanya bisa diisi oleh Islam yang terimplementasikan dalam aqidah, sistem moral, dan aturan. Semua permasalahan di atas membawa gerakan Islam pada sebuah tanggungjawab sejarah yang sangat krusial. Tanggungjawab yang menuntut aktualisasi iman dan kemauan untuk berbuat . Apakah dai-dai Ilsam sudah menyadari tanggung jawab mereka?

Abu Bilal Fathi Yakan


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-28 Urgensi Risalah Ta’alim

Abdullah-bin-Qasim-Al-Wasyli..jpg

Risalah Ta’alim, risalah yang berukuran kecil, tipis, sederhana, dengan bahasa yang mudah dan enak dibaca itu membuat banyak ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang apabila dijabarkan akan menghabiskan berjilid-jilid besar kitab syarah. Betapapun sederhannya namun ia memberikan kepada seorang Muslim (khususnya aktivis dakwah) gambaran yang lengkap mengenai apa saja yang harus dilakukan oleh seorang Muslim yang komitmen dengan agamanya, dai yang tulus, dan mujahid yang sebenarnya.

Ia sebagaimana digambarkan oleh dai kondang Said Hawwa termasuk peninggalan Imam Al Banna yang paling matang dan dapat dikatakan sebagai akhir dari ijtihad-ijtihad pemikiran dan amaliah yang merupakan general check-up gerak sejarah, realitas kaum Muslimin, dan pemahaman yang mendetail terhadap nash-nash[1]

Risalatut Ta’alim terdiri dari dua bagian:

Bagian pertama, sepuluh arkanul baiat, yaitu baiat untuk memperjuangkan Islam. Ia menjelaskan tentan hal-hal yang dimaksud dari masing-masing rukun dan berbagai konsekuensi komitmen masing-masing rukun itu, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang harus direalisasikan dalam realitas perjuangan Islam, memperbaiki pribadi, masyarakat, atau pemerintahan, dan istiqamah di atas agama Allah Swt. yang sempurna. Di samping itu, ia juga membeberkan sarana dan metode yang digunakan untuk meralisasikan tujuan-tujuan utama setiap Muslim yang selalu diserukan, bahwa Allah adalah tujuannya, Rasul adalah qudwahnya, jihad adalah jalannya, dan mati di jalan Allah adalah cita-cita yang tertinggi.

Bagian kedua, memuat sejumlah kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap orang yang meyakini rukun-rukun tersebut dan berusaha merelisasikannya, serta berbagai nilai dan hakikat yang akan Al Quran dan Sunnah yang mengharuskan setiap Muslim dengan hak-hak tersebut, baik secara wajib, sunah, maupun sekadar anjuran. Ia, tidak diragukan lagi merupakan penyempurnaan kepribadian Islam yang ideal.


[1] Fi Afaqi At Ta’alim, h.5


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-29 Posisi Ushul ‘Isyrin dalam Risalah Ta’alim

Abdullah-bin-Qasim-Al-Wasyli..jpg

Dua puluh prinsip pemahaman yang hendak kami jelaskan dalam syarah ini termasuk tema terpenting risalah ini. Bahkan ia adalah yang paling urgen, karena ia meletakkan fondasi utama yang mendasari selruuh rukun perjuangan Islam yang benar yaitu pemahaman. Allah Swt. telah memerintahkan agar hamba-hamba-Nya menyandang sifat paham sebelum mereka mengenalnya, dalam firman-Nya, maka ketahuilah bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah (Muhammad:19). Surat pertama yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad Saw. diawali dengan ajakan menyandang sifat paham terlebih dahulu. Yaitu dalam firman-Nya, Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan (Al ‘Alaq:1).a

Di kalangan penganut Islam telah benar-benar dipahami bahwa ilmu leibh diutamakan disbanding dengan amal. Amal apa pun yang dikerjakan tanpa didasarkan kepada ilmu pengetahuan dan petunjuk dari Allah Swt. maka ia tertolak. Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak didasarkan kepada perintah kami, maka amalan itu tertolak. (Mutafaq alaih)[1]

Pendasaran pada ilmu dan pengaturan amal berdasar pemahaman yang jelas, tidak termasuk bid’ah dalam agama ini.

Jika Anda telah memahami hal ini, maka ketahuilah bahwa Imam Syahid Al Banna rahimahullah telah mendapatkan taufik yang sebaik-baiknya untuk meuangkan prinsip-prinsip tersebut di abad ini. Sebagaimana para mujtahidin sebelumnya juga telah mendapatkan taufik untuk meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan, problem, dan amal-amal yang sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Serta kemaslahatan untuk melindungi Islam dan  pemahaman yang sahih terhadap sumber-sumber hukum dan perundang-undangan sepanjang sejarah, sejak masa sahabat, para tabi’in, hingga zaman kita sekarang. Perbuatan ini tidak termasuk bid’ah dalam Islam. Ia justru merupakan salah satu uhal yang Allah gunakan untuk melindungi agama ini, agar ia tetap eksis hingga Allah Swt. mewarisi bumi ini berikut siapa saja yang ada di dalamnya.

Allah telah melindungi agama-Nya dengan cara melindungi sumber-sumber hukum dan perundang-undangannya (Al Quran dan Sunah), agar tidak tersentuh oleh perubahan maupun penggantian. Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan Al Quran itu dan Kami-lah yang melindunginya. (Al Hijr:9)

Disamping itu, juga dengan cara memelihara dan milindungi suatu jenis dari makhluk-Nya yang tetap ada dengan adanya agama ini dan di setiap zaman, hingga Allah mewarisi bumi ini berikut apa saja yang ada di atasnya, yang Allah berikan pemahaman yang benar terhadap sumber-sumber tersebut dan berusaha keras untuk menerapkannya hingga mereka menjadi hujah atas hamba-Nya, sebagai petunjuk riil bagi setiap bangsa bahwa Islam selalu layak dan cocok untuk setiap waktu dan tempat, serta sebagai agama yang diridhai di sisi Tuhan semesta alam hingga hari pembalasan.

Kelompok ini adalah pembela kebenaran yang tidak terpengaruh oleh orang-orang yang menetangnya hingga hari kiamat, sebagaimana disebtukan dalam sejumlah riwayat. Kelompok inilah yang diserahi amah untuk menetapkan pedoman pemahaman yang benar terhadap sumber-sumber hukum itu, jalan serta amal sesuai dengan tuntutan hal-hal yang diperintahkan dan ditunjukkan oleh sumber-sumber tersebut.

Berikut ini adalah contoh-contoh yang menjelaskan bahwa amal ini telah dilakukan oleh generasi-generasi pertama dan ditempuh oleh orang-orang besar, kemudian diikuti oelh generasi berikutnya. Khususnya ketika cabang-cabang pemikiran semakin banyak, hawa nafsu semakin dominan, kepentingan mengendalikan perbuatan manusia di tengaah umat ini fdam masyarakat pun tenggelam dlam gelombang fitnah. Pada saat seperti itu, munculullah di tengah umat ini orang yang membingmbing, mengabari petunjuk, dan membuatkan prinsip-prinsip bagi mereka, hingga mereka kembali kepada pedoman yang dipegang teguh oleh generasi pertama dahulu. Sebagai contohnya telah timbul kekhawatiran jika pembacaaan Al Quran dan penerapannya tidak seperti pembacaan dan penerapannya pada saat diturunkan kepada Nabi Muhammas Saw. dan diterima oleh para sahabatnya. Untuk itu Allah menyiapkan orang-orang dari kelompk qura dan hufazh untuk membuat kaidah –kaidah dalam masalah ini, agar masyarakat tidak berbeda-beda pandangan tentangnya hingga mereka binasa karenanya merupakan dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang harus dipegang teguh dalam masalah ini.

Pemikiran dan pemahaman seputar penafsiran Al Quran dan makna yang Allah kehendaki dari hamba-hamba-Nya telah bercabang dan berbeda-beda. Oleh karena itu, Allah menyiapkan orang yang memuat standard an patokan bagi ilmu ini (ilmu tafsir) tentang dasar-dasar untuk menafsirkan dna mengungkapkan makna-maknanya dengan ilmu lain yang mereka sebut sebagai ushulut tafsir. Hawa nafsu dan fanatisme juga teleah maminkan peran besar dalam pengaburan Sunah dan masuknya unsure-unsur lain. Untuk itu Allah menyiapkan orang-orang yang melayani Sunah dan membersihkannya dari unsure-unsur lain, berupa dusta dan pemalsuan. Mereka kemudian membuat kaidah-kaidah yang hingga saat ini para cendikianwan dunia tidak mampu membuat hal yang semacamnya. Mereka menamakan ilmu ini dengan ilmu “Rijaal wa Mushatalahul Hadits”

Terjadi perbedaan pemahaman dalam menggali hukum-hukum syar’I dari Al Quran dan Sunah sehingga sangat jauh dari kebenaran menuruti hawa nafsu dan emosi. Sehingga Allah menyiapkan orang-orang mujtahid yang tulus. Mereka membuat kaidah-kaidah untuk memahami dan mengambil istimbath yang harus dipegang teguh oleh mujtahid yang hendak mempelajari Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya Saw. untuk menggali hukum-hukum syar’i. Mereka menamakan ilmu ini dengan Ushul Fiqh.

