Skip to main content

2020-11-10 🛵 “akhi, antum berangkat ke luar kota untuk urusan dakwah.”

sumber : hafidin achmad luthfie @ facebook

bila perintah itu diberikan kepada anda apakah sikap anda?

apakah anda langsung terperangah dan gagap menjawab dengan;

  • “a a afwan ustadz, saya tak punya uang buat jalan dan meninggalkan uang belanja buat keluarga.”
  • atau anda langsung senyum kecut seraya berkata, “saya anu ustadz..anu..ada undangan walimah. “
  • atau anda memberikan jawaban sambil memelas, “ustadz afwan jiddan (memang ada apa bahasa arab afwan jiddan?  ) saya kurang tidur semalam. saya masih lelah. “

dan mungkin ada seribu jawaban untuk menolak dan minta udzur.

generasi dakwah era milenial, sependek pengamatan saya, adalah generasi yang paling banyak minta udzur. kondisi ini menjadi indikasi rendahnya militansi.

mari kita berkaca pada sejarah. tanpa berkaca pada sejarah kita tak tahu kualitas diri kita.

mush’ab bin umair rodhiyallaahu anhu adalah pemuda bangsawan. akalnya sangat cerdas. wajah sangat tampan. pakaian yang dikenakan sangat mahal. dan orangtuanya termasuk miliuner.

setiap gadis-gadis di makkah bermimpi bisa menjadi istrinya. top banget deh. bobot, bibit dan bebetnya.

tapi setelah masuk islam beliau lepaskan semua kesenangan dan kemewahan hidup.

tanah air, keluarga dan tempat tinggal nyaman beliau ditinggalkan. beliau mantap berjalan menuju madinah (yatsrib). menjadi daiyah pertama yang ditugaskan kesana.

di sana sahabat mush’ab hidup apa adanya. serba kekurangan. pakaian juga punya sekadarnya. bahkan ketika syahid dalam perang uhud beliau tak punya kain kafan yang mencukupi buat membungkus tubuhnya. bila kainnya ditarik buat menutup kakinya maka wajahnya terlihat. sebaliknya bila kain ditarik ke wajahnya maka kakinya tersingkap.

melihat hal itu rosulullah saw menangis.

generasi seperti para sahabat itulah yang menjadikan islam menyebar di muka bumi. generasi yang tak banyak cakap. tak banyak protes. tak banyak membantah. dan pantang minta udzur karena kurang fasilitas.

kadang saya bingung bagaimana para salaf, tabiin, dan semua daiyah di masa lalu bisa punya militansi yang luar biasa?

setelah panjang merenung saya menemukan jawabnya: quwwatul iimaan. kekuatan iman adalah rahasianya.

berarti generasi milenial imannya lemah? sudah pasti.

kemudian saya mencoba bertanya lagi apa faktor generasi dahulu kuat imannya?

perasaan saya sudah mengajarkan ilmu secara benar. saya tak mengutip ilmu kecuali dari kitab-kitab salaf yang muktabar. saya tak mengutip qoul melainkan dari ulama dan daiyah yang terpercaya ilmu dan perjuangannya.

lama saya mencari jawabannya. kemungkinan besar masalah struktur bangunan dirinya yang lemah dan kacau.

bukan hanya imannya yang lemah. tapi fikrah dan tashowwurnya juga sudah kacau. irodah juga impoten. bahkan fitrahnya juga telah bermasalah.

bila semua kerusakan telah menyentuh semua hal itu maka sulit lahir mujahid dan daiyah islam yang tangguh. butuh perjuangan besar. dan mujahadah yang dikerahkan harus habis-habisan.

beberapa hari lalu saya memberikan taujih pada murid dan binaan saya tentang pengalaman hidup imam hatim al-ashom rohimahullah. ia adalah salah satu orang sholih dan zahid yang masyhur dalam tarikh islam.

suatu hari imam hatim terdiam. wajahnya kelihatan murung. dan ia tengah berpikir keras mencari solusi masalahnya.

imam hatim ingin pergi haji. namun ia tak punya uang buat keperluan perjalanan. juga ia tak punya uang nafkah yang ditinggalkan buat keluarganya selama musim haji.

imam hatim pun menangis. ia menangis karena khawatir tak bisa melakukan ibadah dan ketaatan.

kondisinya dilihat oleh putrinya yang sholihah. ia bertanya, “wahai ayahku, apakah yang membuatmu menangis?”

“musim haji sudah tiba,” jawab imam hatim.

“kenapa ayah tak berangkat buat haji?”, tanya putrinya lagi.

“masalahnya pada uang nafkah,” jawab imam hatim singkat.