Keyakinan juga bercabang-cabang akibat ilmu kalam dan filsafat. Oleh karena itu, Allah menyiapkan orang-orang tetentu untuk mengendalikan supaya cabang itu tidak semakin banyak, yaitu dengan keyakinan ahlusunah wal jamaah, mengembalikan keyakinan-keyakinan mereka kepada dasarnya, dan membatasi mereka pada nash serta tidak melanggarnya.

Telah lahir berbagai propaganda yang memecah-belah umat sebagaimana disinyalir oleh Rasulullah Saw. menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di neraka kecuali satu.[2]

Golongan yang satu inilah yang selalu berada di atas kebenaran, setiap waktu dan setiap tempat membuat prinsip-prinsip amaliah untuk mengendalikan langkah dan mengarahkan perjalanan, serta memutuskan berdasar Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya Saw. Hal ini terepresantasikan pada para mujtahidin yang telah Rasulullah sebutkan dalam sabdanya, Sesungguhnya Allah benar-benar akan mengutus di awal tiap-tiap abad orang yang memperbarui untuk umat ini urusan agamnya.[3]

Oleh karena itu, pada setiap abada ada seorang mujtahid yang meletakkan dasar-dasr pemahaman amal islami dan dakwah di masa hidupnya. Di tangannya, tewujudlah banyak kebaikan bagi umat Islam, yang paling menonjol adalah mendekatkan pemahaman, menyatukan perjuangan, dan menyatukan pemikiran agar semua pihak mengarah pada satu hal penting yang diserang oleh musuhnya, sehingga mereka pun selamat dari berbagai ancaman lain yang menimpa mereka selama ini.



[1] Shahih Bukhari 3/241 dan Shahih Muslim 3/1344 dengan lafadz Muslim.

[2] Lihat Jami’ul Usul 10/33. Al Mahsyi mengatakan bahwa diriwayatkan oleh Abu Daud no.4596 tentang Sunnah dan Turmudzi no.242 tentang Iman. Turmudzi mengatakan, “Hadits Abu Hurairah ini hasan shahih.”

[3] Diriwayatkan oleh Abu Daud, Hakim, dan Baihaqi tentang makrifat dari Abu Hurairah r.a. Imam Suyuthi memberikan predikat sahhih dalam Jami’nya. Al Jami’ Ash Shaghir, 72


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-29 Taqiyah dalam Agama Syi’ah

Muhibuddin-Al-Khatib.jpg

Permasalahan Taqiyah

Penghalang pertama bagi terwujudnya solidaritas yang benar lagi tulus antara kita dan mereka ialah apa yang mereka sebut dengan At Taqiyah.[1] Taqiyah adalah suatu keyakinan dalam agama yang membolehkan bagi mereka untuk berpenampilan di hadapan kita dengan penampilan yang menyelisihi hati nurani mereka. Dengan demikian orang yang lugu dari kalangan kita (Ahlusunnah) akan tertipu dengan penampilan mereka yang mengesankan ingin mengadakan solidaritas dan pendekatan, padahal sebenarnya mereka tidaklah menginginkan, juga tidak rela, dan tidak akan menerapkan hal itu, kecuali bila hal itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja (yaitu pihak Ahlusunnah), sedangkan pihak lain tetap berada dalam kenyelenehannya tidak bergeser sedikit pun walau hanya satu rambut (yaitu Syiah). Walaupun para pelaku peran “Taqiyah” dari mereka berhasil meyakinkan kita bahwa mereka telah maju beberapa langkah mendekat dengan kita, maka sesungguhnya masyarakat Syi’ah seluruhnya; pemuka mereka dan masyarakat awamnya akan tetap terpisah dari para pemeran sandiwara ini, dan tidak akan pernah menerima apapun apa yang dikatakan oleh para perwakilan yang telah memerankan peranan mereka.

Di antaranya hadits yang mereka yakini bahwa Imam kelima mereka, yaitu Muhammad Al Baqir meriwayatkan suatu hadits yang di antara bunyinya: “At Taqiyah ialah kebiasaanku dan kebiasaan bapak-bapakku, dan tidak beriman orang yang tidak bertaqiyah.” (Al Ushul Minal Kafi, bab: At Taqiyah jilid: 2 hal: 219).

Syaikh ahli hadits mereka Muhammad bin Ali bin Al Hasan bin Babuyah Al Kummi telah menyebutkan dalam sebuah risalahnya yang berjudul Al I’tiqadaat: “Bertaqiyah wajib hukumnya, barang siapa yang meninggalkannya, maka ia bagaikan orang yang meninggalkan shalat.”

Ia juga berkata: “Bertaqiyah wajib hukumnya, dan tidak boleh dihapuskan hingga datang sang penegak keadilan (imam mahdi -pent), dan barang siapa yang meninggalkannya sebelum ia datang, maka ia telah keluar dari agama Allah Ta’ala, dan dari agama Al Imamiyah, serta menentang Allah, Rasul-Nya dan para Imam.” (Baca risalah Al I’tiqadaat, pasal At Taqiyah, terbitan Iran tahun: 1374 H).


[1] At Taqiyah ialah seseorang menampakkan sikap yang tidak sesuai dengan isi batinnya. Mereka dalam hal ini berdalilkan dengan beberapa hadits, di antaranya hadits yang mereka sebut-sebut dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu yang pada hadits ini -menurut anggapan mereka- beliau berkata: “At Taqiyah termasuk amalan seorang mukmin yang paling utama, dengannya ia menjaga diri dan saudaranya dari tindakan orang-orang jahat.” (Baca: Tafsir Al Askari, hal: 162 Pustaka Ja’fary, India).


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-29 Mengharamkan yang Halal dan Menghalalkan yang Haram Sama dengan Syirik

Yusuf-Al-Qardhawi.jpg

Kalau Islam mencela sikap orang-orang yang suka menentukan haram dan halal itu semua, maka dia juga telah memberikan suatu kekhususan kepada mereka yang suka mengharamkan itu dengan suatu beban yang sangat berat, karena memandang, bahwa hal ini akan merupakan suatu pengungkungan dan penyempitan bagi manusia terhadap sesuatu yang sebenarnya oleh Allah diberi keleluasaan. Di samping hal tersebut memang karena ada beberapa pengaruh yang ditimbulkan oleh sebagian ahli agama yang berlebihan.

Nabi Muhammad sendiri telah berusaha untuk memberantas perasaan berlebihan ini dengan segala senjata yang mungkin. Di antaranya ialah dengan mencela dan melaknat orang-orang yang suka berlebih-lebihan tersebut, yaitu sebagaimana sabdanya:

“Ingatlah! Mudah-mudahan binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan itu.” (3 kali). (Riwayat Muslim dan lain-lain)

Dan tentang sifat risalahnya itu beliau tegaskan:

“Saya diutus dengan membawa suatu agama yang toleran.” (Riwayat Ahmad)

Yakni suatu agama yang teguh dalam beraqidah dan tauhid, serta toleran (lapang) dalam hal pekerjaan dan perundang-undangan. Lawan daripada dua sifat ini ialah syirik dan mengharamkan yang halal. Kedua sifat yang akhir ini oleh Rasulullah s.a.w. dalam Hadits Qudsinya dikatakan, firman Allah:

“Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim)

Oleh karena itu, mengharamkan sesuatu yang halal dapat dipersamakan dengan syirik. Dan justru itu pula Al Quran menentang keras terhadap sikap orang-orang musyrik Arab terhadap sekutu-sekutu dan berhala mereka, dan tentang sikap mereka yang berani mengharamkan atas diri mereka terhadap makanan dan binatang yang baik-baik, padahal Allah tidak mengizinkannya. Diantaranya mereka telah mengharamkan bahirah (unta betina yang sudah melahirkan anak kelima), saibah (unta betina yang dinazarkan untuk berhala), washilah (kambing yang telah beranak tujuh) dan ham (Unta yang sudah membuntingi sepuluh kali; untuk ini dikhususkan buat berhala).

Orang-orang Arab di zaman Jahiliah beranggapan, kalau seekor unta betina beranak sudah lima kali sedang anak yang kelima itu jantan, maka unta tersebut kemudian telinganya dibelah dan tidak boleh dinaiki. Mereka peruntukkan buat berhalanya. Karena itu tidak dipotong, tidak dibebani muatan dan tidak dipakai untuk menarik air. Mereka namakan unta tersebut al-Bahirah yakni unta yang dibelah telinganya.

Dan kalau ada seseorang datang dari bepergian, atau sembuh dari sakit dan sebagainya dia juga memberikan tanda kepada seekor untanya persis seperti apa yang diperbuat terhadap bahirah itu. Unta tersebut mereka namakan saibah.

Kemudian kalau ada seekor kambing melahirkan anak betina, maka anaknya itu untuk yang mempunyai; tetapi kalau anaknya itu jantan, diperuntukkan buat berhalanya. Dan jika melahirkan anak jantan dan betina, maka mereka katakan: Dia telah sampai kepada saudaranya; oleh karena itu yang jantan tidak disembelih karena diperuntukkan buat berhalanya. Kambing seperti ini disebut washilah.

Dan jika seekor binatang telah membuntingi anak-anaknya, maka mereka katakan: Dia sudah dapat melindungi punggungnya. Yakni binatang tersebut tidak dinaiki, tidak dibebani muatan dan sebagainya. Binatang seperti ini disebut Al Haami.

Penafsiran dan penjelasan terhadap keempat macam binatang ini banyak sekali, juga berkisar dalam masalah tersebut

Al Quran bersikap keras terhadap sikap pengharaman ini, dan tidak menganggap sebagai suatu alasan karena taqlid kepada nenek-moyangnya dalam kesesatan ini. Firman Allah:

“Allah tidak menjadikan (mengharamkan) bahirah, saibah, washilah dan ham, tetapi orang-orang kafirlah yang berbuat dusta atas (nama) Allah, dan kebanyakan mereka itu tidak mau berfikir. Dan apabila dikatakan kepada mereka: Mari kepada apa yang telah diturunkan Allah dan kepada Rasul, maka mereka menjawab: Kami cukup menirukan apa yang kami jumpai pada nenek-nenek moyang kami; apakah (mereka tetap akan mengikutinya) sekalipun nenek-nenek moyangnya itu tidak berpengetahuan sedikitpun dan tidak terpimpin?” (Al Maidah : 103-104)

Dalam surah Al An’am ada semacam munaqasyah (diskusi) mendetail terhadap prasangka mereka yang telah mengharamkan beberapa binatang, seperti: unta, sapi, kambing biri-biri dan kambing kacangan.

Al Quran membawakan diskusi tersebut dengan suatu gaya bahasa yang cukup dapat mematikan, akan tetapi dapat membangkitkan juga.

Kata Al Quran:

“Ada delapan macam binatang; dari kambing biri-biri ada dua, dan dari kambing kacangan ada dua pula; katakanlah (Muhammad): Apakah kedua-duanya yang jantan itu yang diharamkan, atau kedua-duanya yang betina ataukah semua yang dikandung dalam kandungan yang betina kedua-duanya? (Cobalah) beri penjelasan aku dengan suatu dalil, jika kamu orang-orang yang benar! Begitu juga dari unta ada dua macam,- dan dari sapi ada dua macam juga; katakanlah (Muhammad!) apakah kedua-duanya yang jantan itu yang diharamkan, ataukah kedua-duanya yang betina?” (Al An’am: 143-144)

Di surah Al A’raf pun ada juga munaqasyah tersebut dengan suatu penegasan keingkaran Allah terhadap orang-orang yang suka mengharamkan dengan semaunya sendiri itu; di samping Allah menjelaskan juga beberapa pokok binatang yang diharamkan untuk selamanya. Ayat itu berbunyi sebagai berikut:

“Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (Al A’raf: 32-33)

Seluruh munaqasyah ini terdapat pada surah-surah Makiyyah yang diturunkan demi mengkukuhkan aqidah dan tauhid serta ketentuan di akhirat kelak. Ini membuktikan, bahwa persoalan tersebut, dalam pandangan al-Quran, bukan termasuk dalam kategori cabang atau bagian, tetapi termasuk masalah-masalah pokok dan kulli.

Di Madinah timbul di kalangan pribadi-pribadi kaum muslimin ada orang-orang yang cenderung untuk berbuat keterlaluan, melebih-lebihkan dan mengharamkan dirinya dalam hal-hal yang baik. Untuk itulah maka Allah menurunkan ayat-ayat muhkamah (hukum) untuk menegakkan mereka dalam batas-batas ketentuan Allah dan mengernbalikan mereka ke jalan yang lempang.

Di antara ayat-ayat itu berbunyi sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman: Janganlah kamu mengharamkan yang baik-baik (dari) apa yang Allah telah halalkan buat kamu, dan jangan kamu melewati batas, karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang suka melewati batas. Dan makanlah sebagian rezeki yang Allah berikan kepadamu dengan halal dan baik, dan takutlah kamu kepada Allah zat yang kamu beriman dengannya.” (Al Maidah: 87-88)


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-29 20 Tips Mengatur Diri Sendiri

Awadh-bin-Muhammad-Al-Qarni.jpg

1. Tunaikanlah hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mohonlah pertolongan kepada-Nya dalam setiap permasalahan hidup yang menimpa diri Anda.

“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mahan per-talangan.” (Al Fatihah ayat 5).

Apabila manusia mau memperbaiki hubungannya dengan Tuhannya, maka Allah akan memberikan kebaikan dalam setiap permasalahan hidupnya. Apabila manusia mau mengingat Tuhannya ketika dalam keadaan senang, maka Allah akan mengingatnya pada waktu dia susah. “Ingatlah Allah maka Dia akan mengingatmu.” Orang yang mengabaikan dan tidak memenuhi hak-hak Tuhannya maka ia akan lebih mengabaikan hal-hal lainnya.

“Mereka melupakan Allah laiu Allah pun melupakan mereka.”

Ada orang yang mengatakan: “Dalam hati ada sesuatu yang sifatnya tidak teratur, dan ketidakteraturan itu tidak dapat disatukan kecuali dengan meng-hadap kepada Allah. Dalam hati ada suatu kesedihan yang tidak bisa di-hilangkan kecuali dengan cinta kepada Allah. Di dalam hati ada kesedihan yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan senang karena mengetahui Allah dan bermu’amalah (interaksi) dengan-Nya dengan ikhlas.

Dalam hati terdapat kegelisahan yang tidak dapat ditenangkan kecuali dengan segera lari menghadap kepada-Nya. Dalam hati terdapat suatu kebutuhan yang tidak dapat ditutup kecuali dengan cinta kepada Allah, taubat kepada-Nya, selalu mengingat-Nya, dan memurnikan ibadah dengan sebenar-benamya kepada-Nya. Walaupun dunia dan seluruh isinya diberikan kepadanya, hal itu tidak akan dapat menutup kebutuhan tersebut selamanya.”

Jadilah Anda orang yang selalu bersama Allah, maka Allah akan selalu bersama Anda, dan ketika itu Allah tidak akan menggagalkan usaha Anda. Insya Allah.

2. Penuhilah pikiran Anda dengan ke-optimisan dan mengharap kesuksesan dengan seizin Allah. Selalulah merasa gembira dan dapat menguasai pikiran dan perasaan Anda. “Berialah kabar gembira dan janganlah membuat mereka lari dan jera.”

3. Biasakan diri membuat tujuan yang tinggi dan jelas pada setiap aktifitas.

4. Usahakan untuk selalu membuat rencana dalam segala macam permasalahan hidup, dan sebisa mungkin jauhilah terjadinya kekacauan dan langkah tanpa rencana dalam setiap pekerjaan. Susunlah usaha Anda dengan teratur dan arahkan pada tujuan yang jelas dan tertentu. Hindarilah kekacauan dalam menempuh perjalanan menggapai tujuan.

5. Usahakan agar rencana-rencana untuk mencapai tujuan itu berupa aktifitas yang dapat diraba (dapat dilakukan) dan jelas. Hindari perilaku menunda-nunda pekerjaan dan berbuat yang tidak benar.

6. Waspadalah agar waktu Anda tidak terbuang percuma tanpa suatu aktifitas, karena berarti Anda kehilangan hidup. Berusahalah setiap hari untuk terus maju menuju tujuan-tujuan Anda, walaupun hanya satu langkah saja. Barangsiapa yang berjalan pada jalannya maka ia akan sampai.

7. Aturlah segala urusan Anda, dengan cara menulis janji-janji Anda, selalu menepatinya dan terbiasa menjaganya. Demikian juga dalam mengatur dan menata segala hal yang ada di rumah, di kantor, di mobil dan lainnya dengan cara yang sama agar mempermudah Anda dalam berinteraksi dengannya.

8. Lawanlah bila nafsu berusaha untuk memalingkan diri Anda dari pekerjaan yang baik dan penting pada kesenangan dan terus menerus bermain.

9. Jangan lupa memperhatikan pekerjaan pekerjaan yang menghabiskan banyak waktu. Oleh karena itu, janganlah membuang waktu untuk sesuatu yang tidak berguna, tetapi dahulukan pekerjaan yang lebih penting lalu kerjakan yang di bawahnya.

10. Tumbuhkan prinsip segera dan bergegas melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Sesuatu yang telah lewat selamanya tidak akan kembali lagi. Kehidupan ini adalah perlombaan dan waktunya sangat pendek bila Anda pergunakan untuk menunggu, menangguhkan atau menunda-nunda sesuatu.

11. Bila Anda melihat ada kebiasaan buruk dan dapat memalingkan Anda untuk terus maju mencapai tujuan, obatilah kebiasaan itu dan gantilah dengan yang lebih baik. Jangan memiliki kebiasaan yang dapat menguasai diri Anda kecuali kebiasaan yang benar dan bermanfaat. Kebiasaan adalah sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa mengerahkan pikiran dengan sungguh sungguh atau upaya fisik. Kebiasaan dapat diusahakan, dan karena itu memiliki kemungkinan untuk diubah dan diganti bila diperlukan, walaupun pada awalnya terasa sulit. Barangsiapa yang membiasakan diri berbuat kebaikan, beraktifitas dan berproduksi maka ia akan terbiasa dengannya. Barangsiapa yang membiasakan diri berbuat ke-rusakan di muka bumi, berbuat yang tidak baik dan bermalas-malasan maka ia akan terbiasa dengan hal tersebut.