“semoga allah ta’ala memberikan rezeki kepada ayah,” doa putrinya

imam hatim tak masalah berangkat haji dengan sedikit bekal atau tanpa bekal sama sekali serta berjalan kaki menembus padang pasir.

ia kepikiran nafkah belanja buat keluarganya. inilah yang membuatnya gundah.

“bagaimana dengan nafkah buat makan kalian?”, tanyanya lirih.

“allah ta’ala yang akan memberikan rezeki kepada kami,” putrinya mencoba menenangkan ayahnya.

“tetapi keputusan haji atau tidak aku serahkan kepada ibumu,” tegasnya.

inilah nikmatnya punya istri sholihah dan anak-anak sholih. mereka selalu mendukung ayahnya buat melakukan ibadah dan ketaatan. tak khawatir dengan rezeki selama ditinggal ayahnya melaksanakan kewajiban agama.

putri yang sholihah itu lalu pergi menghadap ibunya. dan menyampaikan maksud ayahnya yang ingin pergi haji. serta masalah yang dihadapinya

“suamiku, pergilah menunaikan haji. dan allah ta’ala akan memberikan rezeki kepada kami,” istrinya memberikan dukungan.

imam hatim pun berangkat haji. ia sekadar meninggalkan uang belanja buat tiga hari. karena hanya itu yang ia miliki. sedangkan buat perjalanannya sendiri ia tak bawa apa-apa. ia berangkat bersama rombongan haji. dan ia berjalan paling belakang.

hari pertama perjalanan terjadi insiden. kepala rombongan disengat kalajengking. dia pun keracunan. para rombongan dibuat gusar akan hal itu. mereka mencari siapa diantara rombongan yang bisa mengobati kepala perjalanannya.

imam hatim maju. kemudian ia melakukan rukyah pada korban. dengan ijin dan kuasa allah ta’ala kepala rombongan itu sembuh saat itu juga.

sebagai rasa terima kasih kepala rombongan berkata, “semua nafkah pergi dan pulang imam hatim jadi tanggungan saya.”

lihatlah kuasa allah ta’ala. musibah justru menjadi berkah. kesulitan sekejap menjadi kemudahan.

imam hatim pun langsung berkata, “ya allah, ini semua adalah tadbir-mu. hamba memohon kepada-mu tunjukkanlah kepadaku tadbir-mu pada keluargaku. “

tiga hari telah lewat. uang belanja yang ditinggalkan imam hatim buat keluarganya pun habis. ibunya tak bisa belanja. dan anak-anak mulai kelaparan. mereka mulai menyalahkan saudara perempuannya. tetapi putri yang sholihah justru tertawa.

“kok kamu malah terbawa padahal rasa lapar sudah hampir membunuh kita?”, tanya mereka penasaran.

“ayah kita itu yang memberikan rezeki atau pemakan rezeki? “, putri sholihah itu balik bertanya.

“tentu saja ayah adalah pemakan rezeki. sedang yang memberikan rezeki adalah allah azza wa jalla,” jawab mereka.

“selesai tak ada yang perlu digundahkan lagi. yang memakan rezeki sudah pergi haji. sementara dzat yang maha memberikan rezeki masih tetap tinggal,” putrinya berkata mantap.

saat itu tiba-tiba pintu rumah mereka diketuk.

“siapa di depan pintu?”, tanya mereka serempak.

“sesungguhnya amirul mukminin minta air minum kepada kalian, ” terdengar jawaban dari luar.

kirbah yang disodorkan oleh pengawal itu kemudian diisi penuh air minum. pengawal balik menghadap amirul mukminin. setelah diminum amirul mukminin tertegun. betapa nikmat rasa air ini. ia belum pernah minum air putih seenak itu.

khilafah penasaran lalu berkata pada pengawalnya, “dari mana kalian mendapat air ini?”

singkat cerita khalifah kemudian membalasnya dengan memberikan sabuknya yang penuh permata mahal. perbuatannya diikuti para menteri dan para komandan pasukannya. dan semua ikat pinggang itu kemudian dibeli seorang saudagar. nilainya puluhan ribu dinar emas. selanjutnya semua dinar hasil penjualan ikan pinggang mewah itu diserahkan kepada keluarga imam hatim.

saudaraku, pertolongan allah ta’ala terjadi ketika kita punya quwwatul iiman, shidqut tawakkul, serta tetap menjaga husnuzhon meskipun dalam kesulitan.

mujahid, daiyah, dan aktifis sangat butuh ilmu itu. orang tamatan mesir, saudi, dan lipia belum tentu punya ilmu itu.