12. Jadikanlah nilai-nilai dan dasar-dasar keyakinan di atas segala tawaran, dan jadikan sebagai petunjuk pada setiap kegiatan hidup Anda. Bila tidak demikian, kita berlindung kepada Allah-maka Anda adalah orang pertama yang mengejek diri Anda sendiri walaupun orang lain menghormati dan menyanjung diri Anda.

13. Biasakan diri Anda untuk selalu mencari kebenaran. Hindarilah kemunafikan dalam segala bentuk dan rupanya. Berbicaralah dengan kalimat yang terang, dengan penuh sopan santun, lembut dan jujur. Tumbuhkan kemampuan untuk memutuskan sesuatu ketika jalan terpecah menjadi dua antara kebenaran dan kebatilan.

14. Ketika menunggu suatu hasil pekerjaan, hadapilah dengan keberanian, sabar, hati yang teguh, tanggung jawab dan menyerahkan segala yang hasilnya kepada Tuhan. Hendaknya Anda mengetahui bahwa apa saja yang mengenai Anda tak mungkin terhindar dari Anda, dan apa yang terlepas dari Anda tak mungkin mengenai Anda. Pena pencatat amal telah diangkat dan buku catatan telah kering (semua telah berlalu). Waspadalah, jangan terlalu banyak mengeluh dan gelisah, karena keduanya merupakan sifat orang lemah. “Hal yang paling buruk pada seseorang adalah rakus, yang selalu merasa gelisah dan penakut yang tidak tahu malu.”

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az Zumar ayat 10).

15. Janganlah kepribadian Anda seperti kaca transparan, yang mudah sekah tersingkap sesuatu di baliknya dan diketahui hakikatnya oleh orang yang hanya lewat jalan. Dalam kehidupan ini banyak orang yang ingin ikut campur masalah orang lain dan datang dalam permasalahan tersebut tanpa diundang, bahkan ada yang lebih buruk lagi. Oleh karena itu buatlah pintu yang kuat dan penjaga yang dapat dipercaya yang dapat dijadikan temp at berkonsultasi dalam segala permasalahan Anda, yang dapat dibuka pada waktu yang tepat sesuai kebutuhan untuk orang yang memang ahli dalam masalah tersebut, dan dapat ditutup ketika perlu ditutup.

Perlu ada latihan untuk menjaga perasaan diri dan tidak mudah lepas menampakkan sesuatu bila hal tersebut tidak baik. Anda bisa menjaganya dengan ketenangan Anda, dan mengikat hati ketika berhadapan dengan sikap yang dapat mengobarkan dan menggerakkannya. Pilihlah kalimat-kalimat dalam berbicara dengan meminta pertolongan pada ketenangan dan ikatan hati tersebut. Ringkasnya, hendaknya ungkapan kata-kata Anda tidak menampakkan kobaran hati Anda.

16. Jadikan Nabi Muhammad saw. sebagai teladan dan contoh yang paling tinggi, sebab beliau adalah orang yang telah sampai pada derajat manusia paling sempuma. Bila Anda mencari pemecahan masalah kehidupan sehari-hari Anda, Anda dapat mencarinya dalam sejarah perjalanan Nabi Muhammad saw. yang cemerlang. Hal ini menuntut Anda untuk selalu mempelajari dan mengkaji per-jalanan hidup beliau.

17. Persenjatai selalu diri Anda dengan semangat humor dan keceriaan, tetapi jangan terlalu tenggelam dan berlebih-lebihan. Bila permasalahan Anda telah gelap gulita, tersenyumlah kepadanya: karena bersedih dan mengerutkan dahl dapat menghancurkan jiwa, meletih-kan tubuh dan mengacaukan pikiran.

18. Hindarilah hayalan-hayalan dan angan angan yang tidak terkendali dan melayang-layang ke langit, juga hendanlah pesimistis yang melampaui batas yang dapat menghancurkan cita-cita. Jadilah orang yang berada di tengah tengah antara dua hal tersebut, gabungkan antara hayalan dan kenyataan.

Kekanglah lompatan hati dengan pan-dangan akal. Nyalakan cahaya akal dengan lidah api hati. Biasakan agar hayalan-hayalan itu sesuai dengan hakikat dan realita, dan ungkaplah hakikat dengan berdasar hayalan-hayalan yang elok dan berkilau.

19. Jangan tenggelam pada hal-hal yang sifatnya pelengkap (sekunder atau lux), sebab bisa-bisa Anda akan hancur dalam kemewahan. Akan tetapi, berbekallah dengan perhiasan yang mencukupi perjalanan Anda menuju tujuan. Jangan memberi beban yang terlalu berat pada bahu Anda. “Jangan hidup terlalu mewah, sesungguhnya kenikmatan itu tidak akan kekal.” Orang yang menjadi tawanan kesenangan (syahwat) dan kenikmatan maka ia akan kesulitan meninggalkannya, lalu ia akan menjadi lembek dan lemah.

20. Terakhir, ketahuilah bahwa setiap manusia memiliki kekurangan (kelemahan) dan kelebihan (kekuatan). Setiap orang adalah yang lebih mengetahui hakikat dirinya, selama ia tidak sombong atau bersikap bodoh. Orang yang berakal dan diberi petunjuk adalah orang yang mengarahkan hidup, pekerjaan dan spesialisasinya pada sesuatu yang memiliki kekuatan pad a dirinya, dan ia akan menjauhkan diri dan hidupnya dari titik-titik kelemahan.

Banyak sekali mutiara yang menyilaukan pandangan dengan cahaya yang jernih dan cantik, tapi ia merendahkan diri dengan bertempat di gua-gua di dasar lautan yang gelap. Banyak sekali bunga yang setia menempel pada batangnya di padang pasir, menebarkan bau harumnya bersama dengan bertebarannya debu di padang sahara. Seandainya kedua hal tersebut ditemukan dan diketahui orang, maka keadaan mereka berdua akan lain sekali.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-30 Saya Harus Mengislamkan Akidah Saya

Fathi-Yakan-2.jpg

Bagian pertama buku yang berjudul Apa Artinya Saya Mengaku Muslim ini memaparkan karakteristik terpenting yang harus ada pada diri seseorang agar ia menjadi Muslim sejati.

Pengakuan sebagai Muslim bukanlah klaim terhadap pewarisan, bukan klaim terhadap suatu identitas, juga bukan klaim terhadap suatu penampilan lahir, melainkan pengakuan untuk menjadi penganut Islam, berkomitmen kepada Islam, dan beradaptasi dengan Islam dalam setiap aspek kehidupan.

Berikut ini akan kami jelaskan secara ringkas karakteristik paling menonjol yang harus ada pada diri seorang muslim agar pengakuannya sebagaimana penganut agama ini merupakan pengakuan yang benar dan jujur.

Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. (Al-Haj: 78)

Adapun karakteristik yang harus dimiliki agar menjadi seorang Muslim sejati adalah sebagai berikut.

Pertama: Saya Harus Mengislamkan Akidah Saya

Syarat pertama pengakuan sebagai Muslim dan sebagai pemeluk agama ini adalah hendaknya akidah selaras dengan apa  yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Ia harus mengimani apa yang diimani oleh kaum Muslimin pertama, para salafusaleh, dan para imam yang telah diakui kebaikan, kesalehan, ketakwaan, dan pemahaman mereka yang lurus mengenai agama Allah Azza wa Jalla.

Untuk mengislamkan akidah saya, maka konsekuensinya adalah sebagai berikut :

Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Mahasuci Allah yang mempunyai ‘Arsy dari apa yang mereka sifatkan. (Al Anbiya’: 22)

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Mahatinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Tuhan (Yang memounyai) ‘Arsy yang mulia (Al-Mukminun: 115-116).

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul di tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah taghul itu,” maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. (an-Nahl: 36)

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi Rezki, Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kukuh. (Adz-Dzariat: 56-58)

Segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka. (Asy-Syura: 7)

Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syams: 7-10)

Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nyalah aku bertawakal dan kepada-Nya-lah aku kembali. (Asy-Syura: 10)

Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama –seratus kurang satu- tidak seorangpun menghafalnya kecuali ia masuk surge. Dia witir dan mencintai apa yang witir (ganjil) (HR. Bukhari Muslim)

Berpikirlah tentang ciptaan Allah, tetapi jangan berpikir tentang Allah, karena kalian tidak mungkin mengenal dengan sebenar-benar pengetahuan mengenai-Nya. (HR Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dan Al Ashbahani dalam At Targhib wa At Tarhib)

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah taghut itu.” (An-Nahl: 36)

Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. (An-Nur: 52)

Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya, yang tidak tampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar (Al-Mulk: 12)

Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (Ar Ra’ad: 28)

Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Quran), Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapatkan petunjuk. (Az Zukhruf: 36-37)

Dr. Brill telah mengakui hal itu, ketika ia mengatakan, “Seorang agamis sejati tidak akan pernah menderita sakit jiwa sama sekali.” Dale Carnegie, seorang psikolog, mengatakan, “Para dokter jiwa mengetahui bahwa keimanannyang kuat dan keteguhan memegang ajaran agama memberikan jaminan untuk mengatasi kerisauan dan kegelisahan serta menyembuhkan berbagai macam penyakit.”

Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (At-Taubah: 24)

Juga karena saya sangat ingin memperoleh manisnya iman yang telah diisyaratkan oleh “Rasul Agung Saw.” dengan sabda beliau,

Ada tiga hal, siapa yang pada dirinya ada ketiga hal itu maka ia pasti mendapatkan kemanisan iman: hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada yang lain; hendaklah ia mencintai seseorang, ia tidak mencintainya kecuali karena Allah; dan hendaklah ia membenci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana ia tidak suka untuk dilemparkan ke dalam neraka.”

Sikap ini akan menumbuhkan  kekuatan dan spirit di dalam diriku yang bisa memudahkanku dalam menghadapi berbagai kesulitan.

Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. (Ath-Thalaq: 3)

Ia juga merupakan salah satu hal paling indah yang telah dipesan oleh Rasul Saw. kepada kita,

Jagalah Allah, niscaya Ia menjagamu; jagalah Allah, niscaya kamu mendapati-Nya di hadapanmu; jika kamu meminta, maka mintalah kepada Allah; dan jika kamu meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya seluruh umat ini berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak bisa memberikan manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah ditulis Allah untukmu; dan seandainya mereka berkumpul untuk menimpakan suatu mudarat kepadamu, niscaya mereka tidak dapat menimpakan mudarat apapun kepadamu kecuali dengan apa yang telah ditulis Allah akan menimpamu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering. (HR. Tirmidzi)

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia member kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur. (An-Nahl: 78)

Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka darinya mereka makan. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air. Supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur? (Yasin: 34-35)

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang bersyukur untuk memberikan tambahan nikmat, sebagaimana Ia telah mengancam orang-orang ingkar untuk memberikan tambahan kerugian.

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)

Dan barang siapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa’: 110)

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya dirinya sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka  dan siapa lagi yang dapat mengampuni  dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka. (Ali Imran: 135-136)

Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempat. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenanm. Dan tiadan(pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al Mujadilah: 7)


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-30 Pengantar Fikih Sunnah Edisi Terjemah

Sayyid-Sabiq.jpg

Bismillahir rahmaanir rahiim. Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Fiqih adalah sekumpulan hukum yang dipahami dari dalil-dalil. Adalah hak kita untuk selalu bertanya apa dalil yang melandasi suatu kesimpulan fiqih. Memahami masalah fiqih dengan mengetahui dalil yang menjadi landasannya menjadikan kita tenang dalam beragama, terutama dalam beribadah. Kita lebih merasa mengikuti petunjuk-petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

Buku Fiqih Sunah yang dikarang pada tahun 1356 H atau 1946 M merupakan buku fiqih sederhana yang memakai metode “Fiqih dalil”. Setiap permasalahan fiqih akan disertai dalil baik dari Al Qur’an, As Sunnah, Al Ijma’ atau dalil-dalil fiqih yang lain seperti Al Qiyas, Qaul Shahabi dan lainnya.

Walaupun sederhana buku ini mencakup berbagai masalah fiqih yang biasa kita hadapi dalam keseharian. Mungkin tidak berlebihan kalau kita mengatakan bahwa dengan membaca buku Fiqih Sunah kebutuhan kita tentang fiqih sudah terpenuhi.

Di samping itu, masalah-masalah fiqih dalam buku ini dipaparkan dengan gaya bahasa yang mudah dicerna dan lengkap. Lebih dari itu, sang penulis berusaha untuk tidak mengangkat perbedaan pendapat yang terjadi di antara para ulama. Namun, jika situasi mengharuskan, maka Sayyid Sabiq mengemukakannya dengan sekilas.

Fiqih Sunah diterbitkan judul perjudul, tidak diterbitkan dalam bentuk buku tiga jilid sekaligus. Sejak mulai diterbitkan, buku ini tidak mengalami revisi. Sayyid sabiq meninggal tanggal 23 Zulqa’dah 1420 H atau 27 Februari 2000 M tidak pernah menarik pendapat-pendapatnya dalam buku ini. Hal ini menunjukkan bahwa pengarang Fiqih Sunah tidak menemukan dalil yang mengharuskan beliau untuk menarik pendapatnya dan menggantikannya.

Sambutan masyarakat Indonesia terhadap buku ini sangat mengembirakan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya usaha penerjemahan yang dilakukan oleh berbagai penerbit yang berbeda-beda dengan tim penerjemah yang berbeda pula.

Perhatian ulama terhadap buku ini cukup besar. Beberapa kritik pun dilontarkan. Di antara kritik terhadap buku ini adalah “buku ini tidak bermadzhab.” Namun, sesungguhnya, buku ini tidak bisa dikatakan tidak bermadzhab karena buku ini tidak menyerang mazhab dan tidak menyatakan setuju dengan mazhab.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, seorang Muhaddits yang terkenal, mengkritik buku ini dengan mengarang buku dengan judul Tamamul Minnah bit Ta’liq Ala Fiqhis Sunnah. Inti dari kritikan beliau tercakup dalam dua hal:

Pertama, berkenaan dengan hadits yang ia pakai berasal dari buku para ulama terdahulu. Ia tidak berusaha untuk men-tahqiq dan memilahnya karena berprinsip pada kaidah “Setiap ilmu yang diambil dari ahlinya bisa diterima”. Syaikh Al Albani berbeda pendapat dengan Syaikh Sayyid Sabiq dalam hadits tentang kewajiban zakat perdagangan. Menurut Syaikh Al Albani hadits tersebut dhaif.

Kedua, perbedaan sumber fiqih antara keduanya. Syaikh Al Albani cenderung mengikuti makna tersurat (zhahiru an nash) dari teks hukum, sedangkan Syaikh Sayyid Sabiq lebih dekat pada maqashid nash (tujuan makna nash -red). Syaikh Al Albani tidak segan berbeda pendapat dengan jumhur ulama terdahulu, seperti dalam pengharaman emas bagi wanita, sedangkan Syaikh Sayyid Sabiq biasanya menghormati pendapat jumhur ulama.

Berbeda pendapat dalam fiqih suatu hal yang wajar. Mengumpulkan umat dalam satu fiqih merupakan suatu hal yang mustahil. Solusi dari ini semua adalah saling menghormati dalam hal perbedaan pendapat dalam fiqih selama ada dalil yang dipegang. Imam Malik beberapa abad yang lalu sudah memahami hal ini. Beliau pernah menolak keinginan Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk memaksa umat untuk berpegang pada satu madzhab, menghapus madzhab fiqih yang lain dan menjadikan mazhab Malik dan kitab Al Muwaththa’ sebagai satu-satunya madzhab dan satu-satunya kitab fiqih.

Hal ini disebabkan karena ruang lingkup fiqih adalah masalah-masalah ijtihad. Tidak ada kepastian kebenaran dalam masalah-masalah ijtihad. Ijtihad seorang mujtahid bukanlah suatu kebenaran (al haq) yang mutlak. Oleh karena itu, dalam wacana ijtihad yang dipakai bukan kalimat al haq dan al bathil. Namun ash shawab dan al khata’.

“Seorang Hakim apabila menghukumi sesuatu dan berijtihad kemudian tepat, maka ia mendapatkan dua pahala, kalau salah mendapat satu pahala.” (Sunan At Tirmidzi)

Ash shawab mengandung makna tepat sasaran. Sasaran yang dimaksud adalah sesuai dengan yang Allah inginkan, sedangkan al khata’ tidak mengenai sasaran.

Para Imam Al Mujtahidin menolak kalau pendapat mereka adalah al haq yang sudah pasti, Imam Abu Hanifah pernah ditanya, “Apakah hasil ijtihadmu ini sebuah kebenaran yang sudah pasti dan tidak ada keraguan di dalamnya?”

Al Imam Al Mukhlis menjawab, “Saya tidak tahu, mungkin saja kebatilan yang tidak diragukan lagi.”

Secara jujur kita mengatakan bahwa buku Fiqih Sunnah bukanlah buku fiqih yang paling benar. Mungkin saja terdapat kekeliruan di dalamnya. Apabila kita mendapatkan dalil yang lebih kuat atau mendapatkan hadits yang dipakai lemah, maka kita berhak untuk tidak mengambil pendapat tersebut. Sebab, niat syiar kita dalam fiqih adalah

“Hai orang-orang yg beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama.”

(An Nisa’ : 59)

Wallahu ‘Alam.

DR. Mohamad Taufik Hulaimi, M.A. M.Ed.


sumber: hasanalbanna.id

2012-01-30 Celaan Terhadap Al Quran

Muhibuddin-Al-Khatib.jpg

Sampai pun Al Quran Al Karim, yang semestinya menjadi rujukan penyatu antara kita dan mereka dalam upaya pendekatan diri kepada persatuan, akan tetapi ternyata prinsip-prinsip agama mereka tegak di atas penakwilan ayat-ayatnya dan memalingkan artinya kepada pemahaman yang tidak pernah dipahami oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam , dan kepada pemahaman yang tidak pernah dipahami oleh para imam kaum muslimin semoga Allah merahmati mereka- dari generasi yang padanya diturunkan Al Quran.

Bahkan salah seorang ulama terkemuka kota Najef, yaitu Haji Mirza Husain bin Muhammad Taqi An Nuri At Thabarsy, seorang figur yang mereka agungkan sampai-sampai ketika ia wafat pada tahun 1320 H, mereka menguburkannya di kompleks pemakaman Al Murtadhawi di kota Najef, di singgasana kamar Banu Al Uzma binti Sultan An Nashir Lidinillah, yang berupa teras kamar yang menghadap ke Kiblat yang terletak di sebelah kanan setiap orang yang masuk ke halaman Al Murtadhawi dari pintu kiblat di kota Najef Al Asyraf. Suatu tempat paling suci bagi mereka. Ulama kota Najef ini pada tahun 1292 H di saat ia berada di kota Najef di sisi kuburan yang dinisbatkan kepada Imam Ali -semoga Allah memuliakan wajahnya- menuliskan sebuah buku yang ia beri judul: “Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab.” (Makna judul buku ini: “Keterangan Tuntas Seputar Pembuktian Terjadinya Penyelewengan Pada Kitab Tuhan Para Raja” -pent). Ia mengumpulkan beratus-ratus nukilan dari ulama-ulama dan para mujtahid Syi’ah di sepanjang  masa yang menegaskan bahwa Al Quran Al Karim telah ditambah dan dikurangi.

Buku karya At Thabarsi ini telah diterbitkan di Iran pada tahun 1289  H, dan kala itu buku ini memancing terjadinya kontroversi. Hal ini karena dahulu mereka menginginkan agar upaya menimbulkan keraguan tentang keaslian Al Quran hanya diketahui secara terbatas oleh kalangan tertentu dari mereka, dan tersebar di beratus-ratus kitab-kitab mereka, dan agar hal ini tidak dikumpulkan dalam satu buku yang dicetak dalam beribu-ribu eksemplar dan akhirnya dibaca oleh musuh mereka, sehingga buku tersebut menjadi senjata atas mereka yang dapat disaksikan oleh setiap orang. Tatkala para tokoh mereka menyampaikan kritikan ini, penyusun kitab ini menentang mereka, dan kemudian ia menuliskan kitab lain yang ia beri judul: Raddu Ba’dhis Syubhaat ‘An Fashlil Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab (Makna judul buku ini: Bantahan Terhadap Sebagian Kritikan Kepada kitab “Keterangan Tuntas seputar pembuktian terjadinya penyelewengan pada kitab Tuhan para raja”. -pent). Ia menuliskan pembelaan ini pada akhir hayatnya, yaitu dua tahun sebelum ia wafat.

Sungguh kaum Syi’ah telah memberikan penghargaan kepadanya atas jasanya membuktikan bahwa Al Quran telah mengalami penyelewengan, yaitu dengan menguburkannya di tempat istimewa dari kompleks pemakaman keturunan Ali di kota Najef. Dan di antara hal yang dijadikan bukti oleh tokoh kota Najef ini bahwa telah terjadi kekurangan pada Al Quran, ialah pada hal: 180, ia menyebutkan satu surat yang oleh kaum Syi’ah disebut dengan nama “Surat Al Wilayah”, pada surat ini ditegaskan kewalian sahabat Ali:

يأيها الذي آمنوا آمنوا بالنبي والولي اللذين بعثناهما يهديانكم إلى ال  (*)  صراط المستقيم …إلخ

“Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah engkau dengan seorang nabi dan wali yang telah Kami utus guna menunjukkan kepadamu jalan yang lurus…dst.”[2]

Demikianlah surat Syi’ah, gaya bahasanya buruk, lucu lagi tidak fasih, ditambah lagi kesalahan fatal dalam ilmu nahwu, membuktikan bahwa itu adalah surat non Arab, hasil rekayasa orang-orang non Arab Persia yang dungu, sehingga mereka mempermalukan diri sendiri dengan menambahkan surat ini. Inilah “Al Quran” yang dimiliki kaum Syi’ah, terdapat kesalahan, dengan gaya bahasa non Arab dan menyalahi ilmu nahwu! Adapun Al Quran milik kita –Ahlusunnah wal Jama’ah- adalah Al Quran dengan bahasa Arab yang nyata tidak ada kesalahan, sarat dengan rasa manis, dan keindahan, bak sebuah pohon yang penuh dengan buah, dan akarnya menghunjam ke dalam bumi, sebagai petunjuk bagi orang yang beriman, penyembuh, sedangkan orang-orang yang tidak beriman telinga mereka tuli dan mata mereka buta.

Dan seorang yang dapat dipercaya, yaitu Ustadz Muhammad Ali Su’udi -beliau adalah kepala tim ahli di Departemen Keadilan di Mesir, dan salah satu murid terdekat Syaikh Muhammad Abduh- berhasil menemukan “Mushaf Iran” yang masih dalam bentuk manuskrip yang dimiliki oleh orientalis Brin, kemudian beliau menukil surat tersebut dengan kamera. Di atas teks Arabnya terdapat terjemahan dengan bahasa Iran (Persia), persis seperti yang dimuat oleh At Thabarsi dalam bukunya: “Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab.”

Surat ini juga dapat ditemukan dalam buku mereka yang berjudul “Dabistan Mazahib” dengan bahasa Iran (Persia), hasil karya Muhsin Fani Al Kasymiri, buku ini dicetak di Iran dalam beberapa edisi. Surat palsu ini juga dinukilkan oleh seorang pakar sekaligus orientalis yang bernama Noldekh dalam bukunya “Tarikh Al Mashahif” (Sejarah Mushaf-mushaf) jilid: 2 hal: 102, dan yang dipublikasikan oleh Harian Asia-Prancis pada tahun 1842 M, pada hal: 431-439.

Sebagaimana tokoh kota Najef ini berdalil dengan surat Al Wilayah atas terjadinya perubahan pada Al Quran, ia juga berdalil dengan riwayat yang termaktub pada hal: 289, dari kitab “Al Kafi” (Judul lengkap Kitab ini ialah: Al Jami’ Al Kafi, karya Abu Ja’far Ya’qub Al Kulaini Ar Razi) edisi tahun 1287 H, Iran -kitab ini menurut mereka sama kedudukannya dengan “Shahih Bukhari” menurut kaum Muslimin. Pada halaman tersebut dalam kitab Al Kafi termaktub sebagaimana berikut:

“Beberapa ulama kita meriwayatkan dari Sahl bin Ziyad, dari Muhammad bin Sulaiman, dari sebagian sahabatnya, dari Abu Hasan ‘alaihis salaam -maksudnya Abu Hasan kedua, yaitu Ali bin Musa Ar Ridha, wafat pada thn 206- ia menuturkan: “Dan aku berkata kepadanya: Semoga aku menjadi penebusmu, kita mendengar ayat-ayat Al Quran yang tidak ada pada Al Quran kita sebagaimana yang kita dengar, dan kita tidak dapat membacanya sebagaimana yang kami dengar dari anda, maka apakah kami berdosa? Maka beliau menjawab: Tidak, bacalah sebagaimana yang pernah kalian pelajari, karena suatu saat nanti akan datang orang yang mengajari kalian.”

Tidak diragukan bahwa ucapan ini merupakan hasil rekayasa kaum Syi’ah atas nama imam mereka Ali Bin Musa Ar Ridha. Walau demikian ucapan ini merupakan fatwa bahwa penganut Syi’ah tidak berdosa bila membaca Al Quran sebagaimana yang dipelajari oleh masyarakat umum dari Mushaf Utsmani, kemudian orang-orang tertentu dari kalangan Syi’ah akan saling mengajarkan kepada sebagian lainnya hal-hal yang menyelisihi Mushaf tersebut, berupa hal-hal yang mereka yakini ada atau pernah ada pada mushaf-mushaf para imam mereka dari kalangan Ahlul Bait (keturunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam ).

Teks Lengkap Surat Al Wilayah

Pada buku aslinya, di halaman ini dimuat (Surat Al Wilayah) yang berhasil diperoleh dengan kamera dari salah satu Mushaf Iran, dan pada setiap kata terdapat terjemahannya dalam bahasa Persia:

يأيها الذين آمنوا آمنوا بالنبي وبالولي الذين بعثناهما يهديانكم إلى صراط مستقيم #

نبي وولي بعضهما من بعض وأنا العليم الخبير # إن الذين يوفون بعهد الله لهم

جنات النعيم # والذين إذا تليت عليهم آياتنا كانوا بآياتنا مكذبين # إن لهم في

جهنم مقاما عظيما إذا نودي لهم يوم القيامة أين الظالمون المكذبون للمرسلين # ما

خالفهم المرسلين إلا بالحق وما كان الله ليظهرهم إلى أجل قريب وسبح بحمد ربك

وعلي من الشاهدين#

“Seorang Nabi dan wali sebagian mereka dan sebagian lainnya adalah sama, sedangkan Aku adalah Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang memenuhi janji Allah, mereka akan mendapatkan surga yang penuh dengan kenikmatan. Sedangkan orang-orang yang bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka mendustakan ayat-ayat Kami, sesungguhnya mereka akan mendapatkan kedudukan yang besar dalam neraka Jahanam. Bila diseru kepada mereka: Manakah orang-orang yang  berbuat lalim lagi mendustakan para rasul: apa yang menjadikan mereka menyelisihi para rasul? melainkan dengan kebenaran, dan tidaklah Allah akan menampakkan mereka hingga waktu yang dekat. Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sedangkan Ali termasuk para saksi.”

Al Quran yang mereka yakini, dan yang mereka rahasiakan di kalangan mereka, dan tidak dipublikasikan, dalam rangka menerapkan ideologi At Taqiyah, seandainya seluruh ulama-ulama besar Syi’ah tidak meyakini bahwa Al Quran telah di selewengkan, mustahil mereka menyifati penulis buku yang memuat dua ribu hadits yang membuktikan penyelewengan Al Quran dengan berbagai sifat yang terpuji, misalnya ucapan mereka: semoga Allah menyucikan ruhnya, atau dia adalah imam para ahli hadits, Seandainya mereka meyakini selain ini, niscaya mereka akan ramai-ramai membantahnya, atau menentangnya, atau memvonisnya sebagai ahli bid’ah atau orang kafir karena masih adakah keislaman bagi orang yang mengatakan bahwa Al Quran telah mengalami penyelewengan?! Upaya perbandingan antara Al Quran tersebut dengan Al Quran yang telah diketahui oleh setiap orang dan menyebar luas dan yang termaktub pada Al Mushaf Al Utsmani, adalah alasan yang mendorong Husain bin Muhammad Taqi An Nuri At Thabarsi untuk menuliskan bukunya yang berjudul: “Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab.”[3]

Apapun perihalnya, bukan hanya An Nuri At Thabarsi pemuka para imam ahli hadits dan rijal (biografi ulama’) seorang yang menyatakan bahwa Al Quran telah diselewengkan, didapatkan ada imam-imam (Syi’ah) terkemuka lainnya yang sekelas dengannya menyatakan hal yang sama, misalnya Al Kulainy, penulis buku Al Kafi dan Ar Raudhah, Al Kummi penulis buku tafsir yang disebut oleh An Najasyi dalam buku Rijalun Najasi pada hal: 183: “Ia memiliki kredibilitas tinggi (tsiqah) dalam hal hadits dan kuat hafalannya, dapat dipercaya dan benar mazhabnya”, dan juga Syaikh Mufid yang dinyatakan oleh An Najasyi dalam Rijalun Najasi hal: 284: “Keahliannya dalam hal ilmu fikih, riwayat, kredibilitas (tsiqah) dan ilmu secara umum telah diketahui oleh setiap orang”, dan ia juga dipuji oleh sayid Muhsin Al Amin dalam bukunya “A’ayanus Syi’ah” jilid 1/237, dan juga Al Kasy, Al Ardubily, dan juga Al Majlisy.

Seandainya seluruh tokoh terkemuka kaum Syi’ah tidak meyakini terjadinya penyelewengan pada Al Quran, mustahil mereka memuji orang yang telah menuliskan sebuah buku yang menyebutkan dua ribu hadits yang membuktikan penyelewengan Al Quran dengan berbagai pujian ini, misalnya mereka menyebutnya dengan: Semoga Allah menyucikan jiwanya, atau dia adalah imam para ahli hadits. Seandainya mereka meyakini kebalikannya, niscaya mereka membantahnya, atau mencelanya, atau memvonisnya sebagai ahli bid’ah atau mengafirkannya… karena apakah yang masih tersisa setelah seseorang meyakini bahwa Al Quran telah diselewengkan?

Walaupun kaum Syi’ah berusaha untuk mengesankan bahwa mereka berlepas diri dari buku An Nuri At Thabarsi dalam rangka menerapkan ideologi At Taqiyah, akan tetapi buku tersebut memuat beratus-ratus nukilan dari ulama’ mereka yang terdapat pada buku-buku mereka yang terpercaya. Suatu hal yang membuktikan dengan pasti bahwa mereka meyakini dan beriman dengan adanya penyelewengan. Hanya saja mereka tidak menginginkan terjadinya kontroversi seputar keyakinan mereka tentang Al Quran.

Dengan demikian, ada dua Al Quran: yang pertama Al Quran yang telah menyebar luas dan diketahui oleh setiap orang, dan yang kedua: Al Quran khusus yang tersembunyi, yang di antara isinya ialah surat Al Wilayah. Dan dalam hal ini mereka mengamalkan pesan yang mereka rekayasa atas nama salah seorang imam mereka, yaitu Ali bin Musa Ar Ridha: “Bacalah sebagaimana yang pernah kalian pelajari, karena suatu saat nanti akan datang orang yang mengajari kalian!!”

Di antara ayat yang menurut kaum Syi’ah telah dihapuskan dari Al Quran ialah ayat:

وجعلنا عليا صهرك

“Dan Kami jadikan Ali sebagai menantumu.”

Mereka beranggapan bahwa ayat ini telah dihapuskan dari surat Alam Nasyrah. Mereka tidak merasa malu dengan anggapan ini! Padahal mereka mengetahui bahwa surat ح Alam Nasyrah  adalah surat Makkiyah (Surat Makkiyah ialah surat yang diturunkan semasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam masih berada di kota Makkah dan sebelum berhijrah ke kota Madinah) sedangkan yang menjadi menantu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam kala itu ialah Al ‘Ash bin Al Rabi’ Al Umawi, ia pernah dipuji oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dari atas mimbar masjid Nabawi As Syarif, tatkala sahabat Ali radhiallahu ‘anhu berencana menikahi anak wanita Abu Jahl sebagai madu bagi istrinya Fatimah radhiallahu ‘anha. Oleh sebab itulah Fatimah mengadukan suaminya Ali bin Abi Thalib kepada ayahnya yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam . (Pujian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam kepada menantunya Al ‘Ash bin Al Rabi’ Al Umawi ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. -pent)

Dan bila sahabat Ali adalah menantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam karena menikahi salah seorang putri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka Allah ta’ala telah menjadikan sahabat Utsman bin Affan juga sebagai menantu Beliau karena telah menikahi dua putrinya, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda kepadanya ketika istri keduanya (Ummu Kultsum) meninggal dunia:

لو كانت لنا ثالثة لزوجناكها

“Seandainya aku memiliki anak wanita ketiga, niscaya akan aku nikahkan engkau dengannya.” (Kisah ini disebutkan oleh Ibnu Atsir dalam kitabnya Usudul Ghabah 1/749 & 1458 -pent).

Tokoh mereka yang bernama Abu Manshur Ahmad bin Ali bin Abi Thalib At Thabarsi -salah seorang syaikh Ibnu Syahruasyub wafat thn 588 H dalam bukunya: “Al Ihtijaj ‘Ala Ahli Al Lijaaj” menyebutkan bahwa sahabat Ali pada suatu hari berkata kepada salah seorang zindiq (kaum sesat) -ia tidak menyebutkan namanya-: “Adapun sikapmu yang tidak peduli dengan firman Allah ta’ala:

 “Dan bila kamu tidak akan dapat berlaku adil terhadap wanita yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu suka.” (QS. An Nisa: 3)

Tidak ada kaitan antara berbuat adil kepada anak-anak yatim dengan menikahi wanita, dan tidaklah setiap wanita itu yatim. Ayat yang sebenarnya ialah apa yang telah aku kemukakan kepadamu, bahwa kaum munafik[4] telah menghapuskan berbagai perintah dan kisah dari Al Quran yang terletak antara firman Allah tentang anak-anak yatim hingga firman Allah tentang menikahi wanita, sebanyak lebih dari sepertiga Al Quran!?

Tidak diragukan bahwa kisah ini bagian dari kedustaan mereka atas nama sahabat Ali radhiallahu ‘anhu, dengan bukti beliau sendiri tidak pernah mengumumkan sepanjang masa kepemimpinannya atas kaum muslimin sepertiga Al Quran yang telah dihapuskan dari tempat ini, dan tidak juga memerintahkan kaum muslimin untuk menuliskannya kembali, atau mempelajari dan mengamalkan kandungannya.

Dan tatkala pertama kali buku “Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab” terbit dan beredar di tengah-tengah kaum Syi’ah dan lainnya di Iran, Nejef dan negri lainnya kurang lebih delapan puluh tahun silam – sedangkan buku ini penuh dengan puluhan bahkan ratusan kisah-kisah palsu atas nama Allah dan hamba-hamba pilihan-Nya semacam ini- kaum misionaris; musuh-musuh Islam bergembira dan segera menerjemahkannya ke berbagai bahasa mereka. Fenomena ini disebutkan oleh Muhammad Mahdi Al Ashfahani Al Kazhimi pada jilid 2 hal: 90 dari bukunya yang berjudul: “Ahsanul Wadi’ah”, yang merupakan penyempurna buku: “Raudhatul Jinan.”

Ada dua teks yang jelas dalam buku yang sederajat dengan Shahih Bukhari menurut mereka, yaitu buku “Al Kafi” karya Al Kulaini, teks pertama pada hal: 54, edisi thn 1278 H di Iran, yaitu, “Dari Jabir Al Ju’fi, ia menuturkan: Aku pernah mendengar Abu Ja’far ‘alaihissalaam berkata: Tidaklah ada seseorang yang mengaku telah menghafal Al Quran semuanya sebagaimana tatkala diturunkan melainkan ia adalah seorang pendusta, dan tidaklah ada orang yang berhasil mengumpulkan dan menghafalnya secara utuh sebagaimana ketika diturunkan selain Ali bin Abi Thalib dan para imam setelahnya.” Setiap orang Syi’ah yang membaca kitab “Al Kafi” ini –yang kedudukannya bagaikan Shahih Bukhari menurut Ahlusunnah- pasti mengimani teks ini.

Adapun kita Ahlusunnah, maka kita berkeyakinan: Sesungguhnya kaum Syi’ah telah berdusta atas nama Al Baqir Abu Ja’far rahimahullah dengan bukti sahabat Ali radhiallahu ‘anhu sendiri selama masa khilafahnya -padahal beliau berada di kota Kuffah- tidak pernah beramal selain dengan Mushaf yang telah dikumpulkan dan disebar luaskan serta ditetapkan untuk diamalkan di seluruh penjuru -sebagai karunia dari Allah ta’ala- oleh khalifah Utsman radhiallahu ‘anhu, hingga zaman kita dan hingga hari kiamat. Seandainya sahabat Ali radhiallahu ‘anhu memiliki mushaf lain, -sedangkan ia adalah seorang khalifah dan penguasa, di seluruh wilayah kekuasaannya tidak ada yang berani menentangnya- niscaya ia akan mengamalkannya, dan memerintahkan kaum muslimin untuk menyebar luaskan dan mengamalkannya. Dan seandainya ia memiliki mushaf lain, sedangkan ia menyembunyikannya dari kaum muslimin, maka ia adalah seorang pengkhianat terhadap Allah, Rasul-Nya dan agama islam!!

Sedangkan Jabir Al Ju’fi yang mengaku mendengar ucapan keji tersebut  dari Imam Abi Ja’far Muhammad Al Baqir, walaupun dianggap berkredibilitas tinggi (dapat dipercaya) menurut mereka, akan tetapi sebenarnya ia telah dikenal oleh imam kaum muslimin sebagai pendusta. Abu Yahya Al Himmani berkata: Aku mendengar Abu Hanifah berkata: Aku tidak pernah melihat dari orang-orang yang pernah aku temui seorang pun yang lebih utama dibanding ‘Atha’, dan tidak seorang pun yang lebih pendusta dibanding Jabir Al Ju’fi. (Silahkan baca makalah saya yang dimuat di Majalah Al Azhar hal: 307, edisi thn 1372 H).

Dan teks yang lebih nyata dustanya dibanding teks pertama dari Abu Ja’far yang terdapat pada buku “Al Kafi” ini, ialah teks dari anak beliau Ja’far As Shadiq rahimahullah ta’ala dan yang juga dimuat dalam Shahih Bukhari mereka “Al Kafi” hal: 57, edisi 1278 H Iran: “Dari Abi Bashir, ia menuturkan: Aku pernah masuk menemui Abu Abdillah (Ja’far As Shadiq)……hingga Abu Abdillah berkata: “Dan sesungguhnya kami memiliki Mushaf Fatimah ‘alaihas salaam …ia menuturkan: Aku pun bertanya: Apa itu Mushaf Fatimah? Ia menjawab: Mushaf seperti Al Quran kalian itu tiga kali lipat (tebalnya), dan sungguh demi Allah tidaklah ada padanya satu huruf pun dari Al Quran kalian.”

Teks-teks orang-orang Syi’ah yang dipalsukan atas nama imam-imam Ahlul Bait ada sejak zaman dahulu, karena telah dibukukan oleh Muhammad bin Ya’qub Al Kulaini Ar Razi dalam bukunya “Al Kafi” lebih dari seribu tahun yang lalu, dan teks-teks tersebut ada jauh-jauh hari sebelumnya; dikarenakan ia menukilkan teks tersebut dari pendahulunya, para tokoh pendusta para arsitek  pendiri paham Syi’ah.

Semasa Spanyol berada di bawah kekuasaan Bangsa Arab dan Islam, Imam Abu Muhammad ibnu Hazm beradu argumentasi dengan para pendeta Nasrani melalui teks-teks kitab mereka, dan beliau membuktikan kepada mereka bahwa kitab mereka telah mengalami penyelewengan dan bahkan kitab aslinya telah hilang. Maka para pendeta tersebut balik berdalil atas beliau bahwa kaum Syi’ah telah menetapkan bahwa Al Quran juga mengalami penyelewengan. Mendengar jawaban yang demikian, Ibnu Hazm menjawab mereka bahwa anggapan kaum Syi’ah tidak dapat dijadikan sebagai bukti atas Al Quran tidak juga atas kaum muslimin, karena kaum Syi’ah tidak termasuk kaum muslimin. Silahkan baca “Al Fishal Fi Al Milal wa An Nihal” karya Ibnu Hazm, jilid 2 hal: 78 dan juz 4 hal: 182, edisi pertama Al Kairo.

Satu fakta berbahaya yang kami merasa perlu untuk mengingatkan pemerintahan-pemerintahan Islam: bahwa prinsip paham Syi’ah Al Imamiyah Al Itsna ‘Asyariyah yang dikenal juga dengan Al Ja’fariyah berdiri di atas keyakinan bahwa seluruh pemerintah islam jejak wafatnya Nabi Shallallahu  ‘alaihi wa Salam hingga saat ini -terkecuali tahun-tahun kepemimpinan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu- merupakan pemerintahan yang tidak syar’i (tidak sah), dan tidak boleh bagi seseorang yang berpaham Syi’ah untuk memiliki rasa loyal dan ikhlas dalam hatinya kepada mereka. Mereka berkewajiban untuk selalu memusuhi mereka dan mewaspadai mereka! Hal ini karena mereka beranggapan bahwa kekuasaan pemerintahan tersebut, yang telah lalu, dan yang ada sekarang serta yang akan datang merupakan kekuasaan hasil rampasan. Penguasa yang sah dalam paham Syi’ah dan ideologi mereka hanya ada pada para imam dua belas semata, baik mereka langsung yang menjalankan kepemimpinan atau tidak. Adapun selain mereka yang memegang kepemimpinan, semenjak Abu Bakar, dan Umar hingga para khalifah setelahnya hingga saat ini, apapun jasanya untuk agama Islam, dan apapun perjuangannya dalam menebarkan agama Islam dan menegakkan kalimat Allah di muka bumi, dan memperluas negeri Islam, maka sebenarnya mereka itu adalah para penentang dan perampas kekuasaan hingga hari Kiamat!


[2] Kelanjutan surat ini -sebagaimana dapat anda lihat pada halaman selanjutnya- sebagai berikut: “Seorang Nabi dan wali sebagian mereka dan sebagian lainnya adalah sama, sedangkan Aku adalah Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang memenuhi janji Allah, mereka akan mendapatkan surga yang penuh dengan kenikmatan. Sedangkan orang-orang yang bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka mendustakan ayat-ayat Kami, sesungguhnya mereka akan mendapatkan kedudukan yang besar dalam neraka Jahanam. Bila diseru kepada mereka: Manakah orang-orang yang berbuat lalim lagi mendustakan para rasul: apa yang menjadikan mereka menyelisihi para rasul? melainkan dengan kebenaran, dan tidaklah Allah akan menampakkan mereka hingga waktu yang dekat. Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sedangkan Ali termasuk para saksi.”

[3] Salah seorang ulama’ terkemuka Syi’ah Agha Buzurk At Thahrany, penulis ensiklopedia Syi’ah yang telah masyhur “Az Dzari’ah Ila Tashanif As Syi’ah” menuturkan dalam bukunya: “Thabaqaat A’alaam As Syi’ah”, bagian kedua dari juz pertama, yang lebih dikenal dengan judul: “Nuqaba’ Al Basyar Fi Al Qarni Ar Rabi’ ‘Asyar”, pada hal: 544, cetakan Pustaka Al Ilmiah Najef 1375 H-1956 M, ia berkomentar tentang An Nuri At Thabarsy: “Ia adalah pemuka para imam ahli hadits dan rijal (biografi ulama’) pada generasi terakhir, dan termasuk ulama’ terkemuka Syi’ah, dan tokoh Islam terkemuka pada abad ini.”

[4] Yang dimaksudkan oleh Abu Manshur At Thabarsi dengan sebutan munafik ialah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mengumpulkan teks-teks Al Quran, dan yang diamalkan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib sepanjang masa khilafahnya. Seandainya kisah palsu yang ia rekayasa dalam bukunya “Al Ihtijaaj ‘Ala Ahli Al Lijaj” atas nama sahabat Ali benar-benar diucapkan oleh sahabat Ali radhiallahu ‘anhu, maka ini merupakan pengkhianatan beliau terhadap agama Islam, sebab ia menyimpan sepertiga Al Quran yang hilang dan ia tidak berusaha memunculkannya, tidak juga mengamalkannya tidak juga memerintahkan masyarakat untuk mempelajarinya, minimal semasa khilafahnya, padahal tidak ada alasan yang menghalanginya untuk melakukan hal itu. Ia menyembunyikan bagian dari Al Quran sebanyak ini dalam keadaan rela dan tanpa paksaan merupakan kekufuran, bila ucapan ini benar-benar beliau yang menuturkannya. Dari sini Anda dapat mengetahui bahwa Abu Manshur At Thabarsi penulis buku “Al Ihtijaaj ‘Ala Ahli Al Lijaj” dengan bukunya ini telah mencela sahabat Ali sendiri, dan ia menyebutnya telah berkhianat dan kafir, sebelum ia mencela sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain dan menyifati mereka dengan kemunafikan.


sumber: hasanalbanna.